Dalam dunia medis dan peternakan isu resistensi antimikroba merupakan isu yang sangat seksi untuk dibicarakan. Namun begitu, masyarakat luas kurang mengetahui akan pentingnya isu ini. Padahal ancaman resistensi antimikroba setingkat dengan bio terorisme. Atas inisiatif inilah ReAct bersama Yayasan Orangtua Peduli dan FAO menggelar seminar resistensi antimikroba di Jakarta, 14 November lalu.
Narasumber dalam acara tersebut adalah drh Wayan Wiryawan dan dr Purnamawati Sp.A(K). Wayan Wiryawan dari Asosiasi
Dokter Hewan Perunggasan Indonesia mengatakan, penggunaan antimikroba yang
serampangan dalam dunia peternakan ridak hanya akan merugikan
usahanya sendiri tetapi juga konsumen yang mengkonsumsi produknya. “Tentunya
ini akan berbahaya bagi semuanya, bukan hanya yang beternak saja”, katanya.
Wayan juga menyampaikan bahwa pemakaian antibiotik yang tidak
bijak menjadi tantangan dalam beberapa tahun belakangan karena banyak
mikroorganisme yang sudah resisten terhadap antimikroba tertentu.
“Saya selalu bilang pada peternak pemakaian antibiotik bukan untuk
pencegahan tapi untuk mengobati. Jadi tidak baik untuk kesehatan hewan itu
sendiri. Selain itu saya juga selalu mengingatkan peternak agar menerapkan
biosekuriti yang baik serta penerapan Good
Farming Practices”, ujarnya.
Senada dengan Wayan, Purnamawati juga menekankan bahwa penggunaan antimikroba untuk penyakit - penyakit yang ringan seperti flu, radang tengorokan dan diare tanpa lendir atau darah sebaiknya tidak dilakukan.
"Kami sudah bekerjasama bahkan sudah sampai ke KEMENKES isu ini, sejak beberapa tahun lalu. Namun memang sangat sulit ya mengubah mindset masyarakat kita tentang antibiotik ini. Mereka masih menganggap antibiotik ini sebagai obat dewa, tetapi mengkonsumsinya seperti "dewa mabuk"," tukas Purnamawati.
Maksudnya adalah ketika memang dibutuhkan antibiotik dalam medikasi, masyarakat tidak bijak dan disiplin dalam mengonsumsinya (tidak sampai tuntas), sehingga timbul resistensi antimikroba. Selain itu fakta lain yang mengejutkan yang dipaparkan oleh Purnamawati adalah bahwa sejak tahun 1980-an tidak lagi ditemukan antimikroba jenis baru, sehingga ini mempersempit drug of choice terhadap infeksi bakterial atau parasitik.
Guna mencegah "bencana" yang lebih besar akibat resistensi antimikroba, baik Wayan maupun Purnamawati mengajak serta masyarakat Indonesia agar menggunakan antimikroba dengan bijak dan cerdas. Karena jika hal ini kerap berlanjut, bukan tidak mungkin akan jatuh lebih banyak korban akibat resistensi antimikroba.
Perlu juga peran dari media sebagai penyambung kepada masyarakat agar mengamplifikasi pengetahuan kepada masyarakat awam akan pentingnya isu ini, karena menurut Purnamawati dan Wayan di masa kini, apa yang muncul dari media lebih dipercaya oleh masyarakat ketimbang pendapat para ahli (CR).