Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Ayam Broiler | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

KENALI FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN REPRODUKSI PADA UNGGAS

Ayam petelur, sebuah mesin biologis. (Foto: Istimewa)

Layaknya sistem organ lain, sistem organ reproduksi pada unggas juga memegang peran krusial. Mungkin pada broiler gangguan pada organ reproduksi jarang dibicarakan, namun bagi layer dan breeder, gangguan pada organ reproduksi akan sangat memengaruhi performa produksi.

Sebagai makhluk hidup ovipar, unggas juga berkembang biak dengan cara bertelur layaknya ikan dan reptil. Telur unggas merupakan salah satu sumber protein bagi manusia, baik diolah maupun tanpa diolah. Sebagai salah satu komoditas yang digemari masyarakat dunia, sangat penting agar produksi telur tetap terjaga.

Di era modern ini unggas petelur didesain sebagai mesin biologis penghasil telur yang sangat masif. Salah satu produsen bibit ayam petelur bahkan mengklaim bahwa ayam petelur keluaran mereka dapat bertelur sebanyak 500 butir lebih dalam kurun waktu 100 minggu, tentunya perkembangan yang luar biasa dari tahun ke tahun.

Kuantitas vs Kualitas Telur
Setidaknya ada dua aspek yang dinilai dari keberhasilan pencapaian produksi telur, yakni kuantitas dan kualitasnya. Kuantitas telur berkaitan dengan hen day (produksi telur), sedangkan kualitas terkait bentuk, ukuran, konsistensi, haugh unit, dan berbagai aspek lain dari telur yang dihasilkan. Keduanya amat penting untuk dijaga peternak.

Misalnya jika produksi telur dari satu peternakan melimpah, namun kualitasnya buruk (ukuran kecil, kisut, mudah pecah, dan bermasalah lain), tentu akan banyak telur yang diafkir dan tak terjual. Begitupun sebaliknya, jika kualitas telur sudah baik namun produksinya sedikit, peternak pun akan merugi.

Ayam petelur mulai berproduksi ketika mencapai umur 18 minggu. Pada umur tersebut, tingkat produksi telur baru mencapai sekitar 4-5% alias baru belajar bertelur. Selanjutnya produksi telur akan meningkat secara cepat hingga mencapai puncak produksi sekitar 96%, bahkan ada yang mengklaim 98% dalam kurun waktu ± 2 bulan (di umur 26 minggu).

Sesuai pola siklus bertelur, maka setelah mencapai puncak produksi, sedikit demi sedikit jumlah produksi mulai mengalami penurunan secara konstan. Pada saat ayam berumur 90-100 minggu, jumlah produksi telah berada di bawah angka 70% dengan jumlah telur per hen house 466 butir dan pada kondisi demikian bisa dikatakan ayam siap diafkir (HyLine Brown Management Guide, 2019).

Staf pengajar sekaligus ahli Kesmavet SKHB IPB University, Drh Denny Widaya Lukman, mengatakan bahwa untuk menentukan kualitas dari sebutir telur harus melihat... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2023. (CR)

KESIAGAAN MENGHADAPI GANGGUAN REPRODUKSI

Gambar kiri: Kerabang telur lunak (EDS). Gambar kanan: Albumin luar sangat encer. (Foto-foto: Dok. Romindo)

Untuk mencapai target produktivitas ayam petelur, faktor kesehatan harus selalu mendapat perhatian serius untuk mencapai performa genetik ayam yang optimal. Dengan semakin tingginya target produktivitas, menyebabkan ayam menjadi semakin sensitif terhadap perubahan lingkungan dan meningkatnya risiko penyakit, sehingga diperlukan manajemen kesehatan yang lebih baik.

Upaya yang dilakukan untuk menghindari penyakit penyebab gangguan produksi telur adalah dengan menghindari atau mengurangi faktor-faktor yang dapat mendukung terjadinya penyakit, antara lain iklim dan cuaca, fluktuasi temperatur, atau kelembaban yang tinggi dapat meningkatkan risiko terjadinya stres pada ayam. Risiko ini akan semakin tinggi pada kandang sistem terbuka, sehingga ayam akan semakin rentan terhadap infeksi penyakit.

Selain itu, kualitas air minum pada peternakan yang menggunakan air permukaan karena sulitnya mendapat air tanah yang dalam, kualitas air minum merupakan masalah utama yang sering menjadi faktor pendukung timbulnya penyakit, terutama cemaran koliform yang melebihi batas normal.

Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah kualitas pakan. Bahan baku pakan asal biji-bijian yang tidak dikelola dengan baik, dapat menyebabkan tumbuhnya jamur yang menghasilkan toksin. Selain itu, tak kalah penting adalah program kesehatan dan pencegahan penyakit. Dengan semakin kompleksnya kejadian penyakit saat ini, program kesehatan dan pencegahan penyakit semakin banyak dan membutuhkan biaya tinggi, oleh sebab itu harus dilakukan pemilihan program kesehatan dan  biosekuriti yang tepat dan efisien.

Penurunan produksi pada ayam petelur dapat disebabkan beberapa faktor:

• Usia: Produksi telur biasanya mencapai puncak ketika ayam berusia 24-50 minggu. Setelah itu, produksi telur secara alami mulai menurun seiring bertambahnya usia ayam.

• Nutrisi: Kekurangan nutrisi atau gangguan dalam pemberian pakan dapat menyebabkan penurunan produksi telur. Ayam petelur membutuhkan asupan pakan seimbang, termasuk protein, vitamin, mineral, dan air yang cukup. Nutrisi yang tidak seimbang atau kekurangan pakan dapat memengaruhi kesehatan dan produksi telur ayam.

• Penyakit dan infeksi: Seperti infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran reproduksi, atau penyakit menular lainnya dapat menyebabkan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2023.

Ditulis oleh:
Drh Bayu Sulistya
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
JL. DR SAHARJO NO. 264, JAKARTA
Tlp: 021-8300300

PAKAN LIMBAH PEMBAWA BERKAH

Nasi aking atau karak bisa menjadi salah satu pakan alternatif. (Foto-foto: Infovet/Rochim)

Disebabkan harganya yang murah, nasi limbah dapur bisa digunakan untuk subtitusi dalam komposisi pakan. Namun jangan salah, untuk ternak mana bahan pakan murah ini cocok diberikan?

Dalam usaha ternak, sudah merupakan pengetahuan umum bahwa pakan menghabiskan sebagian besar dari modal usaha. Bagaimana tidak, sebagai makhluk hidup tentu ternak memerlukan nutrisi yang diperoleh dari makanan dan air minum agar dapat menjaga metabolisme tubuh tetap berjalan. Selain itu, agar ternak dapat bertumbuh kembang sesuai tahapan usianya. Dengan asupan nutrisi yang cukup, ternak dapat memberikan hasil optimal dari segi bobot maupun produksi telur, sehingga dapat menghasilkan keuntungan.

Memberi pakan ternak secara rutin dengan pakan berkualitas merupakan kewajiban agar usaha ternak dapat memberikan hasil menguntungkan. Namun, peternak juga harus mempertimbangkan anggaran modal, yang jika tidak disiapkan secara matang akan berakibat buruk bagi usaha. Di sisi lain, upaya menghemat pakan yang dilakukan dengan tidak cermat juga dapat menimbulkan kerugian performa dan produktivitas ternak. Demi menghindari berbagai hal tersebut, pemberian pakan harus dilakukan dengan cermat, baik dari sisi jenis, komposisi, maupun ekonomisnya.

Bagi ayam maupun bebek (pedaging atau petelur) terdapat jenis pakan formulasi khusus untuk ternak, yang sering disebut konsentrat atau voer. Pakan jenis ini merupakan hasil produksi pabrik pakan yang sudah diformulasi dari berbagai bahan yang lengkap. Umumnya, setiap jenis konsentrat sudah dilengkapi kandungan nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ternak sesuai peruntukannya dan sesuai dengan standar SNI. Namun, di balik lengkapnya nutrisi yang terkandung dalam konsentrat pabrikan, persoalan harga kerap membuat peternak berpikir dua kali untuk mengandalkan sepenuhnya sebagai pakan ternak.

Sering kali harga konsentrat disiasati dengan menggunakan bahan pakan alternatif sebagai campuran. Di antara berbagai jenis bahan pakan, jagung, bekatul, ataupun dedak merupakan pilihan yang lazim digunakan. Ketersediaannya melimpah di pasaran dan kandungan nutrisinya mampu mencukupi kebutuhan ternak. Tak heran jika kedua bahan pakan tersebut menjadi andalan peternak. Meskipun demikian, jika satu atau kedua bahan tersebut sulit diperoleh atau mengalami kenaikan harga, otomatis peternak harus mencari bahan alternatif lain. Hal ini dilakukan agar kebutuhan nutrisi ternak tercukupi, tetapi dengan harga yang tetap terjangkau.

Menyiasati Harga Pakan
Bicara soal pakan ayam atau bebek yang murah dan tersedia banyak di pasaran, salah satunya... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2023. (RA)

KEBERHASILAN APLIKASI BIOSEKURITI

Disinfeksi kaki bagian dari biosekuriti di peternakan. (Foto: Istimewa)

Ada peribahasa berbunyi “Ikhtiar menjalani, untung menyudahi”. Dalam semua aspek, sepertinya peribahasa ini akan berlaku, termasuk biosekuriti. Banyak hal baik yang didapat dari aplikasi biosekuriti yang konsisten dan berkesinambungan.

Prinsip paling hakiki dari biosekuriti adalah mencegah penyakit tidak masuk dan keluar dari suatu peternakan, bagaimanapun caranya. Dalam aplikasinya bisa dilakukan masing-masing peternak, namun karena alasan cuan rata-rata peternak kerap abai.

Setidaknya minimal ada tujuh aspek yang harus dilakukan dalam menjaga biosekuriti di peternakan menurut Hadi (2010), di antaranya kontrol lalu lintas, vaksinasi, recording flock, menjaga kebersihan kandang, kontrol kualitas pakan, kontrol air, dan kontrol limbah peternakan. Sangat mudah diucapkan, namun sulit diimplementasikan.

Hewan Tetap Produktif, Manusia Tetap Sehat
Banyak peternak di Indonesia menanyakan efektivitas penerapan biosekuriti. Sebagai contoh Infovet pernah melakukan kunjungan ke Lampung, dimana FAO ECTAD Indonesia beserta stakeholder peternakan di sana sedang menggalakkan biosekuriti tiga zona pada peternak layer.

Kusno Waluyo seorang peternak layer asal Desa Toto Projo, Kecamatan Way Bungur, Lampung Timur, bercerita mengenai keputusannya menerapkan aplikasi biosekuriti. Peternak berusia 46 tahun ini memang sudah terkenal sebagai produsen telur herbal. Hal ini diakuinya karena Kusno memberikan ramuan herbal sebagai suplementasi pada pakan ayamnya. Hasilnya cukup baik, namun ia masih kurang puas karena merasa masih bisa lebih efektif lagi.

“Akhirnya saya ikuti program FAO di sini, katanya ini bagus, maka saya coba ikuti saja. Ternyata benar, biaya yang dikeluarkan makin irit, hasilnya lebih jos,” tutur pemilik Sekuntum Farm tersebut.

Menurut Kusno salah satu tolok ukur suksesnya penerapan biosekuriti di kandangnya adalah... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juni 2023. (CR) 

BIOSEKURITI, MEMBERI BUKTI BUKAN JANJI

Pembagian tiga zona wilayah biosekuriti pada suatu farm.

Penyakit unggas berpengaruh secara negatif terhadap keuntungan peternak, bahkan terkadang membahayakan kesehatan manusia. Peternakan unggas selalu berisiko terserang oleh penyakit yang mengakibatkan berkurangnya produksi daging dan telur, tergantung pada tingkat keparahan penyakit. Beberapa negara telah diserang penyakit-penyakit yang menyebabkan tingkat kematian pada unggas dan kerugian ekonomi tinggi.

Ketika unggas dipaparkan pada kondisi lingkungan yang tidak sehat seperti panas berlebihan, kedinginan, kelembapan, amonia, suara bising, kekurangan air dan pakan, tingkat ketahanan mereka terhadap penyakit menjadi berkurang, membuat unggas rentan terhadap penyakit yang disebabkan bakteri, virus dan jamur.

Untuk mengatasi atau mengurangi risiko, penerapan biosekuriti yang baik perlu dilakukan dalam suatu farm. Biosekuriti terdiri dari seluruh prosedur kesehatan dan pencegahan yang dilakukan secara rutin di sebuah peternakan, untuk mencegah masuk dan keluarnya kuman patogen yang menyebabkan penyakit.

Suatu peternakan ayam petelur maupun pedaging, hendaknya dibagi menjadi tiga area yang berbeda, yaitu area luar (zona merah), area bebas terbatas (zona kuning) dan area terbatas atau farm (zona hijau). Setiap area dipisahkan secara tegas dengan pagar sebagai barrier fisik dan mempunyai spesifikasi biosekuriti tertentu yang menuntut prosedur khusus untuk sanitasi dan disinfeksi. Biasanya diberi tanda peringatan berbentuk tulisan pada suatu papan agar dapat dibaca dengan mudah. Tujuan pembagian area adalah untuk mengisolasi peternakan dari agen kuman penyakit yang berasal dari lingkungan luar peternakan atau yang berada di lingkungan peternakan.

Penerapan dan penjelasan mengenai biosekuriti tiga zona bisa dilihat dalam penjelasan berikut:

• Zona Merah (Area Luar Peternakan). Area ini merupakan lokasi kuman penyakit berada, waspadai semua hal (orang, barang dan hewan) yang berasal dari area ini. Karena melalui area luar peternakan, kuman penyakit secara tidak langsung mampu terbawa oleh manusia. Jika kuman penyakit sampai terbawa ke area peternakan, maka akan membahayakan kelangsungan hidup unggas yang berada di dalam farm.

• Zona Kuning (Area Peralihan). Merupakan area... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juni 2023.

Ditulis oleh:
Drh Bayu Sulistya
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
JL. DR SAHARJO NO. 264, JAKARTA
Tlp: 021-8300300

TIDAK MUDAH: GAMBARAN SINGKAT BISNIS RPHU

Bisnis RPHU cukup rumit. (Foto: Shutterstock)

Koordinator Humas, Media, dan Publikasi Asosiasi Rumah Potong Hewan Unggas Indonesia (ARPHUIN), Thomas Kristiyanto, mengatakan total jumlah RPHU di Indonesia menurut informasi terakhir adalah 451 unit.

Namun yang telah terdata sebanyak 355 unit dan yang sudah memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV) baru 215 unit. Sebanyak 320 unit RPHU masih beroperasi dan 35 unit tidak beroperasi. Hal itu disampaikannya dalam webinar Indonesia Livestock Club #27 “Dinamika Rantai Dingin Produk Hasil Unggas 2023” pada (21/5/2023).

Kategori RPHU
Berdasarkan pelaku usahanya RPHU dibagi menjadi tiga, yaitu integrasi, mandiri, dan pemotong. “Integrasi artinya RPHU yang dimiliki oleh perusahaan yang terintegrasi. RPHU mandiri adalah perusahaan atau perorangan yang berdiri sendiri artinya dia tidak memiliki bisnis integrasi,” jelas Thomas.

“Pemotong ini masih kita jumpai biasanya tidak memiliki NKV. Ada di beberapa pasar bahkan pasar modern pun ada. Tetapi ini tidak diakui sebetulnya karena sesuai dengan Permentan 381 Tahun 2005 yang mengatur tentang pedoman sertifikasi NKV, untuk usaha pangan asal hewan itu harus memiliki NKV.”

Berdasarkan pengelolanya RPHU ada yang dikelola oleh dinas (66 unit), kelompok (11 unit), perorangan (24 unit), dan swasta (254 unit). Dari skala usahanya dibagi menjadi dua, yaitu RPHU dan skala kecil. Definisi skala kecil adalah jika keuntungan bersihnya maksimal Rp 50 juta tidak termasuk tanah dan bangunan.

Bisnis RPHU Tidak Mudah
Terdapat beberapa komoditas dalam produk hasil unggas, yaitu ayam, telur, bibit, dan karkas sebagai hasil dari ayam pedaging. Tiga komoditas pertama kecenderungannya adalah uncontrollable. Dari sisi biaya produksi bisa dihitung namun harga jualnya biasanya cukup sulit untuk memprediksi harga telur, DOC, dan live bird. Sedangkan karkas lebih bisa dikontrol harganya.

Profil harga live bird pada 2022 dari Pinsar Indonesia menggambarkan bahwa di daerah-daerah kota besar di seluruh Indonesia fluktuasinya cukup tinggi. Thomas mengatakan, “Live bird sampai dengan hari ini masih menjadi PR kita bersama. Sehingga meskipun dari pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan PKH sudah memberikan Permentan 32 tahun 2017, yang kita ketahui bersama itu arahnya sebetulnya sudah cukup baik, untuk mengarahkan supaya live bird tidak menjadi pasar utama dikonsumsi masyarakat kita, tetapi dagingnya.”

Permentan No. 32/2017 Pasal 12 Ayat 1 menyatakan pelaku usaha integrasi, pelaku usaha mandiri, koperasi, dan peternak yang memproduksi ayam ras potong (live bird) dengan kapasitas produksi paling rendah 300.000 ekor per minggu wajib mempunyai rumah pemotongan hewan unggas (RPHU) yang memiliki fasilitas rantai dingin.

Tapi menurut Thomas, memang tidak mudah untuk melakukan bisnis di RPHU. Dijelaskannya bahwa secara sederhana produk RPHU hanya tiga, yaitu karkas, boneless, dan parting, baik fresh maupun frozen. Lebih rinci lagi di dalam bisnis RPHU ada lebih dari 48 item produk belum termasuk produk marinasi.

Karena itu di bisnis RPHU tidak mudah bagi pelaku usaha untuk mengatur bagaimana presentase produksi ketiga produk tersebut. Kemudian menentukan apakah akan dijual fresh atau frozen.

Konsumen RPHU
Baseline konsumen RPHU ada lima kelompok, yaitu pasar modern, processing food, trader, catering, dan fast food. Pasar modern setelah pandemi cukup tergerus bisnisnya dan sebagian ada yang gulung tikar.

Processing food masih menjadi backbone sebagian pebisnis RPHU, karena ada added value terutama untuk penjualan boneless. Trader atau pedagang memiliki jaringan yang cukup luas di Indonesia, kebanyakan memiliki modal yang cukup. Kadang trader juga memiliki cold storage yang unindentified oleh pemerintah maupun pelaku RPHU. Sementara pada bisnis catering cenderung naik turun, sedangkan fast food mulai berkembang.

Model Pemasaran RPHU
RPHU integrasi kebanyakan menjual produknya untuk B2B, meski sebagian ada yang B2C melalui gerai-gerai kecil dengan berbagai brand. B2C tersebut menurut Thomas meski berkembang jumlahnya, namun dari sisi profitabilitas belum cukup berkembang. Masih dalam taraf mengedukasi masyarakat.

“Terkait dengan pemasaran ini sekarang kita juga sudah mulai lihat berkembang, dengan anak-anak muda yang secara mandiri melakukan usaha sendiri. Marketing secara mandiri melalui media sosial mereka dan mereka juga melakukan analisis dan marketing strategy sendiri,” jelas Thomas.

Dinamika Produksi dan Distribusi
RPHU yang terintegrasi memiliki HPP sendiri, sehingga ketika harga live bird naik turun tidak terlalu memengaruhi. Namun untuk RPHU mandiri ataupun perorangan, harga live bird sangat berpengaruh bagi bisnis mereka.

“Sehingga dinamikanya itu akan mengikuti dinamika harga live bird,” ujar Thomas. “Satu sisi bagaimana harga live bird ini juga terjaga, tapi di sisi lain ketika kita bicara RPHU yang mandiri dan perorangan ya pasti dinamikanya tergantung dengan harga live bird.”

Dinamika distribusi RPHU menutut Thomas cukup besar. Distribusi RPHU adalah rantai dingin, menggunakan cold storage hingga produk sampai ke customer. Hal itu sangat tergantung pada modal, serta cara dan kreativitas masing-masing RPHU. (NDV)

BIOSEKURITI, GAMPANG-GAMPANG SUSAH

Biosekuriti adalah dasar atau pondasi dari segenap tindakan program kontrol penyakit infeksius pada peternakan ayam modern. Ini berarti dengan meningkatkan implementasi biosekuriti, peternak tidak saja mampu mereduksi tekanan kasus-kasus infeksius di peternakan ayam yang bersangkutan, tetapi juga dapat meningkatkan performa ayam sesuai potensi genetiknya dan mengurangi penggunaan preparat antimikroba secara signifikan.

Oleh: Tony Unandar (Anggota Dewan Pakar ASOHI)

Implementasi program biosekuriti pada peternakan ayam modern secara faktual dan konsisten tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Penyebabnya, selain adanya problem terkait kualitas dan mentalitas karyawan yang ada, tetapi juga kompleksitas penyakit infeksius yang rumit pada ayam modern terkait kepadatan ayam dan faktor stres yang tinggi. Tulisan singkat ini berisi beberapa acuan yang menjadi pegangan seorang praktisi perunggasan dalam perjuangannya menerapkan program biosekuriti di peternakan ayam modern.

Interaksi Ayam dan Bibit Penyakit
Ayam dan bibit penyakit, termasuk juga makhluk hidup lainnya, secara universal mempunyai karakter ego. Tegasnya, dalam menjaga kelestarian kehidupannya (eksistensinya di muka bumi), sifat ini menjadi sangat penting sekali. Sebab kalau tidak, makhluk hidup yang bersangkutan dalam tempo cepat atau lambat pasti akan lenyap atau punah.

Pada bibit penyakit, manifestasi dari sifat ego ini adalah kemampuannya untuk menerobos mekanisme pertahanan tubuh ayam (kemampuan melakukan invasi), termasuk kemampuannya menggagalkan kinerja suatu preparat antibiotika (kemampuan membentuk reaksi resistan). Di lain pihak, sifat ego pada ayam dimanifestasikan dengan keberadaan mekanisme pertahanan tubuhnya yang berlapis-lapis, mulai dari mekanisme pertahanan fisiko-kimiawi, pertahanan seluler via sel-sel darah putih (mekanisme fagositosis), ataupun melalui sel limfosit yang terkait dengan sistem kekebalan spesifik (respon kekebalan adaptif).

Kemampuan melakukan invasi dari suatu bibit penyakit dapat mengalami perubahan, tergantung kondisi lingkungan. Di lapangan, jika suatu bibit penyakit tidak mendapatkan induk semang atau lingkungan yang sesuai, maka lama kelamaan mereka akan mati atau setidaknya kemampuan untuk melakukan invasinya akan melemah. Ini berarti, kemampuannya untuk merusak, apalagi untuk menimbulkan penyakit pada ayam yang ada sangatlah kecil. Kondisi inilah yang sesungguhnya terkandung dalam makna “istirahat kandang” (down-time). Dengan kata lain, jika dilakukan istirahat kandang yang cukup, tidak hanya kemampuan invasi suatu bibit penyakit saja yang berkurang (aspek kualitas: patogenisitas menurun), tetapi juga variasi jenis, serta jumlah bibit penyakit di sekitar ayam akan berkurang (aspek kuantitas: total inokulum).

Sebaliknya, tanpa istirahat kandang atau juga pada peternakan yang “multi-age” (dalam satu lokasi peternakan ada beberapa flock ayam dengan umur sangat bervariasi), berarti... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juni 2023. (toe)

JANGAN MENGANGGAP REMEH BIOSEKURITI

Kendaraan yang akan masuk peternakan didisinfeksi secara manual dengan mesin penyemprot sederhana. (Foto: Istimewa)

Meningkatnya komponen biaya dalam usaha peternakan tentu menjadi berita buruk bagi semua peternak. Konyolnya, untuk mengakali kenaikan tersebut tak jarang yang mengorbankan cost di sektor biosekuriti, padahal biosekuriti menjadi komponen penting dalam menunjang usaha peternakan.

Biosekuriti biasanya diwujudkan sesuai budget yang dimiliki peternak. Sesuai yang dimaksud adalah pas-pasan alias apa adanya. Tentu bukan salah peternak jika memang seperti itu, sebab kini makin banyak permasalahan yang memusingkan peternak terutama mandiri di era ini. Terlebih dengan disrupsi yang terjadi dan efek buruk menahun akibat COVID-19 dan permasalahan lainnya.

Kendati demikian, yang perlu ditekankan adalah biosekuriti merupakan suatu hal yang wajib dikerjakan. Suka atau tidak, biosekuriti merupakan instrumen pendukung kesuksesan peternak dalam usaha budi daya, apapun jenis ternaknya.

Harus Paham Pentingnya Biosekuriti
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Prof Drh Michael Haryadi Wibowo, pernah berujar bahwa biosekuriti didefinisikan sebagai segala macam upaya untuk mencegah masuk dan keluarnya bibit penyakit ke dalam suatu area peternakan, agar ternak yang dipelihara bebas dari ancaman infeksi penyakit. Upaya tersebut juga berfungsi agar suatu penyakit tidak menulari peternakan lain dan lingkungan sekitar, juga tidak menular kepada manusia yang berkecimpung di dalamnya.

“Jadi apapun upaya pencegahan seperti vaksinasi ternak, disinfeksi, semprot-semprot segala macem, melarang orang asing keluar masuk peternakan, semua itu masuk ke dalam definisi biosekuriti. Jadi memang wajib, sudah jadi makanan sehari-hari,” tutur Prof Michael.

Ia mengemukakan dalam benak peternak, biosekuriti itu adalah membuat gerbang besar, semprotan otomatis, ruang mandi, fumigasi, dan sebagainya. Menurutnya inilah yang menjadi salah kaprah di kalangan peternak sampai hari ini.

“Kalau bentuk dan upayanya itu baru yang disesuaikan dengan budget, misal mau pakai vaksin ND namun budget terbatas, kan varian produknya banyak, ada murah sampai mahal bisa kita pakai. Yang penting jangan sampai tidak divaksin. Disinfektan juga banyak, dari yang pabrikan sampai yang racikan bisa dipakai buat kandang, yang penting dilakukan. Murah atau mahalnya tergantung peternak, tapi yang terpenting aplikasinya,” jelas dia.

Jadi menurut Michael, apapun yang peternak lakukan selama dasar ilmiah, sumber, dan aplikasinya benar, maka upaya itu boleh dilakukan. Sebab ia paham betul bahwa tidak semua peternak mampu bermewah-mewahan dalam mengaplikasikan biosekuriti di peternakannya.

Dijalankan dengan Komitmen dan Konsisten
Dosen FKH UGM yang juga konsultan kesehatan unggas, Prof Charles Rangga Tabbu, mengatakan bahwa... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juni 2023. (CR)

BIOSEKURITI, JADIKAN SEBUAH KEBIASAAN

Skema penerapan biosekuriti tiga zona. (Foto: Istimewa)

Biosekuriti bisa diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dirancang untuk mencegah penyakit masuk ke dalam peternakan maupun menyebar keluar peternakan. Penerapan yang disiplin dan konsisten akan sangat bermanfaat untuk menjaga ayam tetap aman dari serangan penyakit sehingga mampu berproduksi secara optimal.

Biosekuriti adalah proses panjang yang membutuhkan komitmen peternak dan seluruh tim yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, sudah selayaknya perlu diupayakan penerapan biosekuriti menjadi sebuah kebiasaan dalam pengelolaan peternakan.

Mengapa biosekuriti perlu dijadikan sebagai kebiasaan? Penerapan biosekuriti secara baik menjadi salah satu kunci untuk menjaga kesehatan ayam, selain vaksinasi dan pengobatan. Penerapan yang baik akan menurunkan tantangan bibit penyakit yang berada di lingkungan peternakan. Kesehatan yang terjaga akan mengoptimalkan produktivitas ayam, baik dari segi pertumbuhan maupun produksi telur. Hasil ternak pun menjadi berkualitas dan aman dikonsumsi manusia.

Biosekuriti Tidak Hanya Disinfeksi
Disinfeksi atau pemberian disinfektan dengan cara disemprot maupun pencampuran dalam air minum menjadi salah satu bagian dari serangkaian kegiatan biosekuriti. Tidak bisa hanya mengandalkan dari disinfeksi untuk melindungi ayam dari serangan penyakit. Tetapi harus dipadukan dengan serangkaian kegiatan lain, seperti isolasi dan kontrol lalu lintas untuk ayam, peralatan, sarana transportasi maupun personel yang ada di lingkungan peternakan.

Penerapan biosekuriti tiga zona bisa menjadi pedoman. Area dalam lokasi peternakan akan dibagi menjadi tiga zona, yaitu merah, kuning dan hijau. Zona merah merupakan area di luar peternakan. Zona ini boleh dikatakan sebagai zona yang perlu diperhatikan dengan lebih ketat, baik untuk ternak, barang, sarana transportasi maupun personel. Semua yang berada di zona merah pada saat akan memasuki lokasi peternakan harus melalui serangkaian proses pengecekan dan disinfeksi yang ketat.

Zona kuning merupakan area transisi atau peralihan. Di area inilah semua ternak, peralatan, sarana transportasi maupun personel harus melalui serangkaian proses disinfeksi untuk menurunkan konsentrasi bibi tpenyakit.

Sementara zona hijau menjadi area tempat hidup ternak. Area ini adalah area terbatas, tidak semua orang maupun peralatan yang bisa masuk ke area ini. Dengan pembagian zona ini diharapkan memudahkan dalam pengaplikasian konsep biosekuriti.

Konsep biosekuriti yang perlu diterapkan dalam pengaplikasian di peternakan adalah... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juni 2023.

Ditulis oleh:
Hindro Setyawan SPt
Technical Support-Research and Development PT Mensana

CEGAH KOLIBASILOSIS SEBELUM MERUGI

Omphalitis pada DOC, salah satu indikasi infeksi coli. (Foto: Istimewa)

Sebagai penyakit dengan tingkat kejadian paling sering kedua, pastinya peternak tidak boleh kecolongan lagi. Pasalnya, kerugian yang ditimbulkan juga bukan main-main, selain itu terdapat potensi lain yang mungkin dapat menimbulkan petaka bagi manusia di kemudian hari.

Menular Terus, Terus Menular
Kebanyakan E. coli hidup di lingkungan kandang melalui kontaminasi feses. Permulaan infeksi dari bakteri ini mungkin juga terjadi di hatchery, dari infeksi atau telur yang terkontaminasi. Meskipun begitu, infeksi sistemik biasanya membutuhkan bantuan lingkungan atau predisposisi lainnya.

Kolibasilosis kebanyakan terjadi melalui kontak langsung dengan lingkungan tempat tinggal ayam yang basah, lembap dan kotor, bukan dari ayam ke ayam seperti yang selama ini sering diduga peternak. Berdasarkan penelitian Mc Mullin (2004), disebutkan bahwa kolibasilosis terjadi baik melalui peroral atau inhalasi, lewat membran sel/yolk/tali pusar, air, muntahan, dengan masa inkubasi 3-5 hari.

Kualitas udara yang buruk dan stres yang berasal dari lingkungan juga menjadi faktor predisposisi infeksi E. coli. Selain itu, timbulnya kolibasilosis juga tidak lepas dari sanitasi yang kurang optimal, sumber air minum yang tercemar bakteri, sistem perkandangan dan peralatan kandang yang kurang memadai dan adanya berbagai penyakit yang bersifat imunosupresif.

Untuk faktor manajemen, peternak sudah sering mendapat penyuluhan, pelatihan dan lain sebagainya, namun sayang tidak adanya perubahan manajemen ke arah yang lebih baik dalam suatu peternakan menjadi kesan bahwa terjadi “pembiaran” akan infeksi dari bakteri E. coli.

Lingkup Infeksi yang Luas
Tidak hanya antibiotik yang memiliki lingkup luas, bakteri E. coli ternyata juga dapat menyebabkan infeksi dengan lingkup yang luas secara lokal maupun sistemik, bukan hanya pada saluran pernapasan dan saluran pencernaan saja. Bentuk infeksi sistemik E. coli biasa disebut... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Mei 2023. (CR)

REFLEKSI KRITIS: KOLI SANG OPORTUNIS

Prevalensi dan kemungkinan transmisi atau penyebaran E. coli patogen yang ekstra-intestinal pada ayam modern cukup tinggi. E. coli dari kelompok inilah yang pada ayam disebut APEC dan sering menyebabkan problem kolibasilosis dalam berbagai bentuk peradangan berupa air-sacculitis, sinusitis, rhinitis, laryngitis, tracheitis, conjunctivitis, cellulitis, pleuritis, pneumonia, peritonitis, ovaritis, oviditis, salpingitis, synovitis, omphalitis, koli granuloma sampai septisemia.

Oleh: Tony Unandar (Private Poultry Farm Consultant - Jakarta)

Kasus kolibasilosis pada peternakan ayam modern ibarat “naza” alias bahan adiktif, sering ketagihan atau mengulang. Intim dengan ayam broiler, karib dengan ayam petelur, bahkan juga akrab dengan ayam bibit. Apakah benar ayam modern lebih peka terhadap kuman koli? Atau apakah teknik pemeliharaan ayam yang semakin efisien secara tidak sengaja telah membuat kuman koli menemukan “surga”nya?

Di tengah hingar-bingarnya tekanan implementasi konsep one world one health dan kekhawatiran terhadap AMR (Antimicrobial Resistance), tulisan singkat yang berisi pengalaman seorang praktisi lapangan dan dilengkapi dengan sejumlah info dari jurnal ilmiah terkini menjadi sumber inspirasi yang adekuat untuk dicermati.

Mengenal Escherichia Coli
Peribahasa Latin kuno, “Inter faeces urinumque homo est natus” (artinya: manusia dilahirkan di antara feses dan urin), mengandung makna akan adanya suatu kesadaran awal terkait kesamaan mikroflora komensal antara ibu dan anak. Ketika Theodor Escherich (1885) berusaha mencari hubungan antara mikroflora feses bayi dengan kasus-kasus infeksi enterik, beliau menemukan Bacterium coli commune sebagai patogen pada usus bayi dan ibunya (Metchnikoff, 1907). Belakangan, sebagai tanda penghargaan baginya, mikroba tersebut diberi nama Escherichia coli (E. coli).

Sejak penemuan Escherich tersebut, secara alamiah peranan kuman koli selalu menjadi perdebatan, apakah sebagai mikroba patogen atau mikroba komensal pada manusia dan hewan. Baru pada 1947, saat Kauffmann menemukan klasifikasi kuman koli berdasarkan uji serologis, maka ekologi dan taksonomi kuman koli menjadi lebih jelas. Crichton dan Old (1992) memberikan sumbangan tambahan pada klasifikasi tersebut ditinjau dari aspek “resistotyping”, pola kepekaan kuman koli terhadap preparat antibiotika.

Hari ini, klasifikasi keragaman strain E. coli dalam perbedaan serotipe berdasarkan tiga jenis antigen yang ditemukan pada sel bakteri E. coli itu sendiri yaitu:... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Mei 2023. (toe)

KOLIBASILOSIS: RESIDIVIS, EKSIS DAN OPORTUNIS

Temuan umum patologi anatomis pada kolibasilosis: (A) Pericarditis, (B) Airsacculitis dan (C) Perihepatitis. (Foto: Istimewa)

Kolibasilosis, semua peternak ayam terutama broiler sudah pasti pernah merasakan kerugian yang diakibatkannya. Walau kini sudah banyak peternak yang well educated, namun masih ada saja yang kecolongan dan berulang.

Kendati banyak yang tahu mengenai penyakit ini, namun misteri mengapa ketika kasus kolibasilosis dapat terus “membunuh” peternak secara berulang memang tak pernah bisa diungkap.

Apalagi ketika harga ayam sedang mentok di level terbawah seperti beberapa waktu belakangan, keberadaan penyakit pasti akan menambah derita peternak, terutama peternak kecil mandiri.

“Teman Hidup” Semua Makhluk Hidup
Bakteri Escherichia coli atau lazim disebut E. coli, merupakan bakteri yang normal hidup pada saluran pencernaan makhluk hidup bahkan ketika suatu makhluk tersebut lahir, termasuk manusia (Kohl, 2018). Bakteri tersebut juga normal terdapat banyak di lingkungan peternakan ayam.

Beberapa peneliti mengategorikan bakteri ini sebagai bakteri komensal yang tergolong pembusuk, dimana dia dapat membantu proses pencernaan di saluran cerna. Meskipun kebanyakan di antaranya non-patogen, beberapa menyebabkan infeksi saluran pencernaan pada berbagai makhluk hidup termasuk ayam.

Berdasarkan klasifikasi terbaru menurut uji serologis yang dilakukan berbagai ilmuwan, simpelnya E. coli dibagi menjadi E. coli yang patogen dan non-patogen. Anben et al. (2001), mengelompokkan E. coli yang bersfiat patogen sesuai gejala klinis yang ditimbulkan antara lain penyebab diare dan septisemia sebagai Avian Pathogenic Escherichia Coli (APEC). Galur ini merupakan galur yang berhubungan dengan karakteristik penyakit ketika terjadi infeksi penyakit oleh E. coli maka penyakit tersebut dinamakan kolibasilosis.

Bakteri E. coli juga dapat... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Mei 2023. (CR)

E. COLI YANG SENANTIASA MENGINFEKSI AYAM

Bakteri E. coli (Sumber: schippers.ca)

Eschericia coli (E. coli) menjadi salah satu agen penyakit paling sering menginfeksi ayam, yang keberadaannya senantiasa ada di dalam kandang. Bakteri ini bisa dengan mudah ditemukan di litter, feses, debu kandang, air minum maupun pakan.

Di dalam saluran pencernaan ayam pun juga ditemukan E. coli dan keberadaannya juga memberikan manfaat bagi kesehatan saluran pencernaan (usus). Hanya saja saat kondisi ayam tidak nyaman, mengalami stres, gangguan nutrisi maupun ada infeksi lainnya, maka bakteri ini bisa bersifat patogen.

Kenali Karakteristik E. coli
E. coli merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang dan tidak membentuk spora. Bakteri ini akan mati pada saat dipanaskan dengan suhu 60° C selama 30 menit, sensitif terhadap disinfektan dan akan terhambat pada saat pH < 4,5. Berdasarkan karakteristiknya maka pembersihan dan disinfeksi kandang yang optimal (terutama pembersihan feses) sudah mampu untuk menurunkan populasi bakteri E. coli.

Tidak semua E. coli bersifat patogen (menyebabkan ayam sakit), hanya Avian Pathogenic Eschericia Coli (APEC) yang bisa merugikan kesehatan ayam. Ada empat APEC yang paling sering menyebabkan ayam sakit, yaitu serotipe dengan antigen somatic (O) 1, 2, 35 dan 78 (https://extension.psu.edu).

Rupa-rupa Bentuk Serangan E. coli
Serangan E. coli bisa berbentuk… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Mei 2023.

Ditulis oleh:
Hindro Setyawan SPt
Technical Support-Research and Development
PT Mensana Aneka Satwa

MENEPIS SERANGAN KOLIBASILOSIS

Pericarditis dan Perihepatitis (kiri). Ovarium normal dan ovarium “membubur” (kanan).

Tingkat kejadian penyakit Kolibasilosis pada peternakan ayam menunjukkan angka kejadian paling tinggi selain penyakit bakterial lain seperti CRD dan Kolera, atau dibanding penyakit viral lainnya seperti ND dan IBD. Dominannya kejadian kolibasilosis pada peternakan ayam komersial, baik layer maupun broiler banyak dikaitkan dengan managemen operasional peternakan yang kurang memadai.

E. coli ditemukan pada saluran pencernaan unggas dan mamalia, disebarkan secara luas lewat fesesnya. Unggas secara terus-menerus mengeluarkan lewat fesesnya mengontaminasi air, debu di dalam dan sekitar kandang, serta lingkungan peternakan. Unggas yang resisten dari infeksi dapat menekan keganasan yang ditimbulkannya. Organ target E. coli pada seperti saluran intestinal, nasal passage (saluran nasal), airsacc dan organ reproduksi merupakan sumber laten dari infeksi kuman E. coli.

Kuman E. coli juga dapat diisolasi dari telur ayam yang sehat. Dimana keberadaannya pada telur atau kerabang berhubungan dengan organ reproduksi yang mengalami infeksi seperti;  infeksi pada ovarium, infeksi pada oviduct sekalipun infeksi yang ada sifatnya sangat ringan. Anak ayam yang menetas dapat mengalami infeksi laten dan hanya karena faktor stres dan beberapa lesi yang ada dapat menjadi faktor pemicu terjadinya infeksi.

Di lapangan, kejadian penyakit ini walaupun pada ayam dewasa, baik breeder maupun layer jarang menimbulkan angka kematian tinggi, tetapi kerugian ekonomis yang ditimbulkan cukup parah. Disamping peternak dituntut mengalokasikan biaya untuk pencegahan dan pengobatan, peternak juga banyak mengalami kerugian dari menurunnya kuantitas dan kualitas produksi telur yang dihasilkan. Pada ayam petelur muda, baik ayam remaja breeder, layer dan broiler, seperti yang telah disampaikan di atas, bahwa kelompok ayam ini punya kepekaan lebih tinggi terhadap E. coli dan potensi merusak organ vital hingga menyebabkan kematian.

Pada ayam breeder dewasa karena kuman E. coli menyerang organ reproduksi, disamping menyebabkan penurunan kuantitas produksi telur, dampak paling merugikan adalah rendahnya daya tetas telur. Banyak telur yang tidak berhasil menetas karena embrio mengalami infeksi dan mati. Bila berhasil menetas, karena ada infeksi bersifat laten pada anak ayam tersebut, kepekaan akan infeksi penyakit lain menjadi sangat tinggi, sehingga berdampak pada kematian awal yang tinggi pula.

Sumber penularan terbesar sebagai penyebab terjadinya re-infeksi dari kasus kolibasilosis pada ayam yang sudah mengalami kesembuhan, selain dari litter, peralatan dan lingkungan sekitar kandang, disinyalir yang paling potensial adalah air minum. Hampir 60-70% kejadian kolibasilosis di peternakan dilaporkan karena kualitas air minum pada ayam mengandung konsentrasi kuman E. coli cukup tinggi. Hal ini menyebabkan upaya pengobatan tidak pernah tuntas, apalagi jika air yang diberikan tidak dilakukan klorinasi sebelumnya, sehingga kejadian infeksi  selalu berulang. Dampak dari infeksi berulang menyebabkan produksi telur tidak pernah stabil, pertumbuhan terhambat dan tidak merata, ayam lebih peka terhadap infeksi penyakit lain dan biaya pengobatan melonjak.

Tanda Klinis dan Lesi yang Ditimbulkan
Ada banyak bentuk sindrom yang disebabkan infeksi E. coli, dimana pembagian ini dikaitkan dengan organ yang mengalami infeksi dan kuman tersebut berhasil diisolasi dari organ yang terinfeksi tersebut. Tanda klinis yang dikaitkan dengan organ terinfeksi di antaranya:... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Mei 2023.

Ditulis oleh:
Drh Bayu Sulistya
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
JL. DR SAHARJO NO. 264, JAKARTA
Tlp: 021-8300300

KEARIFAN LOKAL UNTUK MENJAGA KESEHATAN & MENCEGAH PENYAKIT HEWAN

Meskipun produk vaksin AI yang beredar masih homolog sekitar 80-90% terhadap clade baru, tetap kewaspadaan agar AI tidak menyerang perlu ditingkatkan. (Sumber: Istimewa)

Avian Influenza (AI) merebak lagi, sejak akhir tahun lalu hingga beberapa bulan di awal tahun ini, sektor perunggasan mancanegara masih disibukkan dengan wabah AI. Pasalnya clade baru dari virus AI H5N1 yakni clade 2.3.4.4.b dinilai meresahkan dan berdampak besar pada sektor ekonomi dan sosial.

Meskipun melalui kajian yang dilakukan berbagai perusahaan dan pakar mengatakan bahwa produk vaksin AI yang beredar masih homolog sekitar 80-90% terhadap clade baru, tetap kewaspadaan agar AI tidak menyerang perlu ditingkatkan.

Kearifan Lokal, Dampak Positif Global
Sejak Antibiotic Growth Promoter (AGP) dilarang digunakan dan kerap menjadi “kambing hitam” turunnya performa ternak unggas dan meningkatnya risiko ayam terserang penyakit infeksi. Sebagaimana diketahui, setiap perusahaan yang berkecimpung di bidang pakan utamanya, kini berlomba mencari pengganti AGP sebagai feed additive. Bermacam cara digunakan agar kesehatan dan performa ayam tetap prima.

Indonesia merupakan Negara yang memiliki keragaman budaya, salah satu yang berkembang adalah jamu. Masyarakat Indonesia dikenal gemar mengonsumsi jamu sebagai suplemen dalam menjaga kesehatan. Wajib disyukuri karena Indonesia memliki beragam tanaman obat yang sejak zaman nenek moyang telah dikonsumsi secara turun-temurun oleh masyarakat.

Beruntung juga karena tanaman obat yang sangat beragam ini dapat dimanfaatkan sebagai feed additive yang dapat menjaga kesehatan ternak. Seperti halnya yang dilakukan beberapa peternak di Indonesia yang lebih memilih memberikan jejamuan untuk ternaknya.

Kustadi, peternak broiler kemitraan asal Bogor yang rutin memberikan jamu kepada ayam-ayamnya. Ia rutin mencampurkan racikan beberapa jenis herbal kepada ayamnya agar tetap prima. “Kalau chick-in kan biasanya orang pada ngasih air gula ke ayam, kalau saya air gula itu saya campur lagi sama kunyit dan beras kencur,” kata Kustadi.

Kepada Infovet, ia mengaku... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Mei 2023. (CR)

AWAS! ANTINUTRISI BUAT AYAM SULIT BERISI

Pemberian pakan yang tidak mencukupi jumlahnya menjadi salah satu penyebab berkurangnya jumlah nutrisi yang dapat dimanfaatkan tubuh ternak. (Foto: RBI)

Dalam pakan berstandar SNI, masalah serapan nutrisi pakan akibat zat antinutrisi sudah diatasi. Namun, bagi peternak yang hendak membuat formulasi pakan campuran mandiri, keberadaan zat antinutrisi patut diwaspadai.

Agar dapat tumbuh berkembang dan menjaga fungsinya dengan baik, tubuh memerlukan beragam zat atau nutrisi yang berguna dalam proses pembentukan sel, jaringan, maupun organ. Hal ini berlaku bagi semua jenis makhluk hidup, termasuk manusia, tanaman dan hewan ternak seperti ayam.

Secara garis besar, nutrisi merupakan sekumpulan zat yang diperoleh ayam dari makanan yang dikonsumsi. Meskipun terdapat banyak unsur terkandung dalam makanan, hanya unsur zat yang bermanfaat bagi fungsi dan perkembangan tubuh yang dapat disebut sebagai zat nutrisi. Disebabkan peran pentingnya, kekurangan nutrisi dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan hingga berbagai gangguan fungsi pada tubuh. Bahkan, tidak terpenuhinya nutrisi penting dalam jangka waktu lama bisa menyebabkan kematian.

Pemberian pakan yang tidak mencukupi jumlahnya menjadi salah satu penyebab berkurangnya jumlah nutrisi yang dapat dimanfaatkan tubuh ternak. Untuk mengatasi hal tersebut, peternak dapat menambah jumlah pakan yang diberikan. Namun, selain kurangnya jumlah pakan, penyebab tidak optimalnya pertumbuhan ayam disebabkan jumlah nutrisi yang terkandung dalam pakan itu sendiri yang kurang mencukupi.

Selain jumlah pakan dan zat nutrisi yang tekandung di dalamnya, keberadaan zat antinutrisi dalam bahan pakan juga menjadi faktor yang perlu diperhitungkan sebagai penyebab buruknya performa pakan ternak. Singkatnya, zat antinutrisi merupakan kebalikan dari zat nutrisi yang menjadi bahan bakar metabolisme tubuh dan mendorong pertumbuhan.

Mengetahui peranan nutrisi dan kebutuhannya pada tubuh ayam dapat membantu peternak mengambil tindakan tepat untuk mengantisipasi hingga mengatasi keberadaan zat antinutrisi yang merugikan.

Kebutuhan Nutrisi Ayam
Di antara berbagai macam zat nutrisi, terdapat beberapa nutrisi yang dipandang sebagai kebutuhan mendasar bagi tubuh ayam sehingga sering dijadikan patokan dalam menentukan kualitas pakan. Pertama, zat yang umum disebut sebagai makronutrien, yaitu protein, karbohidrat dan lemak. Kedua, zat nutrisi mikronutrien seperti vitamin dan mineral, di antaranya kalsium, zat besi, fosfor dan mikronutrien lainnya yang penting untuk pemeliharaan fungsi organ dan perkembangan tubuh ayam.

Perbedaan utama antara... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Mei 2023. (MFR/RA)

VIRUS AI DAN RISIKO INFEKSI PADA MANUSIA

Ancaman virus AI sangat nyata. (Foto: Shutterstock)

Ancaman infeksi Avian Influenza (AI) atau flu burung pada peternakan ayam adalah nyata. Risiko infeksi pada manusia pun tetap terbuka meskipun belum ada infeksi penularan antar manusia. Pengendalian AI harus dilakukan oleh semua pemangku kepentingan di Indonesia dengan mengedepankan keselamatan, kesehatan dan jiwa manusia.

Klasifikasi Virus AI
“Kita tahu bahwa AI termasuk virus influenza. Mempunyai empat tipe, termasuk orthomyxoviridae artinya mengeluarkan ingus dari saluran pernapasan. Jadi kalau itu dihitung kira-kira ada sekitar 150 subtipe influenza yang beredar di dunia,” kata Guru Besar FKH Universitas Airlangga dan pendiri Profesor Nidom Foundation, Prof Chairul Anwar Nidom.

Dari perkembangan-perkembangan yang ada, virus AI mempunyai clade (varian). Clade 2.1 adalah yang pertama kali menginfeksi di Indonesia sekitar 2003-2004. Setelah itu muncul clade 2.3 yang menginfeksi bebek, subclade-nya adalah 2.3.2.1.

“Jadi penamaan-penamaan ini disebabkan karena kesepakatan, clade kalau di COVID itu varian. Kemudian varian-varian itu ada turunannya lagi tatkala dia mengalami perubahan struktur di dalam tubuhnya,” jelasnya.

Pada kesempatan lain, Nidom juga menjelaskan bahwa virus AI adalah virus RNA. Namun berbeda dengan virus RNA yang lain, virus AI terdiri dari delapan fragmen. Karena struktur seperti itulah maka secara alamiah AI bisa mengalami perubahan atau mutasi.

Mutasinya ada dua macam, yaitu mutasi titik (drift) yang terjadi di dalam fragmen itu sendiri yang disebut dengan antigenik. Lalu mutasi fragmen (shift) dimana terjadi pertukaran fragmen dengan virus lain yang kebetulan ada di dalam lingkungan yang sama sehingga membentuk subtipe baru.

Tipe Virus Influenza
Ada empat tipe virus influenza, yaitu tipe A, B, C, D, dimana tipe… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2023. (NDV)

FAKTOR INFEKSI AI BERULANG PADA UNGGAS

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab berulangnya infeksi AI pada unggas. (Foto: Shutterstock)

Setidaknya ada empat yang menjadi faktor berulangnya infeksi Avian Influenza (AI) pada unggas. Yaitu dinamika virus AI itu sendiri, genetik ayam, lingkungan dan manajemen.

Dinamika Virus AI
“Kita mulai dari faktor dinamika virus, bahwa virus ini tadi mudah mutasi. Tetapi masalahnya adalah di lapangan itu ada high pathogenic avian influenza (HPAI) dan low pathogenic avian influenza (LPAI),” jelas Guru Besar FKH Universitas Airlangga dan pendiri Profesor Nidom Foundation, Prof Chairul Anwar Nidom, pada webinar mengenai AI beberapa waktu lalu.

HPAI memiliki gejala dan tingkat kematian yang jelas, sedangkan LPAI tidak terlihat gejala klinisnya sehingga bisa terkecoh antara LPAI dengan HPAI. Reseptor LPAI pada ayam hanya pada daerah trakea bawah, saluran pencernaan dan indung telur. Sementara reseptor HPAI sampai pada otak dan semua organ akan diserang.

Ketika ada unggas bersamaan terinfeksi LPAI dan HPAI bisa saja gejala klinisnya tidak terlihat. LPAI bisa meningkatkan infeksi H5N1, terkadang di laboratorium H5N1 tidak terdeteksi. Infeksi campuran antara LPAI, HPAI dan infeksi lain memungkinkan gejala klinis dan laboratoriumnya bisa keliru.

“Kemudian kalau LPAI bersama-sama dengan IB, virus IB meningkatkan gejala klinis H9. IB tidak terlihat tetapi H9 yang akan terlihat ayamnya mengalami depresi, bulu kusut, konjungtivitis dan lain-lain,” jelas Nidom.

Jika ayam terinfeksi LPAI dan ND, maka... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2023. (NDV)

TINGKATKAN LABA, PANGKAS RANTAI PEMASARAN DAN BANGUN RPHU MANDIRI

Semakin panjang rantai distribusi atau pemasaran, semakin besar disparitas harga di tingkat peternak dengan harga di konsumen. (Foto: Dok. Infovet)

Lima tahun mengalami kerugian, para peternak mandiri dan peternak rakyat yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Perunggasan Indonesia menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (13/3).

Demikian dilansir dari nasional.kontan.co.id. Lebih lanjut disebutkan bahwa Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Jawa Tengah, Parjuni, menuturkan selama lima tahun ini, perlindungan pemerintah terhadap peternak UMKN tidak ada.

“Sudah lima tahun dari 2017 sampai hari ini. Peternak kecil makin hari makin habis. Ini adalah sisa kekuatan. Kami mengadu di Komnas HAM. Semoga Komnas HAM bisa memberi jalan keluar agar kami bisa bertahan hidup di negeri sendiri. Jangan sampai jadi kacung di negeri sendiri,” kata Parjuni dalam Aksi Damai Peternak Rakyat di Komnas HAM tersebut.

Salah satu langkah mendongkrak harga di tingkat peternak dikeluarkan Peraturan Badan Pangan Nasional No. 5/2022 pada 5 Oktober 2022. Dalam peraturan tersebut tercantum harga acuan daging ayam ras untuk konsumen sebesar Rp 36.750/kg karkas. Sementara harga acuan ayam hidup (live bird) di tingkat peternak untuk batas atas Rp 24.000/kg dan batas bawah Rp22.000/kg. Demikian informasi dari cnbcindonesia.com, Senin (13/3).

Namun, harga ayam ras pedaging per 13 Maret 2023, masih di bawah harga acuan batas bawah, yaitu Rp 20.470/kg. Hal ini menunjukkan bahwa peternak tidak memiliki posisi kuat dalam penetapan harga. Meskipun berada dalam posisi kurang diuntungkan, tak ada pilihan lain bagi peternak kecuali harus menjual ayamnya. Bahkan dalam beberapa kasus, ayam tetap harus dijual meskipun di bawah harga pokok produksi (HPP) alias jual rugi.

Oleh karena bersifat livestock, menahan ayam bukan menjadi sebuah solusi. Semakin lama dipelihara, biaya operasional pemeliharaan akan bertambah, misalnya dari penambahan biaya pakan dan perawatan.

Memahami Sistem Agribisnis Ayam Pedaging
Berbicara soal keuntungan usaha dalam sistem agribisnis ayam pedaging memang tidak bisa berdiri sendiri. Hal ini disebabkan sistem agribisnis perunggasan terdiri dari beberapa subsistem yang saling terkait. Dalam prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UGM, 2016 silam, dengan judul Analisis Rantai Pasok dan Distribusi Ayam Pedaging, Ratna Purwaningsih dkk. mengutip pendapat Saragih dan Tanjung yang mengatakan bahwa sistem agribisnis peternakan dapat dipetakan menjadi beberapa subsistem. Selain itu, terdapat pula beberapa kelompok mata rantai pasok di dalamnya.

Setidaknya, terdapat lima subsistem dalam sistem agribisnis ayam pedaging, yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem budi daya, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran dan subsistem jasa penunjang.

Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm) adalah bisnis pendukung usaha budi daya yang menjadi input untuk usaha produksi peternakan. Beberapa pelaku usaha dalam subsistem yaitu perusahaan penyuplai bibit (DOC), penyuplai pakan ternak, penyuplai vaksin dan obat, serta penyuplai peralatan peternakan.

Pada subsistem peternakan (on farm), terdapat tiga pelaku usaha produksi. Ketiganya yaitu perusahaan peternakan besar (company farm), peternak kemitraan atau plasma dan peternak mandiri.

Adapun yang termasuk dalam subsistem pengolahan dalam rantai pasok ayam pedaging adalah rumah pemotongan hewan unggas (RPHU). Sementara subsistem pemasaran mencakup kegiatan distribusi oleh pengepul dan penjualan pada rumah makan, pedagang pengecer dan supermarket. Pada subsistem pemasaran inilah harga ayam pada tingkat konsumen terbentuk.

Subsistem jasa penunjang sendiri terdiri dari beragam fungsi seperti fungsi regulasi oleh dinas terkait, fungsi penelitian oleh Litbang Pertanian dan Perguruan Tinggi, fungsi penyuluhan oleh penyuluh dinas maupun swasta, fungsi informasi oleh media dan komunikasi personal, fungsi pengadaan modal usaha, fungsi pasar dan beragam fungsi lainnya.

Semakin Panjang Rantai Pemasaran, Semakin Besar Disparitas Harga
Menurut Ratna Purwaningsih, pedagang perantara dalam pemasaran ayam antara lain adalah broker, bakul dan lapak. Broker merupakan bakul besar dengan omset tertentu yang mendistribusikan penjualannya pada bakul lain berdasarkan delivery order. Dengan kata lain, broker tidak menjual ayamnya dengan menggunakan transportasi sendiri. Broker menyediakan modal besar untuk membeli ayam dari peternak. Modal tersebut akan kembali setelah bakul melakukan pembayaran order pada broker dari hasil penjualan ayamnya pada lapak.

Adapun bakul adalah pedagang perantara yang mengunakan modal transportasi sendiri untuk mengambil ayam hidup dari peternak (dari kandang atau farm) atau dari broker dalam jumlah yang besar. Sementara lapak adalah pedagang akhir di pasar yang menjual ayam pedaging dalam bentuk karkas pada konsumen. Karkas merupakan bagian bagian daging ayam beserta tulangnya, tanpa darah, bulu, kepala, kaki dan organ dalam.

Berdasarkan observasi yang dilakukan Ratna, ada tiga skema pemasaran daging ayam. Namun, skema yang akan dibahas dalam artikel ini adalah skema yang pertama, terdiri dari lima pelaku usaha, yaitu peternak, broker, bakul, lapak (pemotong) dan konsumen. Pada skema ini, peternak menjual ayam hidup pada broker. Kemudian, broker mendistribusikan ayam hidup pada bakul. Selanjutnya, bakul akan menjual kembali ayam hidupnya ke lapak. Di lapak atau pedagang akhir di pasar, ayam akan melewati proses pemotongan dan pembersihan dari darah, bulu, kepala, kaki dan organ dalam. Hasil akhir berupa karkas dijual pada konsumen akhir.

Adapun pembentukan harga yang terjadi yaitu ayam dengan bobot hidup 1,9 kg di tingkat peternak dibeli broker dengan harga Rp 15.000/kg. Selanjutnya, broker menjual ayam tersebut kepada bakul dengan mengambil laba sebesar Rp 200/kg. Dengan begitu, bakul mendapat harga Rp 15.200/kg dari broker. Kemudian bakul menjual ayam ke lapak pemotong dengan harga Rp 16.600/kg. Terdapat selisih harga sebesar Rp 1.400/kg, dengan rincian Rp 300/kg untuk biaya kendaraan dan Rp 1.100/kg untuk laba bakul.

Di lapak pemotongan, ayam dijual kembali dalam bentuk karkas dengan harga Rp 30.000/kg. Rincian penentuan harga tersebut sebagai berikut. Pertama, penentuan harga karkas. Dengan asumsi karkas 72%, harga karkas diperoleh dari membagi harga pembelian ayam dengan persentase karkas, yaitu Rp 16.600 : 0,72. Dengan begitu, diperoleh harga karkas Rp 23.000/kg. Selanjutnya, penentuan harga akhir karkas dengan menambahkan ongkos potong sebesar Rp 1.000/kg, biaya operasional Rp 5.000/kg dan laba untuk lapak pemotongan sebesar Rp 2.000/kg. Jadi, total harga karkas ayam yang dilepas ke pembeli selanjutnya adalah Rp 30.000/kg.

Bisa dibayangkan, bagaimana jika rantai pemasarannya lebih panjang lagi? Tentu saja, harga ke konsumen akan menjadi lebih mahal. Lantas, bagaimana jika harga konsumen dibatasi dengan harga batas atas atau tertinggi? Jawabannya sangat mudah. Jika selisih harga tidak bisa menekan ke atas, ia akan menekan ke bawah. Artinya, harga di tingkat peternak akan mendapat tekanan sampai tingkat paling rendah yang bisa diperoleh pedagang.

Pangkas Rantai Pemasaran, Perbanyak RPHU
Melihat subsistem budi daya yang berada diantara input produksi dan pemasaran memang serba sulit. Di satu sisi, peternak dihadapkan dengan biaya input produksi yang bisa naik setiap saat. Sementara di sisi lain, peternak menghadapi fluktuasi harga yang terkadang membawa untung dan terkadang membuat buntung. Namun, bukan berarti masalah yang ada tanpa solusi.

Dalam presentasinya berjudul Kinerja Bisnis Pembibitan Unggas 2022 dan Prospek Bisnis 2023 di Jawa Timur, Surabaya, Rabu (14/12), Ketua Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU), Achmad Dawami, mengatakan bahwa solusi mengatasi persoalan harga yaitu memperpendek rantai distribusi.

Pola utama distribusi ayam ras pedaging di Jawa Timur, yaitu dari produsen ke distributor, kemudian dari distributor ke pedagang eceran dan berakhir di konsumen. Dari produsen dan distributor, ayam masih dalam keadaan hidup (live bird). Sementara pemotongan dilakukan oleh pedagang eceran dan sampai ke konsumen dalam bentuk karkas.

Terdapat juga pola lain yang lebih panjang. Pada pola ini, produsen menjual ayam hidup kepada distributor, lalu distributor ke subdistributor. Kemudian dari subdistributor ke agen, dari agen ke pedagang eceran dan berakhir di konsumen. “Harus sedekat mungkin. Kalau yang paling ideal itu dari farm menuju RPA (rumah pemotongan ayam), lalu ke konsumen,” kata Dawami.

Semakin panjang rantai distribusi atau pemasaran, semakin besar disparitas atau kesenjangan antara harga di tingkat peternak dengan harga di tingkat konsumen. Dengan memperpendek rantai pemasaran, harga di tingkat peternak pun bisa diharapkan lebih menguntungkan.

Jika kondisi ideal dapat dicapai, ada selisih harga yang bisa dinikmati para peternak. Jika awalnya harga ditingkat peternak Rp 15.000/kg, peternak bisa mendapatkan harga Rp 16.600/kg dengan laba Rp 1.100/kg. Lantas, bagaimana jika peternak membangun sendiri usaha RPHU untuk peternakannya? Ada tambahan laba lagi sebesar Rp 2.000/kg.

No Pain, No Gain
Untuk mendapatkan tambahan laba atau keuntungan tentu membutuhkan usaha yang lebih dibanding pasrah pada nasib. Artinya, peternak perlu menyadari kondisi saat ini dan segera beradaptasi dengan kompetisi yang terjadi.

Memperpendek rantai pemasaran bisa mendatangkan laba tambahan bagi peternak. Namun, keterbatasan unit RPHU dapat menjadi kendala. Kecepatan potong RPHU tentu akan berpengaruh pada jadwal panen.

Dalam presentasinya, Achmad Dawami menampilkan data hasil survei yang menunjukkan bahwa secara nasional terdapat RPHU sebanyak 316 unit. Jumlah RPHU yang beroperasi sebanyak 268 unit dan unit yang memiliki NKV sebanyak 139 unit. Berdasarkan data dari 19 RPHU, yang terdiri dari 12 perusahaan pembibit dan tujuh perusahaan lainnya diperoleh informasi kapasitas potong sebanyak 183.188 ekor/jam. Sementara kapasitas cold storage sebanyak 42.352 ton.

Untuk mengatasi kendala keterbatasan RPHU yang ada, peternak dapat mengadakan RPHU sendiri untuk usaha peternakannya. Di setiap skala usaha peternakan, tempat pemotongan ayam memungkinkan untuk dibuat. Tentu saja, dengan skala teknologi yang sesuai dengan kapasitas produksi ayam. Untuk peternakan kecil skala UKM, pemotongan dapat dilakukan manual dengan tenaga manusia. Namun, semakin besar kapasitas produksi, semakin besar pula kebutuhan alat dan teknologi yang dibutuhkan.

Apakah dengan menambah RPHU sudah cukup? Ternyata tidak. Dibutuhkan usaha lain, yaitu kegiatan pemasaran. Wajar, karena untuk mendapatkan laba lebih, peternak harus mengambil alih pekerjaan dari bakul dan lapak pemotongan.

Membangun pasar konsumen yang selama ini dilakukan lapak pemotongan atau RPHU lain, kini harus diambil alih. Peternak perlu menambah modal untuk pengadaan alat dan SDM, sekaligus menambah wawasan tentang kualitas karkas ayam yang dihasikan terkait dengan ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal).

Di samping itu, peternak juga perlu memahami model pemasaran konvensional dan digital. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan daya serap pasar. Semakin pendek rantai pemasaran dan distribusi, semakin besar potensi laba yang bisa diperoleh.

Every problem has a solution. You just have to be creative enough to find it,” papar Dawami menyitir perkataan dari Travis Kalanick. Setiap masalah memiliki solusi, hanya perlu cukup kreatif untuk menemukannya. Di akhir presentasinya, Dawami juga menyitir sebuah ayat dalam Al Quran, yaitu Surat Al Insyirah 5 dan 6, yang berbunyi, “Karena sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (RA)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer