Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Kenali Penyebab Terjadinya Pinguin Disease


Pinguin disease yang diakibatkan secara klinis menyebabkan performance atau tingkah laku, bahkan juga bentuk ayam menjadi mirip seperti pinguin. Penyebabnya adalah virus yang berasal dari grup corona virus, secara spesifik adalah avian corona virus. Di Indonesia corona virus ada bermacam-macam, namun adanya pinguin disease ini dari beberapa studi diakibatkan oleh beberapa strain tertentu yang secara spesifik di Indonesia belum diketahui berasal dari strain yang mana.

Dari hasil wawancara bersama dosen Universitas Gadjah Mada, Dr Drh Michael Hariyadi Wibowo, MP penyakit pinguin disease ini terbilang sangat merugikan bagi peternak khususnya peternak ayam layer atau pembibitan (breeding). Dari beberapa informasi yang diterima, penyakit ini dapat menyebabkan turunnya produksi telur dari 40-90%. IB atau Infectiuos Bronchitis (nama penyakitnya) yang kemudian menimbulkan efek pinguin (pinguin disease), pada umumnya masyarakat mengenal ini diakibatkan oleh QX (Quan Dao) strain, namun strain dari jenis 793 B juga dapat menimbulkan hal yang sama, di mana di Indonesia kasus tersebut belum dapat dideteksi secara spesifik. Tidak hanya itu, dari beberapa literatur strain IB dari Massachusetts juga dapat menyebabkan terjadinya pinguin disease.

Dr Drh Michael Hariyadi
Dijelaskan oleh Dr Hariyadi, IB yang sejatinya adalah penyakit pernafasan pada ayam menjadi momok yang sangat merugikan peternak. Hal ini tentu saja akibat dari manivestasi penyakit ini pada sistem respirasi, di mana ditujukkan dengan gejala adanya gangguan pernafasan seperti ngorok dan gangguan pernafasan lainnya, kemudian gejala lainnya adalah manivestasi di saluran reproduksi yang mengakibatkan kerusakan pada saluran reproduksi sehubungan dengan kualitas telur dan produksi telur yang mengalami penurunan tajam. Lebih lanjut, kerusakan yang dibawa oleh varian virus IB mengakibatkan adanya indikasi pinguin disease akibat kerusakan dari cystovary, kemudian manivestasi berikutnya terkait dengan kerusakan ginjal seperti varian Australian T virus dan varian QX misalnya.

“Walaupun yang sekarang ini masyarakat lebih mengenal varian QX, sebenarnya terdapat banyak sekali varian dari IB. Di Indonesia dikenal juga Massachusetts strain atau IB klasik, IB respiratory yang berakibat juga penurunan terhadap kualitas dan produksi yang kemudian berdampak pada pinguin disease. Namun pada saat ini penyebab IB di Indonesia yang mengakibatkan adanya pinguin disease belum dapat diketahui secara spesifik apakah dari QX, grup Massachusetts tertentu, 793B, yang semuanya bisa menyebabkan adanya pinguin disease,” jelas Dr Hariyadi.

Penting untuk diketahui, bahwa tidak semua varian dari virus IB menyebabkan pinguin disease. Adanya fenomena pinguin disease di lapangan juga belum tentu diakibatkan oleh virus dari varian QX (yang dikenal di masyarakat).

Dikemukakan Dr Hariyadi bahwa, fenomena pinguin disease biasanya teramati pada saat fase produksi bahkan pullet yang sebenarnya tidak menutup kemungkinan sudah adanya infeksi yang mengakibatkan kerusakan struktural pada oviduct dari awal mula kehidupan (DOC) yang akhirnya baru teramati pada saat menjelang produksi (pullet) atau pada saat produksi. “Hanya akumulasi dari kerusakan ini yang ditandai dengan adanya cairan di bagian oviduct banyak terlihat pada fase produksi dibandingkan dengan pada saat pullet, tentu saja fenomena ini terjadi dalam waktu yang panjang akibat akumulasi dari kerusakan tersebut dan masuk ke dalam katagori kronis apabila sudah ditemukan adanya gejala pinguin disease,” papar dia.

Ia menambahkan, apabila dalam proses ini murni diakibatkan oleh virus, maka akumulasi cairan yang ada di oviduct akan berwarna jernih dan tidak berbau, atau bahkan ketika dibuat preparat histopatology kerusakan jaringan telihat tidak terlalu signifikan. Lain halnya apabila diikuti dengan infeksi bakteri, cairan akibat adanya infeksi bakteri (yang menyertai infeksi virus) berada dalam area peritoneum atau rongga dalam perut yang mengakibatkan gejala lain seperti asites misalnya.

Dalam pengamatan lesi (keadaan jaringan yang abnormal), lanjutnya, sepintas akibat dari infeksi IB tidak berbeda dengan EDS (Egg Drop Syndrome), di mana kasus IB klasik terlihat telur secara morfologi mempunyai bentuk yang asimetris dan kondisi putih telur yang lebih cair. Ada tidaknya akumulasi cairan di oviduct inilah yang membedakan antara pinguin disease (IB) dan EDS pada layer, karena tanpa mengetahui riwayat dan pengamatan yang lebih detail hal ini akan terlihat sama di lapangan. Apabila diketahui memang adanya kasus pinguin disease, perlu pengamatan lebih lanjut terkait varian apa yang menginfeksi (dengan skala lab dan pengujian molekuler) dan jenis strain apa yang menginfeksi.

Perlu Adanya Karakterisasi
Menurut Dr Hariyadi, ayam yang terinfeksi virus IB pada saluran reproduksi pada umumnya sulit diobati, karena sudah mengalami kerusakan dan akan memicu infeksi lainnya. Untuk itu dilakukan penyeleksian untuk afkir pada ayam yang sudah teridentifikasi adanya gejala mirip pinguin disease, kemudian dilakukan pengobatan normatif pada ayam-ayam lainnya (yang tidak terseleksi) berupa pemberian antibiotik dan multivitamin, tidak lupa pengamanan biosecurity yang baik untuk mencegah adanya penularan terutama adanya kontak langsung maupun melalui media perantara.

Bagian oviduct yang berisi cairan.
Pencegahan terhadap IB sejatinya sudah dilakukan mulai dari DOC baik pemberian vaksin life maupun killed, namun perlu diketahui bahwa varian IB yang dipakai sejauh ini adalah varian Massachusetts strain. Fenomena di mana dalam suatu populasi ternak yang sudah divaksin strain virus tertentu kemudian timbul adanya infeksi virus sejenis (kemungkinan dari strain lain) maka disebut virus varian.

“Misalnya dalam suatu farm telah dilakukan proteksi terhadap virus IB dengan varian Massachusetts, tentu saja proteksi hanya terkait varian Massachusetts dan apabila terjadi kemunculan kasus IB (pinguin disease) yang tidak terproteksi oleh varian Massacusets maka hal ini yang dikenal sebagai virus varian. Terkait virus varian inilah yang kemudian perlu dikarakterisasi,” ucapnya.

Karakterisasi ini menjadi penting terkait proteksi yang akan diberikan dalam pemeliharaan ayam yang berkelanjutan, terutama dalam hal ini terkait pinguin disease, mengingat dalam 10 tahun terkahir tidak hanya dari varian Massachusetts saja, akan tetapi ada jenis lain yang menginfeksi seperti varian QX, 793 B, maupun Australian T virus, sehingga proteksi dikalangan peternak terhadap pinguin disease bisa lebih optimal, mengingat besarnya dampak kerugian ekonomi langsung dari infeksi virus IB yang diderita peternak. (Wisnu Bawono)

Biosekuriti dan Vaksinasi Saja?

Banyak faktor yang memengaruhi performa ayam di lapangan,
tak cukup hanya biosekuriti dan vaksinasi saja.
((Penerapan biosekuriti, vaksinasi, serta tindakan lain dalam mengendalikan penyakit di kandang merupakan aspek penting dalam menunjang performa ternak. Namun begitu, bukan berarti faktor lainnya tidak diperhatikan, semuanya harus berjalan selaras dan seimbang agar performa ternak tetap prima.))

Segala sesuatu memang ada pakemnya, termasuk dalam manajemen pemeliharaan ayam baik pedaging maupun petelur. Dari masa ke masa, pakem-pakem tersebut berubah seiring berkembanganya ilmu pengetahuan dan teknologi. Inti dari aspek pemeliharaan tidak berubah, namun teknisnya bisa saja berubah-ubah sesuai dengan kondisi di lapangan.

Misalnya saja vaksinasi, program vaksinasi merupakan hal yang wajib di dunia peternakan. Berbagai jenis vaksin beredar di pasaran, beragam pula cara dan aplikasi vaksin di kandang. Dengan melakukan vaksinasi, peternak yakin bahwa ternaknya akan sehat walafiat sampai akhir fase produksi.

Begitu juga dengan biosekuriti, hal yang umum dijumpai dalam suatu peternakan yang mengandung makna biosekuriti, misalnya penyemprotan kendaraan dan pembersihan kandang setelah panen. Dari kedua “ritual” tersebut (vaksinasi dan biosekuriti) seringkali peternak merasa yakin bahwa performa akan bagus sampai akhir periode produksi, namun apa iya akan terus begitu?

Mulai dari Hal Kecil
Nyatanya memelihara ayam baik broiler maupun layer tidak semudah itu, banyak sekali aspek-aspek yang wajib diperhatikan oleh peternak, bukan hanya biosekuriti dan vaksinasi. Apalagi kini cara memelihara ayam sudah banyak mengalami perubahan baik dari segi genetis ayam, iklim, penyakit dan lain sebagainya.

Salah satu praktisi perunggasan Indonesia, Prof Charles Rangga Tabbu, mengatakan, bahwa banyak sekali faktor yang mempengaruhi performa ayam di lapangan. Semua faktor tadi tidak boleh diabaikan oleh peternak. “Kita mulai dari yang terkecil, misalnya kualitas DOC saja. Sebenarnya ini juga menentukan, namun seringkali peternak luput. Mereka percaya saja bahwa DOC yang dibeli sudah sesuai dengan SNI,” ujar Charles.

Padahal seringkali Prof Charles menemui keadaan di mana kualitas DOC buruk. “Peternak kadang tidak peduli DOC baik atau buruk kualitasnya, sekarang yang mereka peduli dapat DOC apa tidak, karena sulit sekarang dapat DOC,” kata Charles. Padahal, kualitas DOC juga menentukan performa pada tahap selanjutnya. Ia menyarankan kepada peternak minimal melakukan sampling pada DOC yang akan masuk dan melakukan chick in sesegera mungkin tanpa ditunda-tunda. (CR)


Selengkapnya baca majalah Infovet edisi 285 April 2018.

Tak Cukup Hanya Biosekuritas & Vaksinasi


Oleh:
Tony Unandar (Anggota Dewan Pakar ASOHI)

((Dalam era pasca pakan tanpa AGP (non-Antibiotic Growth Promotor feed), strategi jitu untuk membentuk daya tahan flok ayam (flock immunity) sangatlah penting, baik terhadap tantangan penyakit viral, bakterial dan/atau parasiter.  Walaupun prinsip-prinsip biosekuritas seoptimal mungkin sudah diterapkan (well-implemented) dan program vaksinasi sudah dirancang sebaik mungkin (well-designed), namun ledakan kasus-kasus infeksius lapangan masih saja terus terjadi. Mengapa? Dalam koridor epidemiologis, penulis mencoba menelisik dan memaparkan beberapa sisi kunci yang juga harus dipertimbangkan kolega praktisi lapangan, agar daya tahan flok ayam yang diharapkan memang benar-benar teruji.))

Vaksinasi untuk Populasi
Aplikasi program vaksinasi dalam industri perunggasan modern sebenarnya merupakan tindakan yang bersifat massal. Oleh sebab itu, respon terhadap program vaksinasi yang diberikan juga sangat tergantung pada faktor-faktor yang ada dalam populasi tersebut. Beberapa faktor penting yang sangat menentukan variasi respon imunitas flok, yaitu:
a) Kekebalan pasif dari induk (MDA = Maternal Derived Antibody).
b) Asupan nutrisi (Nutrient Intake).
c) Faktor stress eksternal atau faktor imunosupresi.
d) Kondisi patogen lapangan (Total Inokulum).
e) Teknologi sediaan dan aplikasi vaksin yang digunakan.

Maternal Derived Antibody (MDA)
Pada ayam, MDA dapat ditemukan dalam bentuk antibodi terlarut dari fraksi IgA dan atau IgM dalam albumin telur serta IgY (=IgG) dalam kuning telur (T. Van den Berg, 2014).  Hanya saja, baik dari sisi titer (aspek kuantitas) maupun efektivitasnya (aspek kualitatif) dalam melindungi progeni (anak ayam) di awal kehidupannya terhadap serangan patogen lapangan, justru peranan IgY jauh lebih penting dibandingkan dengan IgA atau IgM.

Dari penelitian imunologi molekuler diketahui bahwa MDA dalam sistem sirkulasi darah embrio dapat dideteksi pertama kali secara signifikan rata-rata pada hari ke-12 masa inkubasi di dalam mesin pengeram (setter) dan mencapai puncaknya pada umur 1-2 hari pasca menetas (post-hatching). Ini berarti, penyerapan sisa kuning telur (egg yolk) pada awal masa brooder menjadi sangat penting, tidak saja asupan nutrisi awal terpenuhi tetapi juga penyerapan MDA akan menjadi optimal.

Ketika menelisik kegagalan pembentukan daya tahan flok di lapangan, maka salah satu hal penting yang juga perlu dicermati, yaitu status keberadaan titer antibodi induk alias MDA (aspek kuantitas) dan keseragaman titer MDA (aspek kualitas) saat memberikan vaksinasi awal pada suatu flok ayam. Ada beberapa argumentasi teknis mengenai hal ini, yaitu: .... (toe)

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi 285 April 2018.

Selain Vaksinasi dan Biosekuriti di Pekan Pertama Paska AGP Free


Tantangan industri perunggasan semakin terasa dalam 1-2 bulan terakhir. Tidak hanya total deplesi (penyusutan) di pekan pertama, namun diikuti oleh tidak optimalnya pertumbuhan ayam pada minggu-minggu berikutnya, seperti mundurnya umur produktif ayam sampai lambatnya pertambahan berat badan harian (ADG/Avereage Daily Gain). Bahkan kian tingginya nilai konversi pakan dibandingkan dengan jumlah daging atau telur yang didapatkan dalam proses pemeliharaan ayam. Bahkan beberapa fakta terakhir dijumpai semakin rentannya kesehatan ayam pada masa-masa pertumbuhan sampai ayam dipanen. Tidak hanya kasus yang disebabkan oleh agen infeksius baik bakterial dan virus, namun juga oleh beberapa kasus penyakit metabolik yang akhir-akhir ini semakin mengemuka.

Padahal semua upaya rasa-rasanya sudah dilakukan sesuai dengan aturan yang ada. Dari persiapan kandang, sanitasi dan disinfeksi pun sudah dilakukan sedemikian rupa untuk meminimalkan total kuman dan keganasannya sebelum memulai siklus pemeliharaan yang baru. Semua langkah dan tindakan yang dilakukan benar-benar sudah sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari SOP (Standard Operating Procedure) yang diberlakukan oleh perusahaan. Dari pengecekan formulir check list yang terlampir pun, tidak ada yang terlewatkan dan semua telah dilakukan dengan baik, tepat waktu dan benar-benar sesuai pelaksanannya. Biosekuriti juga dilakukan secara ketat, tidak hanya mensanitasi dan mendisinfeksi semua sarana dan prasarana kandang, termasuk kandang dan area di dalamnya juga membatasi lalu lalang kendaraan transportas, operator dan sebagainya. Bahkan sudah dilakukan evaluasi dan tindakan yang menyeluruh terhadap pengendalian hewan carrier (kutu, tikus, kucing, musang dan sebagainya).

Lebih jauh dari itu, ayam pun sejak dari hatchery (rumah tetas) sudah dilakukan vaksinasi. Tidak hanya untuk virus ND (New Castle Desease) bahkan sudah lengkap dilakukan vaksinasi terhadap virus IB (Infectiuos Bronchitis) dan IBD (Infectiuos Bursal Desease). Hal tersebut penting dilakukan agar antibodi (zat kebal) yang terbentuk atau dihasilkan mampu melindungi ayam dari serangan virus-virus yang berbahaya tersebut sebelum ayam terpapar oleh virus yang berasal dari lingkungan. 

Pekan Pertama Pondasi Tumbuh-kembang Ayam
Dalam pemeliharaan ayam broiler agar performanya optimal, pekan pertama saat masih dalam pemeliharaan dengan penghangat brooder harus benar-benar prima. Selisih berat timbangan di minggu pertama sebesar 10 gram saja akan berdampak panjang pada saat ayam berumur 35 hari. Ross (2002) dalam penelitiannya mendapati selisih berat timbangan broiler saat usia 35 hari itu bisa berbeda hingga 50-70 gram. Maka ibarat bangunan, pondasi menjadi faktor pertimbangan utama agar bangunan tersebut mampu bertahan dari berbagai goncangan dalam waktu yang lama. Demikian juga karakter broiler modern. Lebih rinci lagi, tatalaksana manajemen brooding menjadi suatu hal yang tidak boleh gagal. Kegagalan pada masa brooding tidak akan terkompensasi pada masa-masa pemeliharaan selanjutnya pada minggu-minggu berikutnya. Sehingga peternak mau tidak mau harus mengevaluasi bahkan sejak persiapan chick in, penerimaan DOC dan bahkan pada saat 24 jam pertama...



Drh Eko Prasetio,
Private Commercial Broiler Farm Consultant


Baca selengkapnya di Majalah Infovet edisi 285 April 2018.

Mendesak, Penerapan Standar Kompetensi SDM Peternakan

Suasana workshop Forum Logistik Peternakan Indonesia di Bogor.
Seorang praktisi di industri peternakan sapi potong yang dibutuhkan, tidak hanya sekadar menguasai keilmuan peternakan, namun juga harus memiliki jiwa kewirausahaan, memiliki ketrampilan dan wawasan seputar regulasi pternakan.

Sekjen Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (PB ISPI), Didiek Purwanto, dalam sebuah workshop yang diselenggarakan oleh Forum Logistik Peternakan Indonesia di Bogor, Jumat, 13 April 2018, mengatakan, kelemahan Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang peternakan Indonesia adalah kurangnya praktek di lapangan dan pengetahuan dasar tentang kehidupan sehari-hari di bidang peternakan. 

Oleh karena itu, seorang SDM peternakan harus memiliki kompetensi di bidangnya, seperti di bidang pembibitan dan pembiakan, penggemukan, pemotongan dan pendistribusian produk daging. Tuntutan kompetensi meliputi antara lain, mengerti dasar pembibitan dan breeding, pemahaman teknologi pembibitan dan pembiakan, serta familiar atau terbiasa dengan tingkah laku ternak sapi. (AS)

Undangan Seminar "Manajemen Pemeliharaan Unggas Zaman Now"


Sebagai bagian dari program kerja Hasil Munas, ASOHI secara konsisten menyelenggarakan seminar nasional yang membahas masalah aktual di bidang kesehatan unggas. Dengan adanya seminar ini, diharapkan kalangan usaha peternakan unggas dapat memahami permasalahan kesehatan unggas yang berkembang. Tahun 2018 menjadi istimewa karena dengan diberlakukannya permentan no 14/2017 yang di dalamnya ada pelarangan AGP, maka mau tidak mau peternak melakukan perubahan cara budidaya unggas.

Untuk itu, ASOHI akan melaksanakan Seminar Nasional Kesehatan Unggas yang mengangkat tema “Manajemen Pemeliharaan Unggas Zaman Now”. Seminar ini akan dilaksanakan pada :

       Hari / tanggal    : Kamis, 03 Mei 2018
       Pukul               : 08.30 – 13.00 WIB
       Bertempat         : Menara 165, Jl. TB. Simatupang, Jakarta Selatan
       Pembicara & Materi              :   


      1.   Drh. Heri Setiawan  (Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia/ADHPI)Tata Kelola Pemeliharaan Unggas Pasca Berlakunya Permentan No. 14/2017
                 
      2.      Dr. 
Drh. Michael Hariyadi (Pakar UGM) : Tantangan Penyakit Bakterial di Era Bebas AGP 
                                 
       Biaya Seminar   : Rp. 600.000,-/orang

Sehubungan dengan penyelenggaraan acara tersebut, kami mengundang Bapak/Ibu/Saudara/i untuk hadir dalam acara tersebut.
Untuk konfirmasi dapat menghubungi kantor ASOHI (021 782 9689, 788 41279), dengan Eka Safitri (0815 7475 6947), Aidah (0818 0659 7525) atau email ke: asohipusat@gmail.com cc ke adhes.gita@gmail.com. Batas akhir konfirmasi hari Senin, 30 April 2018.
Demikian undangan ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya kami ucapkan terima kasih.

Surat resmi dari ASOHI tentang seminar ini bisa didownload di sini:  
https://www.scribd.com/document/376180258/Surat-Undangan-Seminar-Nasional-Kesehatan-Unggas.


ASOHI


Roadshow Seminar PT Biomin Indonesia di Tiga Kota

Dari kiri: Dr Neil Gannon, Dr Hilde Van Meirhaeghe
dan Dr Justin Tan saat sesi tanya-jawab.
PT Biomin Indonesia bekerjasama dengan PT Romindo Primavetcom kembali mengadakan roadshow seminar tentang bagaimana meningkatkan kesehatan saluran pencernaan di era bebas AGP saat ini. Seminar berlangsung selama tiga hari berturut-turut di tiga kota besar, yakni Surabaya, Jakarta dan Medan, mulai 10-12 April 2018.

Menurut Managing Director PT Biomin Indonesia, Yatie Setiarsih, penyelenggaraan seminar ini merupakan yang ketiga kalinya dilaksanakan, dengan mengangkat tema Improving Gut Performance in AGP free Animal Production. “Kali ini kita bahas mengenai bagaimana meningkatkan kesehatan saluran pencernaan, dengan menghadirkan pembicara-pembicara yang handal dibidangnya,” kata Yatie saat menyambut peserta seminar di Jakarta, Rabu (11/4).

Menyambung sambutan Yatie, Kepala Cabang PT Romindo Primavetcom, Indryasnowo Priowasono, turut menyampaikan, topik yang disajikan dalam seminar kali ini sangat menarik. “Kami berharap dari seminar ini peserta mendapat pemahaman yang lebih jelas dengan solusi yang tepat dan lengkap dari Biomin dan Romindo. Karena itu juga yang merupakan komitmen kami untuk mengedepankan complete customer solutions,” ujarnya.

Usai mendengar sambutan, kegiatan yang dimulai sejak pagi ini langsung memasuki pemaparan materi yang dipandu oleh Simon Ginting selaku moderator. Sebagai presentasi pembuka menampilkan Dr Hilde Van Meirhaeghe, Poultry Consultant for Vetwork, Academic Adviser Faculty of Veterinary Medicine, University of Ghent, yang juga President of the Belgian Hatcheries Association, mengenai antimikrobial resisten pada industri unggas dan peran performa kesehatan usus.

Dilanjutkan dengan presentasi dari Dr Justin Tan selaku Regional Sales and Marketing Director, Biomin Asia, soal peran sinbiotik sebagai pemacu kesehatan usus dan penyampaian materi oleh Dr Neil Gannon, Regional Product Manager, Gut Performance, Biomin Asia, tentang solusi dari Biomin untuk produksi unggas yang bebas AGP.

Foto bersama usai acara.
Usai pemaparan ketiga narasumber, seminar setengah hari ini juga diisi dengan sesi tanya jawab antara pembicara dan peserta yang berjalan sangat dinamis. Antusiasme peserta juga terlihat saat mengikuti kegiatan kuis berhadiah yang menjadi penutup rangkaian seminar di Jakarta. (RBS)

Kerugian Ekonomi Akibat Wabah Penyakit Jembrana


Wabah memiliki arti terjadinya suatu penyakit di suatu daerah atau wilayah, terjadi secara cepat dengan angka kematian dan kesakitan cukup tinggi dan menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Penyakit pada ternak terjadi karena infeksi viral, bakterial atau parasit yang bisa menimbulkan wabah, antara lain penyakit Jembrana (sapi bali), Septisemia epizootika, Antrak, Hog cholera, Avian influenza, Newcastle disease dan beberapa penyakit lainya terutama yang bersifat bakterimia, viremia dan septikemia. Dampak kerugian ekonomi yang diakibatkan wabah penyakit tersebut akan terjadi secara langsung ataupun secara tidak angsung.

Wabah penyakit jembrana akhir-akhir ini terjadi di beberapa daerah di Pulau Sumatera, yang merupakan daerah sentra sapi bali dengan pemeliharaan secara ekstensif pada lahan sawit. penyakit jembrana disebabkan oleh retrovirus, dari anggota group lentivirus yang unik dan disebut Jembrana Disease Virus (JDV). Penyakit jembrana adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh, patogenesis penyakit dimulai dari masuknya agen penyakit, masa inkubasi, virus memperbanyak diri dalam sel target, gejala klinis dan mati atau kesembuhan. Masa inkubasi berkisar antara 4-7 hari yang diikuti dengan munculnya demam hingga mencapai 41-42o C yang berlangsung 5-12 hari (rata-rata tujuh hari). Fase demam terjadi penurunan limposit terutama sel limposit B dan trombosit. Menurunya trombosit menimbulkan perdarahan dihampir semua organ tubuh dan kulit yang luka akibat gigitan serangga pengisap darah potensial seperti lalat Tabanus sp. Penurunan sel limposit B (sel dalam sistem kekebalan tubuh), menyebabkan infeksi sekunder bakteria pada organ tubuh yang berhubungan dengan udara luar, seperti paru paru, ginjal dan saluran pencernaan menimbulkan pneumonia, nephritis dan enteritis. Akibat peradangan ginjal, ureum tidak bisa dibuang dalam urine dan kembali masuk dalam peredaran darah. Kadar ureum yang tinggi (uremia) menyebabkan sel epitel menjadi rapuh dan menyebakan erosi pada selaput lidah dan mukosa mulut. Pada umumnya kematian akibat penyakit jembrana disebabkan oleh kadar uremia yang sangat tinggi dalam darah. Perjalanan penyakit secara imunologis menunjukkan bahwa sel limposit B adalah sel target bagi virus jembrana. Menghilangnya sel limposit B selama 2-3 bulan pasca infeksi menyebabkan kegagalan pembentukan antibodi (kekebalan humoral).

Penyakit jembrana bersifat akut dan hewan yang sembuh akan menjadi karier. Pada hewan karier ini, virus jembrana akan menyatu dengan gen target limposit B mungkin selama hidupnya. Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti bagaimana hewan karier ini bisa menjadi sumber penularan penyakit jembrana. Diduga apabila sapi Bali dalam keadaan stress, kemungkinan virus yang ada di dalam limposit akan mempunyai kesempatan untuk memperbanyak diri dan keluar dari limposit B dan menjadi virus ganas yang dapat menularkan penyakit jembrana pada sapi Bali yang peka. Kejadian penyakit jembrana pada suatu wilayah cenderung akan bersifat endemis dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang jauh lebih rendah dibandingkan saat kejadian wabah yang bisa mencapai 100%.

Pada lahan penggembalaan di lahan sawit, sapi bali dari pemilik yang berbeda-beda akan berkumpul pada lokasi yang sama untuk mencari makan. Penularan secara mekanis dapat terjadi melalui insekta penghisap darah, seperti lalat Tabanus rubidus. Di samping penularan secara mekanis, penularan melalui kontak langsung antara penderita dengan hewan sehat. Secara eksperimental, penyakit jembrana dapat ditularkan melalui oral, lubang hidung, konjungtiva mata dan semen. Pada saat demam, titer virus penyakit jembrana dalam darah baik dalam sel maupun plasma darah dapat mencapai 108 partikel virus/ml. Pada kondisi ini, penularan melalui jarum suntik dapat dengan mudah terjadi.

Kerugian Langsung
Wabah yang terjadi di suatu daerah menimbulkan kerugian ekonomi secara langsung yang dihadapi oleh peternak. Kerugian secara langsung yang terlihat meliputi jumlah kematian ternak, angka kesakitan, penanganan kesehatan hewan dan penurunan populasi, sedangkan yang tidak terlihat adalah penurunan reproduksi, terjadi perubahan struktur populasi dan penurunan efisiensi pakan. Jika wabah terjadi pada populasi 5.000 ekor sapi Bali dengan kematian 100%, maka kerugian ekonomi yang terjadi adalah 5.000 ekor x Rp 10 juta (rata rata harga sapi normal tanpa wabah). Total kerugian akibat kematian ternak sebesar Rp 50 milyar. Asumsi lainnya, tingkat kematian 2% yaitu 100 ekor sapi, maka kerugian mencapai Rp 1 milyar.

Peternak memiliki kebiasaan menjual sapi sakit atau dalam masa inkubasi penyakit ke pedagang di daerahnya dengan harga murah (asumsi 50% dari harga normal), sehingga kerugian ekonomi peternak adalah 50% dari harga sapi normal x populasi sapi. Hal ini menimbulkan masalah di tempat lain atau daerah lain, karena jika sapi sakit dipotong di rumah potong hewan di tempat lain, maka virus akan berpotensi menyebar di sekitarnya. Jika sapi dibawa ke pasar hewan, maka resiko penularan penyakit akan terjadi pada sapi yang berada di pasar hewan. Ketika sapi dibawa atau dibeli oleh peternak lain untuk dipelihara di daerah bebas penyakit, maka akan sangat potensial menjadi agen pembawa penyakit pada populasi bebas menjadi populasi terancam. Tingkat kesakitan penyakit berkisar 10% akan berakibat meningkatnya biaya pengobatan ternak berupa pemberian vitamin suportif, antibiotik untuk pencegahan infeksi sekunder dan meningkatnya biaya operasional tenaga teknis kesehatan hewan.

Kerugian Tidak Langsung
Wabah penyakit jembrana terjadi pada daerah yang menjadi sumber ternak sapi Bali, menyebabkan kerugian tidak langsung berupa adanya pendapatan yang hilang karena terjadi penurunan komoditi perdagangan. Seperti contoh kejadian nyata terjadi di kabupaten A di provinsi B, pada saat kondisi normal tanpa wabah, pemenuhan kebutuhan hewani masih bergantung suplai sapi dari provinsi C. Wabah jembrana yang terjadi di kabupaten A menimbulkan kekhawatiran para peternak akan terjadi kematian ternaknya, sehingga peternak berbondong-bondong menjual ternaknya pada jagal. Kondisi tersebut menyebabkan stok sapi yang akan dipotong di rumah potong hewan menjadi menumpuk, akibatnya terjadi kelebihan suplai ternak dan suplai daging bagi kabupaten tersebut. Kerugian yang dialami oleh feedloter dari provinsi C, terjadinya penurunan hingga berhentinya pengiriman sapi siap potong ke RPH di kabupaten A selama beberapa minggu atau bulan selama terjadi wabah. Penundaan waktu dan jumlah pengiriman sapi siap potong menimbulkan kerugian ekonomi akibat menurunya perdagangan dan menurunya perfoma produksi yang dialami oleh feedloter di provinsi C.

Kejadian wabah di daerah sumber ternak sapi Bali secara umum diikuti dengan adanya kebijakan pemerintah daerah untuk melarang lalu-lintas ternak ke luar daerah. Penutupan atau pembatasan ini secara umum akan menimbulkan kerugian para pedagang (blantik) yang biasa beroperasi antar wilayah akibat menurunkan atau berhentinya pengiriman sapi bali dari daerah tersebut. Penurunan pengiriman ternak juga menimbukan kerugian ekonomi bagi pengusaha jasa transportasi ternak.

Pemerintah daerah atau pusat melakukan langkah untuk menghindari penularan penyakit atau menghindari terjadinya penyakit di daerah bebas dengan mengeluarkan anggaran dana untuk biaya pengendaian penyakit. Tim investigasi dari UPT kesehatan hewan akan diturunkan untuk melakukan investigasi penyakit jembrana di kabupaten A. Biaya yang dihabiskan untuk investigasi mencakup uang saku harian tiap anggota tim, biaya akomodasi, transportasi ke daerah wabah, serta alat dan bahan yang dibutuhkan untuk investigasi. Hasil dari investigasi berupa data, pemetaan penyakit, kejadian penyakit, serta sampel yang diambil untuk diagnose dan peneguhan penyakit di laboratorium. Sampel berupa serum darah akan diperiksa menggunakan ELISA dan Western Bot (WB), sedangkan sampel-sampel organ yang mati, pasma dan buffycoat diuji dengan PCR. Pengujian laboratorium tersebut membutuhkan dana yang cukup banyak.

Hasil investigasi dan pengujian laboratorium yang menyebutkan bahwa kematian populasi sapi Bali di kabupaten A disebabkan oleh penyakit jembrana, sehingga rekomendasi oleh laboratorium kesehatan hewan agar dilakukan vaksinasi jembrana di kabupaten tersebut. Biaya yang digunakan untuk operasional vaksinasi meliputi, jumlah dan harga vaksin, biaya transportasi vaksin, operasional untuk petugas vaksinator, alat dan bahan vaksinasi, spuit, sarung tangan dan masker (penutup mulut). Pemberantasan vektor sebagai agen pembawa penyakit dari satu individu sapi ke individu lain dilakukan dengan mengeluarkan dana pembelian insektisida.

Wabah penyakit jembrana menimbulkan kerugian ekonomi cukup besar bagi semua pihak. Deteksi dini penyakit menjadi bagian terpenting untuk mencegah terjadinya wabah penyakit. Vaksinasi menjadi salah satu senjata strategis untuk mencegah timbulnya penyakit. Penutupan dan pembatasan lalu-lintas sapi Bali di daerah wabah ke daerah bebas, serta pengendalian vektor menjadi sangat krusial dalam upaya penyebaran penyakit ke populasi dalam satu daerah ataupun antar daerah. Sinergi antar pemerintah, peternak dan para pedagang sangat berperan penting untuk penanganan penyakit ini.

Drh. Joko Susilo M.Sc
Medik Veteriner Muda,
Balai Veteriner Lampung.

Download Gratis..! Sisipan Infovet Vol.4 : Pendaftaran dan Peredaran Pakan Non AGP


Download Gratis PDF nya pada link berikut:

https://www.scribd.com/document/376061974/Sisipan-Infovet-Vol-4-April-2018

Kebutuhan protein hewani dalam skala global terus meningkat khususnya di negara-negara berkembang seiring dengan meningkatnya pendapatan dan daya beli masyarakat. Bahan pakan yang tersedia dituntut berkualitas dan aman, mengingat sangat berpengaruh terhadap produk ternak dan performanya. Apalagi era perdagangan bebas seperti sekarang ini yang menuntut
produk ternak berstandar SNI (Standard Nasional Indonesia) dan standard internasional (Codex Alimentarius Commision).

Kendati begitu, belum semua pakan yang diproduksi telah sesuai standard mutu dan keamanan pakannya (SNI dan PTM – Persyaratan Teknis Minimal). Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dalam breeding dan genetik unggas telah menghasilkan produksi ternak yang cepat dan efisien. Dalam mengantisipasi hal tersebut beberapa produsen pakan menambahkan antibiotik imbuhan pakan atau pelengkap pakan. Namun, untuk menghasilkan pakan yang bermutu dan aman, penggunaan antibiotik imbuhan maupun pelengkap pakan harus sesuai dengan kaidah peraturan yang berlaku dan bertanggung jawab.

Memasuki tahun 2018 ini, Indonesia sudah benar-benar melarang penggunaan antibiotik imbuhan pakan (Antibiotic Growth Promotor/AGP) yang tertuang dalam Permentan No. 14/Permentan/PK.350/5/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Pemakaian AGP dalam pakan yang dinilai sering tidak bertanggung jawab dan tidak sesuai kaidah peraturan yang berlaku dikhawatirkan menjadi berbahaya pada ternak yang produknya untuk dikonsumsi manusia.

Langkah pemerintah selanjutnya mengatur kembali aturan soal pakan yang berlaku. Sebenarnya aturan mengenai pakan sudah diatur, salah satunya dalam Permentan No. 19/Permentan/OT.140/4/2009 tentang Syarat dan Tata Cara Pedaftaran Pakan, kemudian diubah menjadi Permentan No. 22/Permentan/PK.110/6/2017 tentang Pendaftaran dan Peredaran Pakan. Dalam permentan tersebut, diatur mengenai ruang lingkup yang terdiri dari pendaftaran pakan, pengujian mutu dan keamanan pakan, peredaran pakan, pembinaan dan pengawasan, serta ketentuan sanksi.

Dengan terbitnya Sisipan Infovet Vol. 4 tahun 2018, diharapkan dapat menjembatani secara aktif sosialisasi mengenai permentan tersebut kepada seluruh stakeholder peternakan di Indonesia. Pembaca akan disuguhi uraian singkat mengenai bagaimana Pendaftaran dan Peredaran Pakan, serta lampiran utuh mengenai Permentan No. 22/2017.

Download Gratis PDF nya pada link berikut:

https://www.scribd.com/document/376061974/Sisipan-Infovet-Vol-4-April-2018

Fiber Cracking Technology: Solusi Tingkatkan Kualitas PDS untuk Pakan Ternak

Pelepah Daun Sawit yang bisa dimanfaatkan lebih baik menggunakan mesin FCT.
Indonesia harusnya bisa lebih kaya dan makmur jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya di dunia. Betapa tidak, kekayaan alam yang melimpah-ruah ditambah lagi dengan bentangan perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet dan beragam macam produk alam yang didapat dari perut bumi. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa jika berbicara soal kekayaan Indonesia maka bisa diurai sumbernya, perut bumi menghasilkan beraneka ragam produk tambang, seperti minyak bumi, emas, perak, perunggu dan lainnya. Lalu dari permukaan bumi yang ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan yang dapat dimanfaatkan dan dari angkasa raya dengan sinar mataharinya yang disebut sebagai sumber energi dapat mengalahkan sumber energi yang ada saat ini. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah apakah semua aset yang dimiliki tersebut telah dinikmati oleh hampir 250 juta jiwa penghuni bumi pertiwi ini?

Kelapa sawit (Elaeis) merupakan satu dari sekian banyak aset yang dimiliki Indonesia. Tumbuhan industri ini penting keberadaannya karena sebagai penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar atau biodiesel. Perkebunan kelapa sawit menghasilkan keuntungan besar, baik yang dikelola oleh Pemerintah melalui PTPN, swasta maupun individual, sehingga banyak hutan dan perkebunan lama yang dikonversikan menjadi perkebunan kelapa sawit.

Perkebunan kelapa sawit Indonesia terbentang luas di sepanjang Pulau Sumatera. Populasi pohon kelapa sawit terbanyak ditemui di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam, Sumatera Utara, Riau dan Jambi. Perkebunan kelapa sawit juga menyebar ke beberapa daerah di luar Pulau Sumatera, seperti Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Produk utama dari kelapa sawit adalah minyak dan sederetan produk turunannya.

Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang peternakan, bagian dari kelapa sawit, yakni Pelepah Daun Sawit (PDS) banyak dilirik untuk dijadikan sebagai bahan pakan ternak ruminansia. Pemanfaatan PDS sebagai bahan pakan ternak ruminansia memiliki alasan yang kuat, yakni PDS masih digolongkan ke dalam kelompok hijauan berserat. Namun, sejauh ini penggunaannya masih terkendala dengan adanya ikatan karbohidrat kompleks berupa lignoselulose dan lignohemiselulose, sehingga pemanfaatannya sebagai sumber energi masih belum maksimal. Hal tersebut seperti disampaikan Rakhmad Perkasa Harahap, salah satu peserta Seminar Internasional The 8th Annual Basic Science yang diselenggarakan oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Brawijaya, di Ijen Suites Resort & Convention Malang, Jawa Timur, 6-7 Maret 2018.

Rakhmad Perkasa Harahap bersama mesin FCT.
“Pelepah Daun Sawit sejatinya telah dimanfaatkan sebagai pakan sapi dan ternak ruminansia lainnya, baik yang diolah terlebih dahulu maupun diberikan langsung setelah dicacah atau dipotong-potong agar mudah dikonsumsi oleh ternak,” ujar Rakhmad kepada awak Infovet.

Menurut mahasiswa semester akhir Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan ini, pemberian PDS pada ternak ruminansia sebaiknya dilakukan setelah melalui proses, misalnya amoniasi. Namun sejauh ini banyak peternak yang mengeluhkan dalam proses pembuatan amoniasi tersebut, terutama terkait waktu pembuatan dari awal hingga panen. “Selain amoniasi, penambahan enzim selulase, pengolahan dalam bentuk silase dan penggunaan white root fungi dapat dilakukan, namun proses pengolahan tersebut membutuhkan waktu lama, yakni sekitar 30 hari,” ucapnya. Ia pun menawarkan solusinya dengan penggunaan Fiber Cracking Technology (FCT).

FCT merupakan mesin pengolahan pakan yang berfungsi memecah ikatan karbohidrat kompleks, yaitu lignoselulose dan lignohemiselulose, sehingga selulose dan hemiselulose dapat digunakan sebagai sumber energi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak ruminansia. FCT pertama kalinya diperkenalkan oleh Dr Anuraga Jayanegara, Dosen Fakultas Peternakan IPB. Alat ini ditujukan untuk mengolah bahan pakan berserat tinggi sehingga edible untuk ternak ruminansia. “PDS dapat digunakan sebagai bahan pakan yang berpotensi secara kuantitas, namun persentase penggunaannya masih rendah, yakni sekitar 30% di dalam formulasi pakan ternak ruminansia, sehingga dibutuhkan proses pengolahan untuk meningkatkan utilitas PDS tersebut,” kata Rakhmad.

Penggunaan FCT untuk mengolah PDS menjadi bahan pakan yang disukai dan berkualitas tinggi dapat disukai oleh peternak. Hal ini dikarenakan durasi pengolahannya jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan jenis pengolahan lainnya. Hanya membutuhkan 2,5-3 jam, PDS sudah dapat disajikan pada sapi atau ternak ruminansia lainnya.

Mekanisme kerjanya pun sangat sederhana, Rakhmad menjelaskan, sama halnya dalam proses amoniasi, proses pemanfaatan urea untuk memecah fraksi serat. Prinsip kerja FCT itu sendiri adalah memanfaatkan suhu dan tekanan tinggi. PDS ditambah dengan larutan urea 3% BK dimasukkan ke dalam FCT, lalu suhu diatur sampai dengan 135°C dengan tekanan 2,5 atm selama 2,5-3 jam, suhu dan tekanan tinggi tersebut dapat merusak jaringan sel tanaman tempat ikatan lignohemiselulose dan lignoselulose, kemudian larutan urea kimia berperan dalam memecah ikatan tersebut.

Dari hasil penelitian FCT yang dipaparkannya di Seminar Internasional The 8th Annual Basic Science, terlihat bahwa kandungan lignin mengalami penurunan yang berdampak pada penurunan serat kasar, sehingga penggunaan PDS dalam formulasi pakan ternak ruminansia dapat mencapai 60% lebih tinggi dari model pengolahan lainnya. Rakhmad pun merekomendasikan penggunaan PDS hasil FCT 60% ditambah konsentrat mix 20% dan Indigofera sp. 20%, karena menggambarkan hasil yang terbaik dalam meningkatkan produktivitas ternak. (Sadarman)

Kenali dan Hindari Cacing Lambung Haemonchus Contortus

Domba yang digembalakan lebih mudah terkena cacing H. contortus.
Performa produksi domba dan kambing salah satunya ditentukan oleh kuantitas dan kualitas ransum pakan yang diberikan. Rumput sebagai salah satu sumber serat yang dibutuhkan ternak ruminansia berlambung jamak seperti domba dan kambing, ternyata juga turut andil menyumbang larva stadium tiga (L3s) cacing Haemonchus contortus, yang ikut terkonsumsi ketika rumput di makan. Larva L3s ini hidup nyaman dan berkembang biak di dalam lambung keempat domba dan kambing (abomasum). Ya, spesifik dan hanya ditemukan di abomasum, lambung yang memiliki pH asam ini. Si cacing betina bertelur, lalu telur di keluarkan melalui feses. Feses di suhu lingkungan yang sedikit hangat, menjadi media menetasnya telur-telur cacing H. contortus menjadi larva stadium satu dan dua, sebelum berkembang menjadi larva L3s yang hidup bertahan di pangkal rerumputan, yang dekat dengan tanah. Larva L3s ini akan masuk ke dalam lambung ternak lagi ketika rumput sebagai habitatnya di makan oleh ternak. Demikian seterusnya.

Infestasi dan Eksistensinya di Lambung
Siklus hidup cacing H. contortus yang demikian sederhananya menjadikan prevalensi ditemukannya cacing ini di lambung domba dan kambing sangat tinggi, terutama pada kondisi domba dan kambing yang digembalakan. Sebenarnya, kemampuan hidup larva L3s di rerumputan tidaklah sekuat yang dibayangkan. Larva ini rentan mati akibat perubahan suhu lingkungan ataupun adanya agen pemusnah seperti pestisida yang digunakan di persawahan. Namun, kurangnya ketersediaan lahan untuk rotasi padang gembala menjadi salah satu sebab, mengapa siklus cacing penyebab anemia ini tidak terputus.

Cacing H. contortus merupakan parasit nematoda yang biasa disebut cacing lambung (stomach worm), atau barber pole worm. Disebut sebagai yang terakhir ini karena khusus pada cacing betina terdapat uterus berwarna putih yang diselingi usus berwarna kemerahan, kemudian berpilin sehingga mirip dengan ikon tempat cukur rambut para pria, sebuah bentuk lampu boks silinder dengan hiasan pilinan dua warna kontras. Namun, hal ini tidak ditemukan pada cacing dewasa jantan, yang hanya mempunyai warna tubuh merah cerah. Panjang cacing dewasa mencapai 10-30 mm, dengan si betina lebih panjang dan besar dibanding cacing jantan. Seekor cacing H. contortus betina mampu bertelur hingga 5.000-10.000 butir/hari, atau diestimasikan setiap 16-17 detik terjadi ovulasi, tergantung dari kematangan reproduksi dan umur cacing tersebut.

Cacing H. contortus yang dikoleksi
dari abomasums domba betina.
Satu ekor domba atau kambing dianggap normal, bila prevalensi ditemukannya telur cacing H. contortus ini di bawah 500 butir/gram feses. Pengamatan dilakukan secara mikroskopis di bawah mikroskop. Ada juga standar yang menyatakan harus di bawah 200 butir/gram feses atau bahkan diharuskan nol atau bersih total. Mereka dengan standar ini lebih mengutamakan pada optimalisasi performa produksi. Biasanya dibarengi dengan pola pemeliharaan intensif dan pemberian anthelmintika (obat cacing). Domba betina dan anak domba yang digembalakan di lahan persawahan biasanya terserang cacing lebih tinggi, hingga di atas 1.000 butir/gram feses. Bahkan pada beberapa kasus yang pernah penulis teliti, ditemukan beberapa ekor domba ekor tipis betina dari kawanan penggembalaan dengan jumlah telur cacing mencapai lebih dari 5.000 butir/gram feses. Meskipun jumlah telur tinggi (lebih dari 2.000 butir/gram feses), tidak serta-merta menunjukkan gejala fisik yang sama antar ternak satu dengan lainnya. Namun secara umum, domba atau kambing yang terinfestasi cacing H. contortus mempunyai penampilan fisik yang cenderung kurus, mata berair, tidak aktif dan bulu kusam hingga mudah rontok. Nafsu makan masih tetap tinggi pada periode awal-awal infestasi, tapi konversi pakan tinggi, sehingga performa produksi daging buruk.

Kerugian yang Diderita
Cacing H. contortus dewasa mengaitkan ujung mulutnya di mukosa dinding abomasum dan menghisap darah ternak inangnya. Setiap hari, satu ekor cacing dewasa mampu menghisap sekitar 0,05 ml darah segar dari abomasum. Bayangkan jika satu ekor ternak terdapat 1.000 ekor cacing dewasa, maka diperkirakan akan kehilangan 50 ml darah setiap harinya. Tentu saja ini menyebabkan anemia dan dikatakan bahwa cacing H. contortus  merupakan penyebab primer anemia pada ternak, diiringi defisiensi kalsium dan fosfat. Dalam kondisi hiperakut, kematian tidak dapat dihindarkan, terlebih pada ternak usia muda dengan daya tahan yang lebih lemah dibanding dewasanya.

Penampakan mikroskopis perbesaran 10x10 telur dan
larva cacing H. contortus dan telur koksidia.
Anemia dan turunannya menjadikan penurunan bobot karkas, konsumsi pakan dan nutrien menjadi tidak optimal, penurunan imunitas ternak, serta meningkatnya resiko kegagalan pertumbuhan fetus, termasuk meningkatnya angka kematian cempe pasca kelahiran. Selain prematur, perkembangan kelenjar susu di ambing induk juga terhambat dan tidak maksimal, sehingga anak yang lahir akan kekurangan asupan susu induknya, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Kerugian ekonomi akibat infestasi cacing H. contortus tidak terelakkan lagi. Ditambah dengan ditemukannya resistensi cacing H. contortus terhadap beberapa obat cacing komersial spektrum luas seperti albendazole dan avermectine, yang menyebabkan semakin kurang efektifnya pengobatan dengan dosis mainstream dan meningkatnya biaya produksi untuk obat (Pathak et al., 2016; Van den Brom et al., 2015).

Cegah dan Atasi dengan Cara Ini
Berbagai cara direkomendasikan oleh para peneliti peternakan, khususnya dalam hal menangani dan mencegah serangan cacing H. contortus. Secara umum, yang dapat dilakukan adalah dengan memotong siklus hidup cacing dan membunuh cacing pada fase tertentu, atau pada seluruh fase kehidupannya (spektrum luas).

Strategi cut and carry pada pakan hijauan, direkomendasikan
untuk memotong siklus hidup cacing H. contortus.
Memotong siklus hidup cacing dapat dilakukan dengan melakukan rotasi padang gembalaan dan memberikan waktu yang cukup agar larva-larva cacing di lokasi pertama mati, tanpa sempat termakan ternak. Cara lain adalah dengan melakukan strategi cut and carry pada pakan hijauan. Frekuensi ternak digembalakan dikurangi, atau bahkan tanpa digembalakan sama sekali. Sehingga tidak ada feses ternak yang tertinggal di lahan hijauan. Rumput lapangan (sawah) ataupun rumput budidaya seperti rumput raja, rumput gajah, tebon jagung, dll. dipotong (cut) di kebun budidaya dan dibawa (carry) ke kandang ternak. Tentunya hal ini perlu pertimbangan biaya tenaga kerja. Namun dengan cara ini, ada sisi positif lain yang diperoleh, yakni feses yang tertampung dapat diolah menjadi pupuk kandang bernilai ekonomi tinggi.

Cara berikutnya adalah dengan membinasakan cacing pada berbagai fase. Pemberian obat cacing komersial spektrum luas seperti albendazole dengan dosis 3-5 mg/kg bobot badan ternak, dirasa sangat efektif menekan jumlah infestasi cacing di saluran cerna, bukan hanya terhadap cacing H. contortus, melainkan terhadap parasit lainnya seperti cacing hati dan koksidia. Pemberian pakan hijauan berbasis leguminosa (kacang-kacangan) dan herbal yang mengandung senyawa metabolit sekunder (tanin, saponin, dll) juga terbukti ampuh menurunkan infestasi cacing, di samping meningkatkan asupan protein ternak dari tanaman legum tersebut.

Terkait dengan protein, pemberian pakan penguat atau konsentrat sumber energi dan protein juga terbukti mampu menurunkan resiko infestasi cacing. Nilai nutrien yang tinggi dari pakan penguat, mampu memberikan asupan nutrisi bagi sel-sel mukosa saluran cerna yang rusak karena infestasi cacing, serta meningkatkan imunitas, sehingga ternak lebih kuat dan mampu mengatasi resiko lanjutan dari infestasi cacing tersebut. Di Benua Biru, yang memiliki lahan gembala yang luas, mereka mencampur rumput di lahan pastura dengan tanaman legum yang kaya protein dan zat aktif antiparasit, sehingga mampu menekan resiko cacingan meski tetap digembalakan. Semua ini sebenarnya merupakan rangkuman dari sistem pemeliharaan semiintensif-intensif. Karena untuk menunjang produktivitas peternakan dewasa ini, pola pemeliharaan juga harus update dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Itu lah tuntutan peternak zaman now.

Awistaros A. Sakti
Peneliti Bidang Pakan dan Nutrisi Ternak
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Peternakan,
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada

Zoetis Gelar Hatchery Seminar 2018

Foto masa kini seluruh peserta Zoetis Hatchery Seminar 2018.
Time to Change: Maximaze Poultry Performance Through Technology and Automation” menjadi tema yang diangkat PT Zoetis Animalhealth Indonesia dalam acara Zoetis Hatchery Seminar 2018, yang terselenggara di Fairmont Hotel Jakarta, Kamis (29/3).

“Seminar kali ini tentunya sangat istimewa untuk bertukar pikiran dan saling berbagi informasi yang dapat membantu kita. Mengacu kepada tema time to change, seperti pepatah populer yang menyabut tiada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri,” kata General Manager PT Zoetis Animalhealth Indonesia, Drh Ulrich Eriki Ginting dalam sambutannya.

Ia menambahkan, beragam perubahan terjadi dalam industri perunggasan di Indonesia yang tentunya membawa hal-hal positif. “Salah satunya teknologi hatchery vaksinasi yang mulai familiar. DI sini akan kita informasikan tren teknologi tersebut. Karena kami percaya dengan teknologi akan mempermudah pekerjaan kita dan berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas, serta daya saing perunggasan Indonesia untuk semakin maju dan kuat,” tambahnya seraya disambut tepuk tangan peserta dan pembicara yang hadir.

Acara yang dimulai pukul 09:00 WIB menghadirkan pembicara pertama selaku Pengamat Ekonomi Agribisnis, Dr Ir Arief Daryanto M.Ec. Ia memaparkan, kans industri perunggasan yang kian tumbuh harus dibarengi dengan kemampuan teknologi yang mumpuni, dengan memperhatikan sumber daya alam.

Sementara, Poultry Consultant, Tony Unandar, menyebut dengan peningkatan teknologi seperti vaksinasi, turut membantu mengantisipasi dampak buruk yang terjadi pada ternak, salah satunya akibat perubahan iklim yang ekstrim. Sehingga diperlukan pemberian vaksinasi sedini mungkin.

Ia menyatakan, pentingnya pemberian vaksinasi saat hatchery untuk meminimalisir tingkat stress yang terjadi. “Kita harus liat juga kondisi lapang, perbaikan genetik ayam membuat metabolismenya menjadi tinggi, dan itu bisa menjadi faktor stress internal apabila pemberian vaksinasi dilakukan di kandang,” kata Tony.

Adapun pembicara lain yang hadir diantaranya, Dr. Tarsicio Villalobos, Director BioDevice Technical Services, Global BioDevice yang membahas mengenai “The Contribution of Inovo Vaccination to Chick Quality” dan “The Succes Factors for Inovo Vaccination and its Advantage over Subcutaneous Injection”, serta Gerry St. Pierre, Regional Commercial Specialist, Global BioDevice soal “Hatchery Automation”. (RBS)

Efek Nigella Sativa Terhadap Respon Kekebalan dan Patogenisitas H9N2



Nigella Sativa
Tanaman Nigella sativa termasuk kerajaan Plantae, clade Angiosperma, subclade Eudicots, ordo Ranunculales, keluarga Ranunculaceae, genus Nigella, spesies N. Sativa, nama binomial Nigella sativa dan sinonimnya Nigella cretica mill.

Dari berbagai artikel ilmiah yang telah diterbitkan tentang manfaat Nigella sativa (NS), diketahui bahwa NS mempunyai kemampuan untuk penyembuhan luar biasa dan mengejutkan dan hampir tidak ada efek samping.

Nigella sativa yang disebut black caraway, juga dikenal sebagai black cumin, nigella dan kalonji (BSBI List, 2007 dan Nigella sativa, 2017) adalah tanaman berbunga tahunan termasuk keluarga Ranunculaceae, berasal dari wilayah barat daya dan selatan Asia.

Nigella sativa bisa tumbuh sampai setinggi 20-30 cm, dengan daun yang terbagi halus, linier (bukan benang). Bunga-bunganya lembut dan biasanya berwarna biru pucat dan putih, dengan 5-10 kelopak bunga.

Buahnya berbentuk kapsul besar yang terdiri dari tiga sampai tujuh folikel bersatu, masing-masing mengandung banyak biji yang digunakan sebagai bumbu, kadang-kadang sebagai pengganti jinten hitam (Bunium bulbocastanum).

Efek Nigella Sativa
Umar S., et al. (2016) telah melakukan penelitian tentang efek Nigella sativa terhadap respon kekebalan dan patogenisitas virus H9N2 reassortant A/chicken/Pakistan/10RS3039-284-48/2010 pada kalkun. Infeksi virus H9N2 menimbulkan gejala klinis ringan sampai sedang pada unggas yang terinfeksi virus ini, akan tetapi gejala klinis berkurang pada kalkun yang diberi pakan yang mengandung NS. Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang mengungkapkan adanya infeksi ringan virus LPAI H9N2 yang diinokulasi secara eksperimental pada unggas (Lee et al., 2007 dan Umar et al..,2015a). Hal ini mungkin karena NS menimbulkan peningkatan kekebalan dan NS sebagai anti-virus seperti yang telah dijelaskan oleh para peneliti sebelumnya (Dorucu et al., 2009, Shewita dan Taha, 2011, Ahmad et al., 2013 dan Umar S. et al., 2015b). Oleh karena itu, bisa diduga bahwa NS dapat menekan tingkat keparahan gejala klinis LPAI H9N2.

Terdapat kenaikan berat badan yang signifikan pada kalkun yang diberi pakan dengan campuran NS (6%), apabila dibandingkan dengan kalkun yang terinfeksi dengan H9N2 saja.  Berat badan kalkun meningkat (P> 0,05) pada kelompok yang diberi pakan NS (2% atau 4%) dibandingkan dengan kelompok H9N2. Dalam penelitian menggunakan (2%, 4% dan 6%) NS pada kalkun, suplemen NS tidak menimbulkan efek samping (Umar S., et al., 2016).

Efek pemberian NS terhadap berat badan kalkun mirip dengan penelitian lainnya. Hasil penelitian El-Bagir et al. (2006) menunjukkan, bahwa pemberian pakan yang mengandung NS (2% atau 4%) secara signifikan dapat meningkatkan berat badan pada ayam petelur.  Pemberian suplemen NS pada pakan kalkun dapat berdampak positif tehadap kenaikan berat badan.

Sementara, Shewita dan Taha (2011) melaporkan, penambahan NS dalam pakan ayam broiler dapat meningkatkan rasio konversi pakan (FCR) pada dosis rendah. Berbeda dengan penelitian ini, El-Nattat dan El-Kady (2007), telah melaporkan bahwa pemberian NS dalam pakan sebanyak 17% (dosis tinggi) justru bisa menurunkan produktivitas ayam broiler.

Ayam broiler yang diberi pakan dengan NS mengalami peningkatan aktivitas trypsin dan amilase pada pankreas dan usus kecil (Durrani et al., 2007 dan Umar et al., 2015b). NS menyebabkan proses pencernaan dan penyerapan nutrisi lebih baik, sehingga pertumbuhan tubuh membaik. Pada kalkun setelah diinfeksi dengan H9N2 LPAI, pada kelompok kalkun yang diberi pakan yang mengandung NS terjadi peningkatan kadar IFNγ dan peningkatan sel T sitotoksik.

Telah dijelaskan bahwa NS meningkatkan sel T-helper dan sel sitotoksik yang menghambat penyebaran virus influenza (Ahmad et al., 2013, Al-Mufarrej,et al, 2014 dan Umar S et al., 2015b). NS telah dilaporkan dapat meningkatkan proliferasi splenocyte dan ekspresi interferon, penurunan pro-sitokin inflamasi, protein virus (integrase, protease) dan RNA polimerase II, yang berperan penting dalam dalam replikasi virus (Ahmad et al., 2013), sehingga dapat mengurangi efek patogen virus tersebut.

NS berperan menginduksi stimulasi dan proliferasi sel T yang dapat menurunkan jumlah virus pada kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa NS berperan sebagai antiviral dan imunomodulator. Temuan ini sesuai dengan penelitian yang sebelumnya bahwa sel T sitotoksik dapat menurunkan jumlah shedding virus LPAI H9N2 pada kalkun. Mekanisme ini berperan penting dalam perlindungan unggas terhadap infeksi virus pada tahap awal (Dorucu et al., 2009, Shewita and Taha, 2011, Al-mufarrej, 2014 dan Umar et al., 2015b).

Pada uji HI, titer antibodi kalkun kelompok perlakuan NS lebih tinggi dari pada kelompok kontrol. Titer rata geometris kelompok perlakuan NS secara signifikan lebih tinggi (P <0,05) dan berkembang lebih cepat dari pada kelompok kontrol. NS berperan sebagai imunostimulan dan antioksidan (Umar S. et al., 2015b). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Shewita dan Taha (2011) yang melaporkan peningkatan titer antibodi yang signifikan terhadap serangan Newcastle Disease (ND).

Drh. Pudjiatmoko, Ph.D
Medik Veteriner Madya

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer