![]() |
Domba yang digembalakan lebih mudah terkena cacing H. contortus. |
Infestasi dan Eksistensinya di Lambung
Siklus hidup cacing H. contortus yang demikian sederhananya menjadikan prevalensi ditemukannya cacing ini di lambung domba dan kambing sangat tinggi, terutama pada kondisi domba dan kambing yang digembalakan. Sebenarnya, kemampuan hidup larva L3s di rerumputan tidaklah sekuat yang dibayangkan. Larva ini rentan mati akibat perubahan suhu lingkungan ataupun adanya agen pemusnah seperti pestisida yang digunakan di persawahan. Namun, kurangnya ketersediaan lahan untuk rotasi padang gembala menjadi salah satu sebab, mengapa siklus cacing penyebab anemia ini tidak terputus.
Cacing H. contortus merupakan parasit nematoda yang biasa disebut cacing lambung (stomach worm), atau barber pole worm. Disebut sebagai yang terakhir ini karena khusus pada cacing betina terdapat uterus berwarna putih yang diselingi usus berwarna kemerahan, kemudian berpilin sehingga mirip dengan ikon tempat cukur rambut para pria, sebuah bentuk lampu boks silinder dengan hiasan pilinan dua warna kontras. Namun, hal ini tidak ditemukan pada cacing dewasa jantan, yang hanya mempunyai warna tubuh merah cerah. Panjang cacing dewasa mencapai 10-30 mm, dengan si betina lebih panjang dan besar dibanding cacing jantan. Seekor cacing H. contortus betina mampu bertelur hingga 5.000-10.000 butir/hari, atau diestimasikan setiap 16-17 detik terjadi ovulasi, tergantung dari kematangan reproduksi dan umur cacing tersebut.
![]() |
Cacing H. contortus yang dikoleksi dari abomasums domba betina. |
Kerugian yang Diderita
Cacing H. contortus dewasa mengaitkan ujung mulutnya di mukosa dinding abomasum dan menghisap darah ternak inangnya. Setiap hari, satu ekor cacing dewasa mampu menghisap sekitar 0,05 ml darah segar dari abomasum. Bayangkan jika satu ekor ternak terdapat 1.000 ekor cacing dewasa, maka diperkirakan akan kehilangan 50 ml darah setiap harinya. Tentu saja ini menyebabkan anemia dan dikatakan bahwa cacing H. contortus merupakan penyebab primer anemia pada ternak, diiringi defisiensi kalsium dan fosfat. Dalam kondisi hiperakut, kematian tidak dapat dihindarkan, terlebih pada ternak usia muda dengan daya tahan yang lebih lemah dibanding dewasanya.
![]() |
Penampakan mikroskopis perbesaran 10x10 telur dan larva cacing H. contortus dan telur koksidia. |
Cegah dan Atasi dengan Cara Ini
Berbagai cara direkomendasikan oleh para peneliti peternakan, khususnya dalam hal menangani dan mencegah serangan cacing H. contortus. Secara umum, yang dapat dilakukan adalah dengan memotong siklus hidup cacing dan membunuh cacing pada fase tertentu, atau pada seluruh fase kehidupannya (spektrum luas).
![]() |
Strategi cut and carry pada pakan hijauan, direkomendasikan untuk memotong siklus hidup cacing H. contortus. |
Cara berikutnya adalah dengan membinasakan cacing pada berbagai fase. Pemberian obat cacing komersial spektrum luas seperti albendazole dengan dosis 3-5 mg/kg bobot badan ternak, dirasa sangat efektif menekan jumlah infestasi cacing di saluran cerna, bukan hanya terhadap cacing H. contortus, melainkan terhadap parasit lainnya seperti cacing hati dan koksidia. Pemberian pakan hijauan berbasis leguminosa (kacang-kacangan) dan herbal yang mengandung senyawa metabolit sekunder (tanin, saponin, dll) juga terbukti ampuh menurunkan infestasi cacing, di samping meningkatkan asupan protein ternak dari tanaman legum tersebut.
Terkait dengan protein, pemberian pakan penguat atau konsentrat sumber energi dan protein juga terbukti mampu menurunkan resiko infestasi cacing. Nilai nutrien yang tinggi dari pakan penguat, mampu memberikan asupan nutrisi bagi sel-sel mukosa saluran cerna yang rusak karena infestasi cacing, serta meningkatkan imunitas, sehingga ternak lebih kuat dan mampu mengatasi resiko lanjutan dari infestasi cacing tersebut. Di Benua Biru, yang memiliki lahan gembala yang luas, mereka mencampur rumput di lahan pastura dengan tanaman legum yang kaya protein dan zat aktif antiparasit, sehingga mampu menekan resiko cacingan meski tetap digembalakan. Semua ini sebenarnya merupakan rangkuman dari sistem pemeliharaan semiintensif-intensif. Karena untuk menunjang produktivitas peternakan dewasa ini, pola pemeliharaan juga harus update dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Itu lah tuntutan peternak zaman now.
Awistaros A. Sakti
Peneliti Bidang Pakan dan Nutrisi Ternak
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Peternakan,
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada