-->

CARA BIJAK MEMILIH DAN MENGOLAH TELUR RETAK

Harga telur retak yang murah jadi pilihan disaat harga telur melambung. (Foto: Shutterstock)

Jika terpaksa harus membeli telur retak, karena telur utuh lebih mahal, maka perlu hati-hati dalam memilihnya. Risiko mengonsumsi telur retak bisa dihindari jika bijak cara memilih dan mengolahnya.

Kenaikan harga telur ayam yang terjadi dalam sebulan terakhir, ternyata memunculkan fenomena tersendiri di tengah masyarakat. Kaum ibu rumah tangga, terutama yang kondisi ekonominya pas-pasan, tak kurang akal untuk menyiasati kebutuhan lauk keluarganya. Khususnya bagi mereka yang menjadikan telur ayam sebagai menu wajib di rumahnya.

Jika selama ini di rumah mereka selalu sedia telur dalam lemari es, kini mulai mengurangi belanjanya. Kenaikan harga telur yang sebelumnya berkisar Rp 26.000-28.000/kg, menjadi  Rp 31.000-33.000/kg, menjadi beban. Bisa dimaklumi, bagi kaum ibu rumah tangga, selisih harga Rp 5.000 akan menjadi pertimbangan untuk memilih yang lebih murah dalam berbelanja.

Kini dengan melambungnya harga, mereka membeli telur retak karena harganya lebih murah. Pepatah mengatakan, “tak ada rotan akar pun jadi”. Di beberapa pasar tradisional, harga telur retak hanya berkisar Rp 1.000-1.250/butir. Jika dihitung-hitung bisa 30% lebih murah dibandingkan telur utuh.

Bagi yang berpenghasilan atau jatah uang belanja mencukupi, kenaikan harga telur yang mencapai Rp 4.000-5.000/kg mungkin tak masalah. Tetapi bagi yang uang belanjanya pas-pasan, akan berpikir ulang untuk membelinya.

“Apalagi buat saya yang sehari-harinya bikin kue, telur retak juga enggak masalah. Yang penting harganya lebih murah dan enggak kotor telurnya,” tutur Winarti, pedagang roti bolu di Sawangan, Depok, Jawa Barat.

Dalam sehari, sedikitnya pelaku usaha kecil ini membutuhkan 3 kg telur untuk kebutuhan produksi roti bolunya. Hasil produksinya ia titipkan ke warung-warung setiap pagi. Menurutnya, kalau tetap menggunakan telur utuh, kenaikan harga telur saat ini berdampak pada keuntungan usahanya, meskipun kecil.

“Kan namanya orang dagang ya, walaupun selisihnya enggak banyak, tetap saja dihitung. Makanya, saya siasati beli telur retak,” ujarnya.

Hal serupa juga dilakukan oleh Lilis Wahyuni, pelaku usaha kecil aneka kue di Sawangan, Depok. Dalam sehari, kebutuhan telur untuk campuran pembuatan kuenya lebih dari 3 kg. Demi tak menaikkan harga jual kuenya, ia pun mau tak mau membeli telur retak untuk kebutuhan usahanya.

“Kalau dilihat per kilonya memang kelihatan kecil naiknya, tapi kalau dijumlah dalam sebulan, kalau pakai telur utuh dan harga yang tinggi, akan terasa tambahan biaya produksinya,” ujar Lilis.

Bagi Lilis dan Winarti, menaikkan harga kue buatannya bukan langkah yang tepat. Mereka khawatir pembeli jadi berkurang, dan berakibat turunnya omzet dagangannya. Maka, siasat yang dilakukan adalah dengan membeli telur retak yang tetap “aman” dari kontaminasi kotoran. Toh, kalau harga telur sudah normal lagi, mereka akan kembali membeli telur utuh untuk kebutuhan usahanya.

Risiko Memilih Telur Retak 
Dari sisi hitung-hitungan harga, membeli telur retak sudah tentu lebih murah. Akan tetapi seberapa amankah mengonsumsi olahan telur retak? Cukup banyak artikel di media online yang mengulas masalah ini. Secara umum, artikel berbasis kesehatan menuliskan sebaiknya hindari telur retak, karena bakteri dapat masuk melalui retakan dan mengontaminasi isinya, membuat telur tidak layak dikonsumsi dan busuk lebih cepat.

Studi yang dipublikasikan dalam Asian-Australian Journal of Animal Science,yang dipublikasikan pada 2020, menyebutkan telah membuktikan bahwa terjadi penurunan kualitas pada telur yang sudah retak kulitnya. Tidak hanya itu, telur yang telah pecah pun dikatakan akan meningkatkan risiko terjadinya kontaminasi.

Food and Drug Administration (FDA), lembaga pengawas makanan dan obat Amerika Serikat, dalam publikasinya mengungkapkan bahwa telur yang pecah sangat rentan terkontaminasi bakteri Salmonella, yang mengakibatkan terjadinya keracunan makanan. 

Gejala yang muncul ketika seseorang mengalami keracunan makanan seperti muntah, diare, demam, dan nyeri atau kram perut. Gejala ini akan muncul antara 12-72 jam setelah makanan dikonsumsi dengan lama waktu hingga satu minggu. Bahkan, beberapa kelompok orang akan memiliki risiko yang lebih serius hingga membahayakan nyawa. Ini termasuk ibu hamil, lansia, anak berusia kurang dari lima tahun, dan orang-orang dengan imunitas tubuh yang lemah.

Tips Mengolah Telur Retak
Bagaimana jika terpaksa harus membeli telur retak karena pertimbangan harga lebih murah dibandingkan telur utuh? Secara umum, para narasumber Infovet menyarankan, jika terpaksa memilih telur retak, gunakan segera dan simpan di kulkas setelah dipecah.

“Karena kalau terlalu lama disimpan dalam kondisi cangkang sudah retak, bisa keluar bau tak sedap. Malah bisa bau busuk,” kata Novana Istiani, pedagang telur ayam di Desa Bantarbolang, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.

Kepada Infovet, Novana memberikan tips mengolah telur retak. Jika ada telur yang retak dalam perjalanan pulang dari membeli di warung atau pasar, jangan membiarkan atau menyimpannya hanya karena belum pecah.

“Ibu-ibu perlu tahu, telur retak juga menurunkan kualitasnya. Bukan tidak mungkin kontaminasi bakteri terjadi. Sebaiknya, segera olah atau kalau mau disimpan, pecahkan telur yang retak dalam wadah dan tutup wadah rapat-rapat lalu simpan dalam lemari pendingin selama kurang lebih dua hari,” ungkapnya. 

Jika ingin langsung mengolahnya, sebaiknya pastikan telur tersebut dimasak sampai matang sepenuhnya. Bisa memasaknya hingga bagian putih maupun kuningnya mengeras sempurna. Ini bertujuan guna menghindari terjadinya keracunan makanan karena kontaminasi bakteri.
Pedagang telur ini juga memberikan tips memilih telur yang sehat. Pertama, periksa cangkang, pastikan cangkang telur utuh, tidak ada retakan, lendir, bintik hitam, atau jamur. Cangkang yang retak atau kotor merupakan celah masuk bakteri.

Kedua, cek kondisi telur, telur yang sudah tua atau tidak segar akan mengapung jika direndam di air. Telur yang segar akan tenggelam.

Ketiga, jika membeli telur dalam kemasan, lihat tanggal kedaluwarsa untuk memilih telur yang paling segar.

Keempat, cara menyimpan telur retak (jika terpaksa), segera pecahkan telur retak dan simpan isinya dalam wadah tertutup rapat. Masukkan wadah berisi telur tersebut ke dalam kulkas dengan suhu kurang dari 4 °C. Dan, gunakan telur tersebut dalam waktu maksimal dua hari.

Membran Harus Utuh
Sebagian orang yang merasa khawatir mengonsumsi telur retak bisa dimaklumi. Kelompok ini memiliki prinsip bahwa menjaga kesehatan “tak bisa ditawar”. Maka itu, di tengah ramainya isu kaum ibu rumah tangga lebih memilih telur retak, kelompok masyarakat tadi lebih memilih menghindari dan mengganti bahan makanan lainnya.

Menurut Novana, telur retak akan aman dikonsumsi jika membrannya masih utuh. Membran melindungi telur dari bakteri. Agar lebih aman, sekali lagi ia menyarankan, sebaiknya segera memecahkan telur ke dalam mangkuk, membungkusnya dengan plastik, dan menggunakannya dalam dua hari.

Namun jika kondisi membran juga sudah koyak maka telur tak aman dikonsumsi. Meski demikian, dianjurkan tidak langsung membuang telur tersebut, karena masih bisa digunakan sebagai bahan kompos. Kalsium pada cangkang baik untuk tanah.

Para ibu rumah tangga atau pelaku usaha kecil yang rutin membeli telur untuk kebutuhan campuran pembuatan roti atau kue, cangkang telur juga sebaiknya jangan langsung dibuang. Bisa dijadikan kompos tanaman hias atau buah di sekitar pekarangan rumah.

Dalam berbagai literatur disebutkan, kompos cangkang telur adalah kompos yang diperkaya dengan cangkang telur yang sangat baik sebagai pupuk karena mengandung kalsium untuk memperkuat tanaman.

Untuk membuatnya, cuci bersih cangkang, keringkan, lalu hancurkan hingga menjadi serpihan atau bubuk. Campurkan bubuk cangkang telur ke dalam tumpukan kompos bersama sisa dapur lainnya atau taburkan di atas tanah di sekitar tanaman. Ibarat pohon kelapa, telur juga bisa dimanfaatkan semua bagiannya. ***

Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet Daerah Depok,
Konsultan media dan penulis buku

MENTERI SAJA SARAPAN TELUR REBUS, KENAPA KITA TIDAK?

Sarapan dengan telur setiap hari meningkatkan kesehatan. (Foto: Istimewa)

Dalam sebulan terakhir, telur ayam makin popular. Penyebabnya, konsumsi telur rebus dikampanyekan oleh orang nomor satu di Kementerian Kesehatan, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin atau yang akrab disapa “Pak BGS” di kalangan pelaku bisnis industri farmasi.

Viral di lini media sosial, Menkes Budi Gunadi Sadikin mengajak masyarakat Indonesia untuk memulai kebiasaan sarapan sehat dengan dua butir telur rebus setiap pagi. Menu sederhana ini lebih bermanfaat dibandingkan pilihan sarapan populer yang tinggi gula dan kalori.

Tentu saja ini anjuran yang sangat bagus. Bisa menjawab semua isu negatif seputar telur ayam yang dilakukan oleh sebagian orang yang sejatinya tidak paham dengan kelebihan konsumsi telur. Yang memprihatinkan, justru informasi menyesatkan ini disampaikan oleh oknum dokter.

“Kalau pertama kali makan atau sarapan jangan yang manis-manis seperti sereal, nasi uduk, atau lontong. Itu bikin gula kita langsung akan naik. Kita butuh makanan sehat, contohnya protein seperti telur,” kata BGS dalam unggahan di akun Instagram resminya @bgsadikin, Rabu (17/9/2025).

Video singkat ini “berselancar” ke beranda semua lini media sosial, sehingga cukup efektif untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang pentingnya konsumsi telur. Dalam video tersebut, BGS bukan hanya bicara tetapi juga memakan dua butir telur rebus. Gaya eduksi BGS memang cukup unik dan beda dengan menteri lainnya.

Menurut BGS, satu butir telur rebus mengandung sekitar 6 gram protein dan 60 kalori. Dua telur bisa memberikan 12 gram protein dan energi sekitar 120 kalori. Selain sehat, harganya juga terjangkau. “Satu telur ini cuma Rp 2.500, jadi kalau dua telur hanya Rp5.000," ujarnya dalam video tersebut.

Ia menekankan pentingnya mencukupi kebutuhan protein harian, yang idealnya sekitar 0,8 gram per kilogram berat badan. Dengan berat badan 72 kilogram, ia menyebut dirinya membutuhkan 57,6 gram protein per hari. Konsumsi dua telur di pagi hari bisa menutup sebagian kebutuhan tersebut.

Setelah berpuasa 8-10 jam saat tidur malam, tubuh sebaiknya diberi asupan yang tidak memicu lonjakan gula darah (glucose spike). Itulah sebabnya ia menyarankan untuk memulai hari dengan protein atau sayuran, bukan makanan manis. “Sudah praktis buatnya, tinggal celup 5-7 menit, murah lagi. Cukup awali sarapan dengan dua butir telur rebus tanpa tambahan saus tinggi kalori,” kata dia.

Menkes berharap masyarakat bisa lebih sadar terhadap pilihan makanan sehari-hari. “Yuk, mulai hidup sehat dari sekarang. Dimulai dari kesadaran akan makanan yang kamu santap,” tutupnya pada keterangan Instagram ketika ia menyantap dua butir telur.

Anjuran Menteri Kesehatan ini sekaligus menjawab banyaknya keraguan para pra lansia dan lansia untuk mengonsumsi telur. Hingga sekarang, masih banyak orang usia di atas 50 tahun merasa khawatir makan telur, terutama bagian kuningnya. Ada yang beranggapan makan kuning telur berbahaya bagi kesehatan karena kandungan kolesterolnya yang tinggi. Orang yang setuju dengan anggapan ini, biasanya hanya konsumsi putih telurnya saja. Bagian kuningnya disisihkan.

Kebiasaan menyisihkan kuning telur dan hanya memakan bagian putihnya saja saat makan juga dilakukan oleh Subono. Sejak dulu, pensiunan TNI AL ini juga gemar mengonsumsi telur ayam. Namun setelah pensiun dari dinas kemiliteran, pria berumur mendekati 70 tahun ini hanya konsumsi bagian putih telurnya saja.

“Telur itu sumber protein yang bagus. Dari dulu saya suka makan, terutama telur rebus, paling suka. Tapi sekarang cuma makan putihnya saja, biar aman. Takut kolesterol,” ucapnya kepada Infovet.

Kekhawatiran tersebut memang bisa dimaklumi. Di usianya yang makin tua, kadang rasa takut konsumsi telur muncul. Meskipun sebelumnya sudah bertahun-tahun makan telur dan tak ada masalah dengan penyakit yang dikhawatirkan. Namun sejatinya, tak perlu ada rasa khawatir yang berlebihan. Bagimanapun banyak lansia yang konsumsi telur tetap aman-aman saja, yang penting tidak berlebihan.

Anjuran Presiden Prabowo
Konsumsi telur rebus ternyata bukan hanya “dipromosikan” oleh Menkes BGS, tetapi juga oleh Presiden Prabowo Subianto melalui Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana. Dalam keterangan resminya, Dadan menyebut Presiden menginginkan telur untuk Makan Bergizi Gratis (MBG) hanya boleh dimasak dengan dua cara, yakni digoreng ceplok (telur mata sapi) atau direbus (telur bulat).

“Jadi telur itu, beliau hanya boleh dua (cara) dimasak telur itu. Satu diceplok, satu lagi telur bulat,” tutur Dadan.

Ia juga menyebutkan, Prabowo tidak ingin telur dalam program MBG dimasak dengan cara diorek-orek atau didadar. “Jadi beliau sangat tidak ingin telur itu diorek-orek atau didadar. Karena kalau didadar kan untuk tujuh orang bisa dengan lima telur, untuk 10 orang bisa lima telur. Nah, kalau diceplok dengan dibulat, itu sudah pasti kelihatan telurnya,” ujarnya.

Sebagian orang tua murid mengapresiasi permintaan Presiden Prabowo. Pemberian telur ceplok atau rebus bisa mencegah terjadinya kecurangan di pemilik catering Program MBG. Satu anak harus dapat satu butir telur, bukan dibagi jadi beberapa bagian.

Winarti, orang tua murid di Depok berpendapat, setuju dengan yang sampaikan Presiden. “Saya perhatikan Pak Presiden jeli untuk urusan telur. Kalau didadar kan misalnya 7 butir, bisa dibagi buat 10 porsi. Tapi kalau direbus atau ceplok bisa cateringnya tidak bisa bohong,” ujarnya kepada Infovet.

Pendapat serupa juga dikatakan oleh Ruslan Sumadi, orang tua murid yang juga tinggal di Depok. Bahkan menurutnya, kalau lauk telur rebus atau ceplok, tidak mungkin anak keracunan. “Mungkin lauk lainnya yang jadi penyebab banyaknya kasus keracunan MBG,” katanya.

Ruslan dan Winarti sama-sama memiliki anak yang sekolah SMP di Depok. Mendengar berita banyaknya kasus keracunan MBG, mereka merasa khawatir. Padahal, saat makan di rumah, keduanya mengaku sering memberikan lauk telur.

“Kalau pagi kan paling praktis bikin telur ceplok atau dadar buat sarapan anak sebelum sekolah. Buat makan malam, kadang anak juga minta dibuatkan telur ceplok,” kata Winarti.

Harga di Bawah Kerupuk
Ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Prof Dr Ir Ali Khomsan, menyebut konsumsi telur ayam sangat dianjurkan untuk semua kalangan, baik anak-anak maupun orang dewasa. Sebab, telur merupakan sumber protein dan kandungan gizi lainnya yang tinggi dengan harga terjangkau bagi masyarakat.

Dalam perbicangan dengan Infovet sebelumnya, Ali Khomsan berpendapat mengonsumsi satu jenis menu secara terus-menerus memang bisa membosankan. Karena itu, variasi dalam mengolah telur sangatlah penting. Salah satunya diolah dadar atau olahan lain berbahan telur.

Bagi anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan dan ibu menyusui, asupan gizi protein hewani dari daging ayam dan telur sangat dibutuhkan. “Kandungan asam amino yang ada di dalam telur dan daging ayam juga cukup bagus untuk kesehatan tubuh. Asam amino berperan penting karena membantu pembentukan protein sebagai bahan dasar pembentuk sel, otot, serta sistem kekebalan tubuh,” ujar pakar gizi ini.

Menurutnya, konsumsi telur dan daging ayam bagi anak-anak sangat baik dan bisa dimulai sejak awal ibu-ibu menyusui bayinya. Daging ayam mengandung protein, zat besi, magnesium, vitamin, dan fosfor.

Bisa jadi, untuk sebagian kalangan masyarakat masih menganggap harga telur mahal. Selain itu, membeli telur tidak bisa satuan lazimnya membeli lauk lain, semisal gorengan. Namun demikian, jika dihitung, harga telur ayam masih di bawah harga kerupuk yang kandungan gizinya sangat minim. ***

Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet Daerah Depok,
Konsultan media dan penulis buku,
Writing Coach Griya Menulis (Bimbingan Menulis Buku & Jurnalistik),
Juara I Lomba Jurnalistik Tingkat Nasional (Unsoed, 2021) & Juara I Kompetisi Menulis Artikel Tingkat Nasional dalam rangka HATN, 2022

FENOMENA KONSUMSI ASUPAN GIZI VS ROKOK, MENANG MANA?

Konsumsi asupan makanan begizi sangat penting untuk kesehatan. (Foto: Istimewa)

Selama rokok masih menjadi candu, maka untuk menurunkan jumlah konsumennya sangat sulit. Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, orang (termasuk kalangan miskin) rela mengurangi kebutuhan pokok demi menikmati rokok. Sampai kapan begini?

Akhir Juli 2025 lalu, BPS kembali merilis soal konsumsi rokok menjadi salah satu penyebab kronis kemiskinan di Indonesia. Seakan tak dapat dicegah, penyebab ini masih mendominasi, di urutan kedua setelah kebutuhan beras, bahkan terjadi di kalangan masyarakat ekonomi lemah. Rilis terbaru ini merupakan hasil laporan survei hingga Maret 2025.

Sejak satu dekade BPS sudah berulang kali merilis masalah ini, namun persentasenya tak pernah turun. Meski di dalam bungkus rokok sudah tercantum peringatan keras soal bahayanya, namun masyarakat masih saja menikmatinya.

“Beras, rokok, dan kopi sachet masih menjadi penyumbang utama garis kemiskinan per Maret 2025,” begitu tertulis dalam siaran pers BPS, akhir Juli 2025.

Data BPS menunjukkan beras menyumbang sebesar 21,06% terhadap garis kemiskinan (GK). Sementara itu, rokok filter menyumbang 10,72% terhadap GK untuk perkotaan. Sedangkan di perdesaan, beras menyumbang sebesar 24,91% dan rokok kretek filter sebesar 9,99%.

Pada periode sebelumnya juga dijumpai hal serupa. Komoditas makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada kemiskinan baik di perkotaan maupun di perdesaan masih berupa beras dengan sumbangan terbesar, yakni 21,01 % di perkotaan dan 24,93% di perdesaan.

Sedangkan rokok kretek filter juga menempati posisi kedua pada GK September 2024, memberikan sumbangan terbesar kedua terhadap GK (10,67% di perkotaan dan 9,76% di perdesaan).

Besaran sumbangan rokok bahkan lebih besar dibandingkan bahan makanan pokok seperti telur maupun daging ayam. Bumbu-bumbu dapur krusial seperti bawang merah, gula pasir, dan cabe rawit juga menempati posisi yang lebih rendah pada daftar.

Telur ayam menempati posisi ketiga dengan proporsi 4,50% untuk GK perkotaan dan 3,62% untuk GK perdesaan, dan daging ayam ras menempati posisi berikutnya dengan proporsi 4,22% dan 2,98% untuk perkotaan dan perdesaan secara berurutan.

“Kondisi ini benar-benar memprihatinkan,” ujar ahli gizi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yuny Erwanto PhD kepada Infovet.

Erwanto menyebut, fenomena semacam ini sungguh sulit diterima akal sehat. Kebutuhan asupan gizi untuk keluarga dikalahkan kebutuhan rokok yang hanya jadi candu. Ia memberikan gambaran kalkulasi kalau dalam sehari orang menghabiskan Rp 20.000 untuk membeli rokok, maka dalam sebulan Rp 600.000 dibakar begitu saja.

“Tapi coba kalau dibelikan telur, dengan asmusi Rp 30.000, maka sebulan dia bisa beli 20 kg telur. Gizi keluarga bisa terpenuhi,” ungkapnya.

Menurut dosen Pangan Hasil Ternak Fakultas Peternakan UGM ini, perputaran uang untuk membeli rokok hanya akan berputar pada pabrik rokok dan cukai ke negara saja. Mereka yang menikmati keuntungan sangat besar, sementara para perokok mendapat titipan zat berbahaya yang bersarang di dalam tubuhnya.

Sementara untuk konsumsi telur atau daging ayam, perputaran uangnya sangat luas. Mulai dari petani jagung, peternak, perusahaan pakan ternak, perusahaan pembibitan, usaha pemotongan hewan, hingga jalur pasar yang melibatkan pelaku usaha.

Artinya semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi telur atau daging ayam secara tidak langsung akan membuka lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi masyarakat.

Jebakan Kemiskinan
Dalam rilis BPS di atas, menunjukkan bahwa rokok terutama kretek filter, merupakan salah satu komoditas paling banyak dikonsumsi masyarakat miskin dan berkontribusi besar terhadap garis kemiskinan. BPS menggunakan data konsumsi rokok dalam menghitung garis kemiskinan karena rokok adalah salah satu komoditas yang banyak dikonsumsi, termasuk oleh masyarakat miskin.

Meskipun rokok memberikan pemasukan besar bagi pemerintah, konsumsi rokok yang tinggi di kalangan masyarakat miskin, yang seharusnya memprioritaskan kebutuhan dasar seperti makanan, menjadi fenomena yang miris. Bagi mereka konsumsi rokok dapat menjadi semacam “jebakan kemiskinan” karena uang yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar digantikan untuk rokok.

Kalangan perokok sangat sulit untuk mengurangi jatah rokoknya, apalagi untuk berhenti total. Karena candu rokok sudah bersemayam dalam tubuh, maka ada orang yang berpinsip “tidak apa tidak sarapan, asal tiap pagi bisa merokok.”

“Artinya pokok persoalan utama adalah pemahaman masyarakat dan kebiasan sebagian masyarakat kita yang memang lebih untuk tetap merokok, bagaimana pun kondisinya,” ujar Erwanto.

Karena Rokok “Dimakan”
Sekadar untuk melengkapi informasi tulisan ini, ada ulasan menarik yang disampaikan seorang Petugas Survei BPS, Dwi Ardian, yang ia tulis di platform Kompasiana.com, 24 Juli 2025.

Petugas survei ini mengamati di lapangan, banyak rumah tangga miskin yang lebih memilih mengurangi konsumsi makanan bergizi daripada berhenti merokok. Padahal, menurut standar garis kemiskinan makanan, setiap anggota rumah tangga minimal membutuhkan asupan 2.100 kilokalori (kkal) per hari untuk memenuhi kebutuhan dasar gizi, begitu pengakuan Dwi Ardian.

Padahal, rokok yang harganya mahal tidak memberikan kalori sama sekali (nol kalori). Artinya, uang yang seharusnya digunakan untuk membeli makanan bergizi justru dihabiskan untuk bakar-bakar rokok, suatu kebiasaan yang kontraproduktif bagi kesehatan dan ekonomi keluarga.

Dalam penghitungan garis kemiskinan, BPS menggunakan paket komoditas kebutuhan dasar yang terdiri dari 52 jenis komoditas, termasuk padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak, dan lemak. Uniknya, rokok juga termasuk dalam daftar ini. Mengapa? Karena rokok “dimakan”, meskipun bukan dalam arti harfiah sebagai makanan bergizi.

Data Susenas menunjukkan bahwa lebih dari 73% pengeluaran rumah tangga miskin dialokasikan untuk membeli 52 komoditas tersebut, termasuk rokok. Sisanya sekitar 26%, digunakan untuk kebutuhan non-makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

Artinya, jika rumah tangga miskin mengurangi atau berhenti merokok, mereka dapat mengalihkan pengeluaran tersebut untuk memenuhi kebutuhan pokok yang lebih penting, seperti makanan bergizi atau biaya pendidikan anak.

Rokok dalam “Pelukan” Budaya
Data dari Kemenkes, data BPS, dan data Komnas Pengendalian Tambakau, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari waktu ke waktu perokok pemula usia 10-18 tahun beberapa tahun terakhir. Perokok remaja mencapai sekitar 11-12% pada 2024, dari 9% pada 2018. Sedangkan, perokok usia di atas  telah mencapai sekitar 33% pada 2024.

Dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, terutama di daerah pedesaan dan komunitas tradisional, kenduri atau selamatan menjadi salah satu ritual yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial. Acara-acara seperti syukuran kelahiran, pernikahan, kematian, atau bahkan peresmian rumah kerap dijadikan momentum untuk berkumpul.

Namun, di balik nilai kebersamaan yang dijunjung tinggi, tradisi semacam ini turut berkontribusi terhadap meningkatnya akses dan konsumsi rokok di masyarakat. Rokok sering kali menjadi bagian tak terpisahkan dalam penyelenggaraan kenduri, baik sebagai pelengkap sajian bagi tamu maupun sebagai sarana penghormatan kepada sesama. Dalam banyak kasus, rokok bahkan dianggap sebagai “tanda terima kasih” bagi para undangan yang hadir, sehingga menciptakan persepsi bahwa menolak rokok bisa dianggap “tidak sopan”.

Budaya memberikan rokok kepada tamu atau sesama peserta kenduri juga memperkuat normalisasi konsumsi rokok dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam acara-acara adat di Jawa, rokok kerap disediakan dalam nampan atau gelas bersama hidangan lainnya, seolah-olah menjadi kebutuhan pokok yang setara dengan makanan dan minuman.

Hal ini mengakibatkan rokok tidak lagi dipandang sebagai barang berbahaya, melainkan sebagai bagian dari adat istiadat yang harus dihormati. Akibatnya, anak-anak dan remaja yang turut serta dalam acara semacam ini sejak dini terpapar kebiasaan merokok dan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah.

Menurut Yuny Erwanto, kalau saja anggaran rokok tersebut dialihkan, misalnya untuk bikin ayam bakar atau ikan bakar yang bisa dinikmati bersama, tentu jauh lebih sehat. Tapi apa daya, tradisi memang sulit untuk “ditaklukkan”. ***


Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet Daerah Depok,
Konsultan media dan penulis buku,
Writing Coach Griya Menulis (Bimbingan Menulis Buku & Jurnalistik),
Juara I Lomba Jurnalistik Tingkat Nasional (Unsoed, 2021) & Juara I Kompetisi Menulis Artikel Tingkat Nasional dalam rangka HATN, 2022

FAKTOR PENURUNAN PRODUKSI TELUR

(Foto: Dok. Sanbio)

Produksi telur merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam usaha peternakan ayam petelur. Namun, tidak jarang peternak menghadapi masalah turunnya produksi telur yang dapat berdampak signifikan terhadap keuntungan usaha.

Penurunan produksi ini bisa bersifat sementara atau berkepanjangan, tergantung dari penyebabnya. Penurunan produksi telur terjadi akibat banyak sebab, mulai dari faktor infeksius ataupun non-infeksius.

Penyebab infeksius dapat terjadi karena virus dan bakteri. Penurunan produksi telur yang diakibatkan oleh faktor infeksius mengganggu keberlangsungan usaha bagi peternak ayam petelur. Penyebaran virus yang cepat tidak jarang dapat menyebabkan kematian tinggi, membuat peternak harus berpikir keras dalam melindungi kesehatan ternak unggasnya.

Beberapa faktor infeksius yang dapat menyebabkan penurunan produksi adalah:

Newcastle disease (ND)
Disebabkan oleh Avian paramyxovirus tipe-1 (APMV-1). Jika sudah terinfeksi akan berpengaruh pada produksi telur, terutama penurunan produksi, kualitas telur jelek, warna abnormal, serta bentuk dan permukaan kerabangnya abnormal.

Infectious bronchitis (IB)
Disebabkan oleh Coronavirus. Ayam  petelur dewasa yang terinfeksi akan mengalami penurunan produksi hingga mencapai 60% dalam kurun waktu 6-7 minggu dan selalu disertai dengan penurunan mutu telur berupa bentuk telur tak teratur, kerabang telur lunak, dan albumin (putih telur) cair.

Avian influenza (AI)
Terutama AI subtipe H9N2 dapat menyebabkan penurunan produksi. Virus AI subtipe H9N2 masuk kedalam low pathogenic avian influenza (LPAI) yang menyebabkan rusaknya saluran reproduksi ayam ditandai dengan ovarium dan oviduk kemerahan, kuning telur tampak seperti brokoli, dan yang sangat nampak terlihat adalah penurunan produksi yang sangat tajam (dapat mencapai 5-10% per hari).

Egg drop syndrome (EDS)
EDS disebabkan oleh Adenovirus tipe I. Ayam yang terinfeksi produksi telur akan memiliki kerabang tipis hingga tanpa kerabang. Pada umumnya terjadi pada awal periode bertelur, sehingga puncak produksi tidak tercapai.

Infectious coryza
Disebabkan oleh bakteri Avibacterium paragallinarum. Ayam yang terinfeksi mengalami gangguan pernapasan atas. Terlihat bengkak pada area wajah ayam dengan keluar eksudat dari hidung, anoreksia. Serta dapat terjadi pada semua umur dan dapat menyebabkan penurunan produksi hingga 40%.

Selain penyakit infeksius di atas, penurunan produksi telur dapat terjadi akibat... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2025. (Muchammad Wildan Firdaus & Aprilia Kusumastuti)

MENCEGAH PENURUNAN PRODUKSI TELUR: STRATEGI CERDAS UNTUK PETERNAK

Ayam petelur modern. (Foto: Istimewa)

Produksi telur yang menurun adalah salah satu tantangan utama dalam peternakan ayam petelur. Penurunan ini dapat berdampak pada keuntungan peternak dan efisiensi produksi. Perlu dipelajari bagaimana profil ayam petelur modern saat ini dengan memahami peforma, berat badan, kebutuhan nutrisi, manajemen, dan standar produksi telur di setiap umurnya.

V. Arantes dari Hy-Line International USA pada Australian Poultry Science Symposium memaparkan tentang “Optimizing Nutrition and Management to Enhance Productivity in Modern Laying Hens: From Rearing to Peak Production” bahwa kemajuan genetika ayam petelur modern telah meningkatkan efisiensi produksi mereka secara signifikan, ditandai dengan peningkatan konversi pakan, produksi telur yang lebih tinggi, dan persistensi bertelur yang lebih lama.

Namun terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, terutama dalam komposisi manajemen dan nutrisi di lima minggu pertama. Hal ini dikarenakan tren penurunan berat badan pada layer modern, yang membutuhkan manajemen tepat untuk menghindari pertambahan berat badan yang berlebihan, terutama selama fase perkembangan utama. Menetapkan profil berat badan yang optimal, terutama pada minggu kelima sangat penting untuk membuka potensi produktivitas ayam petelur.

Faktor Nutrisi: Fondasi Produksi Telur
Nutrisi yang tidak seimbang adalah penyebab utama turunnya produksi telur. Kalsium dan fosfor pada ayam petelur merupakan nutrisi yang penting untuk pembentukan cangkang telur. Jika pasokan kalsium kurang atau rasio Ca : P tidak seimbang, produksi telur akan mengalami penurunan.

Defisiensi atau kelebihan energi, protein, dan asam amino esensial seperti metionin dan lisin sangat penting untuk produksi telur yang optimal. Kekurangan salah satu dari nutrisi ini dapat menurunkan jumlah produksi telur yang dihasilkan.

Selain itu proses pemilihan bahan baku yang baik dan analisis antinutrisi yang presisi akan mempermudah dalam melakukan pemberian aditif, contohnya penggunaan enzim untuk membantu kecernaan substrat pada bahan baku alternatif, toxin binder untuk mengikat mikotoksin (aflatoksin, DON, fumonisin) pada bahan baku yang menyebabkan stres fisiologi, menurunkan daya tahan tubuh, dan berdampak terhadap produksi telur. Manajemen waktu dan metode pemberian pakan yang tidak tepat bisa menyebabkan fluktuasi konsumsi nutrisi.

Kenyamanan Ayam Jadi Kunci
Manajemen kandang yang kurang optimal dapat menyebabkan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2025.

Ditulis oleh:
Drh Henri E. Prasetyo MVet
Praktisi perunggasan, Nutritionist PT DMC

AGAR PRODUKSI TELUR TAK MENGENDUR

Peternakan ayam petelur modern. (Foto: Istimewa)

Telur ayam merupakan sumber protein hewani termurah yang terjangkau bagi masyarakat. Patut dibanggakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penghasil telur ayam terbanyak, namun hal tersebut jangan sampai membuat peternak lengah.

Mesin Biologis Canggih
Sejak dikembangkan kurang lebih 100 tahun lalu, kini ayam petelur/layer modern menjelma menjadi mesin biologis penghasil telur yang mumpuni. Bisa dibilang ayam petelur modern merupakan hasil seleksi tradisional dan teknologi genomik canggih, sehingga menghasilkan strain dengan produksi tinggi (300-500 telur/tahun), umur bertelur lebih panjang, dan adaptasi iklim yang baik.

Hal tersebut disampaikan oleh Technical Service Specialist, Southeast Asia, Hyline-Internasional, Drh Dewa Made Santana, dalam sebuah webinar. Menurut data yang diperoleh, ada perbedaan cukup menonjol antara ayam layer old fashion (sekitar 1992), dengan layer modern dengan data di 2021.

Berdasarkan data yang ada layer “versi lama” hingga umur 80 minggu menghasilkan sebanyak 321 butir telur, sedangkan layer modern sudah bisa memproduksi sebanyak 374 butir. Ada selisih 53 butir atau peningkatan sebanyak 16%. Jika dihitung dari segi berat, ayam petelur lama hanya mampu memproduksi telur sebesar 20,39 kg, sedangkan untuk ayam petelur modern sudah bisa memproduksi sebanyak 23,06 kg.

“Dari data itu saja terdapat selisih 2,67 kg atau ada peningkatan sebesar 13,09%. Belum lagi untuk FCR, kalau ayam lama rata-rata FCR-nya sebesar 2,37, ayam modern sebesar 2,07 terdapat selisih 0,30 atau ada penurunan 12,66%. Ini artinya konsumsi pakannya semakin irit, namun menampilkan produksi yang cukup tinggi,” kata Santana.

Kendati demikian, keunggulan genetik yang luar biasa itu tidak bisa berdiri sendiri, agar produksinya bisa optimal perlu dukungan menyeluruh dari tiap aspek pemeliharaan, seperti ketersediaan nutrisi yang baik dan cukup, manajemen pemeliharaan mumpuni, adanya pelayanan veteriner, serta penerapan biosekuriti yang baik.

“Kalau saya lihat di negara kita, mungkin tidak semua peternak bisa memaksimalkan potensi ini, mungkin hanya beberapa saja. Oleh karena itu, bila termanfaatkan 100%, produksi telur kita bisa lebih baik lagi pastinya,” ucapnya.

Nutrisi Baik, Performa Apik
Berbagai literatur mengatakan bahwa berhasilnya suatu usaha peternakan ditentukan oleh empat faktor, yaitu... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2025. (CR)

BEBERAPA FAKTOR PENYEBAB MENURUNNYA PRODUKSI TELUR

Penurunan produksi bisa disebabkan secara tunggal atau kolektif dari beberapa faktor. (Foto: Istimewa)

Sudah merupakan kebiasaan di komunitas peternak ayam petelur jika ada masalah dengan penurunan produksi telur yang tidak biasa, hampir selalu dikaitkan dengan gangguan kesehatan akibat serangan penyakit. Padahal penurunan produksi bisa merupakan penyebab tunggal atau kolektif dari beberapa faktor.

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi selain infeksi penyakit, adalah karena nutrisi, cahaya, usia, stres, dan kondisi lingkungan. Nutrisi yang tepat, terutama kalsium, protein, dan energi, sangat penting untuk pemeliharaan produksi telur yang konsisten. Kemudian juga pencahayaan, terutama paparan cahaya siang hari yang berperan dalam merangsang siklus reproduksi dan hari yang pendek dapat mengurangi produksi telur.

Selain itu, faktor usia turut memengaruhi produksi telur, dengan penurunan alami seiring bertambahnya usia induk ayam. Serta kondisi stres dan faktor lingkungan seperti suhu dan ventilasi juga berperan serta dalam produksi dan kualitas telur yang dihasilkan.

Pemberian Nutrisi
Ayam betina membutuhkan diet seimbang dengan cukup protein, kalsium, dan energi untuk bertelur. Jangan juga abaikan kebutuhan air minum, karena kebanyakan dari peternak lupa bahwa air juga termasuk nutrisi yang utama. Hampir 80% telur terdiri dari air, bila kebutuhan air minum tidak tercukupi otomatis produksi berjalan tidak tidak optimal. Oleh karena itu, hindari pemberian nutrisi yang tidak memadai.

Kalsium sangat penting untuk pembentukan kerabang telur, bisa dikatakan kalsium merupakan nutrisi spesifik, bila terjadi kekurangan dalam pakan dapat menyebabkan kerabang telur menjadi tipis. Menggunakan pakan layer yang lengkap berarti menyediakan nutrisi yang diperlukan untuk produksi telur yang optimal. Standar nutrisi untuk ayam petelur adalah ME 2.750-2.800 Kcal dengan protein 17.5-18.00%, kalsium 3.50% dengan feed intake/hari/ekor 115-120 gram (Lohmann Brown Classic Manual Guide).

Pencahayaan
Meningkatnya pemberian intensitas cahaya harian, cenderung meningkatkan produksi telur. Pencahayaan tambahan dapat membantu mempertahankan atau meningkatkan produksi telur ayam pada saat ayam hanya mendapat periode cahaya harian normal yang pendek. Memastikan intensitas dan durasi cahaya yang cukup dapat berdampak positif pada produksi telur.

Pada masa usia produksi ayam petelur secara umum mendapatkan cahaya sebanyak maksimal... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2025.

Ditulis oleh:
Drh Arief Hidayat
Praktisi Perunggasan

ARTIKEL POPULER MINGGU INI


Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer