Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini penyakit ayam | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MEWASPADAI AVIAN ENCEPHALOMYELITIS

Serangan AE kerap memiliki kemiripan dengan ND, karena ayam mengalami kelumpuhan. (Sumber: Istimewa)

Penyakit Avian Encephalomyelitis (AE) atau biasa disebut dengan epidemic tremor mungkin masih terasa asing di telinga. Penyakit AE jelas kalah populer jika dibandingkan dengan penyakit viral lainnya, seperti ND, IBD, maupun IB yang lebih populer di Indonesia.  Ketidakpopuleran AE ini membuatnya masih dipandang sebelah mata oleh para pelaku usaha perunggasan Indonesia, padahal AE merupakan salah satu penyakit viral yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi cukup besar bagi peternakan ayam petelur dan breeding.

Masih Asing di Telinga
AE disebabkan oleh virus RNA dari genus enterovirus dan termasuk ke dalam famili Picornaviridae. Virus AE dapat menyerang ayam (buras dan ras), kalkun, burung dara dan burung puyuh. Strain virus lapangan yang pernah dikoleksi menunjukkan bahwa virus ini bersifat enterotropik (berkembang biak di dalam tubuh inang) dan memperbanyak diri di saluran pencernaan. Unggas yang terinfeksi menyebarkan virus melalui feses selama beberapa hari sampai beberapa minggu. AE biasanya dicirikan dengan adanya gejala kelainan syaraf seperti tremor, sebagai akibat adanya infeksi di Sistem Syaraf Pusat (SSP).

Transmisi penularan AE terjadi secara vertikal dan horizontal. Transmisi vertikal merupakan penularan infeksi yang terjadi dari induk ayam kepada anak ayam (transovarial).  Transmisi vertikal terjadi jika induk unggas terinfeksi AE pada masa produksi telur, sehingga virus menular pada anak ayam. Transmisi horizontal adalah penularan infeksi yang terjadi dari ayam yang terinfeksi ke ayam yang belum terinfeksi melalui lingkungan, makanan dan air minum yang terkontaminasi feses.  

Gejala Klinis
Masa inkubasi AE bervariasi, mulai dari 5-14 hari tergantung dari rute infeksi. Masa inkubasi melalui rute infeksi transovari berkisar antara 1-7 hari, sedangkan masa inkubasi melalui rute oral mencapai lebih dari 10 hari.

Gejala klinis pada anak ayam yang terinfeksi secara vertikal biasanya muncul pada minggu pertama setelah menetas, sedangkan gejala klinis pada anak ayam yang terinfeksi secara horizontal muncul setelah anak ayam berumur 2-4 minggu. Gejala klinis utama yang muncul pada anak ayam yang terinfeksi secara horizontal maupun vertikal adalah ataksia dan kelemahan kaki. Kelemahan kaki ini bervariasi, mulai dari duduk di atas persendian tarsus, sampai paresis yang mengarah pada kelumpuhan total maupun parsial, dengan gejala klinis berupa berbaring di salah satu sisi tubuh (recumbency). Tremor (gemetaran) di kepala dan leher juga merupakan gejala klinis yang sering muncul pada kasus AE, sehingga penyakit AE sering disebut dengan epidemic tremor. Tremor di kepala dan leher terlihat jelas pada saat anak ayam terkejut atau pada saat anak ayam ditaruh secara terbalik di atas tangan. Gejala klinis AE ini hanya muncul pada saat ayam berumur kurang dari empat minggu.

Gejala klinis lain yang biasanya muncul antara lain, bobot badan kurang dari standar, sebagian DOC mengalami leher yang terpuntir ke bawah (tortikolis), lemah dan lama-kelamaan ambruk diakhiri dengan kematian. Dari hasil bedah anak ayam yang sakit, ditemukan perdarahan pada otak, peradangan pada laring dan trakea, serta bursa fabricius membengkak. Diagnosis terhadap kasus ini pun akhirnya beragam, antara lain dugaan akibat kualitas DOC yang buruk, serta dugaan serangan penyakit Gumboro, ND , AI, Marek's, serta AE.

Pada ayam dewasa infeksi AE biasanya bersifat subklinis (tidak terlihat secara kasat mata). Infeksi AE pada ayam dewasa menyebabkan penurunan produksi telur serta penurunan daya tetas telur. Penurunan produksi telur akibat infeksi AE terjadi secara mendadak sebesar 5-10%, tetapi setelah dua minggu produksi telur akan kembali normal, serta tidak ditemukan adanya kelainan pada kerabang telur.

Pada ayam breeder, penurunan daya tetas telur dapat mencapai angka 5% sebagai akibat kematian embrio ayam. Pada beberapa kasus, beberapa minggu setelah infeksi, kekeruhan dari lensa mata (katarak) dapat terjadi pada ayam yang bertahan atau selamat dari infeksi. Tingkat kesakitan dan tingkat kematian akan bervariasi tergantung dari jumlah telur yang terinfeksi dan status kekebalan tubuh dari ayam. Pada beberapa kasus outbreak yang pernah terjadi di sebuah breeding farm, tingkat morbiditas dan mortalitas mencapai lebih dari 50%. Artinya, penyakit ini sangat merugikan peternak secara ekonomi. Belum lagi apabila datang penyakit lain yang bersifat oportunistik, tentunya dengan berkurangnya kinerja sistem pertahanan tubuh ayam pada saat terserang AE, ayam akan sangat rentan terserang oleh agen penyakit lain.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Prof I Wayan Teguh Wibawan, mengatakan bahwa secara praktis, gejala klinis AE pada ayam telah banyak dicurigai dan mirip dengan ND. Namun pada AE ada penekanan respon imun, hal ini terlihat dari penurunan titer antibodi ND, IB atau AI secara cepat dibandingkan biasanya.

“Secara ilmiah, diperlukan peneguhan diagnosa yang kompleks agar benar-benar jelas titik permasalahannya. Karena gejala klinis AE dan ND sangat mirip, sehingga keduanya kerap dikelirukan,” kata Wayan kepada Infovet. Yang paling sering ia soroti yakni adanya gejala klinis berupa gangguan koordinasi, sangat mirip dengan gejala ND tipe syaraf. Perbedaannya adalah derajat kematian pada ayam tidak setinggi pada serangan ND.

Jika titer antibodi ND pada kelompok ayam secara umum masih protektif (nilai HI di atas 64), tetapi ada peningkatan kematian yang signifikan dengan gejala tortikolis, maka penyakit AE perlu dipertimbangkan. Kerugian yang ditimbulkan juga bisa sangat besar, tidak hanya berupa kematian, tetapi juga mengganggu performa produksi dan meningkatkan kepekaan ayam terhadap berbagai macam penyakit.

Teknik Diagnosis
Pada pemeriksaan patologi anatomi ayam yang terinfeksi AE tidak ditemukan adanya kelainan anatomi mencolok yang menjurus kepada penyakit AE. Kelainan anatomi yang mungkin ditemukan adalah titik berwarna abu-abu atau putih pada permukaan otot gizzard (ampela). Pada pemeriksaan histologi, lesio mikroskopik pada SSP ditemukan di otak (cerebellum dan batang otak) dan spinal cord (sumsum tulang belakang). Lesio ini berupa degenerasi dan nekrosis sel syaraf (neuron), serta gliosis.

Diagnosa pada kasus AE dilakukan berdasarkan sejarah, gejala klinis, serta pemeriksaan histopatologis otak dan batang otak. Cara terbaik dalam melakukan diagnosa AE adalah dengan melakukan isolasi dan indentifikasi virus. Virus diisolasi dari otak dan duodenum beserta pankreas. Pada ayam dewasa atau ayam produksi, diagnosa AE dapat dibantu dengan melakukan pemeriksaan titer antibodi terhadap virus AE. Selain itu, dapat pula digunakan uji serologis berupa uji ELISA dalam mendeteksi “tamu tak diundang” ini.

Diferensial diagnosa dari gejala syaraf yang muncul pada kasus AE di anak ayam adalah encephalitis yang disebabkan oleh bakteri dan jamur. Infectious Bronchitis (IB), lentogenik Newcastle Disease (ND) dan Egg Drop Syndrome 76 (EDS 76), serta defisiensi vitamin A, E dan Riboflavin juga dapat dijadikan diferensial diagnosa dari kasus AE.
  
Oleh karenanya dibutuhkan pengujian lebih lanjut dalam meneguhkan diagnosis AE. Uji yang dapat mendukung peneguhan diagnosis diantaranya Isolasi dan identifikasi virus dengan PCR (Polymerase Chain Reaction), uji serologis (untuk mengukur titer antibodi AE) berupa ELISA, Virus Neutralization Test, maupun Flourescent Antibody Test.

Pencegahan
Tidak ada tindakan pengobatan yang terbukti efektif untuk mengobati infeksi AE. Apabila ada ayam yang dicurigai terinfeksi AE, ayam segera diisolasi atau dimusnahkan. Ayam yang diisolasi dapat diberikan berupa terapi suportif, seperti pemberian vitamin dan antibiotik tetapi pemberian antibiotik tidak terlalu direkomendasikan, kecuali apabila ditemukan penyakit bakterial lainnya yang juga menginfeksi ayam secara bersamaan.

Namun begitu, AE dapat dicegah dengan melakukan vaksinasi. Program vaksinasi dilakukan pada saat pullet breeder atau pullet layer berumur 9-15 minggu tergantung kondisi ayam dengan menggunakan vaksin aktif komersial. Vaksin yang seringkali penulis temukan di lapangan adalah kombinasi vaksin fowl pox dan AE. Selain itu, perlu juga diterapkan biosekuriti yang ketat dan konsisten agar tidak menulari ternak yang sehat.

Pemberian immunostimulan seperti vitamin E juga dapat dilakukan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh ayam, sehingga dihasilkan titer antibodi yang maksimal setelah vaksinasi dilakukan. Program vaksinansi AE di breeding sangat penting untuk mencegah terjadinya transmisi vertikal dan memastikan anak ayam memiliki maternal antibodi. ***


Drh Cholillurrahman
Redaksi Majalah Infovet

LANGKAH PRAKTIS PENGENDALIAN GANGGUAN PENCERNAAN UNGGAS

Ternak ayam broiler. (Foto: Dok. Infovet)

Overview
Sejak Peraturan Menteri Pertanian No. 14/2017 di keluarkan dan AGP (Antibiotic Growth Promoter) dicabut per Januari 2019, kejadian gangguan penyakit pencernaan mulai meningkat dan signifikan berpengaruh terhadap kondisi intestinal ayam.

AGP secara umum digunakan untuk menekan pertumbuhan bakteri patogen dalam usus dan biasanya spesifik mengarah ke bakteri gram positif, yaitu bakteri Clostridium perfringens. Bakteri ini adalah agen penyebab penyakit Necrotic enteritis (NE). Dengan dilarangnya penggunaan AGP maka kemungkinan besar kemunculan penyakit ini akan sering terjadi.

Menurut Paiva D., and McElroy A J. (Appl. Poult. Res. 23: 557-566), menyatakan bahwa kejadian NE meningkat setelah dilarangnya penggunaan antibiotik sebagai AGP. Masih menurut Paiva D., and McElroy A J. (Appl. Poult. Res. 23: 557-566) bahwa kejadian NE yang bersifat subklinis menyebabkan kerugian ekonomi lebih besar. Fenomena kejadian NE seperti fenomena gunung es, dimana yang bersifat subklinis justru lebih besar dibandingkan yang klinis. Kejadian NE subklinis ditandai dengan ayam tampak tidak sehat, ADG (Average Daily Gain) yang tidak tercapai dan FCR (Feed Conversion Ratio) yang buruk.

NE, Koksidiosis dan Dampak Ekonominya
Kemunculan NE pada ayam broiler tidak bisa lepas dari infeksi parasit awal, yakni Koksidiosis. Gejala jika dilihat dari ekskreta yang di keluarkan broiler pun hampir sama cirinya, yakni cenderung berdarah. Infeksi awal NE pada saluran pencernaan akan mengikuti setelah serangan Koksi dan biasanya terjadi di sekitar duodenum. Masuknya Koksi akan menembus fili-fili usus. Banyaknya sel usus yang rusak merupakan pintu bagi masuknya bakteri Clostridium perfringens. Serangannya pun tidak tanggung-tanggung, yakni sepanjang usus itu sendiri. Kasus yang terjadi pada broiler lebih banyak disebabkan... (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Oktober 2019)

Drh Sumarno
Senior Manager AHS, PT Sierad Produce Tbk

MEMAHAMI PENTINGNYA TITER ANTIBODI

Kegagalan vaksinasi dapat berakibat fatal. (Foto: Dok. Infovet)

Usaha peternakan ayam merupakan usaha yang membutuhkan investasi besar dan penuh risiko. Salah satu ancaman terhadap investasi tersebut adalah tantangan penyakit, khususnya penyakit viral yang tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan. Tentunya dengan maraknya penyakit viral yang ada dan menjangkiti ayam, perlu dilakukan usaha berupa program vaksinasi dan biosekuriti, perlu juga melakukan monitoring status kesehatan ayam yang dipelihara. Monitoring status kesehatan ayam dapat dilakukan dengan pemantauan titer antibodi, yaitu uji serologi.

Sistem Kekebalan Ayam
Secara umum sistem kekebalan pada unggas hampir sama dengan sistem kekebalan hewan lainnya. Sistem kekebalan unggas juga ada yang merupakan sistem kebal alami yang bersifat fisik seperti bulu dan kulit maupun kimiawi, seperti pembentukan lendir/mukus dan enzimatis (lisozim yang terkandung dalam air mata).

Sistem kekebalan lainnya adalah sistem kebal dapatan yang bersifat seluler maupun humoral. Limfosit merupakan unsur kunci sistem kekebalan tubuh. Selama perkembangan janin, prekursor limfosit berasal dari sumsum tulang. Pada unggas, prekursor yang menempati bursa fabricius di transformasi menjadi limfosit yang berperan dalam kekebalan humoral (limfosit B). Sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel B memori. Sel T dibagi menjadi empat, yaitu sel T pembantu, sel T supresor, sel T sitotoksik (sel T efektor atau sel pembunuh) dan sel T memori (Ganong 1998).

Anak ayam yang baru menetas memiliki antibodi maternal yang diturunkan dari induknya. Antibodi maternal yang diperoleh secara pasif dapat menghambat pembentukan imunoglobulin, sehingga mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Penghambatan antibodi maternal berlangsung sampai antibodinya habis, yaitu sekitar 10-20 hari setelah menetas (Tizard 2004). Anak ayam yang antibodi maternal asal induknya telah hilang akan menjadi sangat rentan terhadap infeksi penyakit di alam. Oleh karena itu perlu dilakukan vaksinasi untuk merangsang sistem kekebalan anak ayam.

Antibodi merupakan suatu molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai akibat interaksi antara limfosit B dengan bibit penyakit atau agen asing (termasuk vaksin). Antibodi ini berfungsi menetralisir bibit penyakit yang berhasil menginfeksi ke dalam tubuh ayam. Kemampuan titer antibodi dalam menetralisir infeksi bibit penyakit akan optimal jika titernya protektif.

Diketahui bahwa antibodi ini berperan sebagai “satuan pengamanan” yang akan menetralisir/menghancurkan agen penyakit sesuai dengan jenis antibodi yang terbentuk. Sebagai contoh, ketika titer antibodi AI di dalam tubuh rendah, secara kasat mata ayam tidak menunjukkan gejala apapun. Namun ketika ada serangan bibit penyakit dari lapangan, titer antibodi yang rendah tersebut tidak mampu menghalau serangan, walhasil outbreak pun tak dapat dielakkan.

Berbeda halnya jika dilakukan... (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Oktober 2019)


Oleh Drh Cholillurrahman
Redaksi Majalah Infovet

TOXIN BINDER DAN PERANANNYA

Kualitas pakan secara fisik ataupun laboratories sangat menentukan seberapa perlu penggunaan toxin binder dan kriteria/jenis penggunaannya sesuai dengan keperluan. (Sumber: zootecnicainternational.com)

Indonesia adalah negara yang terletak di sepanjang garis khatulistiwa, beriklim tropis dengan kelembaban udara yang relatif tinggi dari waktu ke waktu (sehingga sering disebut sebagai negara dengan iklim tropis basah). Indonesia memiliki iklim laut yang sifatnya lembab dan banyak mendatangkan hujan. Pada musim penghujan jelas akan memberikan dampak signifikan terhadap kelembaban lingkungan dibanding saat musim kemarau. Hal ini juga karena Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana sebagian besar tanah daratannya dikelilingi lautan dan samudera. Sehingga potensi pembentukkan uap air jauh lebih tinggi dibanding negara yang daratan lebih besar.

Lembab dan Faktor Resiko Munculnya Jamur
Pola suhu dan kelembaban di Indonesia dalam 24 jam sangat menciri sekali. Dimana pada saat tengah malam menuju ke dini/pagi hari, rendahnya suhu lingkungan biasanya akan diikuti oleh tingginya kelembaban, dan sebaliknya saat tingginya suhu siang hari secara umum kelembaban akan menurun signifikan.

Salah satu keunikan yang terjadi di Indonesia adalah dijumpainya kemarau basah yang berkepanjangan. Tingginya cekaman panas pada musim kemarau akhir-akhir ini menyebabkan terjadinya penguapan yang berlebihan dan berdampak pada terkumpulnya awan yang mengandung uap air yang pada titik kondensasi tertentu akan berubah menjadi hujan. Sehingga tidak jarang dijumpai kondisi pada saat cuaca panas, namun hujan turun yang menyebabkan kelembaban lingkungan semakin tinggi. Hal inilah yang menyebabkan pola kelembaban tidak hanya dipengaruhi rendahnya suhu pada malam hari, namunn juga suhu yang relatif tinggi yang berakibat penguapan berlebih pada saat siang hari.

Konsekuensi logis dari kondisi geografis tersebut membuat peternak harus lebih rinci dan detail dalam menjalankan aktivitas budidaya perunggasannya agar bisa meminimalkan efek atau resiko buruk dari kelembaban tinggi yang berdampak pada performa produksi ayam. Bahkan kelembaban relatif lingkungan bisa mencapai 100%. Tidak hanya sekedar dalam memainkan setting kipas dan tirai, upaya menjaga kualitas litter, mencegah adanya kepadatan semu, juga harus fokus terhadap ancaman penurunan kualitas pakan oleh adanya jamur dan mikotoksin. Mengingat efek yang dihasilkan sangat berbahaya dan merugikan, baik yang secara kasat mata mapun yang tidak.

Jamur dan Mikotoksin
Banyak para peternak yang belum bisa membedakan antara keduanya. Ada beberapa diantara peternak yang menganggapnya...

Drh Eko Prasetio
Commercial Broiler Farm Consultant


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2019.

MEMBEBASKAN PAKAN DARI ANCAMAN TOKSIN

Jagung sebagai bahan baku pakan rentan tercemar mikotoksin. (Foto: Infovet/Ridwan)

Toksin, atau lazim disebut dengan mikotoksin dalam dunia peternakan. Permasalahan klasik yang kerap kali mengintai semua unit usaha yang bergerak di bidang perunggasan dari hulu maupun hilir.

Toksin dapat diartikan sebagai senyawa beracun yang diproduksi di dalam sel atau organisme hidup, dalam dunia veteriner disepakati terminologi biotoksin dalam menyebut mikotoksin maupun toksin lainnya, karena toksin diproduksi secara biologis oleh makhluk hidup memalui metabolisme bukan artificial (buatan). 

Dalam industri pakan ternak seringkali didengar istilah mikotoksin (racun yang dihasilkan oleh cendawan/kapang/jamur). Sampai saat ini cemaran dan kontaminasi mikotoksin dalam pakan ternak masih membayangi tiap unit usaha peternakan, tidak hanya di negeri ini tetapi juga di seluruh dunia.

Mikotoksin selalu Menjadi Momok
Dalam dunia peternakan, setidaknya ada tujuh jenis mikotoksin yang menjadi tokoh “protagonis”, ketujuhnya seringkali mengontaminasi pakan dan menyebabkan masalah pada ternak. Terkadang dalam satu kasus, tidak hanya satu mikotoksin yang terdapat dalam sebuah sampel. Peternak pun dibuat kerepotan oleh ulah mereka. Adapun jenis toksin yang penting untuk diketahui diantaranya, Aflatoksin, Ochratoksin, Fumonisin, Zearalenon, Ergot Alkaloid, Deoxynivalenol (DON)/Vomitoksin dan T-2 Toksin.

Menurut Managing Director Biomin Indonesia, Drh Rochmiyati Setiarsih, masalah mikotoksin merupakan masalah klasik yang terus berulang dan sangat sulit diberantas. “Banyak faktor yang memengaruhi kenapa mikotoksin sangat sulit diberantas, misalnya saja dari cara pengolahan jagung yang salah,” tutur wanita yang akrab disapa Yati tersebut.

Di Indonesia kebanyakan petani jagung hanya mengandalkan iklim dalam mengeringkan jagungnya, dengan bantuan sinar matahari/manual biasanya petani menjemur jagung hasil panennya. Mungkin ketika musim panas hasil pengeringan akan baik, namun pada musim basah (penghujan), sinar matahari tentu tidak bisa diandalkan. “Jika pengeringan tidak sempurna, kadar air dalam jagung akan tinggi, sehingga disukai oleh kapang. Lalu kapang akan berkembang di situ dan menghasilkan toksin,” katanya.

Masih masalah iklim menurut Yati, Indonesia yang beriklim tropis merupakan wadah alamiah bagi mikroba termasuk kapang dalam berkembang biak. “Penyimpanan juga harus diperhatikan, salah dalam menyimpan jagung artinya... (CR)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2019.

AGAR AMAN DARI ANCAMAN TOKSIN

Kebanyakan jamur biasanya tumbuh pada tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan baku pakan, seperti jagung dan kacang kedelai. (Foto: Dok. Infovet)

Mikotoksin sangat berbahaya bagi kelangsungan performa peternakan unggas. Kontaminasi mikotoksin pada unit usaha unggas, baik broiler maupun layer, dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar.

Ancaman Tak Terlihat
Jamur, cendawan, atau kapang tumbuh dimana saja dan kapan saja, terutama ketika kondisi lingkungan menguntungkan bagi mereka (lembab). Yang lebih berbahaya lagi, kebanyakan jamur biasanya tumbuh pada tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan baku pakan, seperti jagung dan kacang kedelai. Kedua jenis tanaman tersebut merupakan unsur penting dalam formulasi ransum. Jagung digunakan sebagai sumber energi utama dalam ransum, sedangkan kedelai sebagai sumber protein. Persentase penggunaan jagung dan kacang kedelai dalam suatu formulasi ransum unggas di Indonesia sangat tinggi. Jagung dapat digunakan sampai 50-60%, sedangkan kedelai bisa sampai 20%. Bayangkan ketika keduanya terkontaminasi mikotoksin?

Sayangnya, kontaminasi mikotoksin dalam bahan baku pakan ternak bisa dibilang tinggi. Data dari Biomin pada 2017, menununjukkan bahwa 74% sampel jagung dari Amerika Serikat terkontaminasi Deoksinivalenol/DON (Vomitoksin) pada tingkat rata-rata (untuk sampel positif) sebesar 893 ppb. Sedangkan 65% dari sampel jagung yang sama terkontaminasi dengan FUM pada tingkat rata-rata 2.563 ppb. Selain itu, ditemukan 83% sampel kacang kedelai dari Amerika Selatan terkontaminasi DON pada tingkat rata-rata 1.258 ppb. Kesemua angka tersebut sudah melewati ambang batas pada standar yang telah ditentukan.

Jika sudah mengontaminasi bahan baku pakan, apalagi pakan jadi, tentunya akan sangat merugikan, baik produsen pakan maupun peternak. Menurut Poultry Health Division PT Kerta Mulya Saripakan, Drh Jumintarto, mikotoksikosis klinis bukanlah kejadian umum di lapangan. Namun mikotoksikosis subklinis yang justru sering ditemukan di lapangan.

Gejalanya klinisnya sama dengan penyakit lain, misalnya imunosupresi yang mengarah pada penurunan efikasi vaksin, hati berlemak, gangguan usus akibat kerusakan fisik pada epitel usus, produksi bulu yang buruk dan pertumbuhan yang tidak merata, juga kesuburan dan daya tetas telur yang menurun. “Kita harus berpikir begitu dalam dunia perunggasan, soalnya memang kadang gejalanya mirip-mirip dan kadang kita tidak kepikiran seperti itu,” ujarnya.

Jumintarto juga menyarankan, agar setiap ada kejadian penyakit di lapangan, sebaiknya diambil sampel berupa jaringan dari hewan yang mati, sampel pakan dan lain sebagainya. “Ancaman penyakit unggas kebanyakan tak terlihat alias kasat mata, dokternya juga harus lebih cerdas, periksakan sampel, cek ada apa di dalam jaringan atau pakan, bisa saja penyakit bermulai dari situ, makanya kita harus waspada,” jelas dia.

Manajemen Risiko, Wajib Hukumnya
Apa yang pertama kali terpikirkan ketika dihadapkan dengan mikotoksin? Pasti adalah toksin binder. Toksin binder memang sudah lama digunakan dalam industri pakan ternak. Berbagai macam... (CR)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2019

MEWASPADAI PENYAKIT PERNAPASAN

Penting untuk memerhatikan kepadatan kandang, karena dapat menjadi pemicu penyakit pernapasan. (Sumber: Istimewa)

Bernapas merupakan Salah satu ciri dan kebutuhan makhluk hidup. Dalam dunia perunggasan, kebanyakan penyakit menyerang saluran pernapasan. Berhasil dalam mencegah dan menanggulangi penyakit pernapasan, selain meningkatkan kualitas hidup dari ternak unggas, tentunya juga menjadi kunci dalam menjaga produktivitas.

Kegiatan yang sehari-hari dilakukan oleh makhluk hidup secara sadar yakni bernapas. Sebagaimana diketahui, prinsip dari bernapas yakni melakukan pertukaran udara dari dalam tubuh. Bernapas bukan hanya kegiatan mengeluarkan karbondioksida dan mengirup oksigen, tetapi juga memiliki arti penting seperti membantu proses kekebalan primer dan memperlancar mekanisme pengaturan suhu tubuh. 

Pertahanan pada Saluran Pernapasan Unggas
Secara umum, saluran pernapasan unggas terdiri atas saluran pernapasan bagian atas, paru-paru dan kantung udara. Saluran pernapasan bagian atas dimulai dari hidung, laring, trakea, bronkus dan bronkiolus. Karena berhubungan langsung dengan dunia luar, di dalam rongga hidung dilengkapi dengan filter alami berupa silia/bulu getar yang berfungsi sebagai penyaring partikel-partikel udara seperti debu bahkan mikroorganisme lainnya.

Begitu pula dengan trakea, sel-sel epitel yang ada pada trakea dilengkapi juga dengan bulu getar, namun tak bersilia. Sel-sel epitel tersebut akan menghasilkan mukus/lendir yang dapat menghancurkan berapa jenis mikroorganisme. Karena mukus tadi mengandung enzim proteolitik dan surfaktan. Yang tadi disebutkan oleh penulis di atas merupakan sistem pertahanan utama dalam saluran pernapasan unggas. Dapat dibayangkan apabila sistem pertahanan rusak akibat berbagai macam hal iritasi akibat kadar amonia yang tinggi, tentunya dapat memudahkan mikroorganisme patogen untuk masuk ke dalam saluran pernapasan ayam. Dari sinilah kemudian penyakit saluran pernapasan dimulai. 

Faktor Penyebab Penyakit Saluran Pernapasan
Siapakah yang paling sering disalahkan ketika terjadi wabah penyakit pernapasan di suatu peternakan? Pasti banyak orang akan menjawab... (CR)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juni 2019.

MENJAGA SALURAN PERNAPASAN

Brooding sukses, pernapasan beres. (Istimewa)

Penyakit pada sistem pernapasan unggas bisa dibilang ngeri-ngeri sedap. Selain menunjukkan gejala klinis yang serupa dan kadang tidak spesifik, daya bunuhnya juga luar biasa. Jangan lupakan juga penyakit zoonotik seperti AI (Avian Influenza) yang juga menyerang sistem pernapasan.

Ayam modern memang banyak memiliki kelebihan, terutama dari segi performa produksi dan kecepatan pertumbuhan. Namun begitu, seperti yang sudah dibahas sebelumnya, ayam modern cenderung lebih mudah stres yang berdampak pada turunnya performa, bahkan berujung kematian.

Bicara saluran pernapasan, sistem ini merupakan sistem terbuka yang berhubungan langsung dengan dunia luar layaknya saluran pencernaan. Jadi, sistem pernapasan juga merupakan pintu masuk bagi agen-agen penyakit dari luar tubuh ayam. 

Kenyamanan Ayam
Fokus dalam menanggulangi dan mencegah penyakit pada saluran pernapasan utamanya adalah menciptakan supply kualitas udara yang baik dan berkelanjutan. Oleh karenanya, beberapa titik kritis harus diperhatikan agar sistem ventilasi di kandang maksimal dan membuat ayam nyaman di dalamnya.

Hal pertama yang perlu diperhatikan yakni konstruksi kandang. Kandang yang apik dengan kualitas udara yang baik akan membuat penghuninya bernapas dengan nyaman. Di masa kini, bisa dibilang kandang closed house adalah sebuah keniscayaan, namun karena berbagai macam alasan, mayoritas peternak Indonesia masih mengadopsi “madzhab” kandang terbuka (open house) dengan tipe postal maupun panggung. 

Kedua tipe kandang terbuka tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, namun begitu konstruksi kandang harus disesuaikan dengan keadaan lokasi dan modal yang dimiliki. Prinsip pembuatan kandang adalah kuat/kokoh, murah dan dapat memberikan kenyamanan pada ayam. Kekuatan kandang harus diperhitungkan dalam pembuatan kandang karena berkenaan dengan keselamatan ayam dan pekerja kandang. Oleh karena itu, konstruksi kandang tidak boleh sembrono dan “setengah-setengah”.

Kandang harus kuat terhadap terpaan angin dan mampu menahan beban ayam. Untuk itu, perlu diperhatikan konstruksinya agar kokoh dan tidak mudah ambruk. Disamping kuat, pembangunan kadang diusahakan murah, tetapi bukan murahan. Artinya, membangun kandang hendaknya menggunakan bahan-bahan yang mudah didapat tanpa mengurangi kekuatan kandang.

Sales Representative PT Big Dutchman Indonesia, Arfiyan Sudarjat, mengatakan, memang perubahan iklim dan cuaca sekarang sangat ekstrem, apalagi di negara-negara tropis seperti Indonesia, keadaan ini akan menyebabkan ayam menjadi stres, karenanya closed house menjadi sebuah solusi dalam menjaga kualitas udara dalam kandang.

“Kenyataannya memang seperti itu, namun karena faktor biaya (utamanya) orang jadi enggan bikin closed house, padahal closed house adalah investasi yang menjanjikan dan dapat digunakan jangka panjang. Kalau murah atau mahalnya itu tergantung peternak mau yang sederhana atau yang kompleks,” kata Arfiyan.

Ia tidak menyalahkan mindset masyarakat dan peternak yang masih menganut sistem kandang terbuka, tetapi lebih menyarankan kepada mereka agar lebih ketat dalam manajemen pemeliharaan, utamanya biosekuriti, selain juga memperhatikan... (CR)


Selengkapnya baca di Majalah infovet edisi Juni 2019.

PERSOALAN SEKAM DAN PENYAKIT PERNAPASAN AYAM, INI SOLUSINYA

Sekam yang diolah dengan baik dapat dimanfaatkan berulang kali, khususnya untuk kandang closed house. (Foto: Dok. Infovet)

Sekam lantai kandang pada ayam broiler, merupakan upaya untuk menjaga kesehatan dan mendongkrak produktivitas. Oleh karena itu, situasi dan kondisi yang kotor dan mengandung aneka gas buang yang berasal dari kotoran (feses), tumpahan pakan yang bercampur dengan air, harus semaksimal mungkin bisa ditekan.

Untuk meminimalisir hal tersebut pada kenyataannya memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Menurut konsultan perunggasan, Dhanang Purwantoro, feses cenderung terkumpul dan menumpuk, yang pada akhirnya menimbulkan persoalan.

“Hal itulah yang menyebabkan ayam rentan menderita gangguan kesehatan, terutama penyakit pernapasan,” katanya kepada Infovet saat ditemui pada suatu acara pertemuan peternak broiler closed house di Malang, April lalu.

Dhanang menjelaskan, persoalan sekam pada ayam potong saat ini semakin serius dan harus segera dicarikan solusinya. Apalagi sekarang harga sekam semakin mahal dan kadang sulit didapat. Belum lagi ongkos bongkar dan pembuangan pasca panennya. Untuk itu, kata dia, diupayakan mengelola sekam menjadi lebih baik dan sehat, khususnya kandang closed house.

Sebab, sekam yang kotor merupakan sumber utama agen penyakit untuk berkembang biak dan menyebar, selain menyebabkan bau tak sedap dan mencemari lingkungan sekitar kandang. Lebih lanjut, ada beberapa jenis gas yang muncul dan bersifat destruktif terhadap kesehatan ayam, seperti amonia (NH3), asam sulfida (H2S) dan jenis gas lainnya, serta aneka mikroorganisme patogen.

“Gas buang itu semakin meningkat volumenya seiring dengan bertambahnya umur ayam. Ini menjadi pemantik awal terdegradasinya stamina ayam. Apabila peternak lalai dan membiarkan lantai sekam kotor, muncul potensi aneka gangguan kesehatan dan berbagai sergapan penyakit,” jelasnya.

“Berbeda jika peternak mau mengelola dan mengolah sekam dengan baik, umumnya ayam akan tumbuh sehat dan performanya relatif lebih baik.”

Mengolah Sekam
Mengolah dan mengelola sekam kini menjadi tren yang tengah dikembangkan tim Agrikencana Perkasa Klaten, Jawa Tengah. Dari beberapa keluhan peternak, dilakukan kajian mendalam mengenai pengolahan sekam. Hasilnya terbukti sekam dapat digunakan lebih dari 10 kali periode pemeliharaan ayam.

Menurut Dhanang, peternak hanya perlu melakukan penyemprotan pada lantai sekam menggunakan probiotik yang berisi mikroorganisme tertentu. Hal itu dilakukan sejak chick in, masa pemeliharaan, hingga pasca panen. Maksud dari pengolahan sekam tersebut membantu... (iyo)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Juni 2019.

TRIK JITU TANGANI SERANGAN PENYAKIT BAKTERIAL

Desinfektan celup kaki, contoh sederhana penerapan biosekuriti. (Sumber: viv.net)

Dalam dunia mikroorganisme, bakteri merupakan salah satu yang paling sering dibicarakan. Terutama bakteri yang bersifat patogen. Celakanya, dalam dunia peternakan khususnya unggas, bakteri-bakteri patogen kerap kali menjadi biang permasalahan.

Menjaga kesehatan ternak demi menuai performa yang produktif wajib hukumnya. Terlebih lagi dalam perunggasan, selain penyakit non-infeksius, penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri sering kali terdengar mewabah. Kadang wabah dari infeksi bakteri yang terjadi di suatu peternakan ayam dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Oleh karenanya dibutuhkan trik-trik jitu dalam menanganinya. 

Karena Bakteri jadi Merugi
Kesuksesan mengontrol bakteri patogen, menghindari kontaminasi, mencegah multifikasi dan menyebabkan penyakit, menurut Ensminger (2004) adalah salah satu kunci sukses dalam menjaga performa dan produksi ternak. Namun, tidak semua peternak mampu melakukan hal tersebut. Cerita datang dari Marzuki, peternak asal Tanah Tinggi, Tangerang. Pernah ia mengalami kerugian akibat wabah penyakit CRD (Chronic Respiratory Disease) kompleks beberapa tahun lalu.

Awal mula menjadi peternak broiler, ia mengira bahwa memelihara ayam mudah, hanya tinggal memberi pakan dan menunggu saja, walaupun kenyataannya tidak. Dirinya baru mengetahui bahwa ayamnya terserang Colibacillosis ketika ada staf technical service suatu perusahaan obat mendatangi kandangnya.

“Saya enggak tahu-menahu awalnya, yang saya tahu penyakit ayam kalau enggak tetelo atau flu burung,” kata Marzuki. Ia kemudian secara perlahan mempelajari mengenai manajemen pemeliharaan yang baik dan benar dari berbagai sumber. Ketika diserang Colibacillosis, kerugian ekonomi yang diderita Marzuki mencapai 50% dari total ayamnya.

Menurut Product Manager PT Sanbe Farma, Drh Dewi Nawang Palupi, infeksi bakteri sangat berbahaya dan merugikan. Ia menegaskan, penyakit bakterial seperti Colibacillosis ditentukan oleh manajemen kebersihan kandang. Terlebih jika manajemen kebersihan kandang buruk dan tidak menerapkan sanitasi dalam kandang dan air minum.

“Kematian sekitar 1-2%, dan bisa berlangsung lama bila tidak ditangani dengan baik. Jika terjadi di minggu pertama masa pemeliharaan ,kematian bisa mencapai 10-15%. Saya menduga jika kematian sampai 50% ada campur tangan penyakit lain (komplikasi),” jelas Dewi.

Kendati demikian, Dewi juga menjelaskan bahwa Colibacillosis seseungguhnya bukan penyakit yang serta-merta menyerang begitu saja. Kemungkinan jika ada kandang yang terserang Colibacillosis itu hanya dampak sampingan saja. “E. Coli itu bakteri komensal di usus dan organ pencernaan, jadi kalau tiba-tiba berubah jadi patogen pasti karena... (CR)


Selengkapnya baca di Majalah infovet edisi Mei 2019

PROBIOTIK SEBAGAI PENCEGAH PENYAKIT BAKTERIAL

Dengan aplikasi probiotik secara terprogram dan pengontrolan tindakan biosekuriti yang ketat dapat memberikan hasil yang lebih baik untuk mencegah sergapan penyakit bakterial. (Sumber: alibaba.com)

Pasca regulasi pelarangan antibiotik pemacu pertumbuhan di dalam Pakan (AGP), harus diakui bahwa persoalan yang masih meliputi adalah performa ayam yang menjadi kurang optimal, baik aspek pertumbuhan yang jauh dari seharusnya bahkan ada potensi kecenderungan kekerdilan, hasil program vaksinasi yang kurang optimal serta konversi pakan yang buruk.

Menurut Drh Rully Susetyawan, selaku pengelola produksi dan penanggung jawab perusahaan produksi ayam PT Januputro, mengungkapkan hal itu kepada Infovet. 

Ketika ditanya mengenai solusi terhadap persoalan tersebut, ia menjelaskan, sebenarnya problem kurang optimalnya pertumbuhan diduga karena tidak optimalnya hasil program vaksinasi. Sehingga memungkinkan infeksi sub-klinis yang disebabkan oleh agen penyakit viral yang juga berakibat pada sergapan agen penyakit bakterial.

“Potensi kekerdilan dan pertumbuan yang lambat bukan diakibatkan oleh kualitas pakan yang kurang baik, namun lebih disebabkan karena infeksi virus sub-klinis yang diperparah dengan infeksi sekunder dari agen penyakit bakterial,” ujar Rully.

Ia pun menyarankan pengaplikasian probiotik untuk mencegah agen penyakit bakterial, sebagai upaya menekan kerugian yang jauh lebih besar. Memang setelah dicermati secara seksama dalam beberapa periode pemeliharaan, terbukti hasilnya cukup baik. Meskipun upaya untuk membuat kekebalan terhadap sergapan penyakit bakterial tidak begitu maksimal.

“Memang untuk kekebalan hanya vaksinasi caranya. Meski demikian, dengan aplikasi probiotik secara terprogram dan pengontrolan tindakan biosekuriti yang ketat dapat memberikan hasil yang lebih baik untuk menangani sergapan penyakit bakterial,” ungkap dia.

Selain itu, melalui program pemberian probiotik, lanjut Rully, memberikan dampak cukup baik terhadap lingkungan dan efisiensi pakan. “Kandungan amonia di dalam kotoran ayam menjadi jauh sangat rendah. Sehingga mampu membuat ayam tumbuh lebih baik dan infeksi saluran pernapasan sangat berkurang. Selain itu, konversi pakan semakin baik dan efeknya pertumbuhan optimal,” jelasnya.

Perlu diingat, bahwa pilihan aplikasi program probiotik sebagai upaya alternatif pengganti AGP... (iyo)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Mei 2019.

AYAM KAMPUNG KEBAL FLU BURUNG?

Ayam Kampung masih diminati masyarakat. (Istimewa)

Ayam kampung atau ayam buras yang kini populer disebut ayam lokal memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Ayam kampung juga identik dengan pemeliharaan non-intensif. Dikala wabah AI (Avian Influenza) melanda, bagaimana seharusnya memelihara ayam kampung? Benarkah mereka kebal terhadap serangan AI?

Indonesia merupakan negara dengan tingkat biodiversitas yang tinggi, termasuk di sektor ayam asli (native chicken). Nataamijaya (2000) mencatat, terdapat 32 galur ayam lokal asli yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi ayam pedaging, petelur, petarung dan ayam hias. Dibalik segala pesonanya, ada satu hal yang menjadi sorotan, yakni mengenai kekebalan alami terhadap AI yang dimiliki oleh ayam lokal. Di sini penulis mencoba menggali hal tersebut untuk membuka cakrawala masyarakat terhadap ayam lokal.

Tahan AI, Mitos atau Fakta?
Sudah menjadi hal yang umum bahwa masyarakat Indonesia khusunya di pedesaan banyak memelihara ayam kampung sebagai hewan pemeliharaan. Pemeliharaan biasanya dengan sistem non-intensif (diumbar tanpa diberi makan), maupun semi intensif (dikandangkan seadanya, diumbar dan diberi makan). Selain minim perawatan, alasan yang biasanya terlontar dari masyarakat adalah tahan penyakit.

Berdasarkan pengalaman dari beberapa rekan-rekan peternak ayam kampung, memang perawatan terutama program medis yang diberikan bisa dibilang minim. Jika yang lain sibuk dengan program kesehatan ayam broiler dan layer berupa vaksin, suplementasi dan sebagainya, ayam kampung justru sebaliknya. Mereka cukup diumbar, diberi makan dan dipanen telur maupun dagingnya.

Meskipun produktivitasnya rendah, ayam lokal memiliki keunggulan tersendiri. Maeda et al. (2006), menyatakan bahwa 63% ayam lokal Indonesia tahan terhadap virus Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) atau flu burung, karena memiliki frekuensi gen antivirus Mx+ yang lebih tinggi. Secara genetik, ketahanan terhadap virus, termasuk virus ND (Newcastle Disease), salah satunya dikontrol oleh gen Mx.

Berdasarkan data dari Gen Bank dengan nomor akses DQ788615, berada di kromosom 1 dan bekerja mentranskripsi protein Mx yang berfungsi sebagai promotor ketahanan terhadap infeksi virus. Gen Mx dilaporkan dapat digunakan sebagai penciri genetik untuk sifat ketahanan tubuh ayam terhadap infeksi virus, seperti virus AI dan ND.

Hasil penelitian Maeda tersebutlah yang menjadi rujukan bahwa sebagian besar (63%) ayam lokal Indonesia... (CR)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Mei 2019.

MANAJEMEN PASCA PANEN

Desinfeksi kandang wajib dilakukan untuk mengurangi jumlah bibit penyakit yang ada di dalam kandang. (Istimewa)

Ayam broiler merupakan sumber protein hewani alternatif yang banyak di konsumsi masyarakat dikala harga daging sapi masih belum terjangkau oleh kantong masyarakat. Sehingga peternakan ayam pedaging semakin meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun seiring tingginya permintaan pasar akan daging ayam. Pemeliharaan ayam pedaging membutuhkan manajemen pemeliharaan yang baik untuk mencapai hasil yang maksimal.

Diketahui bahwa dalam memelihara ayam broiler memiliki dua fase yang harus dilewati, yakni fase starter dan finisher. Periode starter ayam pedaging (umur 0-21 hari) merupakan masa pertumbuhan awal bagi ayam pedaging, untuk beradaptasi dengan lingkungan kandang yang baru. Sedangkan fase finisher adalah periode akhir dimana ayam siap di panen berkisar 5-7 minggu, diharapkan berat badan ayam tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan. Tentunya kali ini penulis akan menitikberatkan pada fase setelah finisher, atau fase ayam setalah dipanen.

Persiapan Kandang Setelah Panen
Masa persiapan kandang mempunyai andil besar terhadap keberhasilan pemeliharaan ayam. Kegagalan pada masa pemeliharaan akan mengakibatkan peningkatan ancaman serangan bibit penyakit.

Saat kondisi kandang kotor, konsentrasi atau tantangan agen penyakit dalam kandang meningkat. Kondisi ini akan memperlebar peluang ayam terinfeksi atau terserang penyakit. Begitu pula sebaliknya, saat kondisi kandang bersih dan telah didesinfeksi maka konsentrasi agen penyakit akan menurun, sehingga tantangan agen penyakit berkurang dan ayam aman dari infeksi atau serangan penyakit. 

Saat ayam diafkir atau dipanen, di dalam kandang akan tertinggal sisa-sisa pemeliharaan ayam, baik kotoran, debu maupun bulu. Tidak luput pula, sejumlah besar bibit penyakit yang terdapat pada periode sebelumnya akan tertinggal di kandang. Oleh karena itu, sangat penting menjaga kebersihan kandang walaupun kandang sudah kosong.

Biasanya, saat kandang kosong setelah panen, kotoran ayam menumpuk, sisa-sisa bulu ayam tertinggal di seluruh bagian kandang, serta terdapat debu-debu di setiap sudut kandang. Kondisi ini tentu menjadi media yang baik sebagai tempat persembunyian dan perkembangan bibit penyakit. 

Perlu dipahami bersama, saat kondisi kandang dan lingkungannya kotor, bibit penyakit akan bertahan lebih lama. Terlebih lagi ada bahan organik, seperti feses yang bisa menjadi media bibit penyakit untuk tetap hidup. 

Bibit penyakit dapat bertahan hidup di kandang dalam hitungan jam maupun hari, oleh karena itu perlu disadari pentingnya menjaga kebersihan kandang. Beberapa bibit penyakit yang dapat tertinggal dan bertahan hidup di dalam kandang diantaranya virus Gumboro, Koksidia, Mycoplasma, Salmonella, Avian Influenza (AI), Newcastle Disease (ND) dan lain sebagainya.

Treatment Kandang yang Kotor
Fokus keberhasilan manajemen pembersihan dan desinfeksi kandang ialah mengurangi jumlah bibit penyakit yang berada di dalam kandang. Mengurangi? Kenapa tidak dihilangkan (sterilisasi)?. Sterilisasi bukan istilah yang tepat digunakan untuk aktivitas tersebut, mengingat kondisi kandang yang tidak bisa terkendali secara penuh, misalnya saja aliran udara yang tidak bisa dikendalikan akan mengakibatkan bibit penyakit selalu ada di dalam kandang. Oleh karena itu, istilah yang digunakan dalam manajemen pembersihan kandang ialah sanitasi dan desinfeksi.

Adapun treatment/perlakuan yang bisa dilakukan pada kandang adalah:... (CR)


Selengkapnya baca di majalah Infovet edisi Mei 2019.

KENDALIKAN AMONIA SEBELUM CRD MERUSAK

Ngorok, merupakan manifestasi klinis yang sering terlihat pada CRD. (Istimewa)

Siapa tidak tahu Chronic Respiratory Disease atau yang biasa disingkat CRD, peternak manapun di Indonesia pasti sangat fasih mengenai penyakit tersebut. Hampir seluruh peternakan ayam broiler komersil di Indonesia terutama yang masih menggunakan sistem kandang terbuka pasti pernah terinfeksi CRD. Seakan tanpa celah, kasus CRD selalu terulang dan tidak ada habisnya.

Seluruh peternak ayam broiler kawakan pasti sudah hafal sekali dengan penyakit ini. Bakteri penyebabnya, gejala klinisnya, akibat yang ditimbulkannya, bahkan sampai dengan terapi dalam mengobatinya. Namun mengapa kasus ini selalu terulang? Tentunya harus ada antisipasi lebih agar CRD tidak selalu menjadi residivis yang menyebabkan kerugian lebih lanjut.

Mengapa Terus Berulang?
Penyakit yang pada hakikatnya disebabkan oleh Mycoplasma gallinarrum ini termasuk menjadi kasus “langganan” terutama pada peternakan broiler komersil. Sekedar flashback saat masih duduk di bangku perkuliahan, ketika menemukan ayam dengan gejala klinis nafas terengah-engah (panting) yang disertai dengan ngorok, peradangan pada konjugtiva dan bahkan pertumbuhan yang cenderung terhambat, arah diagnosis sudah menuju kesitu.

Terlebih lagi apabila ayam-ayam dengan gejala klinis tadi di-nekropsi dengan temuan berupa airscaculitis (peradangan kantung hawa), pericarditis (peradangan selaput jantung), serta perihepatitis (peradangan selaput hati), maka bisa dipastikan ayam tersebut mengidap CRD. Ditambah lagi dengan berbagai peradangan pada saluran pernafasan bagian atas dan juga infeksi sekunder dari bakteri E.coli yang mengakibatkan timbulnya perkejuan, maka sudah sangat pas bahwa diagnosis penyakit tersebut adalah CRD kompleks.

Pada dasarnya bakteri M. gallinarum sebenarnya adalah bakteri yang memang ada pada  lingkungan dan juga di dalam saluran pernafasan ayam itu sendiri, seperti halnya E. coli pada saluran pencernaan. Lalu mengapa bisa menginfeksi ayam? Hal tersebut disebabkan oleh gas amonia yang dihasilkan oleh feses ayam. Menurut Rachmawati (2000), dalam sehari seekor ayam rata-rata bisa mengeluarkan kotoran sebanyak 0,15 kg dan dari total kotoran tersebut biasanya terkandung nitrogen 2,94%.

Pada dasarnya, nitrogen dalam metabolisme protein makhluk hidup diekskresikan ke luar tubuh dalam dua bentuk senyawa kimia, yaitu urea atau asam urat. Jika masih berbentuk asam urat, nitrogen akan didekomposisi (diubah bentuknya) terlebih dahulu menjadi senyawa urea oleh bakteri ureolitik di lingkungan. Adanya kelembaban yang tinggi dan suhu yang relatif rendahlah yang akan membuat urea-urea yang mengandung nitrogen tadi akhirnya terurai menjadi gas amonia dan CO2.

Sisa nitrogen inilah yang nantinya akan menjadi sumber amonia. Celakanya, gas amonia tersebut memiliki daya iritasi yang tinggi dan dapat terserap oleh mukosa membran pada mata dan saluran pencernaan ayam. Mukosa, sel epitel dan bulu getar (cilia) yang terdapat dalam saluran pernafasan berperan sebagai pertahanan tubuh pertama yang menghambat masuknya kuman penyakit ke dalam tubuh ayam. Kerusakan pada organ tubuh tersebut akan menjadi stimulator serangan kuman penyakit saluran pernafasan seperti CRD. Hal inilah yang membuat penyakit CRD sulit dihilangkan dan cenderung berulang kejadiannya dalam suatu peternakan.

Pengaruh Amonia Bagi Kesehatan Ayam
Seperti yang sudah penulis sebutkan di atas tadi, amonia merupakan gas yang bersifat iritan (menyebabkan iritasi) pada mukosa, tentunya ada batas aman kadar amonia dalam kandang, tetapi apabila sudah melewati batas tersebut, jangan harap saluran pernafasan ayam akan sehat. Dalam pengendalian penyakit CRD, kadar gas amonia harus pada batas aman. Selain mengakibatkan iritasi pada saluran pernafasan hewan, gas amonia juga dapat mengiritasi... (CR)


Selengkapnya baca Majalah infovet edisi April 2019.

KIAT MENANGKAL PENYEBAB PENYAKIT VIRAL

Penyemprotan desinfektan di areal kandang ternak. (Sumber: Google)

Salah satu tantangan yang kerap dihadapi dalam usaha peternakan unggas adalah serangan penyakit yang dapat muncul sewaktu-waktu. Oleh karena itu, mengenali setiap penyakit dan melakukan upaya penangkalan serta penanganan secara tepat merupakan bekal penting bagi suksesnya suatu usaha peternakan.

Peternak mungkin sudah akrab dengan beragam gejala seperti ngorok, pilek, diare, penurunan produksi, penurunan nafsu makan, ayam lemah, gangguan pertumbuhan dan lain-lain yang sering ditemui di peternakan. Gejala tersebut muncul sebagai indikator bahwa telah terjadi ketidakseinbangan interaksi antara ayam, kondisi lingkungan dan bibit penyakit.

Ayam pada dasarnya memiliki sistem pertahanan tubuh untuk mengusir dan terhindar dari bibit penyakit. Contoh pertahanan fisik seperti kulit, silia hidung dan selaput lendir, sedangkan pertahanan kimiawi (enzim) dan pertahanan biologi yang terdiri dari antibodi seluler dan humoral. Namun pada kenyataannya, banyak faktor yang bisa menyebabkan berbagai organ pertahanan tubuh tersebut tidak berfungsi optimal dan berpeluang memicu masuknya bibit penyakit.

Biasanya faktor tersebut berhubungan dengan kualitas pakan yang rendah, munculnya stres akibat suhu lingkungan yang tidak nyaman hingga perlakuan saat vaksinasi, pindah kandang atau potong paruh (debeaking) dan lain sebagainya.

Penyakit viral terkini
Virus merupakan parasit mikroskopik yang menginfeksi sel organisme biologis. Biasanya virus mengandung sejumlah kecil Asam Nukleat yang diselubungi bahan pelindung (amplop) yang terdiri dari protein, lipid, glikoprotein atau kombinasi ketiganya. Cara hidup dan reproduksi virus terdiri dari tiga fase, yaitu fase lisis, fase adsorpsi dan fase perakitan, di mana virus dapat hidup dalam sel hidup organisme tertentu (inang).

Tercatat ada banyak penyakit viral yang kerap menyerang unggas, diantaranya Avian Encephalomyelitis (AE), Avian Influenza (AI), Chicken Anemia Virus (CAV), Egg Drop Syndrome (EDS), Fowl Pox, Runting & Stunting Syndrome, Infectious Bronchitis (IB), Infectious Bursal Disease (IBD/Gumburo), Infectious Laryngotracheitis (ILT), Limphois Leukosis, Marek’s Disease, Newcastle Disease (ND/Tetelo) dan Swollen Head Syndrome.

Biosekuriti sebagai Solusi
Untuk menangkal berbagai penyakit ayam, baik yang disebabkan oleh virus, bakteri, endoparasit, ektoparasit maupun jamur, adalah dengan penerapan biosekuriti.

Biosekuriti terdiri dari seluruh prosedur kesehatan dan penangkalan/pencegahan yang dilakukan secara rutin di sebuah peternakan, untuk mencegah masuk dan keluarnya kuman/bibit penyakit yang menyebabkan penyakit unggas. Biosekuriti yang baik akan berkontribusi pada pemeliharaan unggas yang bersih dan sehat, dengan memanfaatkan... (SA)


Selengkapnya baca Majalah infovet Edisi Maret 2019.

DUET MAUT AI & IBH PENGHANCUR MASA DEPAN PETERNAK

Ayam layer dengan gejala jengger kebiruan yang  terinfeksi virus H5N1 clade 2.3.2.1. (Istimewa)

Avian influenza (AI) dan Inclusion body hepatitis (IBH) merupakan penyakit fenomenal di tahun 2018 dan diperkirakan masih menjadi momok di tahun-tahun berikutnya. Bagaimana tidak, peternak zaman now dibuat frustrasi dengan kehadiran penyakit tersebut dan seolah-olah peternak justru semakin “teledor” dalam mengelola ayam karena sifat penyakit yang sulit dikendalikan dan menyerang semua tipe kandang, baik kandang terbuka (open house) maupun tertutup (closed house).

Perkembangan penyakit AI sejak ditemukan pertama kali di Indonesia pada 2002 sangat pesat, dan baru-baru ini ditemukan jenis terbaru Low Pathogenic Avian Influenza (H9N2) yang menjadi menjadi ancaman terbesar peternak layer dengan penurunan produksi 90% menjadi 40%. Demikian juga dengan IBH, sejak ditemukan di Indonesia pada 2017 penyakit ini kini telah tersebar ke seluruh Indonesia dengan tingkat mortalitas rata-rata 10-80%.

Avian Influenza
Penyakit ini masih menjadi primadona dan banyak diperbincangkan, tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Agustus 2017 lalu, pemberitaan tentang teridentifikasinya virus AI H5N1 di Filipina juga tidak luput menjadi perbincangan, sedangkan di Indonesia H9N2 lebih banyak dibicarakan porsinya dibandingkan H5N1 karena ada beberapa laporan baru mengenai teridentifikasinya virus ini di lapangan.

Penyakit AI secara garis besar dikategorikan menjadi dua, yaitu Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI), misal H5N1 dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI), misal H9N2. 

• HPAI
Sudah lama diketahui bahwa ayam petelur yang mendapatkan serangan virus H5N1 akan mengalami gangguan produksi telur dengan atau tanpa kematian. Variasi gejala dan tingkat kematian yang muncul pada ayam masa produksi sangat tergantung kekebalan ayam, kepadatan virus yang menantang dan kondisi umum ayam.

Virus H5N1 yang akhir ini didominasi clade 2.3.2.1 juga masih menjadi ancaman bagi ayam petelur. Tidak jarang gejala yang muncul hanya penurunan produksi telur tanpa ada kematian, hal ini salah-satunya diakibatkan perlindungan dari program vaksinasi hanya melindungi dari kematian tetapi tidak terhadap penurunan produksi.

Untuk mendapatkan perlindungan yang bagus terhadap tantangan H5N1 di masa produksi, tingkat dan keseragaman kekebalan juga penting. Penggunaan vaksin kill AI H5N1 sangat membantu perlindungannya dan tentu saja didukung dengan antigenic matching dari bibit vaksin yang digunakan.

• LPAI
Salah-satu virus AI yang digolongkan LPAI antara lain H9N2, virus ini pertama kali dilaporkan di kalkun yang mengalami gangguan pernafasan ringan tahun 1966 silam. Di dunia, virus H9N2 dibagi menjadi dua garis keturunan utama, yaitu North America dan Eurasian, sedangkan Eurasian dibagi menjadi tiga, yaitu G1-like, Y280-like dan Y439-like.

Sifat virus ini mayoritas bereplikasi di sel epitel pernafasan dan pencernaan yang bersifat lokal dikarenakan cleveage site yang monobasic. Hal ini yang menyebabkan penyebaran virus... 

Drh Sumarno
Head of AHS Central & Outer Island PT Sierad Produce, Tbk


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Februari 2019.

Kasus Penyakit Penting di Tahun 2018

Salah satu penyakit CRD kompleks yang diikuti oleh infeksi E. Coli.

Fenomena kejadian penyakit di tahun 2018 relatif meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, hal ini dilatarberlakangi juga oleh kondisi challenge penyakit yang tinggi disebabkan bibit penyakit yang semakin berkembang dan kompleks. Penyakit kekinian seperti Inclusion body hepatitis (IBH) mejadi catatan spesial dimana penyakit ini secara valid dan terbukti menyerang pada umumnya ayam broiler dengan diagnosa final melalui histopatologi.

Berdasarkan pengalaman penulis, disini kami akan membagikan beberapa kasus penyakit paling penting dan sering terjadi di tahun 2018 baik yang menimpa ayam broiler maupun layer.

Chronic Respiratory Diseases (CRD)
Mycoplasmosis terutama yang disebabkan oleh Mycoplasma Gallisepticum (MG) merupakan ancaman yang nyata dan sangat berperan dalam gangguan sistem pernapasan ini. Kuman MG yang menempel di silia sel pernafasan akan mengeluarkan endotoksin kemudian melemahkan sistem mukosiliaris. Sumber kontaminasi MG di broiler farm terutama dari burung liar, mobilitas pekerja kandang, kendaraan yang terkontaminasi serta DOC yang terkontaminasi akibat infeksi vertikal dari induknya. Sejatinya Mycoplasma mudah mati dalam lingkungan dengan temperatur tinggi, kadar oksigen yang tinggi, kelembaban yang relatif rendah, dan hampir semua jenis desinfektan mampu membunuhnya. Tetapi kondisi ventilasi kandang yang jelek akan mengakibatkan kelembaban udara dan kadar amonia dalam kandang akan meningkat dan konsekuensinya adalah tekanan oksigen akan menurun. Hal ini yang menyebabkan Mycoplasma yang sudah berada di permukaan sel pernafasan akan berkembang biak dengan cepat dan menggangu sistem mukosiliaris sehingga rentan akan munculnya infeksi sekunder.

Kontrol yang paling tepat untuk meminimalkan munculnya kasus pernafasan yang dipicu oleh MG adalah melalui kedisiplinan pelaksanaan program sanitasi, pemilihan DOC yang minim kontaminasi MG dan didukung dengan pengaturan ventilasi atau tatalaksana kandang yang berhubungan dengan kecukupan oksigen di kandang. Program kontrol di broiler dengan antibiotik khusus untuk MG merupakan pilihan terakhir dan program sebaiknya didasarkan dengan melihat status MG di DOC yang diterima pada saat kedatangan. Untuk memudahkan kontrol, sangat disarankan memilih DOC yang induknya sudah divaksin dengan vaksin MG live.

Infectious Bronchitis
Dari berbagai faktor di atas, ada beberapa faktor pencetus utama yang sering dijumpai dan menyebabkan integritas sistem kekebalan mukosiliaris ini terganggu antara lain kadar amonia dan debu yang berlebih, infeksi kuman Mycoplasma terutama Mycoplasma Gallisepticum, infeksi virus Infectious Bronchitis dan reaksi pasca vaksin pernafasan seperti ND dan IB live.

Inclusion Body Hepatitis (IBH)
IBH menjadi momok yang menakutkan bagi para peternak, hakekat penyakit ini mirip dengan IBD tetapi lebih hebat dampaknya terhadap mortalitas dan perubahan organ kekebalan tubuh. Kematian yang disebabkan oleh IBH bisa terjadi lebih awal di umur 15 hari dan dapat diperparah oleh kondisi ventilasi yang buruk. Manifestasi fase dini IBH biasanya ada pembengkakan ringan organ...


Drh Sumarno
Manager AHS, PT Sierad Produce, TBK


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Desember 2018.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer