Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini budidaya | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

TOXIN BINDER DAN PERANANNYA

Kualitas pakan secara fisik ataupun laboratories sangat menentukan seberapa perlu penggunaan toxin binder dan kriteria/jenis penggunaannya sesuai dengan keperluan. (Sumber: zootecnicainternational.com)

Indonesia adalah negara yang terletak di sepanjang garis khatulistiwa, beriklim tropis dengan kelembaban udara yang relatif tinggi dari waktu ke waktu (sehingga sering disebut sebagai negara dengan iklim tropis basah). Indonesia memiliki iklim laut yang sifatnya lembab dan banyak mendatangkan hujan. Pada musim penghujan jelas akan memberikan dampak signifikan terhadap kelembaban lingkungan dibanding saat musim kemarau. Hal ini juga karena Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana sebagian besar tanah daratannya dikelilingi lautan dan samudera. Sehingga potensi pembentukkan uap air jauh lebih tinggi dibanding negara yang daratan lebih besar.

Lembab dan Faktor Resiko Munculnya Jamur
Pola suhu dan kelembaban di Indonesia dalam 24 jam sangat menciri sekali. Dimana pada saat tengah malam menuju ke dini/pagi hari, rendahnya suhu lingkungan biasanya akan diikuti oleh tingginya kelembaban, dan sebaliknya saat tingginya suhu siang hari secara umum kelembaban akan menurun signifikan.

Salah satu keunikan yang terjadi di Indonesia adalah dijumpainya kemarau basah yang berkepanjangan. Tingginya cekaman panas pada musim kemarau akhir-akhir ini menyebabkan terjadinya penguapan yang berlebihan dan berdampak pada terkumpulnya awan yang mengandung uap air yang pada titik kondensasi tertentu akan berubah menjadi hujan. Sehingga tidak jarang dijumpai kondisi pada saat cuaca panas, namun hujan turun yang menyebabkan kelembaban lingkungan semakin tinggi. Hal inilah yang menyebabkan pola kelembaban tidak hanya dipengaruhi rendahnya suhu pada malam hari, namunn juga suhu yang relatif tinggi yang berakibat penguapan berlebih pada saat siang hari.

Konsekuensi logis dari kondisi geografis tersebut membuat peternak harus lebih rinci dan detail dalam menjalankan aktivitas budidaya perunggasannya agar bisa meminimalkan efek atau resiko buruk dari kelembaban tinggi yang berdampak pada performa produksi ayam. Bahkan kelembaban relatif lingkungan bisa mencapai 100%. Tidak hanya sekedar dalam memainkan setting kipas dan tirai, upaya menjaga kualitas litter, mencegah adanya kepadatan semu, juga harus fokus terhadap ancaman penurunan kualitas pakan oleh adanya jamur dan mikotoksin. Mengingat efek yang dihasilkan sangat berbahaya dan merugikan, baik yang secara kasat mata mapun yang tidak.

Jamur dan Mikotoksin
Banyak para peternak yang belum bisa membedakan antara keduanya. Ada beberapa diantara peternak yang menganggapnya...

Drh Eko Prasetio
Commercial Broiler Farm Consultant


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2019.

HATI-HATI DALAM MEMANFAATKAN MANUR SEBAGAI PUPUK

Selain penghasil pangan, peternakan ayam juga menghasilkan limbah sampingan berupa manur. (Sumber: Istimewa)

Usaha peternakan unggas yang merupakan bagian dari pertanian memiliki fungsi utama untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat sekaligus berperan dalam penggerak perekonomian bangsa. Kebutuhan protein hewani semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, akan tetapi di sisi lain peternakan semakin terhimpit karena terbatasnya lahan.

Selain itu, keadaan juga diperparah dengan limbah hasil peternakan berupa manur, keberadaan manur sangat mengganggu karena menimbulkan bau yang tidak sedap bagi masyarakat dan dapat membuat lingkungan kotor dan tidak nyaman. Sudah banyak kasus peternakan unggas diprotes bahkan ditutup paksa oleh warga sekitar peternakan karena dirasa mengganggu kenyamanan warga setempat.

Kandungan Dalam Manur 
Manur secara tradisional bisa dimanfaatkan sebagai pupuk atau penyubur tanaman, terutama tanaman pangan karena kaya akan nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Manur seringkali langsung dimanfaatkan sebagai pupuk tanpa pengolahan lebih lanjut. Namun begitu, meskipun mengandung zat nutrisi tanaman yang tinggi, di dalam manur juga terkandung berbagai jenis bakteri patogen seperti Escherichia coli, Listeria, SalmonellaCampylobacter. (Pell 1997).

Bakteri-bakteri tersebut dapat mengontaminasi lingkungan sekaligus menimbulkan penyakit bersumber makanan (foodborne disease), berdasarkan data WHO (2017), terdapat 600 juta orang atau 1 dari 10 orang di dunia mengalami sakit setelah mengonsumsi makanan terkontaminasi oleh mikroorganisme patogen. Bakteri-bakteri tersebut diketahui juga dapat bertahan cukup lama di lingkungan yang sesuai, seperti Salmonella dan Campylobacter dapat bertahan selama sebulan, sedangkan Listeria dapat bertahan hingga tiga bulan. (Nicholson FA et al. 2005).

Ternak yang sedang diobati dengan antibiotik atau memakan pakan yang mengandung Antibiotic Growth Promoter (AGP) dapat menghasilkan manur yang mengandung residu antibiotik beserta bakteri yang membawa sifat resisten (Antibiotic Resistance Bacteria/ARB) (Youngquist CP et al. 2016).

Adapun jenis-jenis antibiotik yang diekskresikan melalui urin dan feses dan terdapat pada manur antara lain, Klortetrasiklin, Sulfa dan Tylosin. Kontaminasi antibiotik ke lingkungan dapat meningkatkan risiko resistensi antibiotik, risiko ini ditambah dengan hadirnya bakteri yang membawa gen resisten karena bakteri tersebut mampu menyebarkan sifat resistensinya melalui transfer plasmid kepada bakteri lain dan melalui perkembangbiakan bakteri itu sendiri.

Keberadaan bakteri-bakteri pembawa gen resistensi antibiotik dan residu antibiotik pada manur merupakan permasalahan yang dapat mengancam kesehatan, baik pada ternak maupun manusia. Salah satu metode yang dapat dilakukan untuk mengurangi bahaya biologis yang ditimbulkan oleh kontaminasi manur ke lingkungan adalah pengomposan manur.

Pengomposan Manur
Menurut Cooperbrand (2000), pengomposan adalah sebuah proses transformasi bahan organik seperti manur, serasah, sisa makanan dan bahan lainnya menjadi substansi mirip tanah atau humus. Proses pengomposan sendiri melibatkan mikroorganisme yang bersifat aerob dan anaerob. Proses aerob lebih umum terjadi, proses ini terbagi menjadi dua tingkat, yaitu mesofilik (10-45°C) dan thermofilik (45-70°C), proses pengomposan dapat berlangsung dari beberapa minggu hingga 40-50 hari.

Perubahan fisik, kimiawi dan biologis yang terjadi pada saat pengomposan manur dapat mengeliminasi bakteri patogen seperti Escherichia coli O157 H7, Salmonella enteritidis (Lung et al. 2001), Listeria (Grewal et al. 2013), bahkan populasi koliform dapat berkurang hingga 99,9% dengan pengomposan selama tujuh hari (Larney et al. 2003). Selain dapat menghilangkan bakteri patogen, pengomposan manur ternyata juga dapat mendegradasi residu antibiotik yang dieksresikan oleh ternak.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dolliver et al. (2008), kadar Klortetrasiklin, Monensin dan Tylosin berkurang selama proses pengomposan manur kalkun, pengurangan yang terjadi berlangsung selama 19 hari, merujuk pada proses pembuatan kompos biasa yang memakan waktu hingga 50 hari, maka dapat diasumsikan kadar antibiotik dalam manur ternak yang dibuat kompos berada dalam kadar minimal atau bahkan hilang sama sekali. Antibiotik golongan lainnya seperti Sulfonamide dan Trimetroprim dapat berkurang dengan proses fermentasi anaerob dalam waktu lima minggu (Mohring et al. 2009).

Pengomposan manur merupakan sebuah metode untuk meminimalisir bahaya penyakit infeksi sekaligus resistensi antibiotik pada lingkup peternakan, metode ini mudah dilakukan dan tidak banyak membutuhkan biaya, sehingga sangat ideal untuk diimplementasikan. Kompos hasil proses pengomposan juga dapat dimanfaatkan dengan tingkat keamanan yang lebih tinggi sebagai pupuk, karena telah terbebas dari bakteri maupun antibiotik. ***

Drh Afdi Pratama
Staff Dinas Perikanan dan Peternakan, Kabupaten Bogor

Pembentukan Sapi Indonesian Commercial Cross Mulai Digagas

Direncanakan pengembangan sapi Indonesian Commercial Cross untuk akselarasi produksi daging dan susu nasional. (Sumber: Istimewa)

“Perlunya dibentuk bangsa sapi potong dan perah komersial asli Indonesia yang mempunyai produktivitas mumpuni, namun juga mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropis di Indonesia.”

Keresahan kaum intelektual di perguruan tinggi dan lembaga penelitian terhadap ketiadaan brand sapi komersial asli Indonesia, sedikit mulai menemukan jawaban. Pertemuan ilmiah antara akademisi, peneliti dan praktisi peternakan ruminansia dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digagas Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Fapet UGM), yang dibuka oleh Prof Dr Ir Ali Agus, selaku Dekan Fapet UGM telah terlaksana dengan baik dan menghasilkan secercah harapan untuk masa depan sapi potong dan perah di Indonesia.

Bertempat di Ruang Sidang Besar, Gedung H-1, Fapet UGM Yogyakarta pada Jumat, (21/12), para akademisi dan peneliti dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian, serta praktisi dan pengusaha ternak ruminansia berkumpul, untuk menyamakan persepsi terhadap tujuan, arah dan model kombinasi untuk mendapatkan bangsa sapi komersial Indonesia (beef dan dairy) yang mampu menjawab kebutuhan daging dan susu di Indonesia.

Peserta akademisi berasal dari Fapet UGM, Unpad Bandung, UNS Surakarta, Unlam Kalimantan Selatan, Udayana Bali dan Kanjuruhan Malang. Sedangkan peneliti yang dihadirkan berasal dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong, BPTBA LIPI Yogyakarta, dan Loka Penelitian Sapi Potong Grati. Turut hadir pula perwakilan dari Koperasi Susu Warga Mulya Sleman dan PT Widodo Makmur Perkasa Klaten.

FGD diawali dengan pemaparan oleh Prof Dr Ir Sumadi, tentang definisi dan karakter yang dibutuhkan dalam pembentukan sapi Indonesian Beef Commercial Cross (IBCC) dan sapi Indonesian Dairy Commercial Cross (IDCC), serta potensi dan output yang diharapkan.

“Indonesia defisit satu juta ekor sapi potong yang saat ini diwujudkan dalam bentuk impor sapi sebanyak 700 ribu ekor dan impor daging setara 300 ribu ekor. Sedangkan untuk sapi perah, kita defisit dua juta induk, jika mengacu pada kebutuhan susu sapi nasional. Kurang lebih 70% kebutuhan susu nasional, kita dapatkan dari impor,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, perlu dibentuk bangsa sapi potong dan perah komersial asli Indonesia yang mempunyai produktivitas mumpuni, namun juga mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropis di Indonesia.

Bentuk Bangsa Sapi IBCC dan IDCC
Pembentukan bangsa sapi IBCC dan IDCC dapat ditempuh mulai dari nol (bisa mengacu pada pembentukan bangsa Kuda Pacu Indonesia), atau dengan cara pemetaan dari bangsa sapi yang ada saat ini.

Alternative crossing yang dapat dilakukan diantaranya dengan memaksimalkan heterosis (prestasi rata-rata anak di atas rata-rata induknya), grading up (mengubah bangsa satu ke bangsa yang lain), ataupun melalui pembentukan bangsa baru (komposit). Pemetaan bangsa sapi yang ada saat ini, menurut Prof Ir I Gede Suparta Budisatria, dapat mengacu pada hasil-hasil riset perguruan tinggi dan lembaga penelitian yang mengarah ke akselerasi produksi daging dan susu nasional. Hasil-hasil riset itu perlu disinkronisasikan, dirakit, hingga didapatkan komposit terbaik yang bisa diambil sebagai solusi untuk hasil yang lebih singkat, mengingat pekerjaan breeding beresiko menghabiskan waktu puluhan tahun hingga dihasilkan generasi sapi yang diharapkan.

Terkait dengan ketersediaan bangsa sapi lokal pure yang siap dijadikan sumber indukan, menurut Prof Dr Ir Sri Bandiati, telah tersedia bangsa sapi Pasundan hasil penelitian di Jawa Barat. Di lain pihak, Dr Syahruddin Said, menambahkan bahwa telah teridentifikasi genetik sebanyak 13 ekor sapi Sumba Ongole (SO) murni hasil kolaborasi dengan Puslit Bioteknologi LIPI di kandang milik PT Karya Anugerah Rumpin (KAR) Bogor. Sapi SO tersebut telah tersertifikasi SNI dan siap digunakan sebagai sumber indukan.

Sementara, dosen jurusan peternakan UNS, Nuzul Widyas, ikut menegaskan perlu juga dipertimbangkan bahwa tidak serta-merta persilangan antara Bos indicus (bangsa sapi tropis) dengan Bos taurus (bangsa sapi subtropis) selalu menghasilkan keuntungan. Sebagai contoh pada bangsa sapi Belgian blue di Belgia yang merupakan hasil persilangan berbagai bangsa sapi hingga didapatkan sapi dengan double muscling, yang ternyata mempunyai kekurangan berupa mengecilnya saluran reproduksi akibat pertumbuhan otot yang super, sehingga diperlukan operasi sesar dalam setiap penanganan kelahirannya. Tentu ini menambah biaya dan tenaga.

Saat ini diketahui bahwa sapi-sapi yang dipelihara di Indonesia tidak mudah lagi untuk dideteksi berapa persen darah suatu bangsa ada dalam ternak tersebut. Lemahnya recording system di tingkat peternak menjadi salah satu faktor, di samping sosiokultural sebagian masyarakat yang semakin senang jika ternak mereka semakin berwarna “merah” (darah Bos taurus semakin tinggi), tanpa mereka sadari bahwa akan semakin tinggi pula biaya yang di keluarkan untuk pemenuhan nutrien pakan dan pemeliharaan jika diinginkan produktivitasnya optimal.

Sementara terkait dengan pembentukan IDCC, Prof Dr Ir Tridjoko Wisnu Murti, menegaskan bahwa akselerasi yang dibutuhkan saat ini bukan hanya dalam pemenuhan jumlah tonase susu yang dihasilkan, tetapi juga pada kualitas susu itu sendiri.
Saat ini di lapangan, dengan 600 ribu ekor sapi perah yang dimiliki Indonesia, hampir seluruhnya merupakan sapi Friesian Holstein (FH) dan peranakannya (PFH) yang identik dengan warna hitam dan putih. Padahal, lanjut dia, terdapat sapi FH berwarna merah dan putih yang lebih adaptif terhadap kondisi tropis, serta bangsa sapi Jersey yang juga merupakan bangsa sapi perah dengan kemampuan adaptasi iklim tropis yang lebih baik, sehingga perlunya pemikiran untuk melakukan akselerasi dengan pendekatan breeding yang lebih terkonsep dengan baik.

Hal ini diamini oleh peternak sapi perah yang tergabung dalam Koperasi Susu Warga Mulya Sleman. Jenis sapi yang diinginkan peternak adalah sapi perah yang low cost, yaitu sapi yang dengan postur dan kemampuan produksi yang tidak superior, namun dapat dikelola sesuai dengan kemampuan peternak.

Sebab yang terjadi selama ini adalah, peternak “dipaksa” memelihara sapi perah FH/PFH dengan tuntutan biaya pakan tinggi, karena memang secara genetik sapi tersebut membutuhkan pakan dengan kuantitas dan kualitas tinggi. Ketika hal ini tidak dapat dipenuhi secara kontinu, maka produksi susu akan turun jauh di bawah performa yang diharapkan, bahkan rentan terjadi metabolic diseases dengan ditemukannya sapi perah produksi tinggi yang ambruk.

Menutupi kekurangan margin usaha sapi perah, para peternak menyilangkan induk perah mereka dengan straw sapi potong seperti Limousin dan Simmental, yang akan menghasilkan anakan dengan harga jual lebih tinggi. Ini pasti menimbulkan masalah, baik pada reproduksi maupun untuk replacement stock. Oleh karena itu, keluhan peternak ini harus segera dicarikan solusinya. Bisa jadi IDCC sebagai salah satu solusinya.

Dengan adanya bangsa sapi perah yang lebih adaptif terhadap iklim tropis, akan memudahkan peternak dalam mengelola pakan tanpa kekhawatiran menimbulkan kekurangan nutrien, sehingga produksi susu secara optimal dapat diraih. Satu hal yang pasti, meskipun bukan jumlah produksi susu yang superior, namun biaya yang dikeluarkan masih terjangkau peternak.

Dari kegiatan FGD tersebut, diharapkan menjadi awal inisiasi pemikiran seluruh stakeholder bidang sapi potong dan perah, untuk turut serta mengatasi permasalahan industri persapian. Pertemuan selanjutnya akan dilakukan pada awal 2019 di Bogor, dengan agenda pembentukan konsorsium sapi potong dan perah komersial Indonesia, serta penentuan langkah teknis, hingga diharapkan launching IBCC dan IDCC bisa terwujud pada 2022 mendatang.

Pengembangan bangsa sapi komersial ini membutuhkan dukungan dan kerja-keras semua pihak, mulai dari pihak swasta, asosiasi/organisasi, pemerintah sebagai regulator, perguruan tinggi dan lembaga penelitian. ***


Awistaros Angger Sakti, M.Sc.
Peneliti di BPTBA LIPI Yogyakarta

Saatnya Menata Industri Perunggasan

Sektor perunggasan butuh regulasi yang tepat agar usaha budidaya yang dilakukan oleh peternak mandiri dan korporasi tidak berbenturan. (Foto: Infovet/Ridwan)

Lima tahun terakhir, problem utama industri perunggasan Nasional adalah over supply bibit (DOC) broiler. Dampak dari problem tersebut sudah nyata dan mudah dibuktikan, dari hancurnya harga broiler hidup (LB) dan telur ayam ras karena imbas masuknya telur breeding, hutang para peternak yang menumpuk, hingga peternak broiler yang “gulung tikar”. Itu dalam skala usaha UMKM dan UKM. Dalam skala perusahaan besar dan profesional juga terjadi, dari akuisisi aset-aset perusahaan peternakan, hingga kolapsnya perusahaan-perusahaan obat hewan di industri hilir perunggasan Nasional.

Kini, problem over supply bibit sudah mulai terlewati, terlihat dari anjlok dan meroketnya harga broiler dan telur yang sifatnya sangat temporal dan lebih cenderung dipengaruhi faktor permintaan atau konsumsi masyarakat terhadap produk unggas. Saat musim libur dan bulan “baik” permintaan tinggi dan harga terkerek jauh di atas harapan stakeholder. Saat momen akhir bulan, bulan Suro dan Sapar, permintaan ayam dan telur sepi, sehingga harga turun. Jika menelaah historikal data penurunan harga ayam dan telur juga terlihat tidak drastis, cenderung moderat.

Pada 2019 mendatang, problem di industri ini adalah soal in-efesiensi sebagai dampak kenaikan nilai tukar rupiah dan harga jagung dalam negeri yang berkibar di level tinggi, yakni Rp 5.600 per kg. Bagaimana bisa sektor budidaya melakukan efesiensi untuk mengurangi biaya produksi, sementara faktor biaya pakan terus meningkat? Padahal variabel pakan berkontribusi yakni sebesar 70 persen dari biaya produksi. Perlu dipahami, dalam skala tertentu, khususnya ketika harga jual ayam dan telur jatuh, peternak sebagai pembudidaya pasti akan berteriak keras. Seperti terjadi beberapa waktu lalu, yang dilakukan oleh peternak layer di Blitar dan kota-kota lain. Protes terhadap tingginya harga jagung, mereka salurkan dengan berdemonstrasi di daerah masing-masing dan mengancam demo besar-besaran di Istana Negara. Meskipun dalam waktu tidak terlalu lama, tuntutan petenak layer dipenuhi oleh pemerintah dengan penyediaan jagung seharga Rp 4.000 per kg, akan tetapi sampai kapan hal-hal seperti ini terus dilakukan? Karena pada dasarnya jagung tersebut adalah hasil ”pinjaman” dari feedmill-feedmill besar.

Maka, pekerjaan rumah pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan jagung dalam negeri khususnya untuk industri perunggasan harus bisa diselesaikan secepatnya saat memasuki awal 2019 nanti. Pelarangan impor jagung dalam jangka panjang malah merugikan industri penyedia protein hewani asal unggas ini. Bahkan beberapa penelusuran telah menyimpulkan bahwa pelarangan ini menimbulkan in-efesiensi devisa negara sebesar Rp 37 triliun per tahun. Artinya, pelarangan impor jagung menjadi salah satu kontributor terhadap defisit perdagangan Indonesia yang sudah beberapa bulan terjadi. Pasalnya, penyetopan impor jagung telah menyebabkan melonjaknya impor tepung gandum untuk pakan oleh feedmill yang harganya lebih mahal daripada jagung. Belum lagi kerugian yang diderita peternak, akibat kualitas pakan yang menurun. Karena pada dasarnya, sebagai bahan baku pakan ayam, kualitas jagung masih lebih baik daripada tepung gandum.

Solusi problem harga jagung yang ditunggu adalah dibukanya keran impor jagung yang harganya di pasar internasional jauh lebih murah dibanding dengan harga jagung lokal. Meskipun dalam catatan tertentu, mungkin dibuka dengan sistem kuota, yang jumlahnya disesuaikan, agar harga jagung di dalam negeri tidak sampai jatuh dan merugikan petani jagung. Jika ini bisa segera dilakukan dalam jangka menengah, problem tingginya harga jagung dan pakan bisa diredam.

Lebih lanjut, masalah serius yang jauh lebih “penting dan genting” adalah bagaimana menata kembali struktur industri perunggasan Nasional. Wacana restrukturisasi industri perunggasan beberapa tahun lalu perlu digaungkan kembali. Tidak dipungkiri, visi industri perunggasan saat ini jauh dari upaya pemerataan distribusi pendapatan dan keadilan ekonomi. Saat ini kita menyaksikan, betapa struktur industri perunggasan sangat tidak sehat bahkan mengancam keberadaan peternak mandiri/rakyat. Persaingan di sektor budidaya antara peternak UMKM/UKM dengan korporasi multinasional nyata-nyata menghancurkan peternak UMKM/UKM. Jadi visi perunggasaan saat ini lebih mendorong jargon “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”.

Tahun 90-an, sektor budidaya masih didominasi oleh peternak mandiri/rakyat, tetapi saat ini malah sebaliknya, penguasaan oleh korporasi yang memiliki perangkat produksi dari hulu hingga hilir semakin kuat dan tanpa dibatasi oleh regulasi. Perusahaan besar yang menguasai industri hilir masuk di sektor budidaya dan dibiarkan menjual ayam hasil panennya ke pasar tradisional yang seharusnya menjadi lahan peternak mandiri/rakyat. Maka khusus di industri perunggasan, negara ini sudah membiarkan dan mempraktekan “mahzdab” ekonomi liberal. Jauh dari semangat Pancasila yang menyuarakan Keadilan Sosial dan Ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan secara kemanusiaan sudah mengusik “nalar kita” sebagai anak bangsa.

Pemerintah sebagai pengemban amanat Negara cq Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, seharusnya mulai merubah haluan pengelolaan sektor budidaya unggas. Apa yang dilakukan oleh “Orde Baru”, dengan Kepres No. 22/1990, yang mengatur sektor budidaya dan memisahkan bagian untuk peternak mandiri/rakyat dan korporasi saat itu sangat tepat. Dan sesungguhnya, pada saat ini semangatnya masih sangat relevan untuk dimunculkan kembali. Dengan begitu industri perunggasan berjalan tidak hanya berorientasi pada perusahaan integrasi saja yang bias menikmati untung besar, tetapi bagaimana lingkungan industri ini nyaman bagi peternak mandiri/rakyat untuk berusaha dan mengembangkan usahanya.

Menata kembali industri perunggasan perlu segera dilakukan agar visi pembangunan industri ini bisa menciptakan keadilan dan mengatasi ketimpangan ekonomi yang saat ini menjadi problem besar pembangunan ekonomi Indonesia. Tidak membiarkan perilaku korporasi yang tidak pernah puas menggali keuntungan besar dari pasar rakyat Indonesia yang sangat besar. Namun, harus memberi kesempatan rakyat Indonesia dalam mengelola potensi ekonominya. Khususnya bagi peternak mandiri/rakyat, usaha peternakannya bisa hidup dan menghidupi sebagai produsen dan juga bisa mencukupi kebutuhan ayam dan telur bagi masyarakat dengan harga terjangkau.

Langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah perlunya menerbitkan regulasi di bawah UU No. 18/2009  tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mengatur pembagian atau pembatasan dari sektor budidaya. Harapannya adalah agar pembudidaya integrator diberi batas yang jelas dengan peternak mandiri/rakyat sebagai pembudidaya berkelas UMKM dan UKM. Argumentasi bahwa saat ini terminologi peternak rakyat telah hilang dalam UU tersebut tidak memungkinkan di keluarkannya regulasi pengganti Kepres No. 22/1990, penulis kira masih bisa diatasi. Bagaimana formatnya, hal ini tentu segera dikerjakan bersama antar asosiasi peternak. Tanpa ada upaya awal, maka tidak mungkin ada hasil yang ingin dicapai dan menjadi wujud cita-cita bersama. (Hadi)

Catatan Akhir Tahun: Perunggasan Masih Prihatin, Penyakit Masih Merecoki

Beberapa penyakit konvensional masih merebak pada industri perunggasan, apalagi saat AGP dihentikan. (Sumber foto: Kontan)

Tumpukan permasalahan dunia usaha perunggasan domestik belum dapat diurai dengan tuntas pada sepanjang 2018. Mulai dari persoalan bahan baku pakan, khususnya unsur tersedianya jagung secara cukup, hingga pasokan bibit ayam (DOC) sampai kurang optimalnya performa hasil budidaya ayam (baik ayam pedaging maupun petelur).

Di sisi lain, persoalan klasik tentang gangguan kesehatan yang berawal dari beberapa penyakit konvensional dan juga jenis penyakit tahun 2000-an masih menghambat capaian target produksi.

Sebut saja beberapa penyakit seperti ND (Newcastle Disease), Gumboro, pilek menular (snot), CRD (Chronic Respiratory Disease) kompleks dan Kolibasilosis, serta Flu Burung (Avian Influenza/AI) atau Kekerdilan.

Drh Zahrul Anam, menuturkan pengamatannya di lapangan tentang hal itu kepada Infovet. Bahwa pasca ditutupnya keran pemakaian antibiotik pemacu pertumbuhan (AGP/Antibiotic Growth Promotor) di dalam pakan sejak awal 2018, memang tidak dapat dibantah memberikan permasalahan yang sifatnya transisional. Artinya, ada dampak yang serius terhadap target pencapaian produksi. Pada ayam potong, sangat signifikan dengan terjadinya lambat pertumbuhan ayam sejak awal DOC sampai menjelang umur pertengahan. Bobot pada masa pertumbuhan secara umum kurang mampu mencapai target. Bahkan jauh dari yang seharusnya.

Kemudian, diperburuk dengan tingkat keberhasilan vaksinasi yang sangat rendah. Dan implikasinya, lanjut Zahrul, ayam muda kurang tangguh menerima tantangan sergapan jenis penyakit virus. Akhirnya terlalu banyak dijumpai bobot ayam tumbuh relatif lebih lambat maupun kedewasaan pubertas.

Pada ayam potong sangat sering dijumpai capaian bobotnya mundur sampai 5-7 hari dibandingkan dengan masa periode sebelum larangan pemakaian antibiotik pemacu pertumbuhan pada pakan.

Sedangkan pada ayam petelur, usia awal produksi telur juga mengalami kemunduran lebih dari 11-16 hari. Namun jelas Zahrul, bahwa hal itu memang suatu jenis gangguan kesehatan yang muncul pada ayam komersial pada masa peralihan. Jika sebelumnya, posisi masa dan waktu produksi yang ideal sudah terjadi, karena ada perlakuan sengaja untuk menekan pemakaian antibiotika, maka sudah pasti akan mengalami kemunduran.

“Itu adalah suatu jenis gangguan kesehatan atau penyakit yang biasanya disebut sebagai penyakit transisional,” kata Zahrul.

Hasil pengamatannya, salah satu jenis penyakit yang sangat potensial dan sangat merugikan adalah gangguan pernafasan yang diduga kuat disebabkan oleh CRD kompleks. Selain itu jenis yang lain adalah ND, Kolibasilosis, Gumboro dan Coryza.

Tidak ada yang istimewa dalam hal gejala dan tanda-tanda penyakit tersebut. Namun khusus untuk ayam yang terserang infeksi AI, ada perbedaan meski kurang spesifik. Pada ayam petelur, jika terinfeksi AI, umumnya pertumbuhan menjadi relatif lambat dan mundur awal produksi mencapai 15-20 hari.

Sedangkan pada ayam pedaging, jika menderita infeksi ND, relatif lebih sulit dalam penanganannya. Kemudian capaian berat badan mundur atau kurang optimal. Bahkan sangat sering ditemui ayam kerdil. Zahrul pun mengimabu kepada para peternak binaannya untuk menekankan arti penting biosekuriti dan memperhatikan pengaturan suhu ruangan (pemanas) yang tertib dan benar.

Selain itu, desinfeksi kandang saat awal ayam masuk dan program vaksinasi yang lebih cermat, juga menjadi kunci penting. Hal ini dikarenakan peternak tidak memiliki kesempatan memilih dan menentukan kehendak dalam membeli DOC. Pada umumnya jika beberapa hal itu dilakukan dengan baik dan benar, hasil yang diperoleh ketika panen, tidaklah mengecewakan. (iyo)

Kapan dan Bagaimana Transfer Pullet ke Kandang Produksi

Alat ukur panjang kaki dengan jangka sorong.

Bila dicermati pada budidaya ayam petelur alias pullet maka pemeliharaannya terbagi dalam beberapa tahapan, sejak masih DOC (Day Old Chick) hingga ayam pada tahapan tumbuh-kembang menjadi ayam dara siap produksi hingga dewasa. Sejak ayam petelur ini baru menetas berumur harian (DOC) dari tempat penetasan (hatchery) kemudian dipelihara peternak melalui tahapan pemeliharaan Starter-Grower-Layer.

Langsung pada pokok bahasan, ketika anak ayam petelur ini sudah berumur dara, yakni berusia lebih-kurang 12-14 pekan, maka saatnya tiba pullet harus dipindahkan dari kandang peremajaan ke kandang produksi.

Model kandang pada peremajaan ayam layer bisa menggunakan tipe kandang terbuka (open house) maupun model kandang tertutup (closed house). Sedangkan jika ditinjau dari model lantai kandangnya, maka ada tiga tipe lantai yang biasa digunakan peternak, yakni model/tipe postal (litter), tipe panggung (slat) dan tipe sangkar (cage).

Masing-masing tipe dan model kandang tersebut, bisa menggunakan tempat minum dan tempat pakan manual dan atau otomatis. Tentu saja masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Namun fokusnya adalah pada waktu paling tepat untuk pemindahan ayam dara ini ke kandang produksi.

Kapan ke Kandang Produksi
Dari ukuran anatomi kaki ayam, transfer pullet ke kandang produksi saat yang tepat adalah ketika panjang kakinya (shank) sudah mencapai 100 mm. Biasanya saat ayam mencapai umur 12, 13 atau 14 minggu, bergantung pada masing-masing performance yang bisa dicapai oleh peternak. Tapi jika pencapaian panjang kaki 100 mm (10 cm) semakin cepat, maka hal ini sebagai tanda baik kualitas pullet-nya.


Apabila panjang kaki belum mencapai 100 mm, artinya pertumbuhan anatominya belum mencapai titik maksimum. Belum dewasa tubuh. Pada kondisi seperti ini tidak boleh dipaksakan naik ke kandang produksi, karena ada resiko jangka panjangnya dapat terjadi nantinya banyak layer yang akan menjadi lumpuh (fatiq cage = lelah kandang).


Resiko lain jika panjang kaki belum 100 mm adalah pullet akan sulit untuk menjangkau air minum, terutama air minum dengan nipple. Bagi ayam, sedikit minum, sedikit makan atau tidak minum dan tidak makan akan berakhir pada kematian.

Sehingga transfer pullet jika telah memenuhi syarat anatomi terkait panjang kaki/shank pada usia ayam 12 atau 13 minggu bisa saja dilakukan, namun pemindahan ke kandang produksi pada ayam umur 15 pekan sepertinya lebih ideal. Memang jika bisa lebih dini pemindahan kandang produksi, keuntungannya masa adaptasi ayam sebelum produksi cukup lama.

Alat ukur panjang kaki khusus.

Bagaimana Seharusnya Pemindahan Pullet

Pemindahan alias transfer pullet pada umur 15 minggu lebih dianjurkan, karena selain sudah dewasa tubuh, program vaksinasinya juga sudah komplit sampai vaksin ND+IB+EDS killed.

Namun apabila pada umur 15 minggu panjang kaki ayam dara itu belum mencapai 100 mm sebaiknya tidak dipaksakan pindah kandang. Dan ini merupakan kasus dalam budidaya ayam petelur yang menjadi problem serius. Artinya pada ayam layer dengan usia itu tidak tercapai target panjang shank-nya bisa divonis lambat tumbuh alias terjadi stunting (kerdil).


Seyogyanya pullet ditransfer pada umur 15 minggu + 1 hari (106 hari), tidak lebih. Karena layer modern, awal produksinya cenderung maju, yaitu produksi rata-rata mingguan (Hen Week = HW) 5% bisa dicapai pada umur 18-19 minggu. Pada hal setelah dipindahkan perlu waktu adaptasi di kandang produksi 2-3 minggu pertama.

Kapan saat terbaik pemindahan ayam dara itu? Sebaiknya transfer pullet dilakukan pada sore sampai malam hari, tujuannya untuk menghindari tambahan stres akibat udara panas selain dampak kontak fisik selama pemindahan.


Untuk itu pastikan kondisi pullet sehat karena saat proses pemindahan menyebabkan ayam stres relatif berat. Maka bila ayam masih dalam kondisi kurang fit atau bahkan sakit, harus disembuhkan terlebih dahulu di kandang peremajaan.

Ada catatan yang wajib hukumnya dilakuakan sebelum melakukan pemindahan pullet, yaitu pada H-4, pullet terlebih dahulu diterapi anti-endo parasit (cacing) dan anti-ekto parasit (kutu, gurem) satu hari sebelumnya dan lakukan pengobatan dengan preparat (sediaan) obat anti-parasit per oral. Dosisnya bisa mengikuti petunjuk dari pabrikan pembuatnya. Kemudian dilanjutkan dengan pengobatan antibiotika spektrum pencernaan dan pernapasan selama tiga hari untuk membersihkan pernapasan dan pencernaannya. Tujuannya agar pullet yang ditransfer ke kandang produksi tidak membawa penyakit.

Catatan berikutnya, untuk pemindahan sebaiknya saat mengisi pullet ke dalam keranjang plastik (boks) tidak melebihi kapasitas. Misal box berkapasitas 20 kg maka isilah dengan 15 ekor pullet saja yang bobotnya rata-rata 1,3 kg/ekor. Boks diisi pullet dahulu semua di tempat yang teduh di dalam kandang, baru dinaikkan ke atas truk yang dinding sampingnya dibuka sebagian atau seluruhnya (bak terbuka) supaya tidak panas dan ada ventilasi udara.

Sesampainya di tujuan, kemudian turunkan semua boks isi pullet itu di tempat yang teduh atau ke dalam kandang, baru kemudian pullet dimasukkan ke sangkar (cage) produksi. Prinsipnya, pullet jangan dibiarkan kepanasan di atas truk, baik saat mau berangkat mau pun saat tiba di tujuan kandang produksi.

Kandang produksi hendaknya sudah disiapkan air minum yang telah ditambah multi-vitamin plus elektrolit (anti-stres), selama 3 hari, berturut-turut. Di kandang produksi ini pula hendaknya disiapkan pakan standar developer, bisa ditambah pakan broiler starter 20% untuk keperluan seminggu. Tujuannya untuk segera memulihkan penurunan bobot badan selama proses transfer dan masa adaptasi. Pada pekan kedua di kandang produksi, pakan broiler starter, dosisnya dikurangi, tinggal 10%. Dan pada minggu ketiga, tinggal 5%. Pada minggu keempat sudah tanpa tambahan pakan broiler starter.

Di dalam kandang produksi jangan sampai lupa untuk menyalakan lampu, yakni: Pada hari pertama, lampu dihidupkan mulai pukul 18:00 sampai dengan pukul 06:00 waktu setempat (12 jam). Kemudian pada hari kedua, terang lampu pada kandang produksi mulai pukul 18:00 sampai pukul 24:00 saja pada waktu setempat (6 jam). Dan hari ketiga lampu menyala mulai pukul 18:00-21:00 waktu setempat (3 jam). Pada hari ke empat tanpa penyinaran tambahan. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat masa adaptasi terhadap lingkungan baru.

Bila pullet berasal dari kandang dimana air minumnya tidak menggunakan nipple, yaitu pakai galon manual atau otomatis model “bel” (bell drinker), pindah ke kandang produksi yang air minumnya pakai talang (pipa PVC belah), tidak ada masalah dengan proses minumnya ayam. Namun bila di kandang produksi air minumnya memakai nipple, maka wajib untuk mengajari, memberitahu dan menunjukkan ke ayam di mana ayam tersebut bisa minum. Caranya nipple harus ditutul-tutul atau dipencet-pencet tiap jam supaya air minum keluar dari nipple dan ayam segera tahu dimana sumber air minumnya. Pembelajaran dan pengenalan air minum via nipple biasanya perlu waktu 3-7 hari pertama saja.

Pengalaman yang pernah penulis lakukan saat pertama kali menggunakan nipple drinker pada tahun 1994 di Pare Kediri, Jawa Timur, yakni dengan melakukan pengukuran intake air minum ayam yang keluar dari tandon di kandang menuju pipa nipple. Hasilnya, pada hari pertama water intake hanya 25%, hari kedua 50% dan pada hari ketiga 75% dari yang seharusnya. Padahal water intake saat pullet, seharusnya setara 2,0 kali dari feed intake-nya. 

Setelah tujuh hari masa pengenalan cara minum dari nipple, barulah pullet bisa minum via nipple dengan baik. Di kandang produksi bila air minumnya pakai nipple, maka upayakan agar ayam segera bisa minum banyak, karena jika tidak demikian ada resiko bobot badannya jadi turun drastis dibanding sebelum ditransfer. Maka dari itu, perhatikan benar soal minumnya ayam dara tersebut setelah di kandang produksi yang menggunakan air minum model nipple. Persoalan intake air minum ini harus ditangani secara baik, karena penanganan makannya ayam akan jauh lebih mudah mengelolanya. ***

Drh Djarot Winarno
Penulis adalah pelaku bisnis dan konsultan
budidaya ternak unggas (ayam), domba-kambing dan sapi.
Tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur

Domba Batur Kebanggaan Banjarnegara

Domba batur. (Sumber: Istimewa)

Indonesia negeri yang sangat kaya akan plasma nutfah berbagai sumber hayati termasuk hewan, antara lain Domba Batur nama lain “Domas” yang dikembangkan masyarakat Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnagara, Jawa Tengah, secara turun menurun sejak 1984 silam.

Domba Batur merupakan hasil persilangan antara domba lokal Ekor Tipis (Indonesia) dengan domba Suffolk (Inggris) dan domba Texel (Belanda). Menurut catatan Dinas Peternakan dan Perikanan, Kabupaten Banjarnegara, populasi jenis domba ini dilaporkan menurun 50% dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Kini jumlahnya hanya sekitar 8.000 ekor saja.

Menyadari terjadinya penurunan populasi domba Batur, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), bersama masyarakat peternakan menggelar Festival Ternak Domba Batur dalam rangkaian acara Dieng Culture Festival 2018, pada 3-5 Agustus 2018 lalu.

I Ketut Diarmita selaku Dirjen PKH, pada kontes yang dilaksanakan di lapangan Soeharto Withlem Dieng Kulon, Banjarnegara, Sabtu (4/8), menyatakan, domba Batur salah satu Sumber Daya Genetik (SDG) yang menjadi aset besar Indonesia. “Menjadi tugas kita semua untuk menjaga dan melestarikannya, serta mengupayakan pengembangannya,” kata Ketut saat itu.

Ia pun menjelaskan, untuk melestarikan domba Batur dan sebagai perlindungan hukum terhadap plasma nutfah Indonesia, pemerintah melalui Kementan telah menetapkan domba Batur sebagai rumpun atau galur ternak melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2916/2011 tertanggal 17 Juni 2011.

Dirjen PKH, I Ketut Diarmita, pada acara Festival Ternak Domba Batur di Dieng. (Foto: Humas Ditjen PKH)

Problem Pengembangan
Problem yang dihadapi peternak dalam pengembangan domba Batur di Banjarnegara dan sekitarnya adalah Pertama, penjualan dan pemotongan yang tak terkendali, sehingga menurunkan populasi. Kedua, terjadinya inbreeding yang menjadi timbulnya penurunan kualitas. Ketiga, penyediaan pakan hijauan berkualitas terbatas. Keempat, ancaman penyakit.

Semua problem tersebut perlu segera diatasi dengan melakukan sinergi antara peternak dengan instansi pemerintah baik pusat dan daerah (Balai Besar Pengembangan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTUHPT) dan Balai Besar Veteriner Wates.

Keunggulan Domba Batur
Domba Batur memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan populasinya, emgingat nilai ekonomis yang besar dari daging dan wollnya. Domba Batur memberikan kontribusi pendapatan (income) bagi rumah tangga peternak, karena selain fungsinya sebagai penyedia protein hewani, juga berperan dalam penyediaan pupuk kandang untuk budidaya pertanian.

Domba Batur juga lebih dikenal sebagai hewan peliharaan para penghobi, dimana bayi domba Batur yang berbulu lebat usia 3-4 bulan mampu mencapai harga juataan rupiah. Sedangkan yang dewasa dengan performa baik mampu mencapai harga puluhan juta rupiah.

Salah satu peternak domba Batur setempat, Abdoni, pernah menjual domba Batur seharga Rp 23 juta. Domba Batur memiliki daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan, sehingga cocok dipelihara di daerah beriklim dingin sesuai dengan bulunya yang tebal.

Karakteristik Domba Batur
Adapun ciri-ciri domba Batur hasil persilangan ini memang cukup menarik dan berhasil meningkatkan keunggulan domba lokal, seperti pada tabel berikut:


Demikianlah sekilas tentang domba Batur yang menjadi ikon masyarakat peternak Banjarnegara, yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan berbagai stakeholder peternakan, khususnya peternak domba agar terhindar dari kepunahan. (SA)

Aplikasi Angon, Jembatani Peternak Rakyat dan Masyarakat Urban




Angon dalam bahasa Jawa diartikan sebagai menggembala. Berangkat dari rasa kepedulian terhadap salah satu permasalahan di sektor peternakan yaitu rantai distribusi panjang, Agif Arianto membuat aplikasi berbasis financial technology (Fintech) bernama Angon.

Beternak kambing domba zaman now bisa dilakukan online melalui aplikasi Angon Indonesia. Aplikasi ini menjembatani masyarakat yang ingin beternak namun terkendala lahan, waktu dan keterampilan. Aplikasi ini juga menciptakan kerjasama antara peternak rakyat dengan masyarakat urban.

Ketika salah satu stasiun televisi swasta mewawancarai Agif pada 11 September 2017, dia menyatakan bahwa rantai distribusi panjang karena keberadaan tengkulak. “Kita melihat harga daging yang dijual ke masyarakat mahal, namun mengapa masih banyak peternak atau petani yang menjerit,” ungkapnya.

Agif sendiri semasa kuliah telah beternak 30 ekor domba dan ketika sebagian dombanya mati, dia merasakan bahwa beternak itu tidak mudah.

“Beternak itu tidak mudah, kita haru memikirkan bagaimana memperoleh bibit yang bagus, pakan berkualitas, masa panen hingga ketika menjual hasil ternak di pasaran, harga tidak sesuai ekspektasi,” imbuhnya.

Saat ini, Angon sudah memiliki 11.100 hewan yang diternakkan dari 10.000 lebih member aktif dengan 800 transaksi di setiap bulannya. Sentra peternakan rakyat (SPR) merupakan  mitra yang tersebar di desa beternak online  di Wawar Lor Kabupaten Semarang, Jogjakarta, dan Bogor.

Jadi, bagaimana caranya ternak kambing domba secara online? Kita cukup memasang aplikasi Angon di smartphone (saat ini baru tersedia untuk Android) -> mendaftarkan diri -> memilih jenis kambing yang ingin diternakkan -> membayar -> selesai. Mudah bukan?

Berikut cara kerjanya :

1. Beli bibit ternaknya
Angon menyediakan bibit domba dan sapi terbaik yang terbagi dalam beberapa jenis. Harga yang kita bayarkan di awal besarnya bervariasi, mulai dari  1 hingga 10 juta rupiah. Biaya tersebut meliputi harga ternak (sesuai bobot saat beli), asuransi ternak, biaya pakan, biaya perawatan oleh peternak rakyat, serta  biaya sewa kandang selama 3 bulan.

Ada beberapa jenis kambing domba yang ditawarkan yaitu Merino, Garut dan Gembel. Selain bisa memilih jenisnya, kita bisa memilih umur dan berat dari hewan tersebut. Hal ini mempengaruhi harga beli dan nilai Return of Investment (ROI) yang akan kita dapatkan.

Setelah memilih jenis kambing, kita akan ditunjukkan perhitungan perkiraan ROI selama tiga bulan. Jika sudah yakin, kita bisa memilih tombol ‘Beli Sekarang’ untuk melakukan transaksi. Ada dua metode pembayaran, yaitu melalui Tcash dan transfer bank.

2. Dirawat dalam 3 bulan
Jangka waktu perawatan ternak di Angon adalah 3 bulan. Selama itu, ternak akan diberi pakan dan dirawat oleh peternak rakyat mitra Angon. 

Kita dapat memantau kenaikan bobot ternak melalui aplikasi Angon pada tanggal 10 dan 25 setiap bulannya. Kenaikan bobot ternak tergantung pada jenis dan kondisi ternak yang dipilih.

3. Jual kembali hewan ternak ke Angon
Setelah 3 bulan, sistem Angon secara otomatis akan membeli kembali ternak dan kita  mendapatkan hasil sesuai bobot saat panen. Besaran keuntungan bervariasi antara 2% hingga 15%. 

Kita bisa memperpanjang masa ternak untuk 3 bulan berikutnya.Kita juga berhak untuk mengkonsumsi sendiri karena ternak ini sepenuhnya milik kita. ***

(sumber : angon.id)














Pasca Bebas AGP Tetapi Belum Bebas Kutu Frangky

Dampak kerugian kehadiran kutu franky. (Sumber: Tony Unandar)
Permasalahan  kutu kandang (frangky) sebagai hama penggangu peternakan ayam faktanya dijumpai disemua kalangan peternak. Baik pada budidaya dengan kandang open house ataupun closed house, bahkan pada area budidaya di pegunungan maupun daerah pantai. Samar-samar kerugian usaha pun tergerogoti hama pengganggu itu. Bebas AGP dan biosekuriti ketat belum membebaskan kandang dari hama kutu frangky.

Budidaya ayam tanpa AGP (Antibiotic Growth Promoter) telah efektif berlaku sejak 1 Januari 2018, implementasi nyata dari regulasi pemerintah seputar pelarangan penggunaan AGP yang di campur dalam pakan, secara formal sudah termaktub secara lengkap dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Kriteria obat hewan yang dilarang tercantum dalam pasal 15 ayat 1. Kebijakan tersebut sesuai dengan amanat UU No. 18/2009 juncto UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Seiring dengan adanya regulasi tersebut, maka semua peternak berbenah diri. Tidak hanya sekedar mencari alternatif pengganti AGP seperti probiotik, prebiotik, acidifier, penggunaan tambahan enzim, penggunaan berbagai macam penggunaan sediaan herbal/produk fitogenik (essensial oil) dicampur dengan beberapa asam organik, bahkan pelaksanaan tingkat biosekuriti di farm pun harus semakin ekstra ketat (bahkan sejak awal kosong kandang sampai pencucian kandang, hingga masa budidaya ayam berakhir).

Tidak hanya itu, bagi peternak yang sudah bisa menutup kerugian usahanya dengan harga daging ayam berada di atas HPP (Harga Pokok Produksi) dan mempunyai tabungan lebih, tidak jarang mereka berbondong-bondong memodifikasi kandangnya.

Bagi kalangan peternak yang memiliki kandang terbuka yang terbatas keuntungan usahanya, mereka malakukan berbagai macam upaya untuk memodifikasi kandangnya, yakni dari penggunaan tambahan kipas, plafonisasi atap, penggunaan waring untuk meminimalisir kepadatan semu, serta dampak buruk adanya cekaman cuaca ekstrim panas, bahkan penggunaan misting (partikel air kabut yang dihasilkan oleh spuyer lembut dengan pompa bertekanan). Di sisi lain para peternak yang mempunyai anggaran yang cukup, tidak tanggung-tanggung langsung menyulap kandangnya dari open house menjadi semi closed house (tunel), bahkan langsung ke full closed house dengan evaporative cooling system.

Hama Pengganggu 
Namun di sisi lain, ada aspek pencetus penyakit terselubung yang banyak dilupakan oleh para peternak. Apakah itu? Permasalahan  kutu kandang (frangky) sebagai hama penggangu peternakan ayam.

Di peternakan ayam, hama pengganggu berasal dari kelompok Arthropoda. Hama ini sering disebut dengan istilah ektoparasit. Secara umum berdasarkan sifatnya, ada dua jenis ektoparasit:

1. Obligat, adalah hama yang selalu berada bersama inangnya. Menghabiskan seluruh siklus hidup pada bulu dan rambut inangnya. Contohnya kutu penghisap (Anoplura).
2. Fakultatif, adalah hama yang sebagian besar hidupnya berada di luar inangnya. Ektoparasit yang bersifat fakultatif akan datang dan mengganggu inangnya pada saat makan atau menghisap darah ketika diperlukan. Contohnya kutu busuk, kutu frangky. 

Kutu kandang frangky (dark beetle) termasuk dalam kelas insekta (serangga), yang masih tergolong kumbang, namun masyarakat mengenalnya sebagai kutu frangky. Karakter hidupnya berkelompok dalam jumlah yang banyak terutama di tempat-tempat yang lembab dalam area kandang ayam. Tempat hidup favoritnya ada di litter/manur (di sekam yang terdapat pakan ayam dan kotoran ayam), gudang pakan dan sering bersembunyi pada lantai kandang yang berlubang ataupun tiang kandang yang keropos...


Drh Eko Prasetio
Private Commercial Broiler Farm Consultant


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi juli 2018.

Potensi Pengambangan Ayam Walik

Ayam Walik (Sumber: Istimewa)
Indonesia adalah negeri yang sangat kaya akan plasma nutfah, baik tanaman maupun hewan. Salah satu plasma nutfah yang unik ialah ayam Walik atau di Jawa Barat dikenal dengan nama ayam Rintit, yang memiliki penampilan bulu keriting atau terbalik ke arah depan atau belakang. Kondisi bulu yang terbalik pada jenis ayam ini hanya terdapat di Indonesia dan satu-satunya di dunia, yaitu berada di daerah Bogor, Sukabumi dan Sumedang, Jawa Barat (Jabar).

Balai Penelitian Ternak, Ciawi Bogor, memasukkan kategori ayam Walik sebagai “Jenis ayam lokal yang perlu dieksplorasi”, seperti halnya ayam Tukong (Kalimatna Barat), ayam Jantur (Pamanukan, Jabar), ayam Ciparage (Karawang, Jabar). Oleh karena itu, karakteristik produksi dan reproduksinya belum banyak digali dan dikenal, namun karena keunikan ayam Walik ini, masyarakat menempatkannya sebagai ayam hias dan memiliki nilai ekonomis tinggi.

Penampilan Fisik (Performance)
Ayam Walik atau ayam Rintit berperawakan tubuh hampir sama dengan ayam Kampung, dengan bobot badan dewasa berkisar 1-3 kg dan memiliki warna bulu beraneka ragam, antara lain hitam, cokelat, kemerahan, cokelat kekuningan, putih, blorok bintik-bintik merah dan hitam, serta kombinasi warna lainnya. Kulit kaki dan paruh berwarna putih kuning atau kehitaman/kelabu tua, jengger berbentuk tunggal (pea) dan bergerigi berwarna merah.

Menurut Rahmat (2003), terdapat tiga macam ayam Walik, yaitu Walik Sekul, ditandai dengan seluruh bulu terbalik. Walik Sura, bulunya berwarna hitam dan bulu yang keriting relatif sedikit. Walik Tulak, ditandai dengan bulu yang seluruhnya keriting, berwarna hitam di bagian dadanya, tetapi pada ujung kedua sayap dan ekornya berwarna putih.

Kerja Genetik dan Fisiologis
Munculnya keunikan ayam Walik yang menyebabkan penampilan fisik yang berbeda dari ayam lokal lainnya, menurut para ahli dipengaruhi oleh Gen-i, yang menimbulkan produksi pigmen Melanin. Pigmen melanin terbagi atas dua tipe, yaitu Eumelanin dan Pheomelanin. Eumelanin membentuk warna hitam serta biru pada bulu ayam, sedangkan Pheomelanin membentuk warna merah, cokelat, salmon dan kuning tua (Brunbaugh & Moore, 1968).

Menurut Somes (1990), ayam Walik memiliki metabolisme basal yang cepat, produksi kelenjar hormon tiroid dan adrenal yang tinggi, sehingga berpengaruh pada kenaikan asupan pakan, konsumsi oksigen, detak jantung dan peningkatan sirkulasi darah. Kondisi fisiologis ini menjadikan ayam Walik mampu bertahan dipelihara di lingkungan beriklim panas, namun pada saat DOC harus benar-benar diperhatikan periode masa brooding-nya.

Kendala Pengembangan
Ayam Walik menghasilkan produksi telur 12 butir per periode (atau 13%), daya tetas hanya 74% dan frekuensi bertelur tiga kali per tahun dengan pemeliharaan ekstensif dan dierami induknya. Oleh karena itu, ayam Walik lambat dalam berkembangbiak. Kendati demikian, solusinya bisa dilakukan pemeliharaan secara semi-intensif/intensif. Purwanto salah satu peternak ayam Walik asal Jembulwuhut, Gunungwungkal, Pati, Jawa Tengah, membagi pengalamannya memelihara ayam Walik secara semi-intensif. Ternyata cukup memberikan keuntungan karena rata-rata setiap bulan mendapatkan pendapatan antara Rp 4-6 juta per bulan.

Ayam Walik hitam memiliki harga yang cukup tinggi.
(Sumber: Google)
Purwanto mengungkapkan, bahwa harga ayam Walik putih dan warna lainnya bisa berkisar Rp 500 ribu per ekor, sedang yang berwarna hitam mengkilap bisa dijual dengan harga Rp 1 juta per ekor.

Setiap minggu pembeli datang dari berbagai daerah untuk membeli ayam Walik sebagai ayam hias. Penetasan yang dilakukan Purwanto tidak dierami oleh induknya, melainkan menggunakan mesin tetas, sehingga dapat memproduksi DOC ayam Walik yang lebih banyak karena tidak dierami langsung oleh indukannya.

Namun begitu, pengembangan ayam Walik masih perlu mendapat perhatian dari pemerintah pusat maupun daerah, serta stakeholder perunggasan lokal, agar ayam Walik tetap lestari dan terhindar dari kepunahan. Dukungan bisa dilakukan dengan memperkenalkan ayam Walik pada tiap pameran ataupun seminar perunggasan, pendampingan peternak dalam hal pemeliharaan dan penyuluhan secara intensif. Agar pemanfaatan ayam Walik sebagai peluang bisnis bisa terbuka lebar dan memperluas lapangan pekerjaan di pedesaan. ***

Ir Sjamsirul Alam
Penulis praktisi perunggasan,
alumni Fapet Unpad

Menghindari Serangan IBH (Inclusion Body Hepatitis) di Farm Broiler

Pemeliharaan broiler prosesnya sangat cepat. Untuk mencapai finish dengan normal
diperlukan kondisi fit sejak kedatangan DOC di farm, yang tidak hanya berpedoman pada
kondisi fisik secara kasat mata, melainkan kualitas DOC secara internal quality.
(Foto: Ridwan)

Oleh: Suryo Suryanta
Konsultan Manajemen Ayam

Lagi-lagi kasus gangguan kesehatan menyeruak di lapangan yang mengakibatkan kerugian yang signifikan karena kematian ayam dengan kisaran 5-65%, sehingga konversi pakan menjadi membengkak. Kasus IBH menjadi pelik karena gejala infeksinya agak sulit dibedakan dengan kasus Gumboro (IBD), meskipun disebutkan bahwa kontaminasi IBH dapat terdeteksi sejak dini saat penerimaan DOC bila terjadi kontaminasi di breeder ataupun di hatchery, ditulis Drh Eko Prasetio, Infovet edisi Februari 2018.

Kejadian infeksi IBH muncul setelah ayam sudah mulai besar (800 gr) atau di umur sekitar 18 hari dengan meningkat kematiannya. Yang paling repot kejadian tidak terdeteksi, namun kematian tinggi saat pelaksanaan panen, baik kematian saat penangkapan hingga saat  ayam sudah di kendaraan. Berikut tanda-tanda IBH yang terjadi di lapangan dari (kontributor Dokter Hewan yang aktif di lapangan):

Gambar: Dok. Pribadi
Contoh kasus di lapangan, pada flok yang terdiri dari tiga kandang, hanya satu kadang yang mengalami serangan IBH tersebut yang diikuti dengan gejala ND dan colli, sehingga kematian menjadi meningkat tajam hingga 20%. Meskipun yang terkena hanya satu kandang, namun memberikan kerugian secara total menyeret kandang lain yang performance-nya normal. Tentunya kondisi ini merugikan bagi peternak broiler, meskipun harga livebird tinggi tetap tidak memberi keuntungan, hanya mampu mengurangi tingkat kerugian yang dialami peternak.

Meskipun tingkat morbiditas kasus IBH ini tidak meluas atau dapat disebutkan hanya spot-spot, namun kejadian ini seolah menjadi trauma bagi peternak atau “down mental”, karena mereka ragu-ragu untuk melakukan chick-in lagi, karena khawatir akan terserang kasus IBH kembali. Mereka sadar masih belum dapat mengatasi secara preventif apalagi mengatasi setelah terjadi wabah. Oleh karena itu, perlu dituntaskan mengenai kasus IBH ini untuk menghindarkan dari farm, sehingga mendorong semangat para peternak untuk kembali berusaha.

Budidaya Broiler seperti Lomba Lari Sprint
Pemeliharaan broiler hanya sampai 30-35 hari dengan bobot panen mencapai 1,6-2,2 kg, bahkan tidak sedikit yang dipanen pada umur 22-25 hari dengan bobot 0,9-1,2 kg. Hal ini menunjukkan bahwa pemeliharaan broiler adalah proses yang sangat cepat ibarat lomba lari sprint. Untuk mencapai finish dengan kecepatan normal diperlukan kondisi yang fit sejak kedatangan DOC di farm. Kondisi yang fit sampai sekarang masih berpedoman hanya pada kondisi fisik yang kasat mata, seperti tidak cacat, berat DOC, kekeringan, warna bulu dan kelincahan. Tentu sudah perlu diarahkan pada pedoman kualitas DOC secara internal quality, yaitu dari aspek kecukupan nutrisi penyusunnya, serta memastikan bebas kontaminasi dari induk, baik bebas salmonella, bebas jamur atau fungus, bebas bakterisidal, seperti colli dan pseudomonas dan bebas kontaminasi yang bersifat virusidal.

Mengapa DOC harus full nutrisi, karena jumlah sel dasar dan kekebalan tubuh terstruktur oleh nutrisi yang akan menjadi pondasi dasar untuk pertumbuhan dan pembentukan organ kekebalan. Dengan pertumbuhan broiler yang cepat, maka harus diimbangi dengan perkembangan organ kekebalan yang cepat pula, sehingga jumlah sel dasar penyusunnya harus dalam jumlah yang ideal.

Sebagai ilustrasi sederhana ayam breeder 32 minggu dengan standar berat HE 60 gram, sehingga akan memiliki variasi berat DOC 35-47 gram, selanjutnya pada umur 40 minggu akan memiliki standar berat HE sudah 65 gram, sehingga berat DOC akan bervariasi dari 40-52 gram, artinya pada umur 40 minggu harus sudah tak lagi ditemukan berat DOC di bawah 40 gram. Namun kondisi yang dihadapi di lapangan belum tentu bisa terwujud dengan baik, sehingga masih dijumpai berat DOC di bawah 40 gram meskipun umur induk sudah di atas 40 minggu.

Apakah yang Mengganggu Nutrisi Telur Tetas (HE)
Ada anomali gangguan yang sangat riskan pada breeder broiler, yaitu jatuhnya telur ke perut ayam, disebut anomali karena kejadian yang tidak mudah dideteksi secara dini, namun hanya bisa diketahui dari akibatnya. Kejadian ini pun bisa diketemukan karena ada faktor lain yang involve yaitu bila ada kontaminasi bakteri, sehingga muncul yang disebut Egg Peritonitis dengan kejadian mortalitas yang tinggi. Lebih lanjut disebut anomali karena kejadian telur jatuh atau bisa disebut internal laying disebakan oleh yang disebut Erratic Oviposition And Defective Egg Syndrome (EODES), yaitu terjadi ketika ayam memiliki terlalu banya folikel ovarium yang besar, sehingga akan banyak kejadian double yolk dan prolapsus. Kejadian EODES karena terjadi stimulasi cahaya dini pada ayam ayam yang underweight atau yang juga overweight, sehingga cara preventif mengatasi EODES hanya dengan menunda stimulasi cahaya pada ayam pullet yang underweight, serta menghindari ayam yang overweight.

Gambar: Dok. Pribadi
Kejadian telur jatuh ke perut juga akan aman karena akan diserap kembali ke tubuh ayam sejauh bila tidak ada kontaminasi bakteri. Namun bila muncul gangguan Toksikasi, yaitu adanya toksin yang masuk meracuni atau  terjadi akumulasi toksin di dalam tubuh ayam. Toksikasi menyebabakan daya tahan tubuh menurun (imunosupresi), maka salmonella ataupun colli di dalam tubuh akan mengalami replikasi dan mampu mengintervensi tubuh ayam. Proses replikasi menjadi berkepanjangan bila ada kuning telur ada di perut ayam karena menjadi tempat tinggal dan berkembangbiak.

Kondisi ini akan menjadi problem yang berkepanjangan karena tidak akan mudah diatasi dengan perkembangbiakkan bakteri di perut ayam. Kondisi inilah yang menjadi “biang bertunas” ke telur tetas yang dihasilkan ayam tersebut, sehingga menjadi HE yang terkontaminasi bakteri colli dan salmonella. Meskipun secara jumlah telur yang tertunas tidak banyak namun seperti menyimpan “bom waktu” yang sewaktu-waktu bisa meledak saat proses inkubasi, sehingga menjadi spreading atau penyebaran yang meluas pada telur yang embrionya sudah berkembang, serta waktu yang krusial di hatcher pada saat telur piping atau ayam sudah siap menetas dengan mulai paru DOC keluar dari cagkang, maka DOC akan menghirup kontaminan colli maupun salmonella ke saluran pernapasan dan pencernakan DOC tersebut.

Resiko Berganda dan Solusi
Dengan adanya telur jatuh ke perut dan terkontaminasi bakteri maka menjadi simpanan kontaminan yang siap bertunas di telur yang diproduksi pada ayam tersebut. Meskipun semua ini menjadi potensial yang aman bila tidak ada “si pemantik api” yaitu toksin. Dengan adanya toksin menyebabkan gizzard errotion dan usus juga terjadi enteritis maka penyerapan nutrisi menjadi menurun, akibatnya nutrisi penyusun dalam telur menjadi tidak optimal.

Dapat disimpulkan bahwa akibat Toksikasi di breeder akan menyebabkan kematian tinggi, menyebabkan kontaminasi telur tetas, sehingga hatchability turun dengan kualitas DOC juga menurun. Selanjutnya DOC yang dihasilkan juga memiliki nutrisi yang kurang, serta memungkinkan tertunas atau terkontaminasi bakteri colli dan salmonella sehingga culling juga tinggi.

Dengan DOC yang seperti ini tentu pertumbuhan juga kurang optimal, serta pertumbuhan organ kekebalan juga tidak maksimal yang akan mudah terserang oleh bakteri maupun virus. Kondisi broiler farm yang terwabah IBH muncul tanda gizzard errotion, artinya juga terjadi munculnya IBH oleh adanya Toksikasi. Dengan adanya Toksikasi maka penyerapan nutrisi menjadi kurang maksimal, serta terjadi penurunan daya tahan tubuh yang akan memunculkan outbreak IBH.

Perlu digaris-bawahi bahwa kronologis munculnya kasus IBH di farm broiler bukan IBH-nya diturunkan dari induk breeder, namun diawali dengan kontaminasi bakteri dan salmonella pada DOC, serta komposisi nutrisi penyusunnya yang kurang sempurna, sehingga daya tahan tubuh DOC menjadi rendah. Selanjutnya DOC yang lemah ini menjadi rentan untuk masuknya outbreak IBH. Jadi dapat disimpulkan bahwa secara kronologis munculnya IBH dipicu oleh pengaruh toksin yang melanda di induk breeder, serta di farm broiler-nya. Oleh karena itu, hanya satu solusi yang harus dilakukan secara simultan di farm breeder dan farm broiler dengan menjinakkan toksin melalui Detoksikasi.

Detoksikasi
Mengambil istilah dari proses perawatan kesehatan untuk manusia, Detoksikasi merupakan proses menurunkan toksisitas pada tubuh ayam, sehingga mampu menetralisir efek toksisitas dari toksin yang mampu mengondisikan gizzard menjadi lebih baik, vili-vili usus sempurna, serta organ hati memiliki tingkat kekenyalan yang normal.

Dengan kondisi organ dalam yang sempurna ini mampu mendorong pertumbuhan sel-sel telur atau ovum dan ovarium juga sempurna. Hasil dari penerapan Detoksikasi yang sudah konsisten mampu memberikan pengaruh yang baik pada performance produksi, sehingga HD di breeder akan dimudahkan mencapai produksi HD 88-90%, serta berkelanjutan pada broiler yang dimulai dari kualitas DOC yang baik hingga bisa disebut zero komplen, serta memiliki performa broiler yang terbebas dari kasus IBH. ***

Gambar: Dok. Pribadi

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer