-->

MENTERI SAJA SARAPAN TELUR REBUS, KENAPA KITA TIDAK?

Sarapan dengan telur setiap hari meningkatkan kesehatan. (Foto: Istimewa)

Dalam sebulan terakhir, telur ayam makin popular. Penyebabnya, konsumsi telur rebus dikampanyekan oleh orang nomor satu di Kementerian Kesehatan, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin atau yang akrab disapa “Pak BGS” di kalangan pelaku bisnis industri farmasi.

Viral di lini media sosial, Menkes Budi Gunadi Sadikin mengajak masyarakat Indonesia untuk memulai kebiasaan sarapan sehat dengan dua butir telur rebus setiap pagi. Menu sederhana ini lebih bermanfaat dibandingkan pilihan sarapan populer yang tinggi gula dan kalori.

Tentu saja ini anjuran yang sangat bagus. Bisa menjawab semua isu negatif seputar telur ayam yang dilakukan oleh sebagian orang yang sejatinya tidak paham dengan kelebihan konsumsi telur. Yang memprihatinkan, justru informasi menyesatkan ini disampaikan oleh oknum dokter.

“Kalau pertama kali makan atau sarapan jangan yang manis-manis seperti sereal, nasi uduk, atau lontong. Itu bikin gula kita langsung akan naik. Kita butuh makanan sehat, contohnya protein seperti telur,” kata BGS dalam unggahan di akun Instagram resminya @bgsadikin, Rabu (17/9/2025).

Video singkat ini “berselancar” ke beranda semua lini media sosial, sehingga cukup efektif untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang pentingnya konsumsi telur. Dalam video tersebut, BGS bukan hanya bicara tetapi juga memakan dua butir telur rebus. Gaya eduksi BGS memang cukup unik dan beda dengan menteri lainnya.

Menurut BGS, satu butir telur rebus mengandung sekitar 6 gram protein dan 60 kalori. Dua telur bisa memberikan 12 gram protein dan energi sekitar 120 kalori. Selain sehat, harganya juga terjangkau. “Satu telur ini cuma Rp 2.500, jadi kalau dua telur hanya Rp5.000," ujarnya dalam video tersebut.

Ia menekankan pentingnya mencukupi kebutuhan protein harian, yang idealnya sekitar 0,8 gram per kilogram berat badan. Dengan berat badan 72 kilogram, ia menyebut dirinya membutuhkan 57,6 gram protein per hari. Konsumsi dua telur di pagi hari bisa menutup sebagian kebutuhan tersebut.

Setelah berpuasa 8-10 jam saat tidur malam, tubuh sebaiknya diberi asupan yang tidak memicu lonjakan gula darah (glucose spike). Itulah sebabnya ia menyarankan untuk memulai hari dengan protein atau sayuran, bukan makanan manis. “Sudah praktis buatnya, tinggal celup 5-7 menit, murah lagi. Cukup awali sarapan dengan dua butir telur rebus tanpa tambahan saus tinggi kalori,” kata dia.

Menkes berharap masyarakat bisa lebih sadar terhadap pilihan makanan sehari-hari. “Yuk, mulai hidup sehat dari sekarang. Dimulai dari kesadaran akan makanan yang kamu santap,” tutupnya pada keterangan Instagram ketika ia menyantap dua butir telur.

Anjuran Menteri Kesehatan ini sekaligus menjawab banyaknya keraguan para pra lansia dan lansia untuk mengonsumsi telur. Hingga sekarang, masih banyak orang usia di atas 50 tahun merasa khawatir makan telur, terutama bagian kuningnya. Ada yang beranggapan makan kuning telur berbahaya bagi kesehatan karena kandungan kolesterolnya yang tinggi. Orang yang setuju dengan anggapan ini, biasanya hanya konsumsi putih telurnya saja. Bagian kuningnya disisihkan.

Kebiasaan menyisihkan kuning telur dan hanya memakan bagian putihnya saja saat makan juga dilakukan oleh Subono. Sejak dulu, pensiunan TNI AL ini juga gemar mengonsumsi telur ayam. Namun setelah pensiun dari dinas kemiliteran, pria berumur mendekati 70 tahun ini hanya konsumsi bagian putih telurnya saja.

“Telur itu sumber protein yang bagus. Dari dulu saya suka makan, terutama telur rebus, paling suka. Tapi sekarang cuma makan putihnya saja, biar aman. Takut kolesterol,” ucapnya kepada Infovet.

Kekhawatiran tersebut memang bisa dimaklumi. Di usianya yang makin tua, kadang rasa takut konsumsi telur muncul. Meskipun sebelumnya sudah bertahun-tahun makan telur dan tak ada masalah dengan penyakit yang dikhawatirkan. Namun sejatinya, tak perlu ada rasa khawatir yang berlebihan. Bagimanapun banyak lansia yang konsumsi telur tetap aman-aman saja, yang penting tidak berlebihan.

Anjuran Presiden Prabowo
Konsumsi telur rebus ternyata bukan hanya “dipromosikan” oleh Menkes BGS, tetapi juga oleh Presiden Prabowo Subianto melalui Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana. Dalam keterangan resminya, Dadan menyebut Presiden menginginkan telur untuk Makan Bergizi Gratis (MBG) hanya boleh dimasak dengan dua cara, yakni digoreng ceplok (telur mata sapi) atau direbus (telur bulat).

“Jadi telur itu, beliau hanya boleh dua (cara) dimasak telur itu. Satu diceplok, satu lagi telur bulat,” tutur Dadan.

Ia juga menyebutkan, Prabowo tidak ingin telur dalam program MBG dimasak dengan cara diorek-orek atau didadar. “Jadi beliau sangat tidak ingin telur itu diorek-orek atau didadar. Karena kalau didadar kan untuk tujuh orang bisa dengan lima telur, untuk 10 orang bisa lima telur. Nah, kalau diceplok dengan dibulat, itu sudah pasti kelihatan telurnya,” ujarnya.

Sebagian orang tua murid mengapresiasi permintaan Presiden Prabowo. Pemberian telur ceplok atau rebus bisa mencegah terjadinya kecurangan di pemilik catering Program MBG. Satu anak harus dapat satu butir telur, bukan dibagi jadi beberapa bagian.

Winarti, orang tua murid di Depok berpendapat, setuju dengan yang sampaikan Presiden. “Saya perhatikan Pak Presiden jeli untuk urusan telur. Kalau didadar kan misalnya 7 butir, bisa dibagi buat 10 porsi. Tapi kalau direbus atau ceplok bisa cateringnya tidak bisa bohong,” ujarnya kepada Infovet.

Pendapat serupa juga dikatakan oleh Ruslan Sumadi, orang tua murid yang juga tinggal di Depok. Bahkan menurutnya, kalau lauk telur rebus atau ceplok, tidak mungkin anak keracunan. “Mungkin lauk lainnya yang jadi penyebab banyaknya kasus keracunan MBG,” katanya.

Ruslan dan Winarti sama-sama memiliki anak yang sekolah SMP di Depok. Mendengar berita banyaknya kasus keracunan MBG, mereka merasa khawatir. Padahal, saat makan di rumah, keduanya mengaku sering memberikan lauk telur.

“Kalau pagi kan paling praktis bikin telur ceplok atau dadar buat sarapan anak sebelum sekolah. Buat makan malam, kadang anak juga minta dibuatkan telur ceplok,” kata Winarti.

Harga di Bawah Kerupuk
Ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Prof Dr Ir Ali Khomsan, menyebut konsumsi telur ayam sangat dianjurkan untuk semua kalangan, baik anak-anak maupun orang dewasa. Sebab, telur merupakan sumber protein dan kandungan gizi lainnya yang tinggi dengan harga terjangkau bagi masyarakat.

Dalam perbicangan dengan Infovet sebelumnya, Ali Khomsan berpendapat mengonsumsi satu jenis menu secara terus-menerus memang bisa membosankan. Karena itu, variasi dalam mengolah telur sangatlah penting. Salah satunya diolah dadar atau olahan lain berbahan telur.

Bagi anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan dan ibu menyusui, asupan gizi protein hewani dari daging ayam dan telur sangat dibutuhkan. “Kandungan asam amino yang ada di dalam telur dan daging ayam juga cukup bagus untuk kesehatan tubuh. Asam amino berperan penting karena membantu pembentukan protein sebagai bahan dasar pembentuk sel, otot, serta sistem kekebalan tubuh,” ujar pakar gizi ini.

Menurutnya, konsumsi telur dan daging ayam bagi anak-anak sangat baik dan bisa dimulai sejak awal ibu-ibu menyusui bayinya. Daging ayam mengandung protein, zat besi, magnesium, vitamin, dan fosfor.

Bisa jadi, untuk sebagian kalangan masyarakat masih menganggap harga telur mahal. Selain itu, membeli telur tidak bisa satuan lazimnya membeli lauk lain, semisal gorengan. Namun demikian, jika dihitung, harga telur ayam masih di bawah harga kerupuk yang kandungan gizinya sangat minim. ***

Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet Daerah Depok,
Konsultan media dan penulis buku,
Writing Coach Griya Menulis (Bimbingan Menulis Buku & Jurnalistik),
Juara I Lomba Jurnalistik Tingkat Nasional (Unsoed, 2021) & Juara I Kompetisi Menulis Artikel Tingkat Nasional dalam rangka HATN, 2022

DUKUNG BUDI DAYA UNGGAS PENUHI KESRAWAN, REGULASI SEGERA DISAHKAN

Pemeliharaan cage-free pada ayam petelur. (Foto: Istimewa)

Pemerintah Indonesia menunjukkan dukungan nyata terhadap sistem budi daya unggas yang memenuhi kaidah kesejahteraan hewan (Kesrawan), termasuk di antaranya sistem budi daya ayam petelur bebas sangkar (cage-free).

Melalui regulasi baru tentang penyelenggaraan kesejahteraan hewan yang saat ini tengah difinalisasi, pemerintah memberi sinyal kuat bahwa masa depan peternakan, termasuk ayam petelur akan semakin berorientasi pada praktik pemeliharaan yang lebih ramah terhadap hewan dan berkelanjutan.

Ketua Tim Kerja Advokasi Kesejahteraan Hewan, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner (Ditkesmavet), Kementerian Pertanian, Drh Puguh Wahyudi MSi, menegaskan bahwa pemerintah serius mendorong penerapan praktik Kesrawan di Indonesia, termasuk pada peternakan ayam petelur seperti sistem budi daya cage-free.

Ia juga menambahkan, saat ini pemerintah tengah menyiapkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Hewan yang telah masuk tahap harmonisasi. Regulasi ini nantinya akan menjadi payung hukum terkait norma kesejahteraan hewan di Indonesia.

“Regulasi terkait penyelenggaraan kesejahteraan hewan saat ini sedang difinalisasi dan siap disahkan. Aturan ini akan menjadi landasan hukum standar kesejahteraan hewan di Indonesia, yang meliputi hewan ternak, hewan kesayangan, hewan jasa, hingga hewan laboratorium,” kata Puguh.

“Selain itu, juga terdapat poin sertifikasi kesejahteraan hewan dalam regulasi ini yang dapat menjadi acuan bagi peternak dalam mengembangkan sistem pemeliharaan yang lebih berorientasi pada kesejahteraan hewan. Termasuk di dalamnya, pada peternakan ayam petelur.”

Lebih lanjut disampaikan, pemerintah juga memberikan dukungan kepada peternak yang mulai menerapkan sistem cage-free. Menurutnya, tren global saat ini mengarah ke sana. Karena itu, penerapan prinsip Kesrawan, termasuk melalui sistem cage-free diperkirakan akan berkembang secara bertahap di Indonesia. Apalagi, jika di masa mendatang produk Indonesia menghadapi tantangan ekspor dan tuntutan cage-free, pemerintah tegaskan akan menyiapkan produk yang sesuai dengan permintaan konsumen.

“Di Uni Eropa, regulasi sudah mengatur dan mereka telah 100% beralih ke cage-free. Kita melihat hal ini pasti berdampak pada perekonomian dunia, sehingga kita juga harus siap. Jika Uni Eropa sudah begitu, biasanya negara lain akan ikut. Bahkan bisa menjadi yurisprudensi, karena WTO pernah memutuskan bahwa isu kesejahteraan hewan dapat dijadikan dasar hambatan perdagangan apabila dianggap mengganggu moral publik,” tambahnya.

Sejalan dengan arah cage-free, Sustainable Poultry Program Manager Indonesia Lever Foundation, Sandi Dwiyanto, mengungkapkan bahwa Kesrawan kini menjadi perhatian publik global sekaligus tuntutan persaingan perdagangan internasional yang tidak bisa dihindari. Menurutnya, sejak 2015 tren produksi telur dari ayam cage-free mulai mendapat perhatian masyarakat luas.

“Banyak perusahaan internasional ternama telah membuat komitmen global untuk beralih ke sistem cage-free pada 2025. Hingga akhir 2021, lebih dari 2.000 perusahaan di seluruh dunia, termasuk restoran, penyedia layanan makanan, ritel, dan hotel telah berkomitmen untuk menggunakan telur cage-free. Termasuk di antaranya sekitar 100 perusahaan di Indonesia yang telah mengomunikasikan terkait telur cage-free. Sebagian besar menargetkan implementasi penuh pada 2025, dan jumlah komitmen dari perusahaan terus bertambah,” jelas Sandi dalam keterangan resminya, Rabu (15/10/2025).

Di Indonesia, sejumlah perusahaan makanan global juga telah membuat komitmen atau sedang dalam proses menerapkan kebijakan telur cage-free, di antaranya KFC, Pizza Hut, Taco Bell, Burger King, dan The Coffee Bean & Tea Leaf. Perusahaan besar seperti Nestlé bahkan menargetkan penggunaan telur cage-free sepenuhnya pada 2025.

Komitmen ini juga mulai diikuti beberapa perusahaan yang mempunyai basis di Indonesia, misalnya Superindo dan beberapa kafe dan restoran ternama seperti Ismaya, Bali Budha, hingga Jiwa Jawi. 

Sementara itu, Owner PT Inti Prima Satwa Sejahtera (IPSS), Roby Tjahya Dharma Gandawijaya, menilai bahwa prospek pasar cage-free akan terus tumbuh di masa depan. “Keberhasilan sistem cage-free di Indonesia membutuhkan dukungan berbagai pihak. Karena itu, peran seluruh pemangku kepentingan perunggasan nasional sangat penting, mulai dari industri pakan, DOC, peralatan, hingga obat-obatan. Dengan kolaborasi, kita dapat mengembangkan peternakan cage-free di Indonesia, sehingga ketika perubahan itu benar-benar tiba, kita sudah siap dan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri,” ujarnya.

Selain isu kesejahteraan hewan dan tren global, European Food Safety Authority (EFSA) dalam laporannya menyebutkan bahwa risiko salmonella lebih tinggi pada sistem kandang baterai dibandingkan pada sistem cage-free. Temuan ini menegaskan bahwa sistem cage-free tidak hanya menguntungkan secara perdagangan, tetapi juga berkontribusi pada keamanan pangan dan kesehatan masyarakat.

Dengan berkembangnya tren global serta rencana pengesahan regulasi penyelenggaraan Kesrawan di Indonesia, semakin membuka peluang besar di sektor peternakan ayam petelur. Kolaborasi antara seluruh pemangku kepentingan diharapkan menjadi kunci terwujudnya praktik budi daya yang berkelanjutan di Indonesia. (INF)

FENOMENA KONSUMSI ASUPAN GIZI VS ROKOK, MENANG MANA?

Konsumsi asupan makanan begizi sangat penting untuk kesehatan. (Foto: Istimewa)

Selama rokok masih menjadi candu, maka untuk menurunkan jumlah konsumennya sangat sulit. Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, orang (termasuk kalangan miskin) rela mengurangi kebutuhan pokok demi menikmati rokok. Sampai kapan begini?

Akhir Juli 2025 lalu, BPS kembali merilis soal konsumsi rokok menjadi salah satu penyebab kronis kemiskinan di Indonesia. Seakan tak dapat dicegah, penyebab ini masih mendominasi, di urutan kedua setelah kebutuhan beras, bahkan terjadi di kalangan masyarakat ekonomi lemah. Rilis terbaru ini merupakan hasil laporan survei hingga Maret 2025.

Sejak satu dekade BPS sudah berulang kali merilis masalah ini, namun persentasenya tak pernah turun. Meski di dalam bungkus rokok sudah tercantum peringatan keras soal bahayanya, namun masyarakat masih saja menikmatinya.

“Beras, rokok, dan kopi sachet masih menjadi penyumbang utama garis kemiskinan per Maret 2025,” begitu tertulis dalam siaran pers BPS, akhir Juli 2025.

Data BPS menunjukkan beras menyumbang sebesar 21,06% terhadap garis kemiskinan (GK). Sementara itu, rokok filter menyumbang 10,72% terhadap GK untuk perkotaan. Sedangkan di perdesaan, beras menyumbang sebesar 24,91% dan rokok kretek filter sebesar 9,99%.

Pada periode sebelumnya juga dijumpai hal serupa. Komoditas makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada kemiskinan baik di perkotaan maupun di perdesaan masih berupa beras dengan sumbangan terbesar, yakni 21,01 % di perkotaan dan 24,93% di perdesaan.

Sedangkan rokok kretek filter juga menempati posisi kedua pada GK September 2024, memberikan sumbangan terbesar kedua terhadap GK (10,67% di perkotaan dan 9,76% di perdesaan).

Besaran sumbangan rokok bahkan lebih besar dibandingkan bahan makanan pokok seperti telur maupun daging ayam. Bumbu-bumbu dapur krusial seperti bawang merah, gula pasir, dan cabe rawit juga menempati posisi yang lebih rendah pada daftar.

Telur ayam menempati posisi ketiga dengan proporsi 4,50% untuk GK perkotaan dan 3,62% untuk GK perdesaan, dan daging ayam ras menempati posisi berikutnya dengan proporsi 4,22% dan 2,98% untuk perkotaan dan perdesaan secara berurutan.

“Kondisi ini benar-benar memprihatinkan,” ujar ahli gizi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yuny Erwanto PhD kepada Infovet.

Erwanto menyebut, fenomena semacam ini sungguh sulit diterima akal sehat. Kebutuhan asupan gizi untuk keluarga dikalahkan kebutuhan rokok yang hanya jadi candu. Ia memberikan gambaran kalkulasi kalau dalam sehari orang menghabiskan Rp 20.000 untuk membeli rokok, maka dalam sebulan Rp 600.000 dibakar begitu saja.

“Tapi coba kalau dibelikan telur, dengan asmusi Rp 30.000, maka sebulan dia bisa beli 20 kg telur. Gizi keluarga bisa terpenuhi,” ungkapnya.

Menurut dosen Pangan Hasil Ternak Fakultas Peternakan UGM ini, perputaran uang untuk membeli rokok hanya akan berputar pada pabrik rokok dan cukai ke negara saja. Mereka yang menikmati keuntungan sangat besar, sementara para perokok mendapat titipan zat berbahaya yang bersarang di dalam tubuhnya.

Sementara untuk konsumsi telur atau daging ayam, perputaran uangnya sangat luas. Mulai dari petani jagung, peternak, perusahaan pakan ternak, perusahaan pembibitan, usaha pemotongan hewan, hingga jalur pasar yang melibatkan pelaku usaha.

Artinya semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi telur atau daging ayam secara tidak langsung akan membuka lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi masyarakat.

Jebakan Kemiskinan
Dalam rilis BPS di atas, menunjukkan bahwa rokok terutama kretek filter, merupakan salah satu komoditas paling banyak dikonsumsi masyarakat miskin dan berkontribusi besar terhadap garis kemiskinan. BPS menggunakan data konsumsi rokok dalam menghitung garis kemiskinan karena rokok adalah salah satu komoditas yang banyak dikonsumsi, termasuk oleh masyarakat miskin.

Meskipun rokok memberikan pemasukan besar bagi pemerintah, konsumsi rokok yang tinggi di kalangan masyarakat miskin, yang seharusnya memprioritaskan kebutuhan dasar seperti makanan, menjadi fenomena yang miris. Bagi mereka konsumsi rokok dapat menjadi semacam “jebakan kemiskinan” karena uang yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar digantikan untuk rokok.

Kalangan perokok sangat sulit untuk mengurangi jatah rokoknya, apalagi untuk berhenti total. Karena candu rokok sudah bersemayam dalam tubuh, maka ada orang yang berpinsip “tidak apa tidak sarapan, asal tiap pagi bisa merokok.”

“Artinya pokok persoalan utama adalah pemahaman masyarakat dan kebiasan sebagian masyarakat kita yang memang lebih untuk tetap merokok, bagaimana pun kondisinya,” ujar Erwanto.

Karena Rokok “Dimakan”
Sekadar untuk melengkapi informasi tulisan ini, ada ulasan menarik yang disampaikan seorang Petugas Survei BPS, Dwi Ardian, yang ia tulis di platform Kompasiana.com, 24 Juli 2025.

Petugas survei ini mengamati di lapangan, banyak rumah tangga miskin yang lebih memilih mengurangi konsumsi makanan bergizi daripada berhenti merokok. Padahal, menurut standar garis kemiskinan makanan, setiap anggota rumah tangga minimal membutuhkan asupan 2.100 kilokalori (kkal) per hari untuk memenuhi kebutuhan dasar gizi, begitu pengakuan Dwi Ardian.

Padahal, rokok yang harganya mahal tidak memberikan kalori sama sekali (nol kalori). Artinya, uang yang seharusnya digunakan untuk membeli makanan bergizi justru dihabiskan untuk bakar-bakar rokok, suatu kebiasaan yang kontraproduktif bagi kesehatan dan ekonomi keluarga.

Dalam penghitungan garis kemiskinan, BPS menggunakan paket komoditas kebutuhan dasar yang terdiri dari 52 jenis komoditas, termasuk padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak, dan lemak. Uniknya, rokok juga termasuk dalam daftar ini. Mengapa? Karena rokok “dimakan”, meskipun bukan dalam arti harfiah sebagai makanan bergizi.

Data Susenas menunjukkan bahwa lebih dari 73% pengeluaran rumah tangga miskin dialokasikan untuk membeli 52 komoditas tersebut, termasuk rokok. Sisanya sekitar 26%, digunakan untuk kebutuhan non-makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

Artinya, jika rumah tangga miskin mengurangi atau berhenti merokok, mereka dapat mengalihkan pengeluaran tersebut untuk memenuhi kebutuhan pokok yang lebih penting, seperti makanan bergizi atau biaya pendidikan anak.

Rokok dalam “Pelukan” Budaya
Data dari Kemenkes, data BPS, dan data Komnas Pengendalian Tambakau, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari waktu ke waktu perokok pemula usia 10-18 tahun beberapa tahun terakhir. Perokok remaja mencapai sekitar 11-12% pada 2024, dari 9% pada 2018. Sedangkan, perokok usia di atas  telah mencapai sekitar 33% pada 2024.

Dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, terutama di daerah pedesaan dan komunitas tradisional, kenduri atau selamatan menjadi salah satu ritual yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial. Acara-acara seperti syukuran kelahiran, pernikahan, kematian, atau bahkan peresmian rumah kerap dijadikan momentum untuk berkumpul.

Namun, di balik nilai kebersamaan yang dijunjung tinggi, tradisi semacam ini turut berkontribusi terhadap meningkatnya akses dan konsumsi rokok di masyarakat. Rokok sering kali menjadi bagian tak terpisahkan dalam penyelenggaraan kenduri, baik sebagai pelengkap sajian bagi tamu maupun sebagai sarana penghormatan kepada sesama. Dalam banyak kasus, rokok bahkan dianggap sebagai “tanda terima kasih” bagi para undangan yang hadir, sehingga menciptakan persepsi bahwa menolak rokok bisa dianggap “tidak sopan”.

Budaya memberikan rokok kepada tamu atau sesama peserta kenduri juga memperkuat normalisasi konsumsi rokok dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam acara-acara adat di Jawa, rokok kerap disediakan dalam nampan atau gelas bersama hidangan lainnya, seolah-olah menjadi kebutuhan pokok yang setara dengan makanan dan minuman.

Hal ini mengakibatkan rokok tidak lagi dipandang sebagai barang berbahaya, melainkan sebagai bagian dari adat istiadat yang harus dihormati. Akibatnya, anak-anak dan remaja yang turut serta dalam acara semacam ini sejak dini terpapar kebiasaan merokok dan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah.

Menurut Yuny Erwanto, kalau saja anggaran rokok tersebut dialihkan, misalnya untuk bikin ayam bakar atau ikan bakar yang bisa dinikmati bersama, tentu jauh lebih sehat. Tapi apa daya, tradisi memang sulit untuk “ditaklukkan”. ***


Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet Daerah Depok,
Konsultan media dan penulis buku,
Writing Coach Griya Menulis (Bimbingan Menulis Buku & Jurnalistik),
Juara I Lomba Jurnalistik Tingkat Nasional (Unsoed, 2021) & Juara I Kompetisi Menulis Artikel Tingkat Nasional dalam rangka HATN, 2022

SEMINAR NASIONAL MENYONGSONG HATN 2025 DIGELAR DI USU

Foto bersama Seminar Nasional dalam rangka menyongsong HATN 2025 di USU. (Foto-foto: Dok. Infovet)

Selasa (19/8/2025), bertempat di Aula Fakultas Peternakan Universitas Sumatra Utara (USU), diselenggarakan Seminar Nasional dalam rangka menyongsong Hari Ayam dan Telur Nasional (HATN) 2025.

Pada kesempatan tersebut, Ketua Bidang Promosi Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia, Ricky Bangsaratoe, yang juga Ketua Panitia Pusat HATN, menyampaikan apresiasinya kepada USU yang telah mendukung kegiatan HATN.

“Terima kasih kepada USU yang telah berkenan memfasilitasi dan mendukung seminar ini. Diharapkan ini menjadi inspirasi dan bekal bagi para mahasiswa bidang peternakan untuk bisa berkontribusi secara nyata dalam membangun sektor perunggasan agar lebih maju dan berdaya saing,” kata Ricky.

Salah satu bentuknya adalah dengan terus menggencarkan edukasi terkait pentingnya konsumsi protein hewani sebagai sumber makanan bergizi, sekaligus menangkal isu-isu hoaks seputar daging ayam dan telur yang berdampak pada melambannya tingkat konsumsi dua protein hewani tersebut.

Selain itu juga dapat mengubah mindset di masyarakat untuk lebih memerhatikan asupan makanan bergizi ketimbang konsumsi rokok dan pulsa. “Konsumsi daging ayam dan telur saat ini masih kalah dengan konsumsi rokok, dan Indonesia menjadi salah satu negara dengan konsumsi rokok tertinggi di ASEAN,” ujar Bambang Suharno selaku Pemimpin Redaksi Majalah Infovet sebagai Official Media Partner HATN, yang didapuk menjadi narasumber dengan topik peningkatan konsumsi ayam dan telur, serta dampaknya bagi lulusan peternakan.

Pemred Infovet Bambang Suharno saat menyampaikan presentasinya.

Oleh karena itu, ia pun mengimbau kepada para mahasiswa dan dosen yang hadir untuk terus mengupayakan kampanye pentingnya makan daging ayam dan telur sebagai penunjang kesehatan bagi masyarakat.

Karena dengan semakin tingginya konsumsi, tentunya industri perunggasan akan semakin tumbuh dan membuka peluang besar bagi masyarakat khususnya para lulusan bidang peternakan. Saat ini produksi unggas pun semakin tinggi dan teknologinya semakin berkembang.

“Bisnis perunggasan makin berkembang dan besar, peluang karir dan usaha bagi lulusan peternakan juga makin terbuka. Karena itu diperlukan upgrade skill, keterampilan digital, networking, dan juga mindset enterpreneur bagi para mahasiswa,” ucapnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Technical Consultant Animal Protein USSEC Indonesia, Alfred Kompudu. Menurutnya, unggas modern yang terus berkembang dan semakin terdepan dapat membuka peluang usaha yang besar bagi para lulusan peternakan, baik dari bisnis pakan, budi daya, peralatan, kesehatan hewan, pengolahan hasil peternakan, hingga retail.

Ia pun secara mendalam turut menjelaskan perkembangan budi daya unggas dulu vs modern, bagaimana mencapai target performa unggas, hingga manajemen pemeliharaan mulai dari pemberian pakan dan air minum, program pencahayaan, kebutuhan udara, serta kepadatan dan sanitasi kandang, yang menjadi kunci sukses dalam manajemen pemeliharaan unggas.

Foto bersama usai penandatangan kerja sama antara Pinsar Sumatra Utara dan USU.

Momentum seminar ini pun menjadi pembuka rangkaian gelaran HATN 2025 yang akan berlangsung di Sumatra Utara. Puncak acaranya direncanakan akan dilaksanakan pada Oktober mendatang, sekaligus bertepatan dengan peringatan World Egg Day (WED) 2025. (RBS)

FAKTOR PENURUNAN PRODUKSI TELUR

(Foto: Dok. Sanbio)

Produksi telur merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam usaha peternakan ayam petelur. Namun, tidak jarang peternak menghadapi masalah turunnya produksi telur yang dapat berdampak signifikan terhadap keuntungan usaha.

Penurunan produksi ini bisa bersifat sementara atau berkepanjangan, tergantung dari penyebabnya. Penurunan produksi telur terjadi akibat banyak sebab, mulai dari faktor infeksius ataupun non-infeksius.

Penyebab infeksius dapat terjadi karena virus dan bakteri. Penurunan produksi telur yang diakibatkan oleh faktor infeksius mengganggu keberlangsungan usaha bagi peternak ayam petelur. Penyebaran virus yang cepat tidak jarang dapat menyebabkan kematian tinggi, membuat peternak harus berpikir keras dalam melindungi kesehatan ternak unggasnya.

Beberapa faktor infeksius yang dapat menyebabkan penurunan produksi adalah:

Newcastle disease (ND)
Disebabkan oleh Avian paramyxovirus tipe-1 (APMV-1). Jika sudah terinfeksi akan berpengaruh pada produksi telur, terutama penurunan produksi, kualitas telur jelek, warna abnormal, serta bentuk dan permukaan kerabangnya abnormal.

Infectious bronchitis (IB)
Disebabkan oleh Coronavirus. Ayam  petelur dewasa yang terinfeksi akan mengalami penurunan produksi hingga mencapai 60% dalam kurun waktu 6-7 minggu dan selalu disertai dengan penurunan mutu telur berupa bentuk telur tak teratur, kerabang telur lunak, dan albumin (putih telur) cair.

Avian influenza (AI)
Terutama AI subtipe H9N2 dapat menyebabkan penurunan produksi. Virus AI subtipe H9N2 masuk kedalam low pathogenic avian influenza (LPAI) yang menyebabkan rusaknya saluran reproduksi ayam ditandai dengan ovarium dan oviduk kemerahan, kuning telur tampak seperti brokoli, dan yang sangat nampak terlihat adalah penurunan produksi yang sangat tajam (dapat mencapai 5-10% per hari).

Egg drop syndrome (EDS)
EDS disebabkan oleh Adenovirus tipe I. Ayam yang terinfeksi produksi telur akan memiliki kerabang tipis hingga tanpa kerabang. Pada umumnya terjadi pada awal periode bertelur, sehingga puncak produksi tidak tercapai.

Infectious coryza
Disebabkan oleh bakteri Avibacterium paragallinarum. Ayam yang terinfeksi mengalami gangguan pernapasan atas. Terlihat bengkak pada area wajah ayam dengan keluar eksudat dari hidung, anoreksia. Serta dapat terjadi pada semua umur dan dapat menyebabkan penurunan produksi hingga 40%.

Selain penyakit infeksius di atas, penurunan produksi telur dapat terjadi akibat... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2025. (Muchammad Wildan Firdaus & Aprilia Kusumastuti)

MENCEGAH PENURUNAN PRODUKSI TELUR: STRATEGI CERDAS UNTUK PETERNAK

Ayam petelur modern. (Foto: Istimewa)

Produksi telur yang menurun adalah salah satu tantangan utama dalam peternakan ayam petelur. Penurunan ini dapat berdampak pada keuntungan peternak dan efisiensi produksi. Perlu dipelajari bagaimana profil ayam petelur modern saat ini dengan memahami peforma, berat badan, kebutuhan nutrisi, manajemen, dan standar produksi telur di setiap umurnya.

V. Arantes dari Hy-Line International USA pada Australian Poultry Science Symposium memaparkan tentang “Optimizing Nutrition and Management to Enhance Productivity in Modern Laying Hens: From Rearing to Peak Production” bahwa kemajuan genetika ayam petelur modern telah meningkatkan efisiensi produksi mereka secara signifikan, ditandai dengan peningkatan konversi pakan, produksi telur yang lebih tinggi, dan persistensi bertelur yang lebih lama.

Namun terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, terutama dalam komposisi manajemen dan nutrisi di lima minggu pertama. Hal ini dikarenakan tren penurunan berat badan pada layer modern, yang membutuhkan manajemen tepat untuk menghindari pertambahan berat badan yang berlebihan, terutama selama fase perkembangan utama. Menetapkan profil berat badan yang optimal, terutama pada minggu kelima sangat penting untuk membuka potensi produktivitas ayam petelur.

Faktor Nutrisi: Fondasi Produksi Telur
Nutrisi yang tidak seimbang adalah penyebab utama turunnya produksi telur. Kalsium dan fosfor pada ayam petelur merupakan nutrisi yang penting untuk pembentukan cangkang telur. Jika pasokan kalsium kurang atau rasio Ca : P tidak seimbang, produksi telur akan mengalami penurunan.

Defisiensi atau kelebihan energi, protein, dan asam amino esensial seperti metionin dan lisin sangat penting untuk produksi telur yang optimal. Kekurangan salah satu dari nutrisi ini dapat menurunkan jumlah produksi telur yang dihasilkan.

Selain itu proses pemilihan bahan baku yang baik dan analisis antinutrisi yang presisi akan mempermudah dalam melakukan pemberian aditif, contohnya penggunaan enzim untuk membantu kecernaan substrat pada bahan baku alternatif, toxin binder untuk mengikat mikotoksin (aflatoksin, DON, fumonisin) pada bahan baku yang menyebabkan stres fisiologi, menurunkan daya tahan tubuh, dan berdampak terhadap produksi telur. Manajemen waktu dan metode pemberian pakan yang tidak tepat bisa menyebabkan fluktuasi konsumsi nutrisi.

Kenyamanan Ayam Jadi Kunci
Manajemen kandang yang kurang optimal dapat menyebabkan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2025.

Ditulis oleh:
Drh Henri E. Prasetyo MVet
Praktisi perunggasan, Nutritionist PT DMC

AGAR PRODUKSI TELUR TAK MENGENDUR

Peternakan ayam petelur modern. (Foto: Istimewa)

Telur ayam merupakan sumber protein hewani termurah yang terjangkau bagi masyarakat. Patut dibanggakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penghasil telur ayam terbanyak, namun hal tersebut jangan sampai membuat peternak lengah.

Mesin Biologis Canggih
Sejak dikembangkan kurang lebih 100 tahun lalu, kini ayam petelur/layer modern menjelma menjadi mesin biologis penghasil telur yang mumpuni. Bisa dibilang ayam petelur modern merupakan hasil seleksi tradisional dan teknologi genomik canggih, sehingga menghasilkan strain dengan produksi tinggi (300-500 telur/tahun), umur bertelur lebih panjang, dan adaptasi iklim yang baik.

Hal tersebut disampaikan oleh Technical Service Specialist, Southeast Asia, Hyline-Internasional, Drh Dewa Made Santana, dalam sebuah webinar. Menurut data yang diperoleh, ada perbedaan cukup menonjol antara ayam layer old fashion (sekitar 1992), dengan layer modern dengan data di 2021.

Berdasarkan data yang ada layer “versi lama” hingga umur 80 minggu menghasilkan sebanyak 321 butir telur, sedangkan layer modern sudah bisa memproduksi sebanyak 374 butir. Ada selisih 53 butir atau peningkatan sebanyak 16%. Jika dihitung dari segi berat, ayam petelur lama hanya mampu memproduksi telur sebesar 20,39 kg, sedangkan untuk ayam petelur modern sudah bisa memproduksi sebanyak 23,06 kg.

“Dari data itu saja terdapat selisih 2,67 kg atau ada peningkatan sebesar 13,09%. Belum lagi untuk FCR, kalau ayam lama rata-rata FCR-nya sebesar 2,37, ayam modern sebesar 2,07 terdapat selisih 0,30 atau ada penurunan 12,66%. Ini artinya konsumsi pakannya semakin irit, namun menampilkan produksi yang cukup tinggi,” kata Santana.

Kendati demikian, keunggulan genetik yang luar biasa itu tidak bisa berdiri sendiri, agar produksinya bisa optimal perlu dukungan menyeluruh dari tiap aspek pemeliharaan, seperti ketersediaan nutrisi yang baik dan cukup, manajemen pemeliharaan mumpuni, adanya pelayanan veteriner, serta penerapan biosekuriti yang baik.

“Kalau saya lihat di negara kita, mungkin tidak semua peternak bisa memaksimalkan potensi ini, mungkin hanya beberapa saja. Oleh karena itu, bila termanfaatkan 100%, produksi telur kita bisa lebih baik lagi pastinya,” ucapnya.

Nutrisi Baik, Performa Apik
Berbagai literatur mengatakan bahwa berhasilnya suatu usaha peternakan ditentukan oleh empat faktor, yaitu... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2025. (CR)

BEBERAPA FAKTOR PENYEBAB MENURUNNYA PRODUKSI TELUR

Penurunan produksi bisa disebabkan secara tunggal atau kolektif dari beberapa faktor. (Foto: Istimewa)

Sudah merupakan kebiasaan di komunitas peternak ayam petelur jika ada masalah dengan penurunan produksi telur yang tidak biasa, hampir selalu dikaitkan dengan gangguan kesehatan akibat serangan penyakit. Padahal penurunan produksi bisa merupakan penyebab tunggal atau kolektif dari beberapa faktor.

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi selain infeksi penyakit, adalah karena nutrisi, cahaya, usia, stres, dan kondisi lingkungan. Nutrisi yang tepat, terutama kalsium, protein, dan energi, sangat penting untuk pemeliharaan produksi telur yang konsisten. Kemudian juga pencahayaan, terutama paparan cahaya siang hari yang berperan dalam merangsang siklus reproduksi dan hari yang pendek dapat mengurangi produksi telur.

Selain itu, faktor usia turut memengaruhi produksi telur, dengan penurunan alami seiring bertambahnya usia induk ayam. Serta kondisi stres dan faktor lingkungan seperti suhu dan ventilasi juga berperan serta dalam produksi dan kualitas telur yang dihasilkan.

Pemberian Nutrisi
Ayam betina membutuhkan diet seimbang dengan cukup protein, kalsium, dan energi untuk bertelur. Jangan juga abaikan kebutuhan air minum, karena kebanyakan dari peternak lupa bahwa air juga termasuk nutrisi yang utama. Hampir 80% telur terdiri dari air, bila kebutuhan air minum tidak tercukupi otomatis produksi berjalan tidak tidak optimal. Oleh karena itu, hindari pemberian nutrisi yang tidak memadai.

Kalsium sangat penting untuk pembentukan kerabang telur, bisa dikatakan kalsium merupakan nutrisi spesifik, bila terjadi kekurangan dalam pakan dapat menyebabkan kerabang telur menjadi tipis. Menggunakan pakan layer yang lengkap berarti menyediakan nutrisi yang diperlukan untuk produksi telur yang optimal. Standar nutrisi untuk ayam petelur adalah ME 2.750-2.800 Kcal dengan protein 17.5-18.00%, kalsium 3.50% dengan feed intake/hari/ekor 115-120 gram (Lohmann Brown Classic Manual Guide).

Pencahayaan
Meningkatnya pemberian intensitas cahaya harian, cenderung meningkatkan produksi telur. Pencahayaan tambahan dapat membantu mempertahankan atau meningkatkan produksi telur ayam pada saat ayam hanya mendapat periode cahaya harian normal yang pendek. Memastikan intensitas dan durasi cahaya yang cukup dapat berdampak positif pada produksi telur.

Pada masa usia produksi ayam petelur secara umum mendapatkan cahaya sebanyak maksimal... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2025.

Ditulis oleh:
Drh Arief Hidayat
Praktisi Perunggasan

ARTIKEL POPULER MINGGU INI


Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer