-->

HALALBIHALAL PB PDHI, SILATURAHMI SAMBIL BERKOLABORASI PERKUAT PETERNAKAN & KESEHATAN HEWAN

Foto bersama halalbihalal PB PDHI. (Foto-foto: Dok. Infovet)

Minggu (13/4/2025), bertempat di Arion Suites Hotel Kemang, Jakarta Selatan, Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI), menggelar halalbihalal sekaligus silaturahmi antar pengurus, pemerintah, swasta, organisasi, dan para akademisi yang terkait di industri peternakan dan kesehatan hewan.

"Hari ini menjadi hari yang paling bahagia karena kita bisa bersilaturahmi, saling memberikan maaf antar kita semuanya," ujar Ketua Umum PB PDHI, Drh M. Munawaroh.

Di tengah tingginya tantangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan, ia mengajak pemangku kepentingan dan para stakeholder terkait untuk terus bergandengan tangan menciptakan peternakan yang aman dari ancaman penyakit guna mewujudkan ketahanan pangan asal produk peternakan.

"Permasalahan penyakit makin hari makin bertambah, kita masih terus berjuang bersama Kementerian Pertanian dalam mengendalikan penyakit mulut dan kuku (PMK), kemudian penyakit lumpy skin disease (LSD) juga belom selesai. Negara kita luas, ini menjadi potensi besar bagi peran dokter hewan kita," katanya.

Namun demikian, lanjut Munawaroh, terbatasnya tenaga dokter hewan yang menyebar di seluruh wilayah Tanah Air turut menjadi kendala dalam penanganan sektor kesehatan hewan.

"Jumlah dokter hewan masih terbatas, di PDHI hanya terdaftar 15 ribu orang, harus ditambah lagi dan diperkuat kualitasnya. Ke depan akan ada tambahan delapan program studi fakultas kedokteran hewan di beberapa universitas, semoga kualitas dokter hewan yang dihasilkan bisa lebih baik. Kita dorong, karena yang akan menangani kesehatan hewan di Indonesia itu dokter hewan," ucapnya.

"Selain itu, kita juga terus upayakan undang undang yang akan menjadikan payung hukum dalam penyelenggaraan dan pelayanan dokter hewan, kita terus lakukan audiensi bersama pemerintah dan DPR. PDHI terus berjuang, bahkan nanti melalui kepemimpinan baru semakin hari harus semakin maju. Kami ingin dokter hewan memiliki kompetensi yang terus meningkat, kita lakukan pembinaan supaya tidak tertinggal dengan negara negara lain."

Momen bersalam-salaman acara halalbihalal PB PDHI.

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Kesehatan Hewan, Drh Imron Suandy, yang mewakili Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, bahwa momentum silaturahmi ini bisa menjadi ajang untuk memperkuat organisasi profesi dan pemerintah.

"Kami sangat apresiasi ke PDHI yang terus ikut berkontribusi dalam membangun sektor peternakan dan kesehatan hewan. Peran kolaboratif antara pemerintah, organisasi profesi, akademisi, dan masyarakat harus terus kita pertahankan. Kita memiliki budaya gotong royong atau guyub, itu terus kita perkuat untuk mengatasi dan mengendalikan penyakit hewan menular strategis," kata Imron.

Lebih lanjut disampaikan, pemerintah membuka diri dan menerima setiap masukkan untuk membantu menjaga keamanan ternak dan mewujudkan ketahanan pangan menuju Indonesia Emas 2045.

"Harapannya itu bisa terwujud, karena kita memiliki status kesehatan yang sama dengan negara negara lain. Oleh karena itu, seluruh sumber daya yang kita miliki kita upayakan untuk menggairahkan sektor peternakan dan kesehatan hewan supaya investasi di dalamnya makin berkembang," tukasnya.

Sementara itu, ditambahkan oleh Dewan Pembina PB PDHI, Prof Wiku, yang menyampaikan, "Intinya, panggung untuk dokter hewan sudah tersedia, kita harus akur dan bekerja sama dalam manangani dan mengendalikan kesehatan hewan agar ketahanan pangan dapat terwujud. Mari kita cegah tantangan penyakit bersama-sama, saya yakin PDHI mampu mengatasi dengan kompetensinya, makin kompak dan kolaboratif untuk meraih prestasi bersama." (RBS)

KEMERIAHAN PERINGATAN HUT PDHI KE - 72 DAN PENGANUGERAHAN PDHI AWARD

Pemotongan Tumpeng Secara Simbolis Memperingati HUT PDHI Ke-72
(Foto : CR)

Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) melaksanakan peringatan hari ulang tahun yang ke-72 pada Sabtu, 11 Januari 2025, di Merlynn Park Hotel, Jakarta Pusat. Kegiatan puncak perayaan HUT ini tambah semarak dengan diberikannya Penganugerahan PDHI Award. 

Acara tersebut dihadiri oleh anggota PDHI dari seluruh Indonesia. Tujuan dari penganugerahan ini yakni memberikan apresiasi kepada dokter hewan serta insan selain dokter hewan yang telah berkontribusi besar dalam dunia kedokteran hewan, kesehatan, serta kesejahteraan hewan di Indonesia.

Membuka acara dengan sambutannya, Ketua Umum PDHI, drh Muhammad Munawaroh menyampaikan rasa terima kasih kepada seluruh anggota yang telah berperan dalam memajukan profesi kedokteran hewan di tanah air. Ia mengungkapkan bahwa selama 72 tahun, PDHI telah berkembang pesat dan berperan penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan hewan, melindungi kesejahteraan hewan, serta menjaga kesehatan masyarakat melalui pencegahan penyakit zoonosis.

"Saya berharap di usianya yang ke -72 PDHI semakin solid, saya juga berharap jumlah dokter hewan di Indonesia akan terus bertambah agar dapat memenuhi kebutuhan di seluruh Indonesia. Saat ini jumlahnya sangat sedikit, tidak sampai 1% dari jumlah penduduk, sehingga semoga kedepannya universitas-universitas yang belum memiliki program studi kedokteran hewan segera membuka program tersebut,” ujarnya.

Dr. Munawaroh juga menambahkan bahwa PDHI berkomitmen untuk terus meningkatkan kompetensi dokter hewan dan peran mereka dalam menjaga kesehatan hewan, lingkungan, dan manusia. PDHI juga bertekad untuk mendukung pengembangan riset dan inovasi di bidang kedokteran hewan. Ia juga sedikit menyinggung perihal UU Kedokteran Hewan yang masih dalam tahap pembahasan di DPR, menurutnya UU tersebut penting dalam memperkuat profesi dokter hewan di Indonesia.

Apresiasi dari Dirjen PKH

Dalam kesempatan yang sama, Dr drh Agung Suganda, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada PDHI yang selalu aktif sebagai mitra dalam mendukung pembangunan subsektor peternakan dan kesehatan hewan. Ia mengingatkan bahwa keberadaan dokter hewan sangat vital, terutama dengan perubahan iklim global dan cuaca ekstrem yang telah memicu peningkatan penyakit hewan serta munculnya penyakit baru, yang menjadi tantangan yang harus dihadapi.

“Melalui HUT PDHI ini, saya berharap kita dapat merefleksikan pencapaian yang telah diraih dan merencanakan langkah-langkah strategis untuk terus memajukan profesi dokter hewan di Indonesia. Sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, organisasi, masyarakat, dan profesi lainnya sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat bagi hewan, yang tentu akan berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan manusia,” tambahnya.

Testimoni Tokoh Penting

Acara ini turut dihadiri oleh pejabat pemerintah, termasuk Wakil Menteri Transmigrasi Viva Yoga Mauladi, Rahmat Shah selaku Ketua Perhimpunan Kebun Binatang se-Indonesia, serta Ketua Yayasan Arsari, Hashim Djojohadikusumo, yang merupakan adik dari Presiden Indonesia Prabowo Subianto.

Wakil Menteri Transmigrasi, Viva Yoga Mauladi, menegaskan pentingnya peran dokter hewan dalam memenuhi kebutuhan protein hewani dan mencegah penyakit hewan di Indonesia. Meskipun jumlah tenaga kesehatan hewan masih jauh dari ideal, Viva Yoga mengajak para dokter hewan untuk tetap optimis dalam mendukung program makan bergizi gratis.

“Sayangnya, dari ribuan perguruan tinggi, hanya 14 yang memiliki Fakultas Kedokteran Hewan (FKH),” ujar alumni FKH Universitas Udayana ini. Ia menambahkan bahwa Indonesia saat ini membutuhkan tambahan 50.000 dokter hewan untuk mendukung berbagai program kesehatan hewan dan ketahanan pangan.

Viva Yoga juga mengungkapkan bahwa DPR tengah memperjuangkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan dan Pelayanan Kedokteran Hewan yang telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas). Ia optimistis RUU tersebut dapat disahkan dalam waktu satu tahun jika mendapat dukungan mayoritas fraksi di DPR.

“Ini demi kebaikan masyarakat, bangsa, dan negara,” tegasnya.

Dalam mendukung program makan bergizi gratis, Viva Yoga menekankan pentingnya peran dokter hewan dalam memastikan ketersediaan protein hewani yang berkualitas dan aman, serta mengurangi ketergantungan pada impor protein hewani.

Hashim Djojohadikusumo yang hadir dan menerima penghargaan dalam kategori Outstanding Contributor Non-Vet, menyampaikan kekagumannya terhadap pada dokter hewan Indonesia. 

“Saya sangat surprise dengan acara ini karena banyak penerima penghargaan berasal dari praktisi satwa liar. Pemberian penghargaan ini memperkuat pemahaman saya akan tupoksi dokter hewan dalam menjaga keamanan pangan, yang sejalan dengan program unggulan Presiden Prabowo Subianto, yaitu makan bergizi dan minum susu gratis untuk siswa sekolah,” ujarnya. (CR)


KEMERIAHAN PERINGATAN HARI ULANG TAHUN PDHI KE-71

Prosesi Pemotongan Tumpeng Pada HUT PDHI Ke-71


Dalam menyambut hari jadi Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) ke-71 yang jatuh pada 9 Januari 2024 yang lalu, Pengurus Besar PDHI melangsungkan acara peringatan HUT PDHI pada Minggu, 28 Januari 2024, di Hotel Grand Whiz, Jakarta. 

Acara tersebut juga menjadi penutup rangkaian acara Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) mereka yang berlangsung sejak 26 - 27 Januari 2024. Sekitar 51 PDHI cabang dari berbagai penjuru Indonesia mengikuti pumcak tersebut. Beberapa perwakilan pemerintah dari berbagai instansi juga terlihat pada acara tersebut. 

Dalam sambutannya, Ketua Umum PDHI Drh Muhammad Munawaroh mengucapkan rasa syukurnya atas kesuksesan digelarnya acara ini sejak MUKERNAS hingga acara puncak. Ia mengapresiasi para anggota yang telah bekerja keras untuk organisasi hingga titik ini. 

"Kami menginginkan PDHI agar selalu menjadi profesional, maju, transparan, akuntabel, dan modern. Alhamdulillah semua itu kini sudah terwujud berkat kerjasama dari seluruh anggota dan pengurus," tutur dia. 

Ia juga menyebut beberapa keberhasilan yang telah diraih oleh PDHI pada acara tersebut. Salah satunya PDHI merupakan Organisasi profesi yang telah settle dan mandiri secara finansial. Hal tersebut dibuktikan dengan aset yang dimiliki oleh PDHI yang mencapai angka 2,8 Milyar rupiah. 

PDHI juga sudah memiliki aplikasi bagi pengguna smart phone bernama MyPDHI. Aplikasi tersbut dapat memudahkan dokter hewan untuk mendaftar keanggotaan, berkomunikasi antar anggota, dan mengakses konten dan info tertentu yang berhubungan dengan keprofesian. 

Selain aplikasi MyPDHI, mereka juga telah memiliki rencana untuk merilis aplikasi market place bernama Evet di bulan Februari 2024. Aplikasi tersebut hanya dapat diakses oleh dokter hewan anggota PDHI dimana di dalamnya dokter hewan dapat berbelanja kebutuhan mereka tanpa kekhawatiran apapun. 

Program lain yang disebutkan oleh Munawaroh yakni Koperasi Dokter Hewan Indonesia. Program ini nantinya bertujuan untuk saling membantu dan mendukung sesama anggota seprofesi. Munawaroh menerangkan bahwa nantinya anggota yang memiliki kekuatan finansial yang lebih mapan dapat membantu yang kurang mapan. 

Selain itu kata Munawaroh, kedepannya PDHI akan terus berkontribusi dalam kemajuan di setiap sektor. Misalnya saja dalam sektor upgrading skill anggota, PDHI terus berkolaborasi melakukan seminar, pelatihan, dan workshop yang rutin digelar. PDHI juga gencar mendukung standarisasi pelayanan kesehatan hewan yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). 

Terkait Undang - Undang Kedokteran Hewan, Munawaroh menjelaskan sampai saat ini drafnya sudah sampai di DPR, namun begitu pembahasan lebih lanjut masih menunggu antrean yang cukup panjang, sehingga belum kunjung terwujud. 

Ketum PDHI juga menyebut bahwa mereka memiliki target akan terwujudnya 20 Fakultas Kedokteran Hewan di Indonesia. Dimana Munawaroh merasakan bahwa 13 FKH yang ada di Indonesia pada saat ini masih kurang. Sehingga untuk mencukupi kebutuhan tenaga medis di bidang kesehatan hewan dibutuhkan dokter hewan lebih banyak.

"Kami sudah mendorong Universitas Andalas, Universitas Sam Ratulangi, dan Universitas Mulawarman. Tapi mungkin yang paling cepat di Jawa Timur lagi tepatnya di Universitas Jember. Semoga target kami di semua bidang dapat tercapai," tutup Munawaroh. (CR)

KETUM PB PDHI: SEGERA LAKUKAN VAKSINASI UNTUK MENCEGAH PMK

Vaksinasi untuk mencegah penyebaran PMK. (Foto: Istimewa)

Menyikapi mewabahnya kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI), Drh M. Munawaroh, menegaskan untuk segera melakukan tindakan pencegahan melalui vaksinasi agar virus tidak meluas.

"PMK ini virus, tidak ada obatnya. Bisa dilakukan pencegahan dengan vaksinasi. Ini tidak jauh beda dengan COVID-19. Dengan adanya vaksin akan memudahkan pencegahan," kata Munawaroh ketika menjadi narasumber dalam program Primetime News di Metro TV, Selasa (10/5/2022).

Ia mengimbau, apabila vaksinasi dalam negeri kurang atau tidak mencukupi, bisa dilakukan impor vaksin agar kejadian PMK tidak semakin menyebar ke wilayah  lain di Indonesia. Diketahui PMK merebak di Jawa Timur dan Aceh.

Disebutkan merebaknya penyakit PMK tak luput dari lalainya impor ternak maupun daging dari negara yang belum bebas PMK seperti India maupun Brasil, melalui PP No. 4/2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan Dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan.

"Kita sudah pernah beri masukan soal impor sapi atau daging dari negara yang belum bebas PMK. Aturan itu perlu ditinjau ulang. Ini menjadi kecerobohan kita. Karena untuk bebas dari PMK tidak mudah dan membutuhkan biaya," ucap Munawaroh. Hal ini menjadi keprihatinan mengingat Indonesia sudah bebas PMK sejak 1986 silam.

Kendati demikian tegas Munawaroh, masyarakat diimbau tak perlu risau untuk mengonsumsi daging sapi maupun ternak ruminansia lainnya. Karena PMK bukan merupakan penyakit zoonosis.

"Saya tegaskan PMK tidak menular kepada manusia, sehingga tidak perlu takut mengonsumsi daging sapi, asal daging tersebut benar-benar dimasak dengan matang," pungkasnya. (RBS)

SOSIALISASI PENINGKATAN KESADARAN PENATAGUNAAN ANTIMIKROBA

Dirkeswan Nuryani Zainuddin saat memaparkan presentasinya dalam Sosialisasi Peningkatan Kesadaran Penatagunaan Antimikroba untuk Dokter Hewan. (Foto: Infovet/Ridwan)

Antimikroba merupakan penemuan besar yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan lingkungan. Kendati demikian, antimikroba bagai pedang bermata dua, penggunaannya yang tinggi dan tidak bijak memacu meningkatnya resistansi mikroba atau antimicrobial resistance (AMR).

Data WHO 2014, menunjukkan kejadian AMR sudah merenggut 700 ribu jiwa dan diperkirakan meningkat 10 juta jiwa pada 2050 apabila tidak dikendalikan. Sementara survei AMU 2020, menunjukkan antibiotik enrofloxacine, amoxicillin, colistin, sulfadiazine, trimethoprim, ciprofloxacin dan tylosin masih cukup tinggi digunakan di enam provinsi di Indonesia.

Dari latar belakang tersebut, dilaksanakan Sosialisasi Peningkatan Kesadaran Penatagunaan Antimikroba untuk Dokter Hewan, Selasa (5/10/2021), atas kerja sama Kementerian Pertanian, FAO, USAID dan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI).

Dalam kegiatan tersebut dijelaskan, salah satu dampak residu antibiotik yang tertinggal di bahan pangan asal hewan sangat berbahaya bagi manusia. Hal tersebut bisa mengakibatkan reaksi alergi, toksisitas, memengaruhi flora usus, pengaruh buruk pada respon imun dan resistensi pada mikroorganisme.

“Selain berbahaya bagi kesehatan, residu antibiotik juga berpengaruh terhadap lingkungan dan ekonomi,” papar Prof Ida Tjahajati dari Universitas Gadjah Mada yang menjadi narasumber.

Ida menjelaskan, faktor pendorong terjadinya resistensi antimikroba pada sektor peternakan akibat dari penggunannya yang berlebihan, tidak sesuai dosis dan waktu henti, penerapan sanitasi dan higiene yang buruk, minimnya kesadaran, serta lemahnya kepatuhan dan kontrol penggunaan antimikroba.

Oleh karena itu, kesadaran masyarakat di sektor peternakan dan kesehatan hewan menjadi sangat penting dalam menegakkan penatagunaan antimikroba. Hal itu ditegaskan Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan), Nuryani Zainuddin.

Ia menjelaskan, tujuan penatagunaan antimikroba adalah untuk mengurangi kerusakan berkelanjutan akibat AMR pada hewan, manusia dan lingkungan, serta mengurangi konsumsi dan biaya antimikroba tanpa meningkatkan mortalitas. “Juga mengoptimalkan biaya perawatan kesehatan pada manusia maupun hewan,” katanya.

Lebih lanjut, adapun strategi penatagunaan antimikroba di bidang peternakan dan kesehatan hewan bisa dilakukan dengan menerapkan good farming practices, biosekuriti, biosafety, vaksinasi dan praktik kedokteran hewan yang baik. Dengan begitu, lanjut dia, bisa dipastikan penggunaan antimikroba dan risiko perpindahan mikroorganisme akan menurun.

“Penting juga untuk melakukan diagnosis tepat terhadap suatu kasus penyakit dan peresepan yang bertanggung jawab dari dokter hewan. Hal ini menjadi pendorong penggunaan antimikroba secara bijak dan bertanggung jawab,” pungkasnya. (RBS)

“HUT PDHI KE-68” MENGUPAS MAKNA SIMBOL DOKTER HEWAN INDONESIA

M. Chairul Arifin
Kado ulang tahun Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) tahun ini sangat berkesan sekali, yaitu bersamaan dengan peresmian Grha Dokter Hewan suatu tempat aktivitas dokter hewan Indonesia direncanakan, disiapkan, dilaksanakan dan dievaluasi.

Sebenarnya impian memiliki Grha Dokter Hewan ini sudah sejak lama, yaitu sejak 2005 dengan dibentuknya Pantya Persiapan Pembangunan Gedung Veterinary Center yg diketuai oleh  Drh A. Bolly A. Prabantara yang pembentukannya dilakukan dengan akte notaris dan disahkan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia tanggal 9 Maret 2006 dengan nama PT Sentra Veta Bhakti Mulia. Modal dasar saat itu Rp 500 juta dan dari para pendiri perorangan maupun saham dari para keluarga dokter hewan yang dihimpun melalui Yayasan Hemera Zoa sebesar Rp 125 juta.

Selanjutnya tanah seluas 800 m² di daerah Tajur Bogor yang berasal dari hibah Drs Mas'hud Wisnusaputra direncanakan menjadi gedung Veterinary Centre tersebut. Pada 26 Januari 2009, dirancang untuk acara penyerahan tanah wakaf dari Drs Mas'hud di Jl. Raya Tajur 170 Bogor kepada Yayasan Hemera Zoa yang sedianya bertindak atas nama organisasi. Tetapi kemudian Drs Mas'hud Wisnusaputra dipanggil Allah SWT pada 20 November 2008. Drs Mas'hud telah wafat mendahuluinya dan penyerahan tanah wakafnya tidak dapat terlaksana. Pada zaman tersebut PB PDHI baru menyelesaikan Kongres ke-15 yang memilih Drh Wiwiek Bagja selaku Ketua Umum masa bakti 2006-2010.

Estafet kepemimpinan PB PDHI yang terus terjadi hingga pada kepemimpinan Drh M. Munawaroh MM saat ini barulah terwujud rumah dokter hewan Indonesia di hari ulang tahun PDHI ke-68, pada 9 Januari 2021, sekaligus diresmikannya Grha Dokter Hewan dilengkapi motto dokter hewan yang terkenal “Manusya Mriga Satwa Sewaka” yang berarti Mengabdi Kemanusiaan Melalui Dunia Hewan.

Simbol Dokter Hewan Indonesia
Kalaulah Grha Dokter Hewan ini dianggap simbol eksistensi dan pengembangan organisasi profesi agar dapat lebih terfokus menghadapi tantangan global, regional dan nasional, serta memanfaatkan peluang dan menghindari hambatan dalam mengembangkan organisasi, maka ada lagi simbol yang jadi kebanggaan para dokter hewan Indonesia, yaitu yang berupa logo menarik yang menggambarkan lambang tentang kedokteran hewan.

Tentu setiap dokter hewan di Indonesia akan bangga menyematkan lambang tersebut pada setiap kesempatan untuk menunjukkan profesinya. Tetapi tahukah para dokter hewan bahwa lambang tersebut sebenarnya dari hasil kongres ke-6 yang diselenggarakan di Kota Pahlawan Surabaya, 22 September 1973. Jadi lambang tersebut telah berumur 48 tahun. Pada kesempatan kongres tersebut telah ditetapkan selain simbol/lambang tetapi juga tentang perbaikan sumpah dan kode etik dokter hewan.

Akan halnya simbol dokter hewan yang digambarkan sebagai “Aesculapius” yaitu sebagai (ular yang melingkar di tongkat) merupakan simbol universal para dokter manusia, dokter hewan, dokter gigi dan apoteker. Ular digambarkan untuk pengobatan, karena obat itu sebenarnya mirip dengan bisa ular yang beracun sehingga obat selain memiliki efek kuratif juga memiliki efek samping.

Dalam simbol PDHI, tongkat berarti eksistensi instrumen dokter hewan sebagai ahli dalam aspek preventif, kuratif, promotif dan rehabilatatif, serta ularnya melingkar pada tongkat yang bermahkota tiga. Mahkota pertama melambangkan pendidikan dokter hewan yang saat ini dihasilkan oleh 11 Fakultas Kedokteran Hewan. Mahkota kedua berarti dokter hewan dan organisasi profesinya dan mahkota ketiga menggambarkan dokter hewan yang selalu berkiprah di masyarakat sesuai dengan standar kompetensi yang dimilikinya.

Huruf “V” melambangkan kata Veteriner dengan latar belakang warna ungu yang merupakan simbol dari perguruan tinggi kedokteran hewan dunia atau dapat diartikan keagungan dan keluhuran profesi dokter hewan. Dokter hewan adalah profesi yang berpijak pada dua kaki. Kaki pertama berpijak pada aspek terkait produksi dan reproduksi (warna hijau) sedangkan kaki yang lain berhubungan dengan aspek kesehatan dan kesejahteraan (warna merah). Melalui dunia hewan, dokter hewan berkiprah untuk kesejahteraan umat manusia (Manusya Mriga Satwa Sewaka).

Tetapi semua simbol ini hendaknya dapat terealisasi. Saat ini profesi dokter hewan benar-benar diuji ketahanan kompetensinya di zaman pandemi COVID-19 yang kita tidak tahu kapan akan berakhir. Semua lini kekuatan dokter hewan dikerahkan, baik itu dokter hewan sebagai aparatur pemerintah, di kemiliteran dan sipil dosen, peneliti, dokter hewan swasta, hingga para praktisi. Karena sejatinya profesi ini tidak dapat diremehkan dan justru berperan sentral dalam setiap kejadian wabah penyakit menular. Selamat HUT PDHI ke-68. ***

Oleh: M. Chairul Arifin (Dari berbagai sumber)
Pegawai Kementan (1979-2006)
Staf Perencanaan (1983-2005)
Tenaga Ahli PSDS (2005-2009)

SUMBANG SARAN PB PDHI UNTUK DIRJEN BARU

OLEH: DRH M. MUNAWAROH MM

Kami, Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) sebagai organisasi profesi mitra pemerintah mengucapkan selamat atas terpilihnya nahkoda baru Direktur Jenderal Peternakan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Dr Ir Nasrullah MSc. Semoga dapat mengemban tugas dengan baik dan senantiasa memberi yang terbaik bagi perkembangan peternakan dan kesehatan hewan nasional. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pejabat sebelumnya Dr Drh I Ketut Diarmita MP atas karya dan darma baktinya. Sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah, melalui media ini kami menyampaikan sumbang saran untuk Dirjen PKH dengan harapan dapat dipakai sebagai salah satu referensi dalam mengambil kebijakan. Artikel ini merupakan rangkuman dari materi sumbangan pemikiran PB PDHI tentang peternakan dan kesehatan hewan yang telah disampaikan secara resmi ke Dirjen PKH.

Optimalkan Peran Dokter Hewan

Dalam pembangunan nasional saat ini PDHI berpandangan bahwa pemerintah belum mengoptimalkan peran dokter hewan di bidang peternakan dan kesehatan hewan. Anggaran pemerintah baik APBD maupun APBN juga masih terfokus pada “kesehatan ternak” dan bukan “kesehatan hewan”. Ke depannya pemerintah hendaknya membangun “kesehatan hewan” secara komprehensif, mengingat kerugian ekonomi yang disebabkan Penyakit Hewan Menular (PHM) termasuk zoonosis amatlah besar. Dalam hal ini pemerintah perlu mengupayakan adanya “Anggaran Wabah” untuk PHM Zoonosis dan Non-Zoonosis.


Perihal masalah Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), dimana produk-produk asal hewan harus Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH), pemerintah perlu menghadirkan aparat semacam “Polisi Veteriner” yang bertanggung jawab terhadap struktur dan sistem keamanan pangan asal ternak di lapangan. Termasuk di dalamnya mengawasi rumah pemotongan hewan (RPH) ilegal atau yang tidak memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV), serta beredarnya daging “liar” di pasaran. Keterbatasan tenaga veteriner di Badan Karantina Pertanian yang bertanggung jawab dalam hal struktur dan sistem pertahanan pangan asal ternak dan sistem penangkalan penyakit hewan dari luar negeri perlu menjadi perhatian pemerintah.

Penanganan Wabah

Ketentuan UU No. 18/2009 pada Pasal 46 yang mengatur respon Pemerintah Pusat dan Daerah kami nilai terlalu panjang dan berbelit-belit, hal ini tidak mencerminkan kebijakan yang tanggap terhadap suatu wabah. Selain itu, ketentuan kejadian wabah yang harus diumumkan ke publik menjadi beban psikis tersendiri bagi pimpinan dan jajaran Pejabat Tinggi di unit eselon I yang menangani peternakan dan kesehatan hewan.

PB PDHI siap membantu Dirjen PKH untuk merombak ketentuan Pasal 46 agar respon terhadap wabah dapat dilakukan secara cepat tanpa dibayangi beban psikis jabatan.

Kebijakan Zone Based dan Impor Sapi

Kami juga mengamati pemerintah dalam menerapkan UU No. 41/2014 terutama mengenai Pasal 36 B ayat 2. Menurut hemat kami seharusnya pasal ini bersifat lumintu (terus berkelanjutan), yakni bisa menerima berbagai kriteria sapi untuk kepentingan pengembangan sapi potong dan pemenuhan kebutuhan konsumen dalam negeri.

Terhadap kebijakan impor berbasis zona (zone based) menggantikan country based, kami menilai bahwa sistem ini bakal menyulitkan Ditjen PKH dalam mencegah dan mengendalikan PHM, antara lain PMK, BSE, ASF, COVID-19 dan lain-lain. Kebijakan zone based bisa diterapkan dengan baik sepanjang pemerintah melakukan tahapan sesuai dengan saran Tim Analisa Resiko Independen (TARI). Faktanya sampai saat ini persyaratan yang diharuskan ada oleh tim TARI masih belum dipenuhi, tidak heran jika kemudian terjadi wabah ASF yang sangat mungkin akan diikuti wabah lainnya seperti PMK dan BSE (yang sampai saat ini Indonesia masih bebas).

Masalah lain juga ada di Pasal 36 B ayat 5 yang mewajibkan feedlot menggemukkan sapi paling cepat 4 bulan setelah pelepasan dari karantina. Akibat pasal ini, para pengusaha penggemukan sapi potong dapat mengalami kerugian, karena dengan teknologi saat ini penggemukan sapi dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 4 bulan. Artinya, putaran investasi akan memberikan dampak finansial dan ekonomi yang lebih luas dan cepat. Bukan sebaliknya, menjadi lambat dan kurang memberi manfaat bagi ekonomi pedesaan.

Impor daging sapi dan kerbau dari India juga menimbulkan masalah ekonomi. Disparitas harga daging impor dan lokal sangat tinggi dan dapat menyebabkan kerugian pada feedlot dan peternak. Malahan lebih menguntungkan bagi para “pencari cuan” ketimbang peternak dan pengusaha feedlot.

AGP dan Perunggasan

Permasalahan yang tidak kalah penting yakni mengenai Anti Microbial Ressistance (AMR). PDHI dalam hal ini mendukung regulasi pemerintah karena di lapangan penggunaan antibiotik tidak terawasi dengan baik (terutama dalam perunggasan), sehingga PDHI meminta pemerintah agar lebih aktif melakukan fungsi pengawasan. Saat ini PDHI juga sedang menyusun buku tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, semoga dalam waktu dekat buku ini akan terbit dan bisa digunakan sebagai dasar untuk pengobatan antibiotik di lapangan oleh para praktisi.

Hal yang juga krusial yakni masih banyaknya peredaran obat hewan ilegal. PB PDHI menganggap penting perlunya struktur dan sistem hukum yang bertanggung jawab dalam hal penyidikan dan penindakan terhadap penyimpangan pengadaan maupun peredaran obat hewan. Kementerian Pertanian sampai saat ini, belum memiliki Bidang atau Direktorat Penyidikan dan Penindakan yang berhubungan dengan obat hewan ilegal. Dengan adanya dukungan perangkat lunak berupa landasan hukum yang kuat diharapkan dapat melindungi masyarakat, khususnya peternak kecil dalam mendapatkan obat hewan yang baik dan bermutu.

Dalam bidang perunggasan diharapkan Ditjen PKH dapat segera melakukan audit populasi dan pengurangan produksi parent stock (PS) dan/atau final stock (FS), sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Permentan Nomor 32/Permentan/PK.230/9/2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi, agar kelebihan produksi dapat diselesaikan.

Selain itu pemerintah belum melakukan pembelian ternak ayam sebagaimana ketentuan Pasal 3 ayat (1) Permendag No. 7/2020, yang mewajibkan pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan pembelian apabila harga di tingkat peternak di bawah harga acuan yang telah ditetapkan, yaitu sebesar Rp 19.000/kg.

Pemerintah juga seharusnya lebih mendorong integrator untuk ekspor, agar peternak lebih banyak mendapat porsi pasar lokal. Koordinasi antar kementerian agar ditingkatkan dalam penyelesaian masalah perunggasan yang terus berbelit.

Memperkuat Produksi dan Ekspor

Perlu diingat bahwa Indonesia adalah salah satu “hot spot” penyakit infeksius baru (Emerging Infectious Diseases/EID) di dunia. Situasi ini menjadikan kondisi Indonesia sebagai “ancaman” bagi masyarakat karena kemungkinan menjadi sumber munculnya penyakit infeksi baru yang dapat berakibat fatal bagi manusia.

Zoonosis seperti Antraks, Rabies, Leptospirosis, Bruselosis dan lainnya selalu muncul setiap tahun. Kejadian Rabies setiap tahun mengakibatkan kematian manusia cukup banyak. Permasalahan ini yang dihadapi dunia kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat di Indonesia dan sudah seharusnya dapat ditangani secara lebih baik oleh tenaga ahli dari dalam negeri.

Kemampuan penyidikan penyakit hewan di dalam negeri sudah semakin baik. Staf penyidikan yang semakin terdidik dan terlatih secara profesional mendukung tugas mereka dalam menyidik dan menanggulangi terjadinya penyakit di lapangan. Kehandalan para penyidik veteriner ini juga terlihat saat mulai merebaknya kasus African Swine Fever (ASF) di Indonesia pertengahan 2019.

Kemampuan diagnosis petugas Balai Veteriner sudah sangat baik, hal ini menunjukkan bahwa sumber daya manusia di bidang veteriner tidak kalah dari luar negeri. Penelitian penyakit zoonotik juga telah banyak dilakukan oleh peneliti andal dari putra-putri bangsa sendiri. Agen-agen etiologi dari isolat lokal juga telah banyak dikoleksi dari hasil penelitian yang dilakukan.

Lembaga penelitian nasional juga sudah ada yang memiliki fasilitas memadai untuk melakukan penelitian terhadap agen penyakit zoonotik dan non-zooonotik. Hal tersebut merupakan aset bangsa yang sangat berharga, yang bukan hanya memberikan kontribusi dalam rangka penyidikan penyakit, namun dapat dikembangkan pada hal-hal yang lebih produktif dan memberikan keuntungan ekonomi bagi bangsa.

Pengendalian zoonosis dan penyakit hewan non-zoonotik di Indonesia masih sangat tergantung pada importasi alat diagnostik maupun vaksin dari luar negeri. Contoh kasus, saat mencukupi kebutuhan vaksin Rabies dalam pengendalian penyakit ini di Bali beberapa tahun lalu hingga saat ini, Indonesia masih sangat tergantung dari vaksin impor. Di sisi lain, isolat virus Rabies nasional sangat banyak dan dapat dikembangkan menjadi vaksin dan alat diagnostik sekaligus, hal ini juga didukung peneliti/pakar Rabies/virus di Indonesia yang memiliki kapabilitas menghasilkan vaksin maupun alat diagnostik.

Fasilitas untuk melakukan riset inovasi vaksin dan alat diagnosis Rabies dalam negeri juga sudah layak. Indikasi terhadap hal-hal ini dapat dilihat dari hasil riset yang dipublikasikan di jurnal nasional maupun internasional. Kelemahan yang muncul adalah tidak ada dukungan pemerintah khususnya untuk menindaklanjuti aktivitas riset tersebut hingga berhasil dihilirisasi menjadi produk yang dapat dipasarkan.

Kementerian Pertanian juga telah memiliki Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) sebagai unit produksi vaksin maupun alat diagnostik veteriner yang mampu menghilirisasi produk penelitian yang ada. Bercermin dari pandemi COVID-19, Kementerian Pertanian dapat mengambil pelajaran dengan memberikan dukungan semaksimal mungkin kepada bidang veteriner, sehingga dapat menghasilkan produk biologi yang dapat memenuhi kebutuhan nasional, bahkan dapat menjadi produk ekspor yang bernilai ekonomi tinggi. Dengan demikian posisi Indonesia sebagai “hot spot” EID justru memberikan keuntungan bagi bangsa dalam mengendalikan zoonosis maupun non-zoonosis yang ada di dalam negeri, sekaligus mencegah muncul dan menyebarnya penyakit infeksi baru. ***

PERLINDUNGAN HUKUM DOKTER HEWAN DI INDONESIA

Dokter hewan memberikan tindakan yang disepakati atau atas persetujuan klien. (Foto: Pexel)

Sekilas menengok ke belakang, 2018 lalu terdapat kasus dokter hewan yang tersandung kasus hukum. Seseorang menggugat Drh Indhira Kusumawardhani senilai 1,3 miliar. Penggugat menganggap Indhira lalai dalam menjalankan tugasnya hingga mengakibatkan kematian terhadap anak anjing milik penggugat.

Maret 2019 lalu Pengadilan Negeri (PN) Tangerang Banten, telah memenangkan Indhira Kusumawardhani. Putusan perkara perdata No. 615/Pdt.G/2018/PN.TNG itu dibacakan oleh majelis hakim yang diketuai Harry Suptanto SH.

Kasus hukum yang menimpa dokter hewan karena kurang pahamnya para dokter hewan mengenai kode etik dan Undang-Undang Keprofesian. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Majelis Kehormatan dan Etika Profesi Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Drh Wiwiek Bagja dalam acara seminar “Pemahaman Etika Veteriner (Hukum dan Kode Etik Sebagai Rambu Profesi) dan Perlindungan Hukum Praktik Kedokteran Hewan” di Kediri, Desember 2018 lalu.

Wiwiek menegaskan, dokter hewan adalah orang yang berprofesi khusus, yang melekat kewenangan berpendapat ilmiah pada dirinya dan harus dapat dipertanggung-jawabkan secara moral dan etika serta legal. 

Pada kasus hukum, yang mesti menjadi perhatian dalam pelayanan medis adalah adanya unsur kelalaian. Masyarakat mengartikan kelalaian ini sebagai malpraktik. Malpraktik dalam dunia kesehatan adalah kelalaian mempergunakan keterampilan dan pengetahuan yang lazim atau memenuhi kaidah dalam tindakannya sebagai profesi kedokteran menurut ukuran di lingkungan yang sama.

Pada kesempatan lain, Dr Sarti Murti W SH M.Hum selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta dan anggota Perhimpunan Istri Dokter Hewan Indonesia (PIDHI) Cabang Yogyakarta menjelaskan, dokter hewan adalah orang yang memiliki profesi di bidang kedokteran hewan dan kewenangan Medik Veteriner dalam melaksanakan pelayanan kesehatan hewan.

Sementara dokter hewan berwenang, merupakan dokter hewan yang ditetapkan menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan jangkauan tugas pelayanannya dalam rangka penyelenggaraan kesehatan hewan.

Hubungan hukum dokter hewan dan pasien merupakan suatu perjanjian pasien dan hewan secara hukum (by law) diwakili pemilik atau orang yang membawa pasien ke dokter hewan. Perjanjian disini adalah perjanjian Terapeutik yang titik tolaknya pada usaha (inspaning verbintenis) bukan perikatan yang bertitik tolak pada hasil (resultaat verbintenis).

Apabila akibat yang tidak dikehendaki terjadi, maka resiko yang melekat pada suatu tindakan medis tidak serta-merta dapat dikualifikasikan sebagai tindakan malpraktik sepanjang dokter hewan telah berupaya sesuai standar profesinya. 

Perjanjian Terapeutik
Perjanjian Terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan pada dokter untuk melakukan pelayanan kesehatan pada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut.

Perjanjian tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban, yang disebut dengan Perikatan. Transaksi perjanjian Terapeutik terurai menjadi empat kategori, yaitu hubungan hukum, dokter dan pasien, pelayanan kedokteran/medik dan standar profesi medik.

Hubungan hukum antara dokter hewan dan pasien:
• Dokter hewan mandiri (klinik sendiri) - Pasien
• Dokter hewan bersama (klinik bersama) - Pasien
• Dokter hewan yang bekerja di klinik orang lain - Pasien
• Dokter hewan yang bekerja di RSH - Pasien

Syarat sahnya perjanjian ini adalah berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, yang berisi poin-poin, yaitu kesepakatan para pihak, adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan/perjanjian, mengenai suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal/diperbolehkan.
Mulainya perjanjian Terapeutik dijabarkan ketika klien membawa pasien (hewan) yang sakit ke dokter hewan. Kemudian dokter hewan memberikan tindakan yang disepakati atau atas persetujuan klien.

Berakhirnya perjanjian ketika terdapat kondisi antara lain pasien sembuh, dokter resign, pengakhiran oleh pasien, pasien mati, kontrak selesai, kadaluarsa, persetujuan antara kedua belah pihak.

Malpraktik
Hubungan dokter-klien dimulai dengan terjadinya “transaksi” (perjanjian). Dalam hal ini malpraktik dapat dilihat dari beberapa aspek.

Salah satu pihak melakukan ingkar janji (wanprestasi). Karena rumah sakit hewan atau pemilik/penanggung jawab juga merupakan subjek hukum, maka yang melakukan ingkar janji bisa juga pihak rumah sakit hewan/pemilik klinik bersama, misalnya tidak menyediakan sarana kedokteran yang baik. Dokter dapat melakukan wanprestasi apabila tidak/terlambat/salah melakukan apa yang telah diperjanjikan.

Dalam melakukan tindakan medik, dokter menyimpang dari Standar Profesi Medik, salah melakukan (disengaja/tidak disengaja), tindakannya mengakibatkan kerugian (material/non-material/cacat).

Dokter lalai dalam melakukan tindakan, misalnya pasca operasi pasien harus diinfus, sudah ditulis dalam medical record dan sudah memberikan instruksi. Tetapi ternyata hal itu tidak atau belum dilakukan. Dalam hal ini dokter lalai tidak melakukan kontrol. 

Permentan No. 3/2019
Payung hukum bagi profesi medis veteriner dalam menjalankan tugasnya menemui jalan baru. Terbitnya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 3/2019 tentang Pelayanan Jasa Medik Veteriner, dapat dijadikan panduan profesi.

Kewenangan yang dimiliki dokter hewan adalah sebuah otoritas veteriner yang merupakan implementasi dari sumpah yang diikrarkan setiap individu dokter hewan setelah lulus dari perguruan tinggi.

Penanggung jawab otoritas veteriner juga bertanggung jawab meningkatkan kualitas dan kemampuan dokter hewan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, misalkan pengetahuan tentang diagnosa penyakit dan farmakologi veteriner. ***


(Diolah oleh Nunung Dwi Vera, dengan referensi materi Dr Sari Murti W SH M.Hum, Dosen FH UAJY/Anggota PIDHI Cabang DIY)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer