Biosekuriti, aspek yang penting
diaplikasikan dalam peternakan namun kurang dimaksimalkan oleh para peternak di
Indonesia. Sejak beberapa tahun silam, FAO ECTAD giat mengkampanyekan sistem
biosekuriti tiga zona, seperti apakah biosekuriti tiga zona?
Prinsip paling mendasar dari
biosekuriti adalah mencegah penyakit agar tidak masuk dan keluar dari suatu
peternakan. Penerapannya terserah kepada masing – masing peternak, namun begitu
karena alasan budget rerata peternak
abai terhadap aspek biosekuriti. Setidaknya minimal ada tujuh aspek yang harus
dilakukan dalam menjaga biosekuriti di peternakan menurut Hadi (2010) yakni :
(1) kontrol lalu lintas, (2) vaksinasi, (3) recording
flok (4) menjaga kebersihan kandang, (5) kontrol kualitas pakan,(6) kontrol air
dan (7) kontrol limbah peternakan. Sangat mudah diucapkan, namun sulit untuk
diimplementasikan.
Mengganti alas kaki pada tiap zona, wajib hukumnya (Foto : CR) |
3 Warna, 3 Zona
Kekhawatiran akan implementasi
biosekuriti yang buruk di peternakan unggas Indonesia sudah lama dikhawatirkan oleh
FAO ECTAD Indonesia. Terlebih lagi ketika AGP telah dilarang penggunaannya
dalam pakan, bayang – bayang anjloknya performa makin menghantui peternak. Untungnya,
kerumitan konsep biosekuriti bagi peternak berhasil disederhanakan oleh FAO
ECTAD menjadi sistem biosekuriti tiga zona. Alfred Kompudu selaku National
Technical Advisor FAO ECTAD memaparkan bahwa selama ini peternak kesulitan dan
tidak memahami dengan baik konsep biosekuriti, sehingga abai akan hal tersebut.
“Kami sudah beberapa tahun ini
melakukan pendekatan kepada para peternak dengan cara yang lebih santai dan casual, kami tidak ajak mereka seminar
atau workshop atau yang lain – lain,
kami ajak mereka agar mau menambah keuntungan, akhirnya pelan – pelan mereka
mau,” papar Alfred.
Dalam konsep biosekuriti tiga zona. suatu
peternakan dibagi menjadi tiga wilayah yakni zona merah, kuning dan hijau. Zona
merah berada di area luar peternakan yang menjadi batas antara media kontaminan
dan peternakan. Zona kuning adalah zona peralihan yakni perantara zona merah
dan hijau. Dalam zona ini orang yang masuk ke peternakan harus didesinfeksi
bila perlu mandi dan berganti baju kerja, termasuk alas kaki. Sementara zona
hijau adalah lokasi peternakan dan pekerja/individu yang sudah steril.
“Kalau
diperhatikan, sederhana ya sebenarnya ini penggabungan aspek kontrol lalu
lintas dan hygiene personal saja. Namun hal ini kami rasa cukup efektif, karena
beberapa data yang kami kumpulkan, metode ini dapat mengurangi penggunaan
antibiotik sebesar 40% dan reduksi penggunaan desinfektan sebesar 30%,” kata
Alfred. Selain itu Alfred juga mengklaim bahwa investasi yang dikeluarkan untuk
pengaplikasian sistem ini dapat menghasilkan keuntungan hingga 1:10.” Ada
peternak yang mengeluarkan modal Rp. 10 juta dalam membangun sarana biosekuriti
3 zona, dan dia untung sebesar Rp. 100 – Rp. 120 juta,” kata Alfred.
Fakta di Lapangan
Infovet berkesempatan mengunjungi
Subadio, peternak layer asal Kecamatan Purbolinggo, Lampung yang sudah
menerapkan biosekuriti tiga zona di peternakannya. Dirinya mengaku tertarik
mengaplikasikan biosekuriti tiga zona karena dinilai menguntungkan. “Di Lampung
ada pendampingan dan penyuluhan bagi peternak yang ingin mengaplikasikan sistem
ini, kami dibimbing langsung oleh Dinas Peternakan setempat, FAO ECTAD, UNILA, Technical Service produsen pakan dan PPN
(Pinsar Petelur Nasional) Lampung,” tutur Subadio.
Tanpa pikir panjang Subadio
membangun fasilitas seperti yang disarankan oleh para mentornya. Walhasil,
kandang layernya yang baru setahun enam bulan berdiri mengalami banyak
kemajuan. “Kandang saya sebelumnya bukan yang di sini mas, ini kandang baru
tetapi produksi, performa dan nilai rupiah yang di dapat sangat menjanjikan,”
tukas Subadio kepada Infovet. Pernyataan Subadio tadi didukung oleh data yang
sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya saja kini disaat ayam di
kandangnya menginjak usia sekitar 29 minggu produksinya stabil di angka 90%
lebih. Selain itu dalam data juga disebutkan bahwa tingkat kematian ayam di
peternakannya sangat rendah, hanya 1% dari 30.000 ekor populasi. “Di farm sini per hari enggak melulu ada
yang mati mas, enggak kaya di farm saya
yang satunya yang belum saya bangun biosekuriti tiga zona,” pungkas Subadio.
Ketika ditanya mengenai penyakit dan
wabah AI, Subadio juga mengatakan bahwa belum pernah kandang tersebut
terjangkit wabah mematikan semisal AI. “Paling penyakit cuma nyekrek – nyekrek (CRD)
saja mas, kalau AI mah engak pernah kan lihat sendiri tadi recording saya, kalau bisa jangan sampai kena AI deh,” tukas
Subadio. Ia juga mengaku bahwa ketika terjadi penyakit, petugas kesehatan di farm-nya hanya memberikan terapi
suportif berupa pemberian vitamin beserta suplemen pemacu sistem imun. “Kasus
yang agak parah kemarin sih ada beberapa ekor yang kena fowl pox, sudah dibakar yang mati, terus sisanya kita pisahkan,
isolasi dan kita vaksin ulang sambil diberikan terapi suportif mas,” kata
Subadio.
Perihal dana yang dikeluarkan,
Subadio enggan menyebut nominal angka yang ia gelontorkan untuk membangun
sistem tersebut. “Yang jelas enggak sampai seratus juta mas untuk sistemnya
saja, kurang dari itu deh. Tapi hasil yang saya dapatkan Alhamdulillah sudah
bailk modal itu biaya pembuatan sistemnya dalam dua bulanan,” papar Subadio.
Hal yang berbeda nampak pada kandang
milik peternak layer lainnya, H. Tumino yang berasal dari daerah yang sama. H.
Tumino yang telah menjadi peternak sejak tahun 1988 tidak mengaplikasikan
sistem biosekuriti tiga zona di kandang miliknya. Hasilnya tentu bisa ditebak,
performa dari layer miliknya tidak sebaik milik Subadio.
Biaya
menjadi alasan utama bagi H. Tumino yang tidak meng-upgrade kandangnya dengan sistem biosekuriti tiga zona. “Anak saya
ada tujuh mas, masih sekolah tiga, kalau saya keluarkan uang buat kandang nanti
mereka bisa terhambat sekolahnya,” tutur H. Tumino. Walaupun begitu, H. Tumino
mengakui bahwa dirinya juga mendapatkan pendampingan dan penyuluhan dari pihak
yang sama terkait penerapan biosekuriti tiga zona, hanya saja H. Tumino belum
bisa mengaplikasikan hal tersebut. “Mungkin nanti ketika anak saya sudah pada
selesai sekolahnya, baru saya rehab ini kandang, sebenarnya saya tertarik mas,
tapi memang masih mentok kalau dalam hitungan saya,” tukas H. Tumino.
Penyuluhan
Berkelanjutan
Terlepas dari memiliki niat atau
tidaknya peternak di Lampung dalam mengaplikasikan sistem biosekuriti tiga
zona, hal yang dilakukan para stakeholder
peternakan unggas di Lampung patut diapresiasi. Pemerintah Daerah di
Lampung mencanangkan provinsi Lampung sebagai zona bebas flu burung pada tahun
2021. Salah satu upaya dalam mengendalikannya yakni dengan penerapan
biosekuriti tiga zona pada peternakan ayam yang ada di Lampung. Selain itu
dalam menjamin food safety & security bagi konsumen, peternak layer di Lampung diwajibkan memiliki
NKV.
Drh Madi Hartono sebagai pendamping
dari UNILA lebih jauh menjelaskan program yang ada di Lampung. “Nantinya farm yang sudah punya sistem biosekuriti
tiga zona ini akan diwajibkan memiliki NKV. Syaratnya NKV kan salah satunya
punya sistem biosekuriti yang bagus kan?. Dengan adanya NKV kan peternak
nyaman, konsumen aman mas,” tukas pria alumni FKH UGM tersebut.
Madi menyebutkan bahwa dalam
mendapatkan NKV, peternak akan dibimbing dan didampingi oleh PPN Lampung, Dinas
Peternakan, Produsen Obat Hewan dan Sapronak, FAO dan UNILA dari awal sampai
NKV tersebut terbit. “Pertama kita survey dulu kandangnya, kita bantu buatkan
denah, sistem, dan cek kelayakan lainnya. Beberapa waktu kita pantau, dan kalau
sudah layak kita minta Dinas Provinsi untuk datang dan mengaudit, ketika ada
koreksi dan penyesuaian dari Dinas tetap kita damping sampai NKV-nya terbit,”
tutur Madi.
Dalam pengurusan NKV, peternak tidak
dipungut biaya sepeser pun oleh Dinas. Hal ini dikemukakakn oleh Drh Anwar
Fuadi Kepala Bidang Keswan dan Kesmavet Dinas Perkebunan dan Peternakan
Provinsi Lampung. “Kita enggak pungut biaya sama sekali, karena kita sadar
bahwa dengan begitu kita juga membantu peternak. Kalau peternak lebih semangat,
punya NKV, produksinya meningkat, kualitasnya bagus, kan kita juga bangga,
kalau bisa semua peternak di sini punya NKV,” pungkas Anwar.
Data dari PPN Lampung menyebutkan bahwa jumlah populasi layer
di Lampung sekitar 4 juta ekor, dengan produksi telur 200 ton perhari, dengan
jumlah peternak mencapai kurang lebih 1.000 peternak yang tersebar di 8
Kabupaten dan populasi terbanyak di Lampung Selatan dan Lampung Timur. Sebanyak
20 persen dari produksi tersebut telah dipasarkan ke Jakarta.
Sertifikasi NKV merupakan upaya pemerintah
dalam memberikan jaminan persyaratan kelayakan dasar dalam sistem jaminan keamanan
pangan dalam aspek hygiene & sanitasi, dengan adanya sertifikat NKV, suatu unit
usaha dinilai layak dari aspek keamanan pangan sebagai produsen pangan asal
hewan.
Selain itu NKV juga menjadi bukti bahwa produk
milik peternak memiliki daya saing dalam perdagangan baik nasional maupun internasional.
Anwar berharap kedepannya peternak di Lampung semakin peduli dan concern dalam mendapatkan sertifikat NKV,
karena nilai jual produk akan semakin bertambah. “Untuk mendapatkan NKV,
biosekuriti harus baik, minimal mengadopsi sistem biosekuriti tiga zona, makanya
saya berterimakasih atas apa yang dilakukan oleh teman – teman di lapangan dalam
membantu dan membimbing peternak – peternak kita di Lampung ini,” tutup Anwar. (CR)
0 Comments:
Posting Komentar