-->

WEBINAR RISNOV TERNAK #7: KINERJA INDUSTRI PERUNGGASAN 2024 DAN STRATEGI INOVASI KE DEPAN

Webinar Risnov Ternak #7. (Foto: Dok. Infovet)

Kamis (19/12/2024), Webinar Risnov Ternak kembali diselenggarakan atas kerja sama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Infovet. Pada kesempatan ini, webinar mengupas bagaimana kinerja industri perunggasan 2024 dan strategi inovasinya ke depan.

“Tahun 2024 menjadi tahun yang penuh tantangan bagi sektor peternakan, khususnya perunggasan. Situasi stagnasi ekonomi di sektor ini ditandai dengan produksi pakan dan pasar obat hewan yang relatif tidak mengalami peningkatan, serta kebijakan pengendalian produksi akibat oversupply masih berlangsung,” ujar Pemimpin Redaksi Majalah Infovet, Ir Bambang Suharno, dalam sambutannya.

Beragam tantangan seperti oversupply, supply-demand yang tidak seimbang, gejolak harga live bird, pakan, dan lain sebagainya masih mendera sub sektor perunggasan, padahal industri tersebut memberikan kontribusi cukup besar terhadap ketahanan pangan di Indonesia.

Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkular BRIN, Prof Dr Nyak Ilham, mengemukakan akar masalah dari oversupply ini karena adanya over estimasi konsumsi yang membuat impor GPS berlebih sehingga menyebabkan banyaknya telur tetas yang diproduksi. Dari sisi pakan, penggunaan bahan pakan impor akibat tidak stabilnya ketersediaan jagung lokal serta belum maksimalnya pemanfaatan sumber bahan pakan alternatif menjadi suatu keniscayaan.

Oleh karena itu lanjut Nyak Ilham, diperlukan beberapa rekomendasi, di antaranya riset bahan pakan lokal dengan harga murah, perhitungan kebutuhan GPS secara transparan, perlunya kebijakan mendukung daya saing melibatkan peternak kemitraan, peralihan kandang dari sistem open ke closed house, hingga meningkatkan peran Wastukan dan Wasbinak.

Pada kesempatan yang sama, Research Analyst Danareksa Sekuritas, Pengamat Perusahaan Publik Peternakan, Victor Stefano, juga membeberkan kondisi di 2024 yang masih terjadi beberapa gejolak dari sisi harga dan kestabilan pakan.

Walau dilanda gejolak, kinerja emiten perunggasan seperti Charoen Pokphand, Japfa, dan Malindo selama sembilan bulan pertama masih berjalan baik karena pemangkasan mandiri yang dilakukan perusahaan untuk menjaga tingkat profit mereka.

“Untuk di 2025 kita prediksi ada cukup ruang, karena diperkirakan oversupply akan turun karena adanya penurunan kuota GPS sebesar 15%. Kemudian adanya program Makan Bergizi Gratis (MBG) juga diharapkan dapat mengambil kelebihan supply sehingga terjadi keseimbangan,” katanya.

Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN, Puji Lestari SP MSi PhD, yang mengharapkan di tahun depan industri perunggasan bisa meminimalisir risiko dari tantangan yang ada dengan lebih baik.

“Tahun depan kita bisa memaksimalkan mitigasi yang lebih baik dalam menghadapi tantangan, kita optimalkan lagi sekaligus memanfaatkan peluang yang ada, salah satunya dari adanya program MBG, dimana kita harus bekerja sama untuk mendukung keberlanjutan usaha dan meningkatkan perekonomian nasional,” katanya. (RBS)

JANGAN LEWATKAN WEBINAR NASIONAL PERUNGGASAN KOLABORASI INFOVET & BRIN


Di tengah bisnis peternakan di 2024 yang stagnan, bagaimana kinerja perusahaan publik perunggasan? Bagaimana pula perkembangan ekonomi perunggasan dan strategi inovasi ke depan? Dan bagaimana arah riset peternakan untuk mendukung daya saing perunggasan?

Untuk menjawab itu semua, ikuti Webinar Nasional “Kinerja Industri Perunggasan 2024 dan Strategi Inovasi ke Depan” yang akan diselenggarakan oleh Majalah Infovet bekerja sama dengan Pusat Riset Peternakan BRIN.

Kegiatan akan diselenggarakan pada:

• Kamis, 19 Desember 2024
• Pukul 10:00-12:00 WIB
• Platform: Zoom

Opening Speech: Puji Lestari, S.P., M.Si., Ph.D. (Kepala Organisasi Riset  Pertanian dan Pangan BRIN).

Narasumber & Topik:
Victor Stefano (Research Analyst Danareksa Sekuritas, Pengamat Perusahaan Publik Peternakan)
Kinerja Perusahaan Publik Peternakan 2024 dan Prediksi 2025

Dr. Drh. Santoso, M.Si (Kepala Pusat Riset Peternakan, BRIN)
Perkembangan dan Penerapan Teknologi serta Arah Riset Peternakan Unggas

Prof. Dr. Nyak Ilham (Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkular BRIN)
Perkembangan Ekonomi Perunggasan Nasional dan Tantangan ke Depan

Perlu diikuti oleh para pelaku bisnis peternakan; CEO/manager/tim marketing perusahaan; investor; akademisi; peneliti; pemerintah; pengamat bisnis, dan lain-lain yang berminat.

Investasi dapat ditransfer ke rek (Bank Mandiri 1260002074119 atau BCA 7330301681 a/n PT Gallus Indonesia Utama atau scan QRIS (bukti pembayaran dapat diemail ke: anothergitastudio@gmail.com

• Umum : Rp 300.000/orang
• Akademisi : Rp. 150.000/orang
• CIVITAS BRIN :  GRATIS
Free E-Certificate

Daftar sekarang! Klik: https://bit.ly/webinar_INFOVET_BRIN
Info: Mariyam (0877-7829-6375)

JURUS MENANGKAL SERANGAN PENYAKIT UNGGAS IMBAS PERUBAHAN CUACA EKSTREM


Terjadinya pergeseran musim dan perubahan cuaca ektrem menyebabkan lingkungan peternakan menjadi kurang kondusif, akibatnya daya tahan tubuh unggas melemah dan membuka peluang masuknya berbagai macam penyakit, terjadi emerging disease, serta re-emerging disease dengan manifestasi penyakit yang bervariasi dan kompleks.

Budi daya unggas komersial adalah bisnis, berbeda dengan memelihara hewan kesayangan, penelitian, atau kegiatan sosial. Setiap rencana harus diperhitungkan, karena memiliki konsekuensi bisnis, dengan pertimbangan menguntungkan atau merugikan, apakah risiko bisa dikendalikan.

“Jika unggas terlanjur sakit, pertumbuhan pasti terganggu, bobot ayam tidak merata, dan berisiko terjadi kematian sehingga sangat merugikan,” ujar Baskoro.

Pengobatan terhadap unggas yang sakit adalah tindakan logis untuk meminimalisir kerugian, tetapi meskipun sembuh pertambahan bobotnya tidak cukup menutup biaya pengobatan yang dikeluarkan dan kerugian konversi pakan. Fakta di lapangan kasus penyakit unggas sering muncul bersamaan sebagai infeksi kompleks, sehingga hasil pengobatan tidak memuaskan dan berisiko terjadi residu antibiotik.

Hasil investigasi pola holistik membuktikan bahwa… Selengkapnya simak di kanal YouTube Majalah Infovet:
https://www.youtube.com/watch?v=r4HTdBjVYj8


Agar tidak ketinggalan info konten terbaru, silakan kunjungi:
https://www.youtube.com/@majalahinfovet6267/videos
Subscribe, Like, dan Share. Anda juga bisa memberi komentar dan usulan konten lainnya di kolom komentar.

MEMUTUS “LINGKARAN SIPUT” PERUNGGASAN

Bambang Suharno
Gejolak perunggasan nyaris tak kunjung berhenti, meskipun sudah  banyak upaya untuk mengatasinya. Bahkan sejak sebelum pandemi, peternak unggas khususnya peternak broiler nyaris belum sempat menikmati yang namanya laba usaha. Gejolak yang dihadapi peternak mandiri semakin besar. Jika pada era 90-an peternak berteriak karena rugi beberapa periode produksi, kini yang terjadi mereka mengalami kerugian lebih dari setahun, sehingga jumlah pelaku usaha mandiri/rakyat disinyalir semakin sedikit.

Kejadian ini sudah pernah diramalkan Dr Drh Soehadji (Dirjen Peternakan 1986-1994). Ia menyebut, masalah gejolak harga di perunggasan ini adalah masalah klasik yang berputar dan berulang yang digambarkan sebagai “lingkaran siput”. Dimulai dari harga melonjak karena kekurangan pasokan, disusul penambahan populasi oleh pelaku usaha, lalu terjadi kelebihan pasokan (oversupply) yang membuat harga jatuh. Selanjutnya dilakukan pengurangan investasi secara alami, yang kemudian menyebabkan harga naik lagi dan seterusnya berputar berulang-ulang, makin membesar dan membesar, seperti lingkaran siput.

Bisa kita bayangkan, pada 1990-an, populasi ayam sekitar 800 juta ekor, tahun ini diperkirakan lebih 3 miliar ekor. Gejolak akibat fluktuasi harga pastinya jauh lebih dashyat dibanding fluktuasi pada 1990-an. Apalagi jika kondisi harga jatuh berlangsung berbulan-bulan. Total kerugian yang diderita peternak dan perusahaan sarana produksi ternak mencapai puluhan triliun rupiah.

Siput dalam terminologi yang digunakan Soehadji bukan hanya bermakna gejolak yang semakin membesar, tapi juga sebagai singkatan dari “Selalu Itu Permasalahannya Untuk Tuduh-tuduhan.” Soehadji melihat permasalahan yang disampaikan peternak dan pihak lainnya dari tahun ke tahun itu-itu saja alias nyaris sama, antara lain perlunya perlindungan untuk peternak mandiri/rakyat, perbaikan tata niaga ayam, serta data perunggasan yang perlu diperbaiki agar akurat untuk mengambil keputusan.

Apa yang disampaikan Soehadji tentang “selalu itu permasalahannya” masih relevan hingga sekarang. Dalam siaran pers yang dirilis Sekretariat Bersama Asosiasi Perunggasan pada Maret 2023, disebutkan beberapa tuntutan yang diajukan antara lain perbaikan data perunggasan, keberpihakan pemerintah terhadap peternak mandiri/rakyat, serta perbaikan tata niaga perunggasan agar mereka bisa menjalankan usaha secara normal.

Bedanya dulu tuntutan lebih sering ditujukan ke Kementerian Pertanian (Kementan), kini karena banyak lembaga mengurus perunggasan, yang dituntut selain Kementan, juga Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Badan Pangan Nasional (Bapanas). Selain itu juga turut ditambah permintaan peternak ke Komnas HAM agar memanggil kementerian tersebut untuk menelusuri apakah ada pelanggaran HAM dalam kebijakan perunggasan.

Jika selama 30 tahun peternak menuntut hal yang sama, kita bisa menyimpulkan bahwa masalah yang sama belum dapat diatasi meskipun pemerintah sudah berganti pemimpin dan undang-undang juga sudah direvisi.

Memutus Lingkaran Siput
Pada negara yang pasarnya didominasi penjualan live bird (ayam hidup), campur tangan pemerintah sangat diperlukan. Hal ini karena produk peternakan mudah rusak. Kecepatan distribusi dan keseimbangan supply-demand menjadi faktor penting penentu untung dan rugi peternak. Oleh karena itu, perlu manajemen pasokan di hulu dan pengurangan penjualan ayam hidup di bagian hilir. Jika dua hal ini saja bisa dikelola dengan baik, setidaknya gejolak akan berkurang.

Integrator 100%
Perihal manajemen pasokan yang artinya mengatur jumlah impor GPS (Grand Parent Stock) agar sesuai perkembangan permintaan pasar, telah dibahas di berbagai forum. Ada yang pro terhadap pengaturan kuota, ada juga yang menuntut pembebasan kuota impor. Intinya mau dibebaskan atau dengan model kuota, tetap perlu ada mekanisme kontrol agar pasokan sesuai pergerakan permintaan. Selain itu perlu juga ada jaminan bahwa peternak mandiri selalu mendapatkan pasokan bibit sesuai kebutuhan.

Ada suara dari beberapa pihak agar integrator berhenti melakukan budi daya sehingga pasar ayam hidup menjadi hak peternak mandiri/rakyat. Secara umum pengertian integrator adalah usaha dari hulu (pembibitan) hingga hilir (pasca panen). Ini artinya integrator beserta grup kemitraannya mestinya tidak menjual ayam hidup. Kalau perusahaan yang disebut integrator masih menjual ayam hidup, maka perusahaan itu belum disebut integrator. Istilah ini menjadi salah kaprah. Jika integrator tidak boleh budi daya artinya mereka juga tidak bisa disebut integrator. Demikian juga yang saat ini disebut integrator, jika mayoritas ayamnya dijual dalam bentuk live bird, juga bisa disebut sebagai integrator “setengah matang.” Faktanya memang mereka sudah terlanjur disebut sebagai integrator.

Jika pemerintah mewajibkan perusahaan yang sekarang disebut integrator itu menjadi integrator 100%, maka penjualan ayam hidup otomatis hanya milik peternak mandiri/rakyat. Setidaknya dengan cara ini tidak ada “pertandingan tinju yang beda kelas di ring yang sama.”

Patut dicatat, dari 3 miliar ekor ayam yang diproduksi Indonesia, yang dijual sebagai ayam beku diperkirakan baru sekitar 20% saja. Ini membuktikan yang disebut integrator itu masih menjadi integrator semu, belum 100%.

Ekspor dan Kampanye Gizi
Selama ini program yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi oversupply adalah dengan melakukan pemangkasan telur tetas, afkir dini PS (Parent Stock) dan upaya pemangkasan produksi yang lain. Sementara itu menjaga keseimbangan pasokan dalam negeri dengan melakukan ekspor belum secara nyata dilakukan. Ada program gerakan tiga kali ekspor oleh Kementan tapi fokusnya lebih ke peningkatan devisa negara, bukan stabilisasi harga.

Ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Perancis beberapa tahun lalu, tatkala oversupply produksi susu sapi akibat embargo ke Rusia, pemerintah setempat membeli susu milik peternak dan melakukan ekspor ke negara berkembang, baik sebagai bantuan kemanusian maupun aktivitas lainnya.

Sementara itu, pemerintah juga perlu memanfaatkan dana APBN untuk kampanye konsumsi ayam dan telur. Masih ada ruang untuk meningkatkan konsumsi ayam dan telur sebesar dua kali lipat dari sekarang, karena kita melihat konsumsi rokok masyarakat Indonesia sangat tinggi, sekitar 4.000 batang rokok/orang/tahun, sementara konsumsi ayam hanya 13 kg/kapita/tahun dan konsumsi telur hanya 150 butir/kapita/tahun. Jika konsumsi naik dua kali lipat saja, bisnis perunggasan akan menciptakan jutaan tenaga kerja baru sekaligus usaha perunggasan akan semakin bergairah.

Pada 2011 lalu Menteri Pertanian, Suswono, mencanangkan Hari Ayam dan Telur Nasional (HATN) yang diinisiasi oleh 14 asosiasi perunggasan. Pencanangan ini sebagai upaya mempercepat peningkatkan konsumsi ayam dan telur. Sayangnya, kegiatan kampanye ayam dan telur ini dijalankan sendiri oleh para peternak dan asosiasi perunggasan. Belum ada dukungan nyata dari pemerintah untuk mendongkrak konsumsi ayam dan telur agar tidak terpaut jauh dengan konsumsi negara tetangga. Padahal Kementerian Perikanan dan Kelautan memiliki program gemar makan ikan (Gemarikan), dengan tim yang lengkap dari pemerintah pusat hingga daerah, sehingga konsumsi ikan secara nyata mengalami pertumbuhan lebih cepat dibanding konsumsi ayam dan telur.

Kemitraan, Jembatan Menuju Mandiri
Pola kemitraan sudah dikembangkan sejak era 80-an, tujuannya agar peternak kecil bermitra setelah semakin besar bisa berdiri sendiri. Ini tujuan ideal, yang ternyata dalam implementasi bisnis terjadi kebalikannya. Peternak mandiri yang tidak kuat akhirnya berhenti atau melanjutkan sebagai mitra perusahaan lain. Jika itu yang terus terjadi berarti pola kemitraan yang berkembang tidak sesuai tujuan awal dikembangkannya kemitraan, dan jumlah peternak mandiri semakin sedikit.

Program untuk menjadikan lebih banyak peternak tangguh dan mandiri layak kita gaungkan, agar peta bisnis perunggasan menjadi lebih sehat dan kondusif. Jika itu dilakukan, lingkaran siput sudah terputus dan tak ada lagi ungkapan “selalu itu permasalahannya untuk tuduh-tuduhan.” ***

Ditulis oleh: 
Bambang Suharno, GITA Consultant, Pengamat Peternakan

CATATAN AWAL TAHUN PERUNGGASAN 2023

Kondisi surplus daging ayam harus ada penyaluran yang tepat. (Foto: Shutterstock)

Bisnis perunggasan masih sangat menjanjikan, terlebih produk protein hewani salah satu penopang utama pembangunan SDM bangsa. Banyaknya tantangan yang tidak dapat diprediksi dan berubah cepat, juga ditambah kompetisi global mengharuskan untuk beradaptasi dalam situasi ini.

Pada peringatan Hari Gizi Nasional pada 25 Januari 2023 lalu pemerintah mengumumkan slogan “Cegah Stunting dengan Protein Hewani”. Perunggasan sangat berkontribusi besar sebagai penopang utama pembangunan SDM bangsa sekaligus berperan memberantas stunting.

Industri Broiler Meranggas
Prof Dr Ir Ali Agus DAA DEA IPU ASEAN Eng, mengatakan industri broiler sedang meranggas, dimana fluktuasi harga sering menjadi persoalan. Ibarat pohon yang meranggas menggugurkan daunnya untuk beradaptasi dengan iklim.

Namun pertanyaannya mengapa unggas meranggas? Apakah karena kompetisi global dan produk impor dalam konteks ini pakan dan supporting lainnya. Atau bisa juga disebabkan kurangnya efisiensi pakan, mahalnya pakan, banyak kandang masih konvensional dan tata niaga belum ideal.

“Saya mengamati dan mencermati broiler sudah hampir satu dasawarsa persoalannya tidak bergeser dari fluktuasi harga jual live bird di kandang dan itu harganya rendah,” tutur Ali Agus pada webinar Indonesia Livestock Club 24, Minggu 19 Februari 2023.

Isu utama industri broiler adalah... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2023. (NDV)

MELIHAT POTRET DAN PROSPEK AGRIBISNIS INDONESIA

Webinar Agrina Agribisnis Outlook “Prospek Agribisnis Indonesia 2021”. (Foto: Dok. Infovet)

Rabu, 10 Maret 2021. Agrina Agribisnis Outlook “Prospek Agribisnis Indonesia 2021” diselenggarakan secara daring. Webinar yang dihadiri 90-an orang ini fokus membahas bagaimana potret dan pengembangan sektor agribisnis Indonesia yang tengah dilanda pandemi COVID-19.

“Untuk menatap prospek agribisnis ke depan, kita harus melihat kejadian-kejadian dari tahun sebelumnya, bahkan melihat juga ke depan bagaimana menyiapkan strategi jangka menengah maupun jangka panjangnya,” ujar Ketua Dewan Redaksi Majalah Agrina, Prof Bungaran Saragih dalam sambutannya.

Sebab adanya kondisi pandemi, lanjut dia, berpengruh besar secara global terutama dari segi kesehatan yang berdampak pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat.

“Tahun sebelumnya pertumbuhan ekonomi kita negatif. Namun walau pertumbuhannya rendah, produk domestik bruto (PDB) agribisnis khususnya on farm walaupun ikut berdampak turun, tapi masih tetap positif,” ungkapnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Deputi Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian, Musdhalifah Mahmud, yang menjadi pembicara pada sesi I. Ia menjelaskan, pada 2020 sektor pertanian, kehutanan dan perikanan mampu tumbuh positif.

“Pertumbuhan ini banyak terstimulus dari stimulus fiskal berupa bantuan sosial-ekonomi serta mulai membaiknya kondisi ekonomi sejak triwulan III. Begitu juga pada sub sektor tanaman pangan dan tanaman hortikultura yang memperlihatkan pertumbuhan yang lebih tinggi dari sekitarnya,” kata Musdhalifah. PDB pertanian 2020 untuk tanaman pangan (3,54%), tanaman hortikultura (4,17%), tanaman perkebunan (1,33%), peternakan (0,33%), serta jasa pertanian dan perburuan (1,60%).

Lebih lanjut dijelaskan, untuk PDB pertanian 2021 diproyeksikan tumbuh di atas 3%. Guna mencapai hal itu, lanjut dia, dibutuhkan dorongan dari sisi produksi disertai dukungan sisi permintaan.

“Perbaikan harga komoditas tanaman perkebunan dan perbaikan sisi permintaan konsumsi produk hewani diharapkan memperbaiki pertumbuhan subsektor tanaman perkebunan dan subsektor peternakan,” jelas dia.

Ia juga menyebut, adapun tantangan yang harus diperhatikan pemerintah pada tahun ini diantaranya anomali iklim, penerapan teknologi, regenerasi sumber daya manusia, diversifikasi pangan, akses pangan maupun kerawanan pangan. Kemudian kelembagaan, akses pembiayaan, integrasi data dan logistik yang juga menjadi challenge, selain alih fungsi dan kepemilikan lahan.

Sementara memasuki webinar sesi II, dihadirkan pembicara Koordinator Evaluasi dan Layanan Rekomendasi, Sekretariat Jenderal Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Batara Siagian. Dalam paparannya, ia menjelaskan beragam upaya yang telah dan akan dilakukan dalam memenuhi ketersediaan jagung untuk pakan ternak.

“Upaya pada 2020 kita sudah lakukan bantuan benih jagung bersertifikat (1,4 juta ha), kerja sama pengembangan budi daya jagung (3.000 ha), pengembangan petani benih jagung (2.600 ha), food estate jagung Sumba Tengah (2.000 ha) dan budi daya jagung hibrida (21.500 ha),” ujar Batara.

Sementara untuk tahun ini, lanjut dia, pihaknya sudah menyiapkan beberapa strategi dalam memenuhi ketersediaan jagung dalam negeri. Diantaranya bantuan benih jagung bersertifikat 988.000 ha, budi daya jagung pangan 3.000 ha, pengembangan jagung wilayah khusus 9.000 ha, pengembangan petani benih jagung 1.250 ha dan food estate jagung Sumba Tengah 4.380 ha.

“Untuk target produksi jagung pada 2021 sebanyak 23 juta ton pipilan kering, dengan terus melakukan perbaikan mutu jagung dalam negeri melalui perbaikan standar jagung (SNI 8926: 2020 jagung) dan pendampingan uji mutu bagi pelaku jagung nasional,” katanya.

Sedangkan dari sisi perunggasan, Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Sugiono, mengemukakan dinamika ketidakstabilan harga unggas hidup secara nasional melalui pengendalian produksi DOC FS dengan cutting HE fertil dan afkir dini PS.

“Terdapat korelasi positif upaya pengendalian produksi DOC FS (akhir Agustus-November 2020) dengan perkembangan harga live bird (LB). Kenaikan LB ini turut berpengaruh pada naiknya permintaan dan harga DOC FS dari Rp 5.000 menjadi Rp 6.000/ekor,” kata Sugiono.

Untuk mengatasi persoalan itu, ia menjelaskan, “Setiap perusahaan pembibit harus memprioritaskan distribusi DOC FS untuk eksternal farm (peternak rakyat) sebanyak 50% dari produksinya dengan harga sesuai acuan Permendag Rp 5.500-6.000/ekor.”

Sebelumnya harga LB di tingkat peternak, DOC dan pakan di Pulau Jawa pada Januari-Februari 2021, disampaikan Sugiono dari data PIP untuk LB berada dikisaran Rp 17.600-19.500/ekor, DOC antara Rp 6.750- 7.700/ekor dan pakan berkisar antara Rp 7.400-7.800/kg.

Untuk itu adapun beberapa poin upaya permanen stabilisasi perunggasan yang dijelaskan Sugiono, diantaranya pengaturan supply-demand, pembibit GPS wajib menyediakan DOC FS (20%) dari produksi kepada pembibit PS eksternal.

“Kemudian 50% DOC FS untuk ekternal farm, menyerap dan memotong LB di RPHU oleh pembibit GPS sebesar produksi FS secara bertahap selama lima tahun, memotong LB bagi pelaku usaha menengah-besar, kewajiban penguasaan RPHU dan rantai dingin oleh pembibit GPS secara bertahan selama lima tahun dan peningkatan konsumsi pangan asal unggas melalui kampanye sadar gizi secara massif,” pungkasnya.

Kegiatan yang berlangsung mulai pukul 10:00-16:00 WIB juga turut menghadirkan pembicara lain, diantaranya Bhima Yudhistira Adinegara (peneliti INDEF), Togar Sitanggang (Wakil Ketua III GAPKI) dan Tinggal Hermawan (Kementerian Kelautan dan Perikanan). (RBS)

MEMANFAATKAN HERBAL SEBAGAI TERAPI MEDIS PADA HEWAN

Sediaan herbal dapat digunakan sebagai terapi kesehatan pada ternak unggas. (Foto: Dok. Infovet)

Di masa kini tren gaya hidup manusia semakin berubah, termasuk dalam hal kesehatan. Manusia di masa kini banyak mengonsumsi obat-obatan herbal dan jejamuan demi menunjang kesehatannya. Namun pada kenyataannya, sediaan herbal juga dapat digunakan sebagai terapi dalam kesehatan hewan.

Menurut Drh Slamet Raharjo, selaku praktisi dokter hewan sekaligus peneliti dan staf pengajar dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (FKH UGM), Indonesia sebagai salah satu negara mega biodiversity memiliki potensi yang besar karena keanekaragaman tanaman obatnya. Hal itu ia sampaikan dalam webinar Dr B The Vet show, beberapa bulan lalu.

Lebih lanjut dijelaskan Slamet, ada ratusan bahkan ribuan jenis tanaman obat yang tersedia di Tanah Air. Kendati demikian, belum banyak termanfaatkan dengan maksimal, khususnya pada sektor medis veteriner.

Pria kelahiran Kebumen tersebut kemudian menjelaskan beberapa penelitiannya yang bisa dibilang sederhana tetapi menakjubkan. Seperti misalnya ketika meneliti tentang potensi daun sambiloto pada luka iris ke beberapa jenis hewan seperti domba dan anjing.

“Ini berawal dari pengalaman pribadi saya, ketika mengalami kecelakaan, saya mencoba pada diri saya. Lalu berpikir bahwa seharusnya pada hewan juga memiliki efek yang sama dan saya mencobanya, ternyata bisa,” tutur Slamet.

Selain daun sambiloto, Slamet juga menyebut beberapa jenis tumbuhan obat lain yang telah banyak digunakan sebagai obat pada hewan. Misalnya kunyit dan meniran yang dikombinasikan sebagai imunomodulator pada ayam petelur yang telah terbukti dapat meningkatkan ketahanan tubuh ayam terhadap serangan Avian Influenza (AI).

Selain itu dalam beberapa literatur yang sudah dipublikasikan, khasiat tumbuhan obat sambiloto juga digunakan untuk menggantikan peran antibiotika seperti tetracycline yang secara luas digunakan oleh peternak sebagai aditif pakan ayam pedaging. Diantara spesies dalam famili Acanthaceae, sambiloto mempunyai khasiat obat paling populer (Prapanza dan Marianto, 2003). 

Pada umumnya sambiloto digunakan sebagai obat infeksi saluran pencernaan, disentri (Sindermsuk, 1993), diare (Duke dan Ayensu, 1985), infeksi saluran pernapasan (SCHRI, 1996), demam, batuk (Akbarsha et al. 1990; Prapanza dan Marianto, 2003). Khasiat sambiloto telah diketahui karena sifat antimikrobial yang dimiliki oleh komponen aktif penyusunnya, yaitu andrographolide (Deng dkk., 1982). Ekstrak sambiloto dapat diperoleh dari seluruh bagian tumbuhan atau akarnya saja dimana bagian daun mengandung komponen aktif tertinggi (2.5-4.8% dari berat keringnya) (Prapanza dan Marianto, 2003).

Saat ini belum banyak kajian tentang peranan sambiloto jika diberikan pada ayam pedaging. Diyakini bahwa penggunaan sambiloto dapat menurunkan pH dalam saluran pencernaan. Hal ini akan menyebabkan mikroba patogen dalam saluran pencernaan dapat ditekan atau bahkan dimatikan pertumbuhannya. Sedangkan mikroba yang menguntungkan, seperti Lactobacillus sp. dan Bacillus sp. dapat meningkat pertumbuhan dan perkembangannya. Dengan kondisi tersebut, diharapkan kesehatan ayam meningkat sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas, menurunkan penggunaan antimikroba dan meningkatkan efisiensi pakan. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pemanfaatan ekstrak daun sambiloto untuk ayam pedaging.

Indonesia memiliki potensi herbal yang dapat dimanfaatkan dalam terapi medis veteriner. (Sumber: Istimewa)

Perhatikan Penggunaan Herbal
Dalam penggunaan obat herbal, kembali dijelaskan Slamet, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, khususnya sebagai media terapi pada hewan. Menurut dia, herbal digunakan sebagai terapi suportif, untuk itu penggunaan herbal akan lebih baik jika dikombinasikan dengan sediaan konvensional.

Ia juga mengingatkan agar para dokter hewan untuk memahami jenis herbal yang digunakan, serta spesies pasien yang akan diterapi dengan herbal, karena hal ini juga berkaitan dengan efek fisiologis dari pasien tersebut.

Selain itu, penting juga memperhatikan cara pemberian sediaan herbal, karena terkait dengan jenis herbal dan spesies yang diobati tadi. Terakhir ia juga mengingatkan bahwa agar sediaan herbal memiliki khasiat obat, volume, konsentrasi dan aplikasinya harus tepat dan digunakan sesuai kaidah medis.

“Jika volume kurang tidak berefek, jika berlebih bisa jadi toksik, oleh karena itu harus tepat. Lebih penting lagi, gunakan herbal yang memang sudah diteliti memiliki efek dan khasiat, jadi jangan serampangan juga menggunakan tumbuhan yang belum pernah diteliti di laboratorium," pungkasnya. (CR)

PERUNGGASAN PASCA PANDEMI

Ternak unggas. (Sumber: Agrarindo.com)

Dunia sedang menghadapi ancaman pandemi COVID-19 yang telah membunuh lebih dari 1 juta orang di dunia. Sampai saat ini semua orang disarankan untuk tetap menjaga jarak, rajin mencuci tangan dan menggunakan masker lantaran vaksin belum ditemukan. Konon, ketiga hal itu akan terus dilakukan meskipun vaksin sudah ditemukan. Dampak dari pandemi ini sangat luar biasa, makhluk yang tak kelihatan ini juga telah memporak-porandakan ekonomi di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Kira-kira pertanyaan banyak orang sama, apa dan bagaimana setelah pandemi ini berakhir khususnya di sub sektor perunggasan?

Pandemi COVID-19 telah mengubah banyak hal terutama di sektor peternakan, khususnya perunggasan. Hari ini banyak orang lebih waspada dalam mengonsumsi makanan. Apalagi ada rumor bahwa COVID-19 bisa menular lewat makanan. Di sisi lain, ada tantangan dalam teknis perunggasan yaitu produksi, kekebalan dan kesehatan pada ternak unggas. Ketiga hal tersebut tentu menjadi pembahasan yang berkelanjutan. Lantas kita bertanya bagaimana para pelaku usaha menyikapi dampak pandemi ini dan bagaimana itu jika dikaitkan dengan kepastian keamanan pangan bagi konsumen? Muara dari semua produksi peternakan adalah pangan.

Kita harus akui bahwa masih banyak kelemahan terkait soal kesehatan ternak atau pengendalian penyakit yang terjadi, baik itu dalam kandang hingga kualitas daging pada makanan yang tersedia di meja makan. Dalam banyak praktik di kandang, tak sedikit pelaku usaha masih tetap menggunakan antibiotik dalam melancarkan pembesaran ternak unggas. Masih banyak pula rumah pemotongan ayam (RPA) yang belum menerapkan standar pemotongan yang memenuhi syarat higienis dan sanitasi untuk menjamin kualitas daging. Pandemi COVID-19 ini seharusnya menjadi momentum bagi industri peternakan di Indonesia dalam meningkatkan keamanan pangan asal hewan.

Penggunaan Antibiotik
Penggunaan antibotik pada pakan unggas masih menjadi diskusi yang berkelanjutan sampai hari ini. Meskipun antibiotic growth promoter (AGP) pada pakan sudah dilarang di Indonesia, tapi penggunaannya masih dilakukan oleh sejumlah praktisi peternakan khususnya pada ternak broiler. Dilema dari AGP adalah satu sisi mendorong pertumbuhan bagi ternak, di sisi lain berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Resisten antibiotik menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat secara global baik langsung maupun tidak langsung.

Resisten antibiotik dapat menular ke manusia secara langsung adalah dengan mengonsumi unggas, sedangkan yang tidak langsung bisa terjadi lewat kotoran unggas yang mencemari lingkungan (air dan tanah). Diperlukan upaya secara cepat dan berkelanjutan dalam menemukan alternatif antibiotik misalnya prebiotik, probiotik dan senyawa antimikroba. Bahan kimia nabati menunjukkan bahwa dalam suplementasi pakan asam kaprilat, rantai asam lemak secara konsisten mengurangi kolonisasi Campylobacter pada ayam broiler (Solis de los Santos, dkk., 2008; 2009; 2010). Kemampuan in vitro dari thymol dan carvacrol untuk menghambat Campylobacter jejuni dan Salmonella Enteritidis dalam isi sekal ayam (Kollanoor Johny, dkk., 2010). Probiotik dan prebiotik dalam studi Arsi et al. (2015 b) menunjukkan bahwa prebiotik tidak secara konsisten mengurangi Campylobacter. Namun, prebiotik secara signifikan menurunkan beban Campylobacter bila digunakan dalam kombinasi dengan probiotik spp. (Arsi dkk., 2015).

Keamanan Pangan
Bahan pangan asal ternak nomor dua paling besar dikonsumsi di dunia adalah unggas, setelah daging babi. Tapi konsumsi daging nomor wahid di Indonesia adalah daging unggas. Oleh sebab itu, perhatian semua pihak pada unggas tak boleh disepelekan. Namun berapa banyak rumah potong atau tempat pemotongan hewan unggas yang ada telah memenuhi syarat higiene dan sanitasi? Dengan mudah kita menemukan tempat pemotongan yang tidak layak di pasar atau di sekitar rumah.

Tempat pemotongan yang tidak layak ini ditandai dengan ciri-ciri kotor, sistem penangan limbah yang tidak memadai, darah atau limbah berceceran di tanah, bangunan yang terbuat dari kayu, kandang penampungan ayam hanya berjarak 2-5 meter, pekerja yang tidak mengenakan perlengkapan yang standar (tidak bersih) dan sebagainya. Kondisi tempat pemotongan seperti ini amat berpotensi membahayakan kesehatan manusia karena kontaminasi bakteri patogen.

Penyakit yang ditimbulkan jika produk pangan terkontaminasi bakteri patogen adalah infeksi dan keracunan. Infeksi yang dimaksud akibat tertelannya mikroba dan berkembang biak di dalam alat pencernaan. Gejala yang timbul dari sini diketahui adalah sakit perut, pusing, muntah dan diare (Bruckle, dkk., 1987). Sekitar 60-70% penyakit diare disebabkan makanan yang mengandung mikroba patogen (Winarno, 2004). Sedangkan keracunan agak berbeda dengan infeksi, yaitu mikroba terlebih dahulu bertumbuh dalam bahan pangan kemudian tertelan oleh manusia. WHO mendata secara global bahwa 1 dari 10 orang di dunia sakit akibat keracunan makanan dan 420.000 orang meninggal dunia akibat keracunan makanan.

Dalam upaya menjaga agar produk pangan asal hewan terjamin higien dan sanitasinya, pemerintah telah membuat peraturan yang cukup jelas. Bahwa untuk produk mentah pangan (karkas) yang dikomersialkan wajib memiliki sertifikat kontrol veteriner. Tapi sayangnya, hal ini masih langka di Indonesia. Kita dengan mudah menemukan tempat pemotongan yang tidak memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Beberapa waktu lalu, salah satu pejabat di lingkungan Kementerian Pertanian mengungkapkan hanya sedikit sekali RPA di Indonesia yang memiliki NKV. Padahal, berdasarkan Undang-Undang No. 18/2009 juncto No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pasal 60 menyebutkan bahwa “Setiap orang yang mempunyai unit usaha produk hewan wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh nomor kontrol veteriner…”

Tantangan COVID-19 terhadap Unggas
Meskipun kesamaan dalam susunan genetik manusia dan ayam adalah sekitar 60%, sistem kekebalan manusia dan spesies unggas sangat berbeda, sehingga protokol, jenis dan aplikasi vaksinasi berbeda (Hafez dan Attia, 2020). Beberapa studi terbaru tampaknya menujukkan COVID-19 tidak menular pada ternak unggas. Kendati demikian, penerapan biosekuriti yang ketat di lokasi kandang harus dipertahankan untuk membatasi penyebaran COVID-19 ke peternakan. Karena kemungkinan terjadinya mutasi bisa terjadi (Montse dan Bender, 2020).

Meskipun saat ini belum ada bukti bahwa makanan dapat menyebarkan COVID-19, masyarakat global dihadapkan pada pertimbangan dalam pembelian makanan. Bakteri dan virus bisa tumbuh di suhu 5-60° C. Sebaiknya jika masyarakat hendak memesan daging unggas bawalah kotak pendingin dan es untuk menjaga makanan pada suhu yang dingin selama diperjalanan. Jangan biarkan daging unggas berada pada suhu ruang selama lebih dari 2 jam. Setelah sampai di rumah, daging unggas dimasukkan ke dalam kulkas atau freezer untuk penyimpanan yang aman.

Pandemi ini sebetulnya momentum yang tepat dalam rangka membenahi kualitas produk perunggasan nasional. Ini merupakan tanggung jawab bersama baik dari pemerintah, pelaku usaha, perguruan tinggi dan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan perlu menindak tegas pelaku usaha yang tidak memiliki NKV, karena ini berkaitan dengan nyawa manusia. Masyarakat memiliki peran yang cukup penting dalam memilih produk unggas yang sudah terjamin mutunya. Bagi pelaku usaha, sudah saatnya lebih peduli pada lingkungan dan masyarakat, tidak semata-mata mengejar profit belaka (People, Planet, Profit). Perguruan tinggi menjadi ujung tombak dalam mengedukasi masyarakat dan juga dalam melakukan riset/inovasi yang menjawab kebutuhan masyarakat. Semoga pandemi ini cepat berlalu. Usaha perunggasan Indonesia semakin maju. ***

Oleh: Febroni Purba (Praktisi Peternakan Unggas Lokal)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer