-->

KOLABORASI PT GANEETA FORMULA NUSANTARA DAN BIOCHEM

Gangguan saluran pernapasan kerap menjadi tantangan utama dalam pemeliharaan ayam broiler maupun layer. Gangguan ini tidak hanya terkait patogen penyakit, tetapi juga bergantung pada faktor manajemen dan lingkungan yang berdampak pada kesejahteraan dan performa hewan.

Melalui latar belakang tersebut, PT Ganeeta Formula Nusantara selaku distributor dan Biochem selaku produsen, menggelar launching perdana produk BronchoVest di Hotel Santika BSD, Tangerang Selatan, Selasa (18/3), dan Hotel Santika Blitar, Jawa Timur, Kamis (20/3).

BronchoVest merupakan produk essential oil dengan formulasi water-based tanpa residu minyak dan bebas alkohol dengan kombinasi natural eucalyptus oil, natural mint oil, dan menthol crystals yang efektif mengatasi gangguan pada saluran pernapasan dan stres.



DIRJEN PKH PANTAU SERAPAN AYAM OLEH PERUSAHAAN

Dirjen PKH saat memantau ayam milik peternak di Bogor. (Foto: Istimewa)

Pemerintah memantau langsung serapan ayam hidup ukuran besar dari peternak mandiri oleh sejumlah perusahaan integrator dan produsen pakan. Pemantauan dilakukan di dua lokasi di Kabupaten Bogor pada Kamis (24/4/2025), oleh Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Agung Suganda.

“Langkah ini merupakan bagian dari upaya stabilisasi harga di tingkat peternak sekaligus bentuk tanggung jawab sosial perusahaan,” kata Agung di lokasi.

Dalam kunjungannya, ia menyaksikan transaksi pembelian ayam hidup oleh PT Malindo Feedmill dan PT Charoen Pokphand Indonesia (CPI). PT Malindo membeli 5.448 ekor ayam dari Kandang Jati, peternak mandiri di Kecamatan Tajurhalang, dengan bobot rata-rata 2,7-2,8 kg/ekor dengan harga yang disepakati sebesar Rp 17.000/kg. Sementara CPI melakukan pembelian 1.700 ekor ayam hidup dari peternak mandiri lainnya dengan bobot rata-rata 1,9 kg/ekor dengan harga yang sama.

Agung juga menambahkan bahwa perusahaan integrator lain yaitu PT Japfa Comfeed Indonesia melakukan hal yang sama menyerap ayam hidup dari peternak mandiri. Japfa telah melakukan pembelian 5.000 ekor ayam hidup dengan rataan bobot badan 2,2-2,6 kg/ekor di dua lokasi, yaitu Cigudeg dan Serang.

“Kami ingin memastikan tidak ada ayam besar yang tidak terserap pasar, terutama saat pasokan sedang tinggi,” ucapnya. Pihaknya pun akan terus mendorong sinergi antara perusahaan besar dan peternak rakyat agar harga ayam hidup tetap stabil dan peternak tidak lagi merugi, serta tercipta rantai pasok yang sehat dan berkeadilan.

Pemilik Kandang Jati, Agus, menyampaikan apresiasinya atas dukungan pemerintah dalam menstabilkan harga ayam tingkat peternak. “Terima kasih dan apresiasi kepada Ditjen PKH atas respon cepat dalam mengatasi situasi. Terima kasih telah menyerap ayam-ayam jumbo kami dengan harga layak,” katanya. (INF)

MENCEGAH INFEKSI DINI SAAT INKUBASI TELUR TETAS

Ilustrasi anak ayam menetas. (Foto: Pixabay)

Tindakan mencegah adalah lebih baik daripada menyembuhkan infeksi. Pencegahan merupakan salah satu langkah dalam melakukan mitigasi risiko jangan sampai ada kerugian besar yang terjadi di belakang hari.

Antisipasi sebelum terjadi infeksi yang menyebabkan kerugian adalah tindakan yang jauh lebih baik, menghilangkan kontaminasi yang kemungkinan terjadi saat melakukan inkubasi telur tetas. Agen penyebab penyakit bisa terbawa masuk ke dalam mesin tetas melalui telur tetas terkontaminasi dari sumber vertikal maupun horizontal, saat telur keluar dari induk maupun pada proses handling dari kandang ke mesin tetas.

Breeding farm maupun perusahaan pembibitan unggas dalam proses produksinya tidak terlepas dalam satu rangkaian siklus produksi yang disebut penetasan, melakukan inkubasi telur tetas terpilih dengan mesin tetas atau inkubator. Peternak kecil yang sekarang berkembang sudah banyak yang menggunakan mesin inkubator untuk menyediakan atau menjual bibit unggas. Sering kali  terlupakan bahwa pada proses produksi bibit yaitu saat inkubasi, ternyata tidak hanya bakal embrio dalam telur tetas yang berkembang menjadi DOC/DOD, namun kuman, virus, dan fungi juga terinkubasi.

Saat DOC/DOD muncul dalam mesin tetas, jutaan mikroorganisme juga ada dalam mesin tetas. Mikroorganisme ada yang bersifat patogen ikut terbawa DOC/DOD ke dalam kandang pembesaran yang bisa mengancam perkembangan DOC/DOD saat dalam brooder atau kandang pembesaran.

Dalam siklus produksi bibit, DOC/DOD keluar dari kerabang telur, telur tetas baru masuk dalam mesin tetas. Proses penetasan berlanjut dan berulang. Jeda waktu sebenarnya diperlukan untuk membersihkan dan mendisinfeksi mesin tetas sebelum dipakai kembali untuk menetaskan telur tetas. Sebab daya tetas bisa turun karena banyak tumpukan koloni mikroorganisme di berbagai bagian mesin tetas. Mikroorganis ini bisa masuk melalui pori kerabang telur dan menginfeksi calon embrio. Embrio bisa mati sejak dini sebelum berubah dan berkembang menjadi DOC/DOD. Daya tetas yang diharapkan tinggi bisa... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2025.

Ditulis oleh: 
Ratna Loventa Sulaxono
Medik Veteriner Ahli Pertama
Balai Veteriner Jayapura

PENYESUAIAN NUTRISI UNTUK MENANGANI KECACINGAN PADA UNGGAS

Kecacingan atau yang disebut juga helminthiasis adalah kondisi dimana terjadi investasi cacing parasit di dalam tubuh. Umumnya kejadian kecacingan pada unggas ditemukan dalam saluran pencernaan, namun beberapa kasus bisa menyerang organ lain.

Cacing parasit telah diketahui sebagai penyebab utama pada masalah kesehatan dan penurunan produktivitas seperti memburuknya FCR, penurunan produksi telur, dan kematian. Selain itu, helminthiasis juga dikaitkan dengan diare, kerusakan usus, penurunan nafsu makan, lemas, lumpuh (paralisis), dan pertumbuhan bulu yang buruk (Jegede et al., 2015; Ngongeh et al., 2014; Uhuo et al., 2013; Baboolal et al., 2012; Afolabi et al., 2016).







MONIMAX®, KOKSIDIOSTAT TERKINI DI INDONESIA

Koksidiosis adalah penyakit yang cukup lama dikenal dalam sektor perunggasan dan merupakan penyakit terpenting yang disebabkan oleh parasit (genus Eimeria) namun sulit untuk dikendalikan. Hal ini mengakibatkan kerugian besar di industri ayam pedaging secara global, dengan perkiraan lebih dari $15 miliar. Di Indonesia sendiri, kerugiannya melebihi $500 juta/tahun.

Efektivitas pengendalian koksidiosis merupakan hal mutlak dalam meningkatkan profitabilitas. Dimana pengendalian yang tidak optimal bisa berefek buruk pada pencapaian berat badan dan tingginya rasio konversi pakan di sektor perunggasan. Penyakit ini juga memicu naiknya penggunaan antibiotik untuk pengobatan kasus pencernaan seperti Dysbacteriosis dan Necrotic enteritis.

Monimax® adalah pilihan koksidostat yang tepat, yang merupakan kombinasi dari monensin dan nicarbazin, serta telah teregistrasi di Indonesia. Monimax® dapat digunakan pada pakan ayam pedaging dan pullet (ayam dara petelur). Tentu saja kehadiran Monimax® menjadi angin segar bagi industri perunggasan saat ini.




PENYAKIT AVIAN INFLUENZA PADA UNGGAS DI INDONESIA

Potensi virus mudah mengalami mutasi. (Foto: Damian Dovarganes-Associated Press)

Avian influenza (AI) disebabkan oleh virus ssRNA yang tergolong famili Orthomyxoviridae. Virus ini dikenal mudah mengalami mutasi karena tidak memiliki mekanisme proof reading (kemampuan untuk memperbaiki kesalahan cetak materi genetik saat perbanyakan di dalam sel tubuh unggas) sehingga kesalahan cetak dapat terjadi.

Kesalahan cetak dapat berupa substitusi, delesi, dan insersi asam amino dalam materi genetik. Secara kompleks proses ini sering dikenal dengan antigenic shifting atau antigenic drifting. Perubahan materi genetik dapat berbahaya jika terjadi pada protein yang berperan penting dalam proses infeksi (protein Hemagglutinin dan Neuraminidase).

Selain potensi virus yang mudah mengalami mutasi, kontrol lalu lintas yang kurang ketat antar daerah juga sering kali berperan dalam introduksi masuknya virus baru di Indonesia. Kedua hal inilah yang berpengaruh besar dalam variasi virus AI yang beredar di Indonesia.

Secara umum AI dibagi menjadi subtipe berdasarkan protein Hemagglutinin (H) dan Neuraminidase (N). Walaupun demikian karena begitu banyaknya variasi yang terjadi, kini pengklasifikasian diperkecil lagi menjadi clade dan subclade. Pada 2003, AI yang merebak di Indonesia termasuk dalam subtipe H5N1 clade 2.1. Virus ini menyebabkan mortalitas yang sangat tinggi pada ayam dan kerugian yang besar bagi peternak. Namun, virus ini belum terdeteksi lagi sejak 2019 hingga sekarang.

Pada 2012, terjadi kasus AI yang ditandai dengan infeksi pada bebek. Dimana bebek merupakan unggas yang dianggap lebih kuat daripada unggas komersil justru menjadi hospes pertama yang terinfeksi sebelum kemudian menyebar pada unggas komersil. Virus yang teridentifikasi pada tahun tersebut adalah AI subtipe H5N1 clade 2.3.2. Virus ini diduga masuk melalui introduksi dari luar Indonesia dan termasuk dalam patotipe high pathogenic avian influenza (HPAI). Sejak saat itu hingga kini, variasi dalam tingkat subclade terus terjadi.

Selanjutnya pada 2016, dunia peternakan Indonesia kembali dihebohkan dengan penyakit yang menyebabkan turunnya produksi telur dari 90% menjadi 30% hingga sering disebut sebagai penyakit 90-30. Kasus ini kemudian teridentifikasi disebabkan oleh virus AI subtipe H9N2 lineage Y280 yang merupakan virus AI low pathogenic (LPAI) dan tidak menyebabkan kematian tinggi pada ayam. Virus AI H9N2 ini menginfeksi ke dalam sel telur sehingga sel telur akan dihancurkan oleh sel kebal yang ada dalam tubuh ayam itu sendiri, hal inilah yang menyebabkan pembentukan telur terganggu yang pada akhirnya menyebabkan penurunan produksi.

Tidak berhenti sampai di situ, pada 2022 ditemukan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2025. (SANBIO)

MENCERMATI LAGI PERKEMBANGAN AI

Virus AI telah berulang kali mengalami mutasi, menjadi tantangan bagi sektor peternakan. (Sumber: finddx)

Tahun kemarin kasus AmPV dan CRD banyak dilaporkan yang kemungkinan besar masih banyak dialami oleh para peternak sampai saat ini. Kendati demikian, peternak tetap perlu waspada dengan adanya berita outbreak Avian influenza (AI) di Selandia Baru pada Desember 2024, yang diindikasikan HPAI dengan varian H7N6.

Migrasi burung dari daerah setempat yang terjadi outbreak AI saat memasuki musim dingin dan bermigrasi ke tempat yang hangat menjadi salah satu pemicu daerah yang disinggahi akan terdampak penyakit AI. Dimana penyakit ini merupakan salah satu penyakit infeksius pada unggas yang bersifat zoonotik dan menyebabkan kerugian ekonomi yang tinggi.

Penyakit AI disebabkan oleh virus yang tergolong dalam family Orthomyxoviridae tipe A, virus influenza A diklasifikasikan berdasarkan antigenitas dari glikoprotein hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA) yang diekspresikan pada permukaan partikel virus. Virus AI mempunyai 18 subtipe HA dan 11 subtipe NA (Tong et al., 2012; Tong et al., 2013; Wu et al., 2014; Heider et al., 2015).

Berdasarkan patogenisitasnya, virus AI dibedakan menjadi highly pathogenic avian influenza (HPAI) menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan sering menimbulkan wabah dan low pathogenic avian influenza (LPAI) menyebabkan gejala ringan atau tidak memiliki gejala pada unggas yang terinfeksi.

Unggas dapat menunjukkan gejala klinis maupun tidak menunjukkan gejala (subklinis). Gejala-gejala seperti penurunan produksi telur, hemoragis pada permukaan serosa dan mukosa organ visceral, terutama hemoragis pada jaringan lemak koroner dan otot jantung (epikardium) dapat mengarahkan diagnosis disebabkan oleh virus AI (Swayne, 2008).

Gejala penyakit berupa penurunan produksi telur yang tidak menimbulkan kematian besar sering kali diabaikan peternak karena tidak menimbulkan kerugian ekonomis yang berarti. Meskipun demikian keberadaan peternakan tersebut dapat membahayakan bagi unggas di daerah sekitarnya karena dapat merupakan sumber penularan infeksi AI bagi ayam lainnya dan kemungkinan juga pada manusia terutama petugas kandang yang bekerja di peternakan tersebut.

Team Veterinary Representatif PT Romindo dalam tiga bulan terakhir telah menangani kasus AI sebanyak sembilan kasus. Kasus yang dilaporkan menunjukkan penurunan produksi telur tidak drastis, tetapi diikuti kematian yang terus-menerus dengan presentasi tidak besar dalam 1.000 ekor ayam terdapat kematian lima ekor. Melalui pemeriksaan di BBVet Maros dari 30 sampel yang diperiksa menunjukkan 96,6% hasil positif terhadap AI H5 clade 2.3.2.

Bagaimana mencermati kondisi di lapangan terhadap perkembangan AI sehingga peternak bisa terhindar oleh kerugian-kerugian yang diakibatkannya? Seperti diketahui bersama bahwa virus AI telah berulang kali mengalami mutasi. Hal ini tentu menjadi tantangan bersama bagi pihak yang intens berkecimpung di dunia peternakan, terutama dalam pengendalian penyakit, baik pada penerapan biosekuriti maupun program vaksinasi.

Menurut WOAH (2018), melakukan kegiatan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2025.

Ditulis oleh:
Drh Damar
Technical Departement Manager
PT Romindo Primavetcom
0812-8644-9471

BENARKAH KONSUMSI ROKOK MASYARAKAT KELAS BAWAH MELEBIHI KONSUMSI TELUR?

Daging dan telur ayam, sumber protein hewani. (Foto: Istimewa)

Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, menyebutkan jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 70 juta orang. Sekitar 7,4% di antaranya masih berusia 10-18 tahun. Di sisi lain, mereka hanya sedikit mengonsumsi telur dan daging ayam.

Tulisan ini tidak bertujuan menghakimi para perokok, tetapi didasarkan untuk mengungkap fakta dan data bahwa uang masyarakat Indonesia yang dibelikan “candu” berupa rokok jauh lebih besar dibandingkan untuk kebutuhan konsumsi telur maupun daging ayam.

Yang membuat miris, jumlah perokok yang cukup besar berasal dari kalangan masyarakat yang notabene termasuk kelompok masyarakat miskin. Kok, bisa?

Data Badan Pusat Statistik (BPS), per 2023, proporsi perokok Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas adalah sebanyak 28,62%. Jumlah tersebut diproyeksi akan terus bertumbuh.

Mengutip dari GoodStats, World Health Organization (WHO) membuat proyeksi ini berdasarkan data prevalensi merokok yang tersedia di 165 negara. WHO menyebutkan bahwa jumlah perokok di Indonesia diprediksi mencapai 38,7% dari total penduduk pada 2025. Adapun angka tersebut hanya menghitung jumlah perokok berusia 15 tahun ke atas.

Data ini mengungkapkan, Indonesia menduduki urutan kelima negara dengan proporsi perokok terbanyak di dunia, di bawah Nauru, Myanmar, Serbia, dan Bulgaria. Namun WHO hanya menghitung data perokok yang menggunakan produk dengan kandungan tembakau, baik yang berasap atau tidak, dengan frekuensi pemakaian setiap hari atau hanya kadang-kadang.

Di sisi lain, data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dalam Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai sekitar 70 juta orang dan 7,4% di antaranya masih berusia 10-18 tahun.

Kelompok anak dan remaja merupakan kelompok dengan peningkatan jumlah perokok yang paling signifikan. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019, prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun naik dari 18,3% (2016) menjadi 19,2% (2019). Sementara itu, data SKI 2023 menunjukkan bahwa kelompok usia 15-19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak (56,5%), diikuti usia 10-14 tahun (18,4%).

Sekarang bandingkan dengan tingkat konsumsi makanan sehat, seperti konsumsi telur dan daging ayam. Berdasarkan data BPS Maret 2024 (data terakhir yang dirilis BPS, red), terdapat perbandingan yang membuat prihatin antara konsumsi telur dan daging ayam dengan konsumsi rokok.

Menurut data BPS tersebut, komoditas makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan di dalam negeri, baik di perkotaan maupun di perdesaan, pada umumnya hampir sama.

Pertama adalah beras yang memberi sumbangan terbesar, yakni 21,84% di perkotaan dan 25,93% di perdesaan. Kemudian rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar kedua, yakni 11,56% di perkotaan dan 10,90% di perdesaan. Sementara untuk komoditas daging ayam ras hanya 4,25% di perkotaan dan 2,86% di perdesaan, serta telur ayam ras sebesar 4,21% di perkotaan dan 3,36% di perdesaan.

Candu Rokok Sudah “Bersemayam”
Dari sisi gizi, data BPS di atas sungguh miris. Bagaimana bisa kelompok masyarakat miskin justru lebih mementingkan “membakar uang” (baca: merokok) ketimbang memberi makanan bergizi untuk keluarganya?

Fenomena konsumsi rokok jauh lebih besar dibandingkan dengan konsumsi daging ayam mendapat perhatian dari para pakar. Pakar gizi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yuny Erwanto PhD, menyebutkan bahwa fenomena semacam ini sulit diterima akal sehat. Kebutuhan asupan gizi untuk keluarga dikalahkan kebutuhan rokok yang hanya jadi candu.

“Bisa dibayangkan kalau dalam sehari orang menghabiskan Rp 20 ribu untuk membeli rokok, maka dalam sebulan Rp 600 ribu dibakar begitu saja. Kalau dibelikan telur, dengan asmusi Rp 30 ribu, maka sebulan dia bisa beli 20 kilogram telur. Keluarga sehat, gizi terpenuhi, rumah juga bersih tanpa asap rokok,” jelas Yuny.

Dosen Pangan Hasil Ternak Fakultas Peternakan UGM ini berpendapat, perputaran uang untuk membeli rokok hanya akan berputar pada pabrik rokok dan cukai ke negara saja. Mereka yang menikmati keuntungan sangat besar, sementara para perokok mendapat titipan zat berbahaya yang bersarang di dalam tubuhnya.

Berbeda dengan itu, untuk konsumsi telur atau daging ayam perputaran uangnya sangat luas. Mulai dari petani jagung dan bahan pakan lain, peternak, perusahaan pakan ternak, perusahaan pembibitan, usaha restoran, usaha pemotongan hewan beserta jalur pasar yang mereka lewati melibatkan banyak pelaku usaha.

“Artinya kalau semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk telur atau daging ayam akan mempunyai daya ungkit bagi usaha yang terlibat dan akan membuka lapangan kerja yang jauh lebih besar, dibandingkan dengan uang yang berputar untuk membeli rokok,” ungkapnya.

Yuny tak sependapat dengan anggapan peningkatan daya beli rokok masyarakat berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan. “Sederhananya, masyarakat yang konsumsi rokok atau yang makan telur yang akan meningkatkan produktivitas? Jadi tidak ada hubungannya antara biaya pulsa yang tinggi dengan tingkat kesejahteraan,” tambahnya.

Ia berargumen, kalangan perokok sangat sulit untuk mengurangi jatah rokoknya, apalagi untuk berhenti total. Karena candu rokok sudah “bersemayam” dalam tubuh, maka ada orang yang berpinsip “tidak apa tidak sarapan, asal tiap pagi bisa merokok.”

Bahkan sampai yang tidak punya uang sekalipun, para perokok berat akan mencari jalan lain untuk bisa mendapatkan rokok, entah dengan meminta ke teman, utang ke warung, bahkan ada yang nekat mengambil tanpa izin alias mencuri.

“Artinya pokok persoalan utama adalah pemahaman masyarakat dan kebiasaan sebagian masyarakat kita yang memang lebih memilih untuk tetap merokok, bagaimanapun kondisinya,” ucap dia.

Risiko SIDS
Sebagai peringatan untuk orang tua yang perokok, meski sudah sering diperingatkan, merokok di dalam rumah yang terdapat anak kecil sangat besar risikonya. Kementerian Kesehatan dalam rilisnya menyebutkan, pada anak-anak paparan asap rokok dapat meningkatkan risiko Sudden Infant Death Syndromes (SIDS) hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan anak-anak yang tidak merokok.

Risiko SIDS ini bisa berakibat fungsi paru menurun, penyakit pernapasan, kanker, gangguan ginjal, hingga infeksi telinga. “Kebiasaan merokok juga menyebabkan stunting. Karena nilai nutrisi keluarga itu bisa teralihkan akibat pembelian rokok oleh bapaknya,” tulisnya dalam rilis tersebut.

Anak-anak mempunyai hak untuk tumbuh di lingkungan yang bebas dari dampak berbahaya tembakau. Upaya tanpa henti dari industri tembakau untuk memikat generasi muda pada produk mereka merupakan serangan langsung terhadap hal ini.

Keluarga dengan kepala rumah tangga perokok aktif, pemenuhan kebutuhan nutrisi cenderung harus berlomba dengan pemenuhan konsumsi rokok. Sering kali kebutuhan nutrisi menjadi tersingkir, mengingat harga rokok saat ini mahal dan kebutuhan beberapa bahan makanan pokok dan lauk pauk juga bisa naik turun.

Secara perhitungan bila harga rokok mahal tentu akan dapat mengurangi pengeluaran yang ditujukan untuk konsumsi makanan sehat. Padahal tubuh membutuhkan asupan nutrisi seimbang guna mempertahankan imunitas, kesehatan, dan kebugaran.

Pemenuhan kebutuhan nutrisi yang berkurang pada anak dapat menganggu tumbuh kembangnya. Jika itu terganggu, bisa mengakibatkan stunting. Selain itu juga dapat mengganggu kesehatan anggota keluarga yang lain.

Dampak lebih lanjut adalah ketika anak-anak mengalami gangguan tumbuh kembang, tentu berdampak pada masa depan mereka. Kualitas generasi penerus salah satunya berasal dari nutrisi seimbang. Bila tumbuh kembang terganggu, kualitas generasi penerus menjadi turun. Kemampuan intelektual, kemampuan kerja, dan produktivitas menjadi faktor penting yang perlu dikawatirkan, ketika asupan nutrisi kurang.

Selanjutnya, kondisi ini dapat mendorong munculnya kasus-kasus kemiskinan baik di perdesaan maupun perkotaan. Dampak kurangnya asupan nutrisi juga dapat menyebabkan tingginya risiko kematian pada bayi dan anak.

Kepala rumah tangga yang seorang perokok, kesehatannya juga sedikit demi sedikit akan digerogoti oleh racun rokok. Bila akhirnya sakit, akan menjadi beban keluarganya yang tentunya mengancam perekonomian hingga pemenuhan asupan makan bernutrisi untuk keluarga. ***


Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet daerah Depok,
Konsultan media dan penulis buku,
Writing Coach Griya Menulis (Bimbingan Menulis Buku & Jurnalistik),
Juara I Lomba Jurnalistik Tingkat Nasional (Unsoed, 2021) & Juara I Kompetisi Menulis Artikel Tingkat Nasional dalam rangka HATN, 2022

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer