Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini AMR | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

ASOHI GELAR WEBINAR PERESEPAN POPULATIF

Webinar ASOHI, lebih tahu peresepan obat hewan dalam populasi


Kamis (10/3) ASOHI menggelar workshop online mengenai perespan populatif secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting. Dalam sambutannya Ketua Umum ASOHI Drh Irawati Fari menyatakan bahwasanya tujuan diadakannya acara tersebut tentunya untuk menambah pengetahuan para dokter hewan terkait meresepkan obat secara populatif, terutama obat keras semisal antimikroba.

"Perlu saya ingatkan juga bahwa dalam Permentan 14 Tahun 2017 tentang klasifikasi obat hewan disebutkan bahwa penggunaan obat keras harus diresepkan oleh dokter hewan dan diawasi oleh dokter hewan. Makanya dokter hewan dan profesi terkait (apoteker) perlu mengetahui dan menjalankan ini," tutur Irawati.

Dalam kesempatan yang sama Direktur Kesehatan Hewan Ditjen PKH Drh Nuryani Zainuddin mengapresiasi dan mendukung acara yang diadakan oleh ASOHI tersebut. Selain terakit peraturan pemerintah, menurut Nuryani isu AMR yang telah berhembus secara global juga menjadi perhatian pemerintah, itulah mengapa dalam peresepan obat hewan terutama antimikroba harus diperhatikan peresepannya sesuai peraturan perundangan, agar tidak menimbulkan residu pada produk hewan yang dikonsumsi.

"Semoga acara ini bisa terus digelar dan baik dokter hewan maupun apoteker kedepannya semakin berkompeten dalam melakukan peresepan," kata Nuryani.

Sesi pertama dimulai dengan refreshing kembali ilmu reseptir yang dibawakan oleh Muvita Rina Wati Apt. staff pengajar Fakultas Farmasi UGM. Dalam presentasinya peserta diingatkan kembali mengenai cara menulis resep, singkatan - singkatan yang digunakan dalam bahasa latin, serta etika dan kaidah - kaidah peresepan baik pada kedokteran manusia maupun hewan.

Narasumber kedua dalam acara tersebut yakni Dr Nunung Yuniarti Apt. yang juga berasal dari almamater yang sama. Nunung menjelaskan secara mendetail bagaimana menulis peresepan bagi hewan dalam suatu populasi baik pada pakan maupun air minum. 

"Untuk air minum dokter hewan harus tahu jumlah yang dibutuhkan, karena nanti tidak semua air akan terpakai, sehingga sisanya akan menjadi limbah dan tidak bisa dibuang begitu saja. Jadi harus panjang rencananya sampai ke eliminasi sisa airnya," kata Nunung.

Ia juga menjelaskan hal - hal yang perlu diperhatikan apabila dokter hewan meresepkan obat kepada suatu populasi.

"Dalam satu populasi mungkin tidak semua hewan sakit, ada yang sehat juga, nanti efeknya mungkin berbeda, makanya sebaiknya hewan yang sakit dipisahkan sebelum memberikan obat dalam populasi," tutur dia.

Sesi kemudian dilanjutkan dengan diskusi dan brainstorming terkait perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, regulasi, dan teknis terkait obat hewan serta realita yang terjadi di lapangan. Diharapkan nantinya akan ada tindak lanjut dari pemerintah dari sektor ini karena hal ini tidak hanya menyangkut aspek kesehatan hewan, tetapi juga menyangkut kesehatan manusia, dan lingkungan (CR).



WAAW 2021: MENTAN TEGASKAN PENDEKATAN ONE HEALTH DIBUTUHKAN UNTUK KESEHATAN DUNIA

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo pada puncak acara WAAW 2021. (Foto: Infovet/Ridwan)

Pekan Kesadaran Antimikroba Sedunia (World Antimicrobial Awareness Week/WAAW), yang diperingati setiap tahunnya pada 18-24 November, merupakan momentum penting untuk meningkatkan kesadaran dan komitmen masyarakat dunia dalam pengendalian resistensi antimikroba/antimicrobial resistance (AMR) dengan pendekatan one health.

“Pendekatan one health sangat dibutuhkan untuk kesehatan dunia, mengingat saat ini masalah kesehatan dengan adanya pandemi COVID-19 dan AMR membuat tren kemunduran dalam ketahanan pangan. Oleh karena itu, semua sektor harus terlibat aktif dan bertanggung jawab dalam menjaga kesehatan dan ketahanan pangan,” ujar Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo, dalam kegiatan puncak Pekan Kesadaran Antimikroba 2021 yang diselenggarakan secara hybrid di Provinsi Bali, Rabu (24/11/2021).

Lebih lanjut dijelaskan, AMR menjadi isu yang santer dibicarakan di seluruh dunia karena diprediksi menjadi pembunuh nomor satu pada 2050 mendatang dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa pertahun dan kematian tertinggi terjadi di kawasan Asia.

“Prediksi tersebut bisa saja terjadi apabila kita tidak melakukan pengendalian secara konkrit. Untuk itu komitmen kita dalam mengendalikan AMR bersama-sama menjadi bagian penting,” imbuh Mentan Syahrul.

Untuk mengantisipasi dampak tersebut dan meningkatkan ketahanan pangan, lanjut Syahrul, pihaknya telah melakukan beberapa strategi diantaranya meningkatkan kapasitas produksi berkelanjutan, penguatan diversifikasi pangan lokal, penguatan cadangan pangan dan sistem logistik, pengembangan pertanian modern dan dukungan Gratieks.

“Melalui strategi ini kita transformasikan kemandirian sistem pangan secara holistik, berintegrasi dan berkelanjutan. Saya berharap ada kesatuan emosional bahwa masalah kesehatan adalah ujung yang sangat penting melalui ketahanan pangan. Saya percaya kita semakin mempertajam program bersama lembaga dunia sebagai upaya gerakan antimikroba di Indonesia untuk kontribusi pada kepentingan dunia,” ucap dia.

“Mari kita bekerjasama saling bertukar pikiran cerdas kita dengan pendekatan intelektual melalui referensi dunia yang bisa kita pelajari bersama untuk kesehatan manusia, hewan dan lingkungan di masa mendatang.”

Konsep one health didefinisikan sebagai upaya kolaboratif dan komunikatif dari berbagai sektor, utamanya kesehatan manusia, hewan dan lingkungan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global untuk mencapai kesehatan optimal. Pengendalian penyakit zoonosis, AMR dan penggunaan antibiotik yang bijak memerlukan kolaborasi multisektor, tidak hanya terbatas pada kesehatan dan pertanian, tetapi juga kehutanan, lingkungan dan pendidikan. (RBS)

SOSIALISASI PENINGKATAN KESADARAN PENATAGUNAAN ANTIMIKROBA

Dirkeswan Nuryani Zainuddin saat memaparkan presentasinya dalam Sosialisasi Peningkatan Kesadaran Penatagunaan Antimikroba untuk Dokter Hewan. (Foto: Infovet/Ridwan)

Antimikroba merupakan penemuan besar yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan lingkungan. Kendati demikian, antimikroba bagai pedang bermata dua, penggunaannya yang tinggi dan tidak bijak memacu meningkatnya resistansi mikroba atau antimicrobial resistance (AMR).

Data WHO 2014, menunjukkan kejadian AMR sudah merenggut 700 ribu jiwa dan diperkirakan meningkat 10 juta jiwa pada 2050 apabila tidak dikendalikan. Sementara survei AMU 2020, menunjukkan antibiotik enrofloxacine, amoxicillin, colistin, sulfadiazine, trimethoprim, ciprofloxacin dan tylosin masih cukup tinggi digunakan di enam provinsi di Indonesia.

Dari latar belakang tersebut, dilaksanakan Sosialisasi Peningkatan Kesadaran Penatagunaan Antimikroba untuk Dokter Hewan, Selasa (5/10/2021), atas kerja sama Kementerian Pertanian, FAO, USAID dan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI).

Dalam kegiatan tersebut dijelaskan, salah satu dampak residu antibiotik yang tertinggal di bahan pangan asal hewan sangat berbahaya bagi manusia. Hal tersebut bisa mengakibatkan reaksi alergi, toksisitas, memengaruhi flora usus, pengaruh buruk pada respon imun dan resistensi pada mikroorganisme.

“Selain berbahaya bagi kesehatan, residu antibiotik juga berpengaruh terhadap lingkungan dan ekonomi,” papar Prof Ida Tjahajati dari Universitas Gadjah Mada yang menjadi narasumber.

Ida menjelaskan, faktor pendorong terjadinya resistensi antimikroba pada sektor peternakan akibat dari penggunannya yang berlebihan, tidak sesuai dosis dan waktu henti, penerapan sanitasi dan higiene yang buruk, minimnya kesadaran, serta lemahnya kepatuhan dan kontrol penggunaan antimikroba.

Oleh karena itu, kesadaran masyarakat di sektor peternakan dan kesehatan hewan menjadi sangat penting dalam menegakkan penatagunaan antimikroba. Hal itu ditegaskan Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan), Nuryani Zainuddin.

Ia menjelaskan, tujuan penatagunaan antimikroba adalah untuk mengurangi kerusakan berkelanjutan akibat AMR pada hewan, manusia dan lingkungan, serta mengurangi konsumsi dan biaya antimikroba tanpa meningkatkan mortalitas. “Juga mengoptimalkan biaya perawatan kesehatan pada manusia maupun hewan,” katanya.

Lebih lanjut, adapun strategi penatagunaan antimikroba di bidang peternakan dan kesehatan hewan bisa dilakukan dengan menerapkan good farming practices, biosekuriti, biosafety, vaksinasi dan praktik kedokteran hewan yang baik. Dengan begitu, lanjut dia, bisa dipastikan penggunaan antimikroba dan risiko perpindahan mikroorganisme akan menurun.

“Penting juga untuk melakukan diagnosis tepat terhadap suatu kasus penyakit dan peresepan yang bertanggung jawab dari dokter hewan. Hal ini menjadi pendorong penggunaan antimikroba secara bijak dan bertanggung jawab,” pungkasnya. (RBS)

MENINGKATKAN KESEHATAN DAN PRODUKTIVITAS AYAM TANPA AGP

Direktur Pakan, Agus Sunanto, saat menjadi keynote speaker dalam webinar “Training Formulasi Pakan Tanpa AGP”. (Foto: Infovet/Ridwan)

Dampak penggunaan antibiotic growth promoter (AGP) pada industri ayam ras menjadi alasan pemerintah melarang AGP yang biasanya digunakan melalui pakan. Walau diketahui penggunaannya dapat membantu menekan bakteri patogen di saluran pencernaan.

Namun dalam jangka panjang pemberian AGP dapat menimbulkan residu antibiotik pada produk unggas yang berbahaya dikonsumsi manusia, yang turut meningkatkan kasus antimicrobial resistant (AMR).

“Survei WHO pada 2014 menyebutkan angka kematian global akibat AMR sebanyak 700 juta jiwa (low estimate) dan diperkirakan meningkat menjadi 10 juta jiwa di tahun 2050 mendatang. Banyak negara di Eropa melarang semua jenis antibiotik sebagai growth promoter,” ujar Direktur Pakan Ditjen PKH Kementerian Pertanian, Agus Sunanto, dalam webinar “Training Formulasi Pakan Tanpa AGP”, Rabu (8/9/2021), yang merupakan rangkaian kegiatan Hari Ayam dan Telur Nasional (HATN) dan World Egg Day (WED) 2021 di Provinsi NTT pada Oktober mendatang.

Pelarangan AGP di Indonesia telah diatur melalui berbagai regulasi, diantaranya UU No. 18/2009 jo UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Permentan No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan, Permentan No. 22/2017 mengenai Pendaftaran dan Peredaran Pakan dan Permentan No. 65/2007 tentang Pengawasan Mutu dan Keamanan Pakan.

Dipaparkan Agus, tujuan dari pelarangan AGP tersebut untuk mencegah terjadinya residu obat pada ternak dan resitensi mikroba patogen, mencegah gangguan kesehatan pada manusia, serta menjaga kesehatan lingkungan.

Oleh karena itu, kata dia, langkah strategis yang bisa diupayakan untuk meningkatkan kesehatan dan produktivitas ayam bisa menggunakan alternatif seperti probiotik, prebiotik, asam organik, minyak esensial, enzim, maupun feed supplement berkualitas.

“Juga dengan penerapan biosekuriti tiga zona, peningkatan kualitas pakan dan pemilihan DOC yang sehat, berkualitas dan bersertifikat,” ungkap Agus.

Hal senada juga disampaikan Direktur Nutricell Pacific, Wira Wisnu, yang menjadi narasumber. Dikatakan di era bebas AGP sekarang ini, pelaku budi daya unggas harus lebih jeli dalam perbaikan pemeliharaan.

Dijelaskan Wira, beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan untuk mengoptimalkan performa ayam yakni dengan memperhatikan kepadatan kandang, kebutuhan air, ketersediaan dan kualitas pakan.

“Serta bagaimana kita mengatur temperatur, kelembapan, oksigen, manajemen pH saluran pencernaan (keseimbangan mikroflora), pengelolaan organ hati dan usus, serta meminimalisir kondisi stres pada ayam,” katanya. (RBS)

FGD FORMAT : RAMBU - RAMBU PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI PERUNGGASAN

FGD FORMAT, membahas penggunaan antibiotik di perunggaan lebih mendalam

Beberapa waktu yang lalu harian Kompas mengangkat tema terkait Antimicrobial Resisstance (AMR) pada laman utamanya. Lalu kemudian digelar pula acara konferensi pers antara YLKI bekerjasama dengan beberapa LSM terkait temuan bakteri yang resisten antimikroba pada produk perunggasan (karkas).

Sebagai upaya klarifikasi atas isu tersebut, Forum Media Peternakan (FORMAT) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) mengenai penggunaan antibiotik di sektor perunggasan melalui daring Zoom Meeting pada Kamis (5/8). FGD ini sengaja dibatasi pesertanya hanya pengurus Format dan para wartawan media anggota Format, sedangkan narasumber yang diundang adalah para pimpinan asosiasi terkait dengan isu ini yaitu Pinsar Indonesia, GOPAN, Pinsar Petelur Nasional, GPMT, GPPU, ASOHI, PDHI serta perwakilan pemerintah yaitu Ditkeswan. FGD  dibuka oleh Ketua Format Suhadi Purnomo dan dipandu oleh sekretaris Format Yopi Safari

Pada kesempatan pertama Drh Rakhmat Nuryanto Ketua Bidang Kesmavet PINSAR Indonesia mengatakan bahwa isu bakteri kebal antibiotik terutama E.Coli sebenarnya adalah isu yang sudah lama terjadi, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Ia mengutip beberapa laporan dan hasil penelitian terkait isu tersebut.

"Permasalahannya, yang duluan mengangkat isu tersebut adalah media mainstream, sehingga masyarakat menjadi geger. Itu tidak bisa dihindari dan memang dampak sosio-ekonominya cukup besar," tutur Rakhmat. 

Rakhmat sendiri menyayangkan hal tersebut, padahal menurutnya bakteri sekebal apapun terhadap antimikroba akan tetap mati dengan cara dimasak . Jadi untuk meredam isu tersebut ia menyarankan pada stakeholder untuk meng-counternya dengan menyarankan pada masyarakat agar tidak takut makan ayam dan telur.

Selain itu menurut Rakhmat, sektor peternakan bukanlah satu - satunya sektor yang harus disalahkan dari terjadinya AMR. Kesalahan pola konsumsi antibiotik pada manusia juga memegang peranan yang besar atas terjadinya AMR.

Senada dengan Rakhmat, Ketua Umum PB PDHI Dr. Drh Muhammad Munawaroh juga menyayangkan hal tersebut. Menurutnya hal tersebut hanya menyebabkan kepanikan belaka di masyarakat sehingga masyarakat menjadi takut untuk mengonsumsi daging dan telur ayam.

Peternak Bicara

Dalam forum tersebut juga hadir perwakilan PINSAR Petelur Nasional (PPN) yakni Yudianto Yosgiarso. Menurutnya di lapangan sebisa mungkin peternak tidak menggunakan antibiotik maupun obat, karena hal tersebut juga merupakan cost tambahan produksi. 

Ia juga mendukung upaya pemerintah dalam menggalakkan program sertifikasi NKV di Indonesia. Menurutnya dengan adanya program tersebut, peternak dapat lebih meningkatkan sisi manajemen pemeliharaan dimana dengan manajemen yang baik, tidak dibutuhkan penggunaan obat - obatan termasuk antibiotik dalam jumlah yang banyak.

"Saya sangat mendukung itu dan sudah melihat sendiri bahwa dengan memperbaiki cara beternak, obat - obatan termasuk antibiotik dapat dikurangi. Makanya saya dukung program pemerintah ini dan kalau bisa semua peternak ayam petelur juga meneruskan langkah baik ini," tuturnya.

Pendapat Yosgiarso juga didukung oleh Herry Dermawan, Ketua Umum GOPAN. Ia memaparkan bahwasanya penggunaan antibiotik dapat ditekan dengan cara menerapkan biosekuriti yang baik sehingga ayam tetap sehat dan performanya baik.

"Di Priangan Timur sana, kami (termasuk saya), memanen ayam di umur 23-24 harian, karena kami sadar nanti kalau dipanen di umur 28 hari keatas banyak tantangan penyakit. Dengan  dipanen 24 hari, peternak sudah mulai menerapkan cara pemeliharaan yang sangat minim menggunakan obat. Jadi faktanya peternak sendiri sudah melakukan upaya mengurangi penggunaan obat-obatan termasuk antibiotik," kata Herry.

Namun begitu kata Herry, isu yang ditimbulkan oleh pemberitaan negatif terkait ayam membuat peternak cukup terpukul. Terlebih lagi ketika peternak menghadapi anjloknya harga ayam terkait masalah supply dan demand. Oleh karenanya Herry mengatakan bahwa isu ini harus bisa segera diredam untuk mencegah dampak sosio - ekonomi yang lebih hebat lagi.

Memperkuat Pengawasan dan Komunikasi

Pemerintah pun sebenarnya tidak tinggal diam dalam menghadapi masalah ini. berbagai peraturan telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam mengurangi penggunaan antibiotik yang serampangan. Mewakili Direktur Kesehatan Hewan Drh Ni Made Ria Isriyanthi, PhD pun menjabarkan berbagai regulasi terkait penggunaan antibiotik pada ternak.

Menurut Ria, berbagai upaya kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementan bersama stakeholder di luar sektor peternakan. Ia menjelaskan bahwa pihaknya terus meningkatkan pengawasan peredaran obat hewan bersama stakeholder . 

"Kami sedang menggodok aturan bagaimana caranya agar sediaan obat hewan ilegal tidak dijual di marketplace . Ini masih butuh waktu dan kami diskusikan juga dengan ASOHI," tutur Ria.

Sementara itu Ketua Umum ASOHI Drh Irawati Fari dalam forum ini mengutarakan, bahwa sebagai mitra pemerintah pihaknya mendukung upaya pemerintah dalam menjalankan kebijakan pengendalian AMR.

"Kami juga mengerti kalau permasalahan ini tidak bisa kami selesaikan sendiri. ASOHI pun telah mewanti - wanti anggotanya agar selalu menaati peraturan yang berlaku, dan kami membuktikan itu. Berbagai kolaborasi dengan pihak lain juga telah kami jalankan agar bisa mereduksi dampak dari AMR, karena kami paham isu ini sifatnya global dan dampak sosio - ekonominya pun besar," tutur Irawati.

Dalam kesempatan yang serupa, Drh Desianto Budi Utomo Ketua Umum GPMT ikut menyatakan pendapat. Ia menjabarkan bahwa semua pabrik pakan anggota GPMT dipastikan sudah mematuhi semua peraturan terkait antibiotik baik AGP maupun medikasi.

"Kami ikuti sesuai peraturannya dan setiap anggota kami wajib memiliki dokter hewan yang menjadi PJTOH (Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan) di pabrik masing - masing, jika nanti terjadi praktik yang tidak sesuai tentunya akan mudah dilacak," kata Desianto.

Sementara itu, Ketua Umum GPPU Ahmad Dawami mengatakan bahwa memang isu perunggasan yang diangkat Kompas beberapa waktu belakangan efeknya cukup mencengangkan. Meskipun ia mengetahui pasti bahwa orang - orang di sektor perunggasan akan menanggapinya dengan santai, tetapi di luar sektor perunggasan pasti dampaknya akan berbeda.

"Kita santai karena kita ngerti, yang lain kan enggak ngerti. Makanya ini kita harus bisa mengubah mindset orang - orang ini agar enggak takut makan ayam dan telur," tutur Dawami.

Ia menyoroti pola komunikasi yang ada di masyarakat dimana sebenarnya banyak beredar isu tak sedap mengenai perunggasan, mulai dari hormon, telur palsu, antibiotik, dan lain sebagainya. 

Selain itu Dawami juga menyoroti ketegasan pemerintah dalam melakukan sanksi pada pihak yang dinilai menyalahi aturan.Menurutnya, pemerintah harus lebih tegas dalam memberikan sanksi, jangan hanya memberikan sanksi administratif, bila perlu penutupan izin usaha.

Drh Munawaroh juga sangat menyoroti sisi komunikasi dari isu ini. Menurutnya, sektor peternakan kurang aktif dalam mengampanyekan sisi baiknya kepada masyarakat luas. Sehingga berita - berita hoaks jadi semakin susah ditangkis.

"Selama ini saya enggak pernah lihat di TV, koran, ada kampanye "Ayo makan daging dan telur Ayam!" padahal ini penting. Makanya kalau dibutuhkan ayo kita bikin kampanye yang masif, PDHI siap membantu mengedukasi masyarakat juga kok. Kalau komunikasinya berjalan dengan baik pasti bisa kita naikkan konsumsi protein hewani kita," tutur Munawaroh.

Ia juga meminta agar FORMAT senantiasa melakukan upaya terbaik dalam meng-counter pemberitaan di media mainsteam. Karena menurutnya FORMAT sebagai media yang berfokus di sektor peternakan lebih paham dan mengerti terkait seluk - beluk peternakan ketimbang media mainstream (CR).



YLKI ADAKAN KONFERENSI PERS TERKAIT PRODUK UNGGAS

Konferensi Pers Online bersama YLKI via daring Zoom meeting


Jumat (16/7) yang lalu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bersama  World Animal Protection (WAP), dan CIVAS mengadakan ‘Press Conference Final Report: Penemuan Bakteri Kebal Antibiotik Pada Produk Pangan Ayam Broiler.’ Acara ini diselenggarakan secara daring via Zoom.

Hal tersebut adalah tindaklanjut dari hasil investigasi YLKI bersama CIVAS dan WAP terkait isu resistensi antimikroba yang menjadi isu global. Tulus Abadi selaku ketua YLKI berukar bahwa isu tersebut sudah menjadi isu yang sering diperbincangkan di lembaga konsumen dunia. Oleh karenanya YLKI sebagai lembaga perlindungan konsumen di Indonesia merasa harus melakukan sesuatu sebagai bentuk kontribusinya di masyarakat.

"Kami berusaha mengedukasi konsumen agar lebih cerdas dan paham mengenai apa itu food safety dan security. Daging ayam sudah menjadi bagian hidup sehari - hari di meja makan masyarakat, oleh karenanya ini harus diamankan agar tidak membahayakan," tuturnya.

Ia juga menuturkan bahwa dengan adanya temuan ini diharapkan dapat menjadi pemacu bagi konsumen, pemerintah, maupun pelaku usaha untuk semakin concern dan berusaha menghasilkan produk perunggasan yang aman bagi masayarakat dan tidak meminimalisir cemaran residu antibiotik maupun bakteri yang kebal antibiotik agar tidak membahayakan kesehatan pemakannya.

Dalam kesempatan yang sama, Rully Prayoga dari WAP menjabarkan hasil temuannya. Setidaknya dari sampel karkas dan sekum yang diambil dari retail dan RPHU ditemukan adanya bakteri E.coli yang resisten terhadap beberapa jenis antimikroba seperti Ciprofloxacin, Kolistin, Meropenem, Sulfomethoxazole, dan Kloramfenikol.

"Ini cukup membahayakan, jika bakteri ini mengontaminasi dan termakan oleh konsumen tentunya akan menyebabkan risiko bagi konsumen. Oleh karenanya kami perlu mengklarifikasi hal ini," tutur Rully.

Dirinya juga memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah dan pelaku usaha untuk mencegah terjadinya hal ini. Diantaranya meningkatkan manajemen pemeliharaan ternak terutama dalam aspek biosekuriti dan meminimalisir penggunaan antibiotik pada ternak. Pemerintah juga dihimbau agar lebih menjalankan fungsi pengawasan kepada peternak dalam hal penggunaan antibiotik.

Ketua Umum PDHI yang juga hadir dalam pertemuan online tersebut Drh Muhammad Munawaroh mengapresiasi hasil investigasi tersebut. Dirinya pun mengakui bahwa fungsi pengawasan yang dilakukan juga belum maksimal karena terbatasnya sumber daya dari pemerintah. Oleh karenanya dia menghimbau kepada seluruh stakeholder yang berkecimpung agar bersinergi dan berkolaborasi menjalankan fungsi pengawasan tersebut.

Terkait temuan tersebut, Munawaroh menghimbau utamanya kepada YLKI agar tidak terlebih dahulu "kebakaran jenggot" menanggapi temuannya. Hal tersebut tentunya akan berdampak besar pada aspek sosio-ekonomi dimana nantinya masyarakat akan takut mengonsumsi daging ayam karena mengandung bakteri berbahaya.

"Temuan ini sebaiknya ditanggapi dengan bijak, toh yang ditemukan adalah bakteri kebal antibiotik pada karkas. Sebenarnya jika masyarakat dihimbau agar memasak ayamnya sampai benar - benar matang, bakterinya otomatis akan mati karena suhu panas tadi. Berbeda kalau yang ditemukan adalah residu antibiotik, ini lebih berbahaya karena residu antibiotik tidak mudah hancur dalam suhu panas sekalipun," tutur Munawaroh.

Ia juga mengatakan kepada audiens terutama pewarta agar lebih bijak dalam menanggapi hal ini, karena seperti yang ia bilang tadi, dampak sosio-ekonominya akan sangat terasa terutama bagi peternak dan pelaku usaha. Terlebih lagi kini peternak dan pelaku usaha tengah dipusingkan dengan anjloknya harga ayam yang tentunya merugikan bagi mereka. (CR)

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK YANG RASIONAL DAN TEPAT SASARAN AGAR BAKTERI TAK KEBAL

Dalam budi daya usaha peternakan ayam, penggunaan suatu preparat antibiotika harus dievaluasi secara teknis dan ekonomis. (Foto: Dok. Infovet)

Pertumbuhan bisnis ayam broiler dari waktu ke waktu mengalami kenaikan yang signifikan. Berdasarkan data (FAO Agriculture Outlook 2020) produksi daging secara global untuk daging ayam broiler bisa 2-3 kali bahkan 7-8 kali lipat lebih tinggi dibanding komoditi lain seperti sapi dan domba/kambing, termasuk di Indonesia. Munculnya kandang-kandang modern dalam 3-5 tahun terakhir ini semakin mengonfirmasi bahwa persaingan usaha di sektor ayam ras pedaging konsisten mengalami pertumbuhan yang cepat.

Isu Global: Resistensi Antibiotik (Antimicobial Resistance/AMR)
Seiring dengan perkembangan industri broiler modern yang pesat, dunia digemparkan oleh isu resistensi antibiotik. Pada Juli 2014, telah diadakan pertemuan global “The Review on Antimicrobial Resistance” dimana dari hasil pertemuan menyatakan bahwa kasus infeksi bakteri yang sudah kebal/resisten terhadap antimikroba meningkat signifikan. Di Eropa dan Amerika Serikat saja, lebih dari 50.000 nyawa hilang tiap tahunnya karena resistensi ini pada kejadian infeksi sekunder bakteri pada penyakit malaria, HIV/AIDS dan TBC.

Dari pertemuan tersebut pula para ahli memperkirakan jumlah korban meninggal secara global di seluruh dunia mencapai sedikitnya 700.000 jiwa setiap tahun. Pada 2050, diprediksi naik mencapai 10 juta orang, jauh lebih tinggi dibanding penyakit Kanker, Diabetes, kecelakaan lalu lintas, Kolera, Tetanus, Measles dan Diarea.

Resistensi antibiotik turut meningkatkan risiko kematian yang secara langsung berpengaruh pada menurunnya usia harapan hidup suatu negara. Dari data yang dilansir WHO, setelah gelombang resistensi antibiotik rata-rata usia harapan hidup di negara-negara Asia Tenggara dibandingkan dengan Afrika, yakni 70 berbanding 58.

Atas pertimbangan itulah sehingga dalam budi daya usaha peternakan ayam, penggunaan suatu preparat antibiotika juga harus dievaluasi secara teknis dan ekonomis. Timbulnya kesadaran residu ataupun ketakutan akan resistensi dari suatu mikroba terhadap satu atau lebih dari satu jenis preparat antibiotika juga akan memberikan tekanan-tekanan tertentu pada dunia perunggasan dalam menggunakannya.

Dinamika Regulasi dan Realita
Dalam menyikapi isu AMR, Indonesia memberikan penegasan implementasi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Kriteria obat hewan yang dilarang tercantum dalam... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Mei 2021.

Ditulis oleh:
Eko, DVM (commercial broiler farm consultant)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer