Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini kesehatan hewan | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MENGENAL LEBIH DALAM DISINFEKSI KANDANG, BAGIAN PENTING BIOSEKURITI

Drh Ramdhany Iryanto, Sales Area Senior Manager, PT Sehat Cerah Indonesia, saat diwawancara Infovet mengatakan dalam 5 tahun terakhir peternak sudah sangat menyadari pentingnya biosekuriti dalam menunjang performa produksi. Termasuk pentingnya disinfeksi yang menjadi salah satu bagian dari biosekuriti.

“Peternak juga sudah menerapkan program disinfeksi yang cukup baik pada saat kosong kandang maupun pada saat produksi. Namun tetap dibutuhkan edukasi berkala mengenai kandungan disinfektan dan positioning-nya di farm,” kata Ramdhany.

Custom atau Broad Spectrum?

Raymundus Genty Laras, Head of Department – Technical PT Behn Meyer Chemicals, menjelaskan biasanya orang mendefinisikan disinfektan yang bagus artinya produk yang dikehendaki memiliki kemampuan broad spectrum dengan harga yang relatif murah. Namun broad spectrum kandungan bahan aktifnya biasanya lebih dari satu sehingga harganya lebih mahal dari yang mengandung satu bahan aktif saja.

Bila tidak keberatan dengan harga maka disinfektan broad spectrum bisa menjadi pilihan yang bagus. Namun jika memertimbangkan harga, disinfektan custom bisa menjadi pilihan karena disesuaikan dengan infektan yang dihadapi peternak di farm sehingga bisa lebih hemat.

Prosedur pemilihan disinfektan harus dilakukan berdasarkan diagnosa yang layak dan pantas mengenai keadaan farm. Baru kemudian bisa diputuskan untuk memilih produk disinfektan yang sangkil dan mangkus untuk kendala infektan yang dihadapi oleh farm tersebut.

Ada tiga pihak yang terlibat dalam penerapan disinfeksi sehingga didapatkan produk yang tepat. Pertama dokter hewan mendiagnosa infektan jenis apa saja yang ada di kandang. Juga kemungkinan infektan apa saja yang berasal dari lingkungan atau farm tetangga agar bisa menentukan disinfektan yang tepat.

Animal nutritionist/chemist betugas mendiagnosa klimat (suhu dan kelembaban), permukaan bangunan kandang (apakah banyak pori, sedikit pori, atau tidak berpori sama sekali), kualitas air (pH/air sadah, dll), keamanan kandang (vektor hewan, pekerja, logistik), keadaan lingkungan sekitar (sejarah penyakit, pakan, gudang pakan, dll), dan pendalaman terhadap produk (isi, bahan aktif, dll) agar bisa mencari disinfektan yang tepat.

Sedangkan animal production (farm manager/anak kandang/procurement) mendiagnosa di antaranya sapronak, higienisasi  karyawan, dan cost in price atau informasi produk di market agar menemukan disinfektan yang tepat.

Kemudian agar benar-benar mendapatkan disinfektan yang bagus maka bisa dilakukan cross check pada produk.

”Langkah sederhana, menurut saya, bisa dimulai dengan melihat rekomendasi dari DEFRA, sebuah badan pemberi sertifikasi dari UK bagi produk-produk disinfektan yang beredar di dunia saat ini.” Raymundus menjelaskan.

“Kemudian cek juga substansi-substansi bahan aktif di dalamnya. Bila memiliki hanya satu bahan aktif umumnya bersifat specific spectrum (custom), namun bila memiliki sekumpulan substansi bahan aktif maka cenderung tergolong ke dalam broad spectrum disinfectant. Langkah terakhir kenali apakah disinfektan itu tergolong residual atau non residual, agar tidak keliru saat menggunakan produk-produk tersebut.”

Disinfektan adalah Bagian dari Cuci Kandang

Tergantung tantangan infektan yang dihadapi oleh peternak, makin banyak infektan (bakteri, jamur, virus, dll) maka diperlukan lebih dari satu jenis disinfektan. Hal yang penting diingat adalah disinfeksi hanyalah bagian dari cuci kandang.

Menurut Raymundus, langkah-langkah penerapan biosekuriti cuci kandang yang tepat pada tatalaksana budidaya perunggasan, adalah sebagai berikut:

  • Dry clean (sapu ijuk, sapu lidi, kemoceng, kain lap, vacuum cleaner, dsb).
  • Alkaline foaming detergent (kain pel + obat pel, dsb).
  • Rinse (bilas). Setelah dibilas dicek kembali permukaan keringnya, bila ada debu/bahan organik yang masih menempel pada permukaan, maka kembali lakukan bilas ulang.
  • Saluran air minum diberi disinfektan non residual sesuai dosis yang dianjurkan, pastikan bersih dari biofilm juga.
  • Terapkan semprot basah (wet spray) menggunakan non residual disinfektan dengan dosis yang dianjurkan oleh pembuat produk.
  • Terapkan residual disinfektan untuk penutup, bisa juga dilakukan dengan metode thermal fog.

Hal yang harus diingat adalah gunakan non residual disinfektan terlebih dahulu sebelum menerapkan residual disinfektan untuk menghindari resistansi infektan pada kandang.

Residual Chemistry

Raymundus menjelaskan, “Residual chemistry berarti sisa netto atau jumlah bersih bahan aktif atau saya biasanya pakai istilah biosida, yakni chlorine bebas atau chloramine atau chlorine dioxide dan atau ozone yang menjadi residu setelah proses disinfeksi usai dilakukan. Fungsinya tentu untuk memastikan proses reinfeksi menjadi lama untuk terjadi kembali. Hanya saja sisa molekul bebas ini karena sudah menurun dosisnya maka keampuhannya menjadi berkurang seiring waktu, hal inilah yang di kemudian hari mengakibatkan resistensi pada infektan.”

Untuk menangani resistensi infektan Raymundus menyarankan agar mengaplikasikan penggunaan non residual disinfektan sebelum residual disinfektan, tidak boleh terbalik. Dengan cara tersebut, sisa residual akan segera lenyap mengikuti prose lenyapnya non residual saat penerapan disinfeksi di kandang. Kalau langkahnya terbalik, maka akan menimbulkan resistensi pada infektan.

Waktu yang Tepat Melakukan Disinfeksi dan Penanganan Airborne Disease

Pada dasarnya disinfeksi adalah bagian dari biosekuriti. Filosofinya ada tiga saat menerapkan disinfeksi. Yaitu sebisa dan seharus mungkin mengurangi paparan infektan, sebisa dan seharus mungkin mengurangi kontak antara inang/ternak yang dibudidaya dengan infektan, sebisa dan seharus mungkin meningkatkan ketahanan inang terhadap infektan.

Kapan waktu yang tepat untuk menghindari sakit? Tentu dengan selalu menjaga kesehatan. Konsep ini juga berlaku pada peternakan.

Meskipun banyak yang tidak menyarankan, namun bila infektan hadir di masa produksi maka wajib cari dan pilih disinfektan yang aman diterapkan di masa produksi sesuai dosis yang disarankan. Bila tidak menemukan maka harus diingat bahwa vaksinasi, isolasi, karantina, kendali vektor hama, program suplementasi dan adisi juga bagian dari filosofi biosekuriti. Produk disinfektan hanya satu dari sekian senjata yang harus ada dalam konsep filosofi biosekuriti.

Untuk menangani airborne disease disinfeksi bisa diterapkan pada ventilator atau saluran udara kipas dengan catatan ternak sudah kenyang makan dan minum. Bisa juga diterapkan saat aplikasi misting (pengembunan) dengan jarak dua meter di atas ternak, tidak di-misting langsung ke ternaknya. Bisa menggunakan cold cell pad dengan sirkulasi berkesinambungan. Serta bisa menerapkan misting atap alias dari atas kandang dua kali sehari saat ternak terpapar infektan.

Disinfektan Seperti Apa yang Diinginkan Peternak?

“Jika dilihat dari sudut pandang peternak, pasti yang peternak inginkan adalah disinfektan yang aman bagi peternak, ternaknya dan lingkungannya,” jelas Ramdhany.

“Serta aplikasi yang mudah namun sangat efektif, apalagi jika bicara harga yang terjangkau namun efektif peternak pasti sangat suka. Namun jika bicara idealisme secara teori dan praktik ini yang masih harus diedukasikan kepada peternak secara berkala. Dan ini menjadi tugas kita semua sebagai stake holder di dunia peternakan.”

Produk-produk disinfektan yang beredar saat ini sudah banyak yang ramah lingkungan dan aman bagi penggunanya. Salah satunya adalah produk yang didistribusikan oleh SCI yaitu Neogen® Viroxide Super. (NDV)

CENGKRAMAN IB DI PERUNGGASAN

Gejala pada kasus IB varian saat dilakukan bedah bangkai terlihat adanya timbunan cairan di dalam oviduk. (Foto: Dok. Romindo)

Di tiga bulan terakhir sebanyak 14% kasus infectious bronchitis (IB) ditangani oleh tim lapangan PT Romindo Primavetcom dan ini merupakan kasus viral terbanyak kedua setelah kasus newcastle disease (ND).

Penyakit ini menimbulkan kerugian sangat besar bagi peternak, dimana penyakit ini menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas telur, serta pertumbuhan ayam terganggu. Penyakit IB merupakan penyakit saluran pernapasan atas dan urogenital pada ayam yang bersifat akut dan menular (KING dan CAVANAGH, 1991).

Pada anak ayam umur kurang dari enam minggu dapat menyebabkan kematian dengan tingkat mortalitas 10-30% (HOFSTAD, 1984), dan ditandai dengan gejala pernapasan seperti sesak napas, bersin-bersin, ngorok, serta menyebabkan pertumbuhan badan terhambat (DAVELAAR et al., 1986).

Pada ayam periode bertelur, penyakit IB dapat menyebabkan penurunan produksi hingga mencapai 60% dalam kurun waktu 6-7 minggu dan selalu disertai dengan penurunan mutu telur berupa bentuk telur tak teratur, kerabang telur lunak, dan albumin cair (HOFSTAD, 1984; DAVELAAR et al., 1986; MUNEER et al., 1986; CHUBB, 1988).

Etiologi dari penyakit IB disebabkan oleh virus yang termasuk ke dalam famili Coronaviridae dan hanya memiliki satu genus, yaitu Coronavirus (MURPHY dan KINGSBURY, 1990). Virus IB memiliki banyak serotipe (HOPKINS, 1974; DARBYSHIRE et al., 1979; HOFSTAD, 1984). Virus IB berbentuk pleomorphic, memiliki envelop (selaput luar) dengan diameter 90-200 nm, serta memiliki asam inti berutas tunggal asam ribonukleat (RNA) dengan berat molekul 8 x 106 Base pair (Bp) dan asam polyadenylic pada ujung 3’ (KING dan CAVANAGH, 1991).

Pada partikel virus IB ditemukan tiga macam protein struktural, yaitu protein nucleocapsid (N) yang berhubungan dekat dengan viral RNA, glikoprotein membran (M), dan glikoprotein spike (S) yang terletak pada permukaan virion dan terdapat dalam dua subunit S1 dan S2 (JACKWOOD et al., 1997; IGNJATOVIC et al., 1997). Sub unit S1 mengandung epitope yang spesifik serotipe dan bertanggung jawab dalam menetralisasi (GALLAGHER et al., 1990). Protein S1, S2 , M, dan N merupakan antigen yang dapat menimbulkan respons antibodi pada tubuh ayam yang terinfeksi (KING dan CAVANAGH).

Berdasarkan sifat kimia dan fisiknya, virus IB sangat labil dan sensitif terhadap bahan-bahan yang bersifat lipolitik (seperti ether dan chlorofrom), panas, dan berbagai bahan disinfektan (OTSUKI et al., 1979). Virus IB umumnya dapat diinaktif dengan menempatkannya pada suhu 56° C selama 15 menit dan 45° C selama 90 menit. Virus lebih lama bertahan pada pH 11 daripada pH 3 (ALEXANDER dan COLLINS, 1975).

Ayam yang terinfeksi virus dalam organ dapat terpelihara dengan baik dalam 50% gliserin NaCl physiologis. Sifat yang demikian memungkinkan pengiriman sampel ke laboratorium tanpa pendingin (HOFSTAD, 1984). Isolat virus IB dapat bertahan selama beberapa tahun bila disimpan pada suhu -30° C (HOFSTAD, 1984).

Faktor-faktor yang mendukung kejadian kasus IB di peternakan selama ini meskipun pencegahan dengan vaksinasi sudah dilakukan, namun kasus tetap muncul dikarenakan beberapa hal berikut:... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2024.

Ditulis oleh:
Drh Damar
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
Jl. DR Saharjo No. 266, JAKARTA
Telp: 021-8300300

MENGENDALIKAN IB SEMAKSIMAL MUNGKIN

Vaksinasi menjadi salah satu langkah pencegahan yang ditempuh dalam mengendalikan peredaran IB. (Sumber: Poultry World Visit)

Penyakit infectious bronchitis (IB) adalah penyakit yang sudah populer di kalangan peternak ayam layer, namun tidak demikian di kalangan peternak ayam broiler. Kematian yang relatif rendah membuat peternak ayam broiler memandang sebelah mata penyakit ini. Lalu, seberapa besar penyakit ini menyebabkan kerugian pada ayam broiler?

Jangan Remehkan IB di Peternakan Broiler
IB akan menyebabkan ayam mengalami gangguan pernapasan, reproduksi, bahkan gangguan pada ginjal. Hal tersebut akan menghambat pertumbuhan ayam broiler, sehingga pertumbuhan tidak optimal seperti yang diharapkan. ADG yang rendah dan FCR yang tinggi adalah bukti nyata kerugian dari IB. Bahkan, pada ayam yang terserang IB dan kombinasi dengan penyakit lainnya seperti kolibasilosis akan dapat menyebabkan peningkatan kematian. Hal tersebut disampaikan oleh Veterinary Service Coordinator PT Ceva Animal Health Indonesia, Drh Ignatia Tiksa Nurindra.

Meskipun sangat dikenal dan banyak terjadi kasusnya pada layer, pada dasarnya virus IB dapat menginfeksi ayam broiler juga. Hanya saja menurut Tiska, sebelumnya kesadaran peternak terhadap penyakit IB di broiler masih cukup rendah sehingga belum banyak yang mendiagnosis penyakit IB.

“Semakin lama juga semakin banyak kandang yang berdekatan, antara kandang layer dan broiler. Hal tersebut juga berkontribusi dalam mempermudah penularan berbagai penyakit pada ayam layer dan broiler, tidak hanya IB, tetapi penyakit lain juga,” tuturnya.

Ia melanjutkan, sebenarnya sudah cukup lama Ceva dapat mendiagnosis penyakit IB pada ayam broiler. Apabila membuka data laporan penyakit yang dikumpulkan oleh tim Ceva dari 2018 sampai saat ini, tren penyakit IB pada broiler cenderung naik setiap tahunnya. Dari gambaran serologis IB 2020-2023 juga menunjukkan selalu ada tantangan IB di setiap tahunnya.

Misalnya ketika mereka melakukan survei penyakit IB pada peternakan broiler di Indonesia dilakukan pada periode Agustus-Desember 2020 untuk mengetahui adanya virus penyebab IB di beberapa daerah di Indonesia, yaitu di Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sampel diambil dari ayam broiler pada usia panen (lebih dari 28 hari) yang divaksin dengan vaksin IB live massachusetts pada saat DOC dengan aplikasi spray.

Data serologi dikumpulkan dari 110 flock ayam yang berasal dari area... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2024.

Ditulis oleh:
Drh Cholillurahman
Redaksi Majalah Infovet

AWAS, SERANGAN INFECTIOUS BRONCHITIS BISA BIKIN MERINGIS

Gejala klinis umum IB, tidak spesifik. (Sumber: Ceva, 2021)

Pada 2019 lalu seluruh dunia dihebohkan dengan wabah COVID-19. Ternyata virus corona bukan barang baru di sektor perunggasan, virus tersebut juga menyebabkan damage yang sama besar bagi ternak unggas.

Dokter hewan yang berkecimpung di bidang perunggasan tentu tidak asing dengan penyakit infectious bronchitis (IB). Penyakit IB alias chicken bronchitis, atau gasping disease adalah penyakit yang sangat menular yang bersifat akut dan disebabkan oleh Avian Gammacoronavirus yang tidak hanya menyerang saluran pernapasan tapi juga saluran urogenital.

Lebih Dekat Dengan Virus IB
Dalam sejarahnya virus ini pertama kali dilaporkan pada 1977. Hingga kini ada beberapa serotipe yang telah berhasil diidentifikasi di lapangan di antaranya massachusetts/klasik, connecticut, dan sejumlah varian lainnya seperti 793B, QX, D274, dan arkansas. Selain itu, virus ini juga dikenal sangat gampang bermutasi sehingga banyak menghasilkan genotipe dan serotipe yang sangat beragam.

Head of Strategic Business Unit Animal Health and Live Equipment JAPFA, Dr Teguh Prajitno, mengatakan hingga kini telah diketahui sebanyak tujuh genotipe dan sekitar 100 serotipe dari virus IB. Perubahan genetik virus IB ini, lanjut dia, dapat terjadi melalui tiga faktor penyebab, yakni mutasi titik, insersi, delesi, maupun rekombinasi.

“Ketiga penyebab itu menjadikan terjadinya genetic drift, sedangkan rekombinasi menyebabkan terjadinya genetic shift,” tutur Teguh.

Ia menambahkan, virus IB dapat menyebar secara horizontal melalui udara dan droplet yang dikeluarkan melalui batuk dan bersin, selain itu virus juga dapat dieksresi melalui feses. Masa inkubasinya juga tergolong singkat hanya 18-36 jam. Sehari setelah infeksi, keberadaan virus dapat dideteksi pada trakea, ginjal, dan oviduk. Bahkan ia menyebut sampai hari ke-13, virus akan ditemukan di paru-paru, trakea, ovarium, dan oviduk.

Selain itu, penularan virus dari satu peternakan ke peternakan lain dapat terjadi karena kontaminasi silang dari mobilitas kendaraan dan manusia, juga air minum, pakan, litter, dan peralatan yang terkontaminasi dapat menjadi sumber penularan.

Meskipun begitu, kata Teguh, penularan secara vertikal belum terbukti, akan tetapi kerabang telur yang terkontaminasi virus dapat menjadi sumber penularan di hatchery. Utamanya virus IB langganan menyerang ayam broiler, layer, maupun breeder, selain itu spesies unggas lainnya seperti burung puyuh juga dapat terinfeksi IB.

Dalam suatu seminar yang diadakan di Jakarta beberapa waktu lalu, Poultry Health & Research Consultant dari Departemen Mikrobiologi FKH UGM, Prof Michael Haryadi Wibowo, memaparkan lebih dalam mengenai sifat virus IB.

Ia memaparkan bahwa tingkat kesakitan (morbiditas) akibat IB mencapai 100%. Yang artinya dalam sebuah flock atau satu peternakan dapat terinfeksi seluruhnya. Ia juga menjelaskan tropisme dari si virus yang sangat menyukai saluran pernapasan bagian atas dan saluran urogenital. Impaknya selain gangguan pernapasan adalah penurunan produksi telur yang dapat mencapai 70% bahkan terkadang lebih.

Secara umum kata Michael, terdapat tiga tipe serangan yang dimiliki IB, yakni... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April.

Ditulis oleh:
Drh Cholillurahman
Redaksi Majalah Infovet

INFECTIOUS BRONCHITIS, PENYAKIT UNGGAS YANG MASIH MENJADI ANCAMAN DI PETERNAKAN

Berbagai gejala penyakit IB. (Foto: Istimewa)

Infectious bronchitis (IB) termasuk penyakit pernapasan akut yang sangat menular pada ayam dan disebabkan oleh virus Coronavirus dari famili Coronaviridae. Ada berbagai hal yang menjadi poin penting yang membuat peternak harus waspada terhadap penyakit ini, di antaranya:

1. Penyebaran cukup cepat
Penularan dapat terjadi melalui droplet pernapasan (saat ayam batuk atau bersin) dan shedding virus melalui feses (dapat terjadi selama beberapa minggu). Sementara itu penularan tidak langsung dapat melalui peralatan, makanan, atau minuman yang tercemar. Masa inkubasi penyakit ini sekitar 18-36 jam dan telur yang terkontaminasi feses yang mengandung virus IB dapat menjadi sumber penularan.

2. Gejala klinis yang mengganggu produksi
Gejala yang umum ditemukan pada kasus IB di ayam muda adalah gejala pernapasan (batuk, bersin, ngorok, dan adanya sekresi hidung). Pada ayam layer dewasa, penurunan kuantitas dan kualitas telur lebih menonjol. Penurunan produksi dapat mencapai 5-10% (persentase dapat meningkat jika muncul bersama dengan penyakit lain), sementara kualitas telur turun akibat kalsifikasi telur yang tidak merata dan albumin encer. Selain itu, gejala IB yang saat ini sering ditemukan adalah distensi abdomen akibat sistik oviduk yang berisi cairan sehingga ayam memiliki postur mirip penguin.

3. Potensi mutasi yang tinggi
Infectious bronchitis merupakan jenis virus ss-RNA yang tidak memiliki mekanisme proof reading, sehingga berpotensi tinggi mengalami mutasi. Hal ini tentunya akan memengaruhi dalam pemilihan vaksin yang sesuai kondisi lapangan. Perbedaan antar serotipe virus IB bahkan dapat mencapai 20-25% dan memengaruhi kemampuan cross proteksi dalam menginduksi kekebalan yang protektif. Pemetaan kecocokan virus IB dapat berdasarkan sifat protektotipenya atau tipe kemampuannya dalam menginduksi imunitas yang protektif. 

4. Kerugian ekonomi
Kerugian ekonomi akibat virus IB utamanya adalah dari adanya penurunan... Selengkapnya baca di Majalah infovet edisi April 2024.

MENGATUR PRODUKSI TELUR TETAP SUBUR

Ternak ayam petelur. (Foto: Dok. Infovet)

Pemerintah menargetkan penurunan angka kasus stunting pada 2024 menjadi 14%, sebuah angka yang sangat optimis untuk bisa tercapai. Langkah-langkah untuk menurunkannya sudah disiapkan dengan memberikan makanan tambahan berupa protein hewani pada anak usia 6-24 bulan. Jenis protein hewani yang sangat murah berasal dari unggas, salah satunya adalah telur, dimana mengonsumsi sebutir telur dalam sehari pada anak umur 6-24 bulan mampu menurunkan resiko stunting.

Program penurunan stunting akan sukses apabila kerja sama pemerintah dalam hal ini BKKBN dengan organisasi-organisasi yang berkecimpung di bidang perunggasan sering mengadakan acara sosialisasi program konsumsi telur minimal satu butir per hari. Sehingga kebutuhan secara nasional telur yang saat ini 5,9 juta ton per tahun akan semakin meningkat dan harga telur akan terjaga di atas BEP.

Melihat semangat pemerintah dalam mengatasi permasalahan stunting dengan sosialisasinya, maka peternak ayam pertelur bersemangat pula dalam mengatur agar produksi telurnya tetap subur. Subur di sini dalam artian tetap optimal sesuai standar guiden masing-masing strain yang saat ini dikisaran 470 butir jumlah produksi telur dari umur 18-100 minggu.

Di sini para peternak pasti sudah membuat strategi-strategi untuk menjaga dan meningkatkan produksi telur tetap subur, ditunjang dengan perkembangan genetik yang semakin baik. Penulis mencoba menyampaikan pengalaman di lapangan akan strategi-strategi yang dijalankan peternak dalam menjaga produksinya.

Strategi pertama dan utama bagi peternak adalah keseimbangan nutrisi yang tepat. Di tengah gejolak harga bahan baku pakan yang sulit di dapat dan harga yang mahal, maka perlu strategi dalam memformulasikan pakan agar efisien tetapi ada keseimbangan nutrisi yang dibutuhkan.

Keseimbangan nutrisi sangat penting apalagi menghadapi tantangan potensi genetik yang semakin berkembang, dimana potensi genetik saat ini menggambarkan tingkat konsumsi semakin sedikit, berat organ cerna semakin turun, tetapi kapasitas produksi telur semakin meningkat. Intervensi nutrisi atau strategi nutrisi harus dilakukan menyesuaikan parameter kebutuhan sesuai standar masing-masing strain.

Keseimbang nutrisi di awali pada fase starter pada umur 0-8 minggu karena nutrisi pada fase ini sangat berperan dalam perkembangan sistem pencernaan, sistem kekebalan, dan sistem perototan. Sistem pencernaan pada awal ayam menetas merupakan transisi enterosit dari yolk sac ke pakan dan perkembangannya lebih cepat dari organ lain karena konsumsi pakan memacu perkembangan struktur dan beratnya. Pakan yang dikonsumsi juga sebagai “antigen” awal mengaktifkan kekebalan dan memacu respon terhadap patogen, serta untuk replikasi dan diferensiasi sel kekebalan, maka dibutuhkan keseimbangan nutrisi di awal pemeliharaan.

Target keseimbangan nutrisi di awal pemeliharaan ayam adalah memaksimalkan pertumbuhan, standar bobot badan tercapai, keseragaman (CV <5%), dan mortalitas minimal sebagai rangka dasar untuk membentuk ayam mencapai produksi telur optimal nantinya saat fase produksi.

Potensi permasalahan pada fase awal pemeliharaan antara lain... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2024.

Ditulis oleh:
Drh Damar Kristijanto
Business Manager Feed Additive
PT Romindo Primavetcom
agus.damar@romindo.net
Jl. Dr Sahardjo, No. 264 Jakarta
HP: 081286449471

MEMPERSIAPKAN AYAM PETELUR TETAP PRIMA

Vaksinasi untuk mencegah penyakit. (Foto: Dok. Infovet)

Persiapan menjelang produksi dalam pemeliharaan ayam petelur harus dipersiapkan dengan tepat sehingga produksi telur yang dihasilkan akan optimal. Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum masuk masa produksi tersebut.

Selain genetik, nutrisi, dan faktor manajemen, lingkungan juga turut andil dalam memengaruhi performa dan produksi ternak. Performa dan produksi ternak, serta keuntungan finansial adalah aspek yang menjadi parameter kesuksesan dalam beternak. Untuk mencapai parameter keberhasilan tersebut, maka produksi telur yang dilihat dari kuantitas dan kualitasnya harus mampu dicapai dengan maksimal.

Penyakit Bikin Tambah Rumit
Selain faktor non-infeksius seperti yang disebutkan dalam artikel sebelumnya, faktor infeksius serta lingkungan juga akan sangat krusial untuk diperhatikan dalam manajemen pemeliharaan.

Penyakit-penyakit infeksius tentu menjadi tantangan bagi peternak dalam membudidayakan ayam petelur, terlebih karena masa pemeliharannya yang panjang. Otomatis rintangan ini harus dapat dihadapi dengan kesiapsiagaan.

Menyoal penyakti infeksius pada ayam petelur, fokus utamanya adalah penyakit yang mampu merusak atau menganggu kinerja sistem reproduksi. Infeksi agen infeksius tersebut menyebabkan penurunan produksi dan kualitas telur.

Beberapa penyakit penyebab penurunan tersebut yakni newcastle disease (ND), avian influenza (AI), infectious bronchitis (IB), dan egg drop syndrome (EDS). Veterinary Service Manager Ceva Animal Health Indonesia, Drh Fauzi Iskandar, menuturkan bahwa penurunan produksi telur akibat serangan virus IB bisa mencapai 70%. Hal tersebut berdasarkan data yang timnya kumpulkan selama beberapa tahun di seluruh Indonesia.

Selain IB, penyakit seperti EDS dapat menurunkan produksi telur sekitar 20-40% dan AI bisa mencapai 80%, sedangkan pada kasus ND produksi telur mengalami penurunan bervariasi mulai dari 7-60% (Medion, 2021).

Untuk serangan AI masih didominasi low pathogenic avian influenza (LPAI) yakni subtipe H9N2 yang cenderung menyerang sistem reproduksi dan pada serangan tunggal, hal tersebut disampaikan oleh Technical Education & Consultation Manager PT Medion, Drh Christina Lilis selaku.

“AI H9N2 ini tidak menimbulkan angka kematian yang tinggi. Pada perkembangannya, virus AI memiliki dua mekanisme dalam mengganggu organ reproduksi ayam, yaitu pembendungan pembuluh darah di ovarium dan rusaknya permukaan ovarium pada saat budding exit atau keluarnya virus dari sel. Kedua mekanisme ini akan mengakibatkan penurunan bahkan menghentikan produksi telur,” tutur Lilis.

Ia melanjutkan, infeksi AI juga memengaruhi kualitas telur. Serangannya menyebabkan telur kehilangan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2024. (CR)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PRODUKSI TELUR

Keseragaman bobot pullet harus terjaga sampai fase puncak produksi. (Foto: Dok. Infovet)

Budi daya ayam petelur di Indonesia masih menjanjikan. Karena telur dinilai sebagai salah satu sumber protein hewani yang harganya terjangkau bagi masyarakat. Meskipun begitu, peternak kian dihadapkan tantangan dalam beternak ayam petelur, bagaimana agar tetap profit dan efisien?

Kenyataannya di lapangan masih banyak peternak ayam petelur yang mengeluhkan sulitnya mencapai standar performa ayam sesuai dengan guideline tiap strain-nya. Berbagai permasalahan yang biasa dikemukakan seperti produksi tidak mencapai puncak, produksi kurang persisten (cepat turun), kualitas dan berat telur di bawah standar sehingga mengakibatkan konversi ransum membengkak yang pada akhirnya mengganggu laju pendapatan.

Infovet mencoba menjabarkan beberapa hal yang menjadi kunci keberhasilan dalam beternak ayam petelur. Setidaknya ada beberapa faktor seperti genetik, nutrisi, manajemen pemeliharaan, serta lingkungan.

Memanfaatkan Potensi Genetik Secara Maksimal
Ayam petelur modern merupakan ayam dengan genetik yang terseleksi dengan berbagai teknik pemuliaan. Dimana tiap ras saling mengklaim memiliki potensi yang mampu menghasilkan telur dalam jumlah banyak (hen day tinggi) dengan intensitas waktu yang lama (persistensi produksi telur baik), serta memiliki tingkat konversi pakan yang baik. Hal tersebut disampaikan oleh Director PT ISA Indonesia, Henry Hendrix.

“Kini layer modern bisa berproduksi dengan baik hingga mencapai umur 100 minggu, dimana yang sebelumnya siklus produksi hanya sekitar 80 minggu,” tutur dia dalam sebuah seminar di BSD.

Meskipun telah didesain sedemikian rupa, ayam petelur modern memiliki beberapa sisi kekurangan. Salah satunya yaitu relatif sulit mencapai berat badan standar terutama ketika fase starter dan memasuki awal produksi hingga puncak.

Selain itu, ketertinggalan berat badan tersebut sulit dikompensasi saat fase pemeliharaan berikutnya. Ayam petelur modern saat ini juga lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan dan ransum.

Hal ini disampaikan oleh Senior Specialist Poultry De Heus Indonesia, Jan Van De Brink, dalam suatu webinar. Menurutnya saat ini di lapangan yang sering terjadi adalah over maupun under weight pada pullet yang hendak memasuki fase produksi.

“Keseimbangan dan keseragaman bobot badan menjelang fase produksi ini sangatlah penting. Ini yang kerap banyak gagal terjadi di peternak, kalau tidak kelebihan, ya bobotnya kurang, dan ketika masuk fase produksi jadi kurang optimal,” kata Jan.

Ketika ayam sudah memiliki potensi unggul tetapi tidak didukung lingkungan yang memadai, maka hasilnya tidak akan maksimal. Manajemen yang baik tentu akan menghasilkan produksi telur yang baik atau meningkat. Begitupun sebaliknya, manajemen buruk maka hasilnya tidak akan bagus.

Lebih lanjut Jan mengatakan, pertumbuhan dan fase rearing pada ayam petelur seharusnya tidak selesai di umur 16 minggu, melainkan sampai umur 30 minggu. “Kita harus mempersiapkannya karena ini sangat krusial, kita ingin produk optimal pada saat ayam memulai bertelur hingga fase puncak,” tambahnya.

Sebab apabila ayam sudah mencapai umur 18 minggu, yang bisa diperbaiki… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2024. (CR)

AYAM SEHAT PRODUKSI TIDAK GOYANG

Ayam memerlukan kandungan nutrisi seimbang yang menjadi salah satu faktor untuk mempertahankan produksi stabil dan tidak goyang. (Foto: Dok. Infovet)

Ayam sehat merupakan salah satu kunci keberhasilan peternak dalam menjaga produksi tetap stabil dan tidak goyang.

Menjaga ayam tetap sehat seperti halnya menjaga bayi yang sedang tumbuh membutuhkan tenaga dan energi yang ekstra. Untuk mencapai keberhasilan sesuai target yang diinginkan, yaitu ayam selalu dalam kondisi sehat dan menghasilkan untung bagi peternak tentu butuh effort yang lebih besar.

Ayam yang dibudidayakan saat ini merupakan ayam yang berasal dari proses domestikasi dalam waktu yang lama hingga menghasilkan ayam ras dengan potensi produksi telur tinggi seperti sekarang.

Generasi ayam ras ini dikenal dengan istilah final stock atau commercial stock atau modern commercial strain. Meski banyak keuntungan yang didapatkan dari ayam yang memiliki produksi telur tinggi, namun di sisi lain ada konsekuensi yang harus dihadapi oleh peternak ayam modern ini. Di antaranya ayam modern lebih peka terhadap kondisi lingkungan seperti perubahan cuaca atau musim dan mudah mengalami stres. Hal ini tentunya dapat menyebabkan penurunan performa ataupun produktivitas.

Oleh sebab itu, beberapa faktor yang menjadi penyebab kesehatan ayam petelur yang terganggu akibat penurunan performa produktivitas dapat dipengaruhi oleh multifaktor yang sering kali terkait satu sama lain dan bersifat kompleks. Faktor-faktor tersebut dapat berpengaruh terhadap kuantitas, ukuran, dan kualitas telur.

Salah satu faktor yang dapat memengaruhi kesehatan ayam yaitu paparan penyakit infeksius yang kebanyakan disebabkan oleh virus, seperti egg drop syndrome (EDS), infectious bronchitis (IB), avian influenza (AI), dan newcastle disease (ND). Penyakit ini dapat menyebabkan drop produksi yang tajam.

Pada kasus penyakit infeksius di lapangan sering kali ditemukan kombinasi dari beberapa penyakit. Contohnya ditemukan kasus dengan gejala klinis dan patologi anatomi mengarah AI, namun setelah dilakukan uji laboratorium ditemukan positif AI dan ND. Hal ini dapat disebabkan karena masuknya penyakit ke dalam tubuh ayam, maka ayam dalam kondisi imun yang turun sehingga penyakit ikutan lainnya mudah untuk masuk.

Langkah yang efektif untuk menjaga kesehatan ayam agar mampu memberikan produktivitas optimal adalah dengan pencegahan menggunakan vaksin yang homolog sebagai berikut:... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2024.

Ditulis oleh:
Syamsidar
Marketing Support, PT Sanbio Laboratories

KIAT MENJAGA KESEHATAN UNGGAS

Perbaiki keseluruhan manajemen pemeliharaan untuk menangkal penyakit. (Foto: Istimewa)

• Faktor manajemen dalam peternakan yang tidak mendapat perbaikan dapat menjadi pemicu berulangnya penyakit dalam suatu populasi ayam di kandang.

• Pelaksanaan manajemen pemeliharaan yang baik dan tepat sangat diperlukan untuk mendukung program kesehatan dalam peternakan unggas.

• Kesehatan saluran pencernaan mempunyai peran penting sebagai pertahanan tubuh dan penopang produksi pada ayam.

Peribahasa “Kaset kusut lagu lama”, seakan sangat relevan dengan tantangan penyakit dalam budi daya ayam ras. Dimana tren kasus penyakit di lapangan hampir selalu sama dari waktu ke waktu. Ada kemungkinan ke depannya pun daftar laporan penyakit cenderung sama.

Hal tersebut diamini oleh Chief Operating Officer (COO) dan Co-Founder BroilerX, Pramudya Rizki Ruandhito, dalam sebuah seminar daring soal kasus dan proyeksi penyakit unggas, pada Desember lalu.

Dalam pemaparannya ia menjelaskan bahwa secara umum di tahun 2023 penyakit pada ayam ras broiler maupun layer relatif sama dengan pola penyakit yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Fenomena tersebut terjadi akibat cara pemeliharaan yang masih memerlukan perbaikan. Ke depan, jika perbaikan tidak dilakukan, bukan hanya kasus penyakit yang terus berulang, namun tingkat keparahannya maupun jenis penyakit bisa bertambah di masa mendatang.

“Faktor manajemen dalam peternakan itu sendiri yang dapat menjadi pemicu berulangnya penyakit dalam suatu kandang. Bagaimana peternak menjaga kebersihan dan sirkulasi udara di dalam kandang. Kemudian ketersediaan serta kualitas air dan pakan juga harus menjadi perhatian. Belum lagi terkait manajemen perkandangan, biosekuriti, serta vaksinasi juga menjadi hal yang krusial,” kata Rizki.

Terkait sistem perkandangan, ia melihat bahwa jumlah kasus penyakit di lapangan lebih banyak terjadi pada sistem open house. Walaupun tidak menjadi jaminan bahwa sistem closed house akan selalu membuat ayam sehat. Seperti halnya heat stress, ND, koksidiosis, coryza, chronic respiratory diseases (CRD), serta berbagai kasus penyakit yang dipicu oleh perubahan lingkungan yang terjadi secara drastis.

“Seperti pada 2023, dimana fenomena El-Nino membuat suhu lingkungan lebih panas sehingga banyak ditemukan kasus heat stress di lapangan, terutama pada kandang open house. Secara umum, heat stress akan menimbulkan wet drop, karena ketika suhu panas terjadi, ayam akan terpacu untuk minum lebih banyak. Nah, untuk penyakit selanjutnya yang mungkin muncul tergantung pada challenge yang ada di kandang masing-masing,” jelasnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, lanjut dia, yang jelas harus mengatasi sumber panas dengan menyediakan lingkungan kandang yang ideal, serta manajemen perkandangan dan uniformity yang tepat. Dalam pemeliharaan sistem closed house akan lebih mudah diatur. Namun tantangan lebih besar ketika panas adalah pada pemeliharaan sistem open house, sehingga penanganannya harus lebih ekstra. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah pemberian suplemen untuk menekan tingkat stres pada ayam, seperti vitamin C dan elektrolit.

Dalam konteks menjaga kesehatan ayam ras, pada kesempatan yang sama Guru Besar Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis (SKHB) IPB, Prof Dr I Wayan T. Wibawan, menjelaskan bahwa kesehatan saluran pencernaan mempunyai peran penting sebagai pertahanan tubuh dan penopang produksi pada ayam. Menurutnya, saluran pencernaan merupakan tempat terjadinya proses pencernaan pakan dan penyerapan nutrien, barier pertama terhadap infeksi, serta di sepanjang usus halus ada mekanisme kekebalan yang sangat penting dalam penolakan infeksi seperti sel Goblet, daun Peyer, dan peristaltik.

“Untuk menjaga kesehatan saluran cerna, mikroba dalam usus harus seimbang, yakni mikroorganisme baik (85%) dan mikroorganisme berpotensi patogen (15%). Untuk itu, pemberian pakan yang berkualitas sesuai kebutuhan ayam menjadi fondasi kesehatan dan performa produksi. Dalam hal ini, pakan mempunyai pengaruh besar terhadap kebugaran dan kesehatan ayam, sehingga penting untuk memperhatikan kualitas pakan di setiap level peternakan. Hal ini juga harus ditunjang dengan manajemen kesehatan yang baik, termasuk di dalamnya vaksinasi dan biosekuriti yang tepat” tukasnya.

Penyakit Cenderung Berulang, Perbaiki Manajemen Pemeliharaan 
Salah satu aspek krusial dalam pemeliharaan ayam ras adalah bagaimana peternak mempersiapkan manajemen kesehatan ayamnya. Secara umum status kesehatan ayam dipengaruhi beberapa hal, seperti kondisi umum ayam, lingkungan, hingga tantangan penyakit.

“Secara umum di tahun kemarin penyakit pada unggas relatif sama dengan pola penyakit yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Pada broiler kasus CRD, kolibasilosis, dan coryza masih menjadi penyakit bakterial yang banyak dijumpai di lapangan. Sedangkan untuk penyakit viralnya masih didominasi infectious bursal disease (IBD)/gumboro dan newcastle disease (ND), serta koksidiosis akibat pengaruh lingkungan yang memanas (El-Nino) sehingga menyebabkan heat stress. Hal ini tentu membutuhkan treatment ekstra agar tidak menjadi faktor pemicu kasus-kasus penyakit lainnya,” kata Rizki.

Sementara pada peternakan layer, kasus yang sama seperti CRD, kolibasilosis, dan coryza juga kerap dijumpai, selain penyakit viral di antaranya avian influenza (AI) dan infectious laryngo tracheitis (ILT). Adapun penyakit lainnya yang tidak bisa dianggap enteng adalah parasit seperti koksidiosis, ektoparasit, dan cacing.

“Beberapa penyakit ini sering terjadi di kandang internal kami. Walaupun biasanya berbagai obat dan penanganan juga telah diberikan, namun penyakit ini masih menjadi momok bagi para peternak, sehingga perlu adanya evaluasi dan perbaikan dari keseluruhan manajemen pemeliharaan. Selain itu, lakukan juga tindakan preventif seperti vaksinasi, sanitasi, biosekuriti, hingga istirahat kandang yang cukup,” ucap dia.

Program istirahat kandang masih sering diabaikan peternak dengan alasan efisiensi produksi. Biasanya mereka mengejar delapan kali siklus produksi dalam satu tahun, sehingga istirahat kandang sering ditinggalkan. Padahal, istirahat kandang menjadi program yang sangat berguna untuk memutus mata rantai kasus penyakit dalam kandang.

“Secara periodik, monitoring kesehatan dengan uji laboratorium juga diperlukan. Oleh karena itu perlu adanya edukasi ke peternak mengenai penyakit unggas beserta pencegahan dan penanganannya. Karena bagaimanapun, indikator kualitas SDM turut berpengaruh terhadap keberhasilan program kesehatan dalam kandang,” tegasnya.

“Terakhir, untuk menunjang program kesehatan perlu menggunakan teknologi tepat guna untuk mampu mendeteksi penyakit. Saat ini kami di BroilerX sedang mengembangkan teknologi yang bisa mendeteksi penyakit lebih dini, sehingga bisa dicegah dan tidak semakin parah.” (INF)

BASMI KEBERADAAN LALAT DI PETERNAKAN

Banyak lalat hinggap di tempat pakan ternak. (Foto: Istimewa)

Hewan dari filum arthropoda ini memang sudah seperti menjadi bagian sehari-hari dalam hidup. Hampir di tiap tempat pasti bakal mudah menemukan keberadaan lalat. Serangga yang bisa terbang ini dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif.

Begitu pula dalam dunia peternakan, lalat merupakan musuh yang juga harus dibasmi. Ledakan populasi lalat di suatu peternakan dapat menambah daftar panjang masalah yang harus diselesaikan.

Berbagai Jenis, Beragam Ancaman
Menurut Prof Rosichon Ubaidillah, seorang ahli serangga LIPI, ada sekitar 240.000 spesies diptera (serangga dua sayap) dan secara umum dikenal sebagai lalat/fly termasuk simulium. Berdasarkan penemuannya, lalat sudah hidup sekitar 225 juta tahun yang lalu.

“Keberadaan lalat ini sudah lama ada, coba bayangkan sejak zaman dinosaurus mereka sudah ada, dan yang jelas beberapa jenis lalat secara langsung dan tidak langsung juga memengaruhi kehidupan kita secara ekologi, medis, bahkan sampai ekonomis,” kata Rosichon.

Ia menjelaskan, beberapa spesies lalat bersifat parasit dan merugikan manusia termasuk di dunia peternakan. Oleh karena itu, perlu diwaspadai keberadaan lalat di suatu peternakan apapun. Hal ini dikarenakan tiap spesies alat memiliki inang yang berbeda-beda.

Hal tersebut juga diamini oleh staf pengajar parasitologi FKH IPB, Prof Upik Kesumawati. Di dunia peternakan, baik hewan besar maupun kecil keberadaan lalat adalah masalah yang harus dikendalikan. Ia memberi contoh pada hewan besar misalnya lalat spesies Tabanus, Stomoxys, Haematopota, dan Chrysops.

“Mereka itu lalat yang biasa ditemukan pada hewan besar, mereka mengisap darah dan memberikan dampak medis yang besar bagi penyebaran penyakit (vektor) surra. Makanya harus dibasmi dan dikendalikan, tidak boleh dibiarkan, kalau dibiarkan akan jadi kerugian ekonomi yang tidak sedikit,” kata Upik.

Hingga saat ini menurut Upik, Indonesia masih struggle dalam mengendalikan penyakit surra pada sapi yang diperantarai oleh vektor lalat dari keluarga Tabanidae. Ia memberi contoh misalnya kerugian akibat penyakit surra di benua Asia mencapai $ 1,3 miliar pada 1998, hal ini belum termasuk biaya pengendalian vektornya.

Di peternakan unggas Jenis lalat yang sering dijumpai antara lain lalat rumah (Musca domestica), lalat buah (Lucilia sp.), lalat sampah (Ophyra aenescens), lalat tentara (soldier flies), dan lalat hitam (Simulium sp.). Lalat tersebut sering ditemukan di sekitar tempat pakan, litter, area sekitar feses, kolong kandang, selokan air, maupun bangkai ayam. Banyaknya populasi lalat tersebut tentu akan memberikan dampak buruk bagi lingkungan kandang dan masyarakat sekitar.

Memiliki Arti Penting
Mengapa lalat menjadi penting? Karena serangga bersayap dua ini dapat menjadi vektor penyakit. Seperti yang sudah sebutkan, penyakit surra pada ruminansia dan hewan besar ditularkan juga melalui lalat. Lalat dapat berperan sebagai vektor mekanis maupun vektor biologis. Sebagai vektor mekanis, lalat hanya membawa bibit penyakit tersebut dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan sebagai vektor biologis, bibit penyakit masuk ke tubuh lalat ketika lalat menggigit atau hinggap di ayam. Bibit penyakit kemudian berkembang di tubuh lalat dan menular ke ayam lain.

Menurut Drh Christina Lilis dari PT Medion, lalat dapat berperan sebagai vektor penyakit AI, ND, gumboro, histomoniasis, leucocytozoonosis, dan necrotic enteritis (NE). Larva dan lalat dewasa juga menjadi inang perantara bagi infeksi cacing pita (Raillietina tetragona dan R. cesticillus) pada ayam. Larva dan lalat dewasa sering kali termakan oleh ayam sehingga ayam dapat terinfestasi cacing pita.

Selain itu, lalat juga berperan sebagai vektor mekanik bagi cacing gilik (Ascaridia galli) maupun bakteri. Tak jarang lalat ditemukan sedang hinggap di ransum ayam. Tak heran jika kasus penyakit ayam rata-rata meningkat 10% dibandingkan musim kemarau, salah satunya karena peran lingkungan yang lembap sehingga bibit penyakit meningkat dan peran lalat sebagai vektor penyakit.

“Kalau sudah begini dan sudah tahu bahwa penyakit-penyakit bisa diperantarai oleh lalat, apa iya kita masih mau diam? Kan ini juga mengancam peternakan kita dan memang butuh dikendalikan,” tutur Lilis.

Beragam literarur juga menyebutkan bahwa keberadaan lalat dapat menjadi pemicu stres di kandang. Hal ini akan berakibat pada turunnya nafsu makan dan asupan nutrisi berkurang. Sehingga pakan banyak tersisa dan FCR (feed convertion ratio) meningkat. Kondisi tersebut akan berpengaruh pada pertambahan bobot badan harian ayam yang terhambat.

Upaya Mengendalikan
Dalam mengendalikan populasi lalat perlu dipahami siklus hidupnya terlebih dahulu agar mempermudah dalam mengendalikannya. Dalam waktu 3-4 hari seekor lalat betina mampu menghasilkan rata-rata 500 butir telur.

Yang dapat dilakukan pertama kali adalah mengontrol manajemen pemeliharaan, sebab lalat sangat suka hinggap terutama di feses, maka feses dan sisa pakan harus dibersihkan setidaknya seminggu sekali. Usahakan agar pemberian pakan dan air minum rapi tidak tumpah dan menjadi tempat hinggap lalat.

Selain itu, lakukan pengontrolan kandang secara berkala, apabila terdapat ayam yang mati segera kumpulkan dan buang, atau langsung dibakar. Hal ini agar bangkai ayam tidak dihinggapi lalat karena bangkai juga menjadi salah satu spot favorit bagi para lalat.

Pengendalian lalat juga bisa dilakukan dengan peasangan light trap di kandang, yang merupakan perangkap mekanik untuk memancing lalat agar mendekat. Serangga sangat suka dengan cahaya terang, dengan adanya light trap lalat akan terperangkap dan terbunuh karena aliran listriknya.

Insektisida juga sering menjadi pilihan peternak dalam mengatasi lalat. Yang perlu dipahami, penggunaan insektisida bukan menjadi core dan pilihan utama dari pengendalian lalat, tetapi merupakan senjata pamungkas. Oleh karenanya, peternak tidak bisa menggantungkan pembasmian lalat hanya dari pemberian obat lalat saja, namun teknik pemberian obat lalat juga harus dilakukan dengan tepat. Banyak pilihan insektisida yang bisa digunakan dalam membunuh lalat dari berbagai fase, hal tersebut bisa dikonsultasikan dengan dokter hewan.

Pengendalian lalat penting dilakukan meskipun lalat bukan penyebab penyakit, namun lalat dalam jumlah berlebihan akan menjadi penyebar dan pemicu penyakit. Selain itu akan memicu masalah antara peternak dengan lingkungan sekitar. Peternakan ayam dituding sebagai biang munculnya banyak lalat. Lalat dewasa yang berterbangan di dalam kandang lebih sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan telur, larva, dan pupa yang sesungguhnya jauh lebih banyak. Oleh karena itu, pengendalian lalat sejak dini, yaitu saat stadium larva menjadi sebuah langkah yang bagus dalam membasmi keberadaan lalat. ***

Ditulis oleh:
Drh Cholillurahman
Redaksi Majalah Infovet

AGAR CACINGAN TIDAK MEMBUDAYA

Diare pada ayam bisa jadi gejala awal cacingan. (Foto: Istimewa)

Tidak mudah memang mengendalikan penyakit parasitik seperti cacingan. Hingga kini masalah tersebut masih menghantui peternak di Indonesia. Bagaimanakah sebaiknya mengupayakan hal ini?

Sebagaimana disebutkan pada artikel sebelumnya mengenai ciri-ciri ayam yang mengalami cacingan dan jenis-jenis cacing yang menginfeksi, sebagai peternak harus memahami faktor penyebab ayam terinfeksi cacing. Beberapa di antaranya:

• Kandang kurang bersih. Telur cacing dikeluarkan bersama feses ayam, jika kondisi litter di kandang ayam kotor dan dipenuhi feses, serta jarang dikontrol untuk diganti, jangan terkejut apabila ayam menunjukkan gejala klinis atau mengalami cacingan. Penyakit ini bisa menular secara mudah melalui feses di kandang. Apabila tidak segera dibersihkan dan litter kandang jarang dikontrol, telur cacing dapat dengan mudah menginfeksi semua ayam di kandang.

• Kualitas pakan. Saat mendapati gejala klinis pada ayam yang mengarah pada cacingan, bisa saja salah satu penyebabnya adalah karena pakan yang diberikan tidak berkualitas. Pastikan hanya memberikan makanan dalam kondisi bagus pada ayam. Minimal tidak memberikan pakan yang kadaluarsa atau pakan yang tidak jelas. Pada pakan ayam kadaluarsa biasanya mengandung parasit dan telur cacing. Saat dikonsumsi ayam, akan mendatangkan berbagai gangguan kesehatan, apalagi di tengah kesulitan bahan baku pakan seperti saat ini.

• Suhu dan lingkungan. Beberapa literatur menyebutkan bahwa cacing parasit menyukai kondisi lingkungan dan suhu tertentu. Oleh karena itu, penting bagi pemilik ternak untuk mengatur suhu udara dan memberikan lingkungan baik bagi ayam peliharaan.

• Keberadaan vektor. Beberapa jenis serangga seperti kumbang franky, lalat, nyamuk, dan lain sebagainya telah terbukti menjadi vektor alami dari penyebab cacingan. Ayam memiliki risiko tinggi terkena penyakit cacingan apabila populasi lalat meningkat atau disebut dengan musim lalat. Terlebih ketika musim hujan dengan curah hujan yang tinggi dan tingkat kelembapan kandang meningkat.
Larva lalat dewasa menjadi inang bagi parasit cacing pita yang menyebabkan penyakit cacingan pada ayam. Selain itu, larva lalat dewasa juga menjadi vektor mekanik bagi cacing gilig dengan membawa telur cacing tersebut berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Oleh karenanya, pengendalian vektor merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam upaya pengendalian cacing.

Lebih Baik Mencegah
Jika ayam terkena penyakit cacingan, maka harus segera ditangani dengan menggunakan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2024. (CR)

INFESTASI CACING YANG BIKIN MERINDING

Ascaridia galli. (Foto: Istimewa)

Orang awam mungkin mengetahui cacing sebagai salah satu mahluk penggembur tanah atau umpan memancing. Namun tidak semua cacing menguntungkan, ada beberapa jenis cacing yang justru merugikan bagi manusia dan hewan ternak.

Cacing yang akan dibahas dalam artikel ini merupakan cacing yang bersifat parasitik, terutama pada unggas. Cacingan merupakan penyakit akibat infeksi/infestasi cacing parasit di dalam tubuh makhluk hidup.

Cacing parasit banyak menginfeksi saluran pencernaan ternak, tak terkecuali unggas. Parasit ini sering menimbulkan banyak keluhan terutama dari peternak layer maupun breeding farm. Keluhan awal yang terjadi umumnya penurunan nafsu makan, diare berkepanjangan, keseragaman bobot badan yang tidak baik, bobot badan berada di bawah standar, penurunan produksi telur disertai daya tetas telur yang berkurang.

Selain itu, cacingan dapat menginduksi penyakit-penyakit pencernaan seperti necrotic enteritis (NE) dan yang paling berbahaya adalah menyebabkan penurunan daya tahan tubuh (imunosupresi) yang berujung pada kematian.

Mengidentifikasi Cacing Parasit
Menurut Dosen Mata Kuliah Endoparasit SKHB IPB University, Drh Risa Tiuria, dikatakan bahwa jenis cacing yang sering menginfeksi ayam terdiri dari dua jenis, yaitu jenis cacing gelang (nematoda) dan cacing pita (cestoda). Parasit cacing gelang sangat sering dijumpai pada breeding farm yang menggunakan sistem closed house dan pemeliharaan postal yang memakai litter. Hal ini dikarenakan kondisi pada litter sangat mendukung siklus perkembangan cacing dan tingginya kemungkinan ayam memakan telur cacing yang ada pada litter. Jenis cacing gelang yang kerap dijumpai menginfeksi ayam di lapangan adalah:

• Cacing Ascaris sp. Cacing ini paling sering dijumpai, berbentuk seperti spageti dengan panjang sekitar 5-12 cm dan dapat ditemukan di sepanjang usus halus. Cacing ini memiliki lama siklus hidup dari telur yang termakan hingga bertelur kembali berkisar 5-8 minggu. Larva dari cacing ini menyebabkan pendarahan pada usus halus, sehingga meningkatkan risiko infeksi sekunder dari bakteri Clostridium perfringens yang dapat menyebabkan NE.

• Cacing Capillaria sp. Cacing ini berbentuk seperti benang halus, biasanya cacing ini ada pada kerongkongan dan/atau tembolok. Cacing ini dapat menembus mukosa saluran pencernaan bagian atas sehingga menyebabkan peradangan pada tembolok dan dinding kerongkongan. Hal ini akan menyebabkan ayam mengalami kesulitan makan yang mengakibatkan penurunan nafsu makan.

• Cacing Heterakis gallinarum. Cacing Heterakis berbentuk seperti benang halus dan dapat ditemukan pada sekum. Cacing ini menyebabkan peradangan pada sekum yang ditandai dengan berkurangnya lipatan-lipatan mukosa pada sekum. Cacing ini juga merupakan vektor penyebaran dari penyakit histomoniasis atau black head disease.

Sedangkan jenis cacing pita yang umum ditemukan pada ayam adalah cacing pita dari jenis... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2024. (CR)

CACING SI MALING NUTRISI

Siklus hidup Ascaridia sp. Periode Prepaten sekitar 45 hari. (Bautista-Vanegas et al., 2023)

Cacing merupakan parasit atau organisme yang mendapatkan makanan dan menggantungkan hidupnya bersama atau berada dalam hospes atau induk semangnya. Parasit selalu mendapatkan keuntungan dari hubungan hidup dengan hospesnya. Parasit dikategorikan obligat apabila seluruh siklus hidupnya tergantung oleh hospesnya dan dikategorikan sebagai fakultatif apabila siklus hidupnya dapat bersama hospes atau hidup bebas.

Parasit yang hidup di dalam tubuh hospes biasa dikenal sebagai endoparasit, sementara parasit yang hidup di luar atau pada permukaan tubuh hospesnya dikenal sebagai ektoparasit. Yang menarik dari parasit adalah siklus hidup kompleksnya yang biasanya terdiri dari berbagai macam bentuk siklus hidup yang akan memberikan pengaruh berbeda terhadap lingkungan maupun hospesnya.

Perhatian peternak terhadap parasit cacing kerap kurang dibanding perhatiannya terhadap penyakit yang disebabkan virus maupun bakteri, meskipun sering kali faktor penyakit parasit merupakan faktor pendukung utama atas terjadinya kasus yang disebabkan virus maupun bakteri. Hal yang menyebabkan kurangnya perhatian peternak karena anggapan parasit merupakan penyakit yang mudah untuk ditanggulangi dan diobati, serta dengan manajemen yang ketat dan intensif akan mudah menghindari kasus penyakit parasit. Hal lain yang menyebabkan kurangnya perhatian peternak adalah penyakit ini jarang menimbulkan kematian tinggi, hanya terbatas pada penurunan tingkat pertumbuhan dan produksi telur.

Cacing, sebagai parasit sering kali ditemukan pada berbagai tipe skala peternakan ayam. Cacing pada ayam secara garis besar dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu cacing gilig (nematoda) dan cacing pita (cestoda). Cacing hidup pada saluran pencernaan ayam dan menular antar ayam melalui telur-telur yang dikeluarkan bersama feses.

Ada dua jenis siklus hidup cacing, siklus hidup langsung dan tidak langsung. Pada cacing dengan siklus hidup langsung hanya membutuhkan satu spesies hospes untuk memenuhi siklus hidupnya secara lengkap, meskipun pada beberapa stadium siklus hidup berada di luar tubuh hospesnya. Sedangkan pada cacing dengan siklus hidup tidak langsung, memerlukan dua spesies hospes yang berbeda untuk memenuhi seluruh siklus hidupnya secara lengkap, yaitu hospes tetap dan sementara. Cacing dengan siklus hidup tidak langsung berada pada stadium belum dewasa di hospes sementara dan memerlukan perpindahan pada hospes tetap agar siklus hidupnya berubah menjadi dewasa.

Periode grower ayam pada umumnya merupakan masa yang rawan infeksi cacing. Infeksi umumnya menimbulkan gejala klinis di antaranya:... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2024.

Ditulis oleh:
Drh Damar
PT Romindo Primavetcom
Jl. Dr Saharjo, No. 264 Jakarta
HP: 0812-8644-9471

PELAN NAMUN PASTI, CACING MERUGIKAN

Cacing gilig yang sering menyerang ayam. (Sumber: layinghens.hendrix-genetics.com)

Cacing adalah salah satu penyakit yang masih sering menyerang ayam petelur maupun pedaging. Tidak begitu mematikan, tetapi kerugian yang ditimbulkan tidaklah sedikit. Terlebih lagi, kondisi saat ini harga pakan naik signifikan.

Serangan cacing bisanya terjadi perlahan, bahkan kadang tidak teridentifikasi. Namun sejalan dengan berjalannya waktu, penurunan produksi telur maupun pertumbuhan bisa sangat signifikan. Saat serangan awal biasanya ayam tidak menunjukkan gejala yang signifikan. Konsumsi ransum juga dirasakan masih sama. Penurunan berat atau besar telur biasanya belum teridentifikasi, kecuali dilakukan pengamatan data recording dengan lebih jeli. Bahkan kadang kala kasus cacing ini tidak terpantau, meskipun produksi telur sudah turun secara signifikan karena konsentrasi peternak maupun tenaga kesehatan lebih besar pada kasus bakterial atau viral.

Cacing yang Sering Menyerang
Cacing yang sering menyerang ayam di antaranya adalah cacing gilig dan cacing pita. Ada sebuah analisis (meta-analysis) dari peneliti Anwar Shifaw et al. (2021), dipublikasikan oleh Poultry Science terkait jenis cacing yang sering menyerang ayam. Dari sebanyak 2.985 artikel yang dipublikasikan selama tahun 1948 sampai 2019, menunjukkan data jenis cacing yang menyerang ayam adalah Ascaridia galli (35,9%), Heterakis gallinarum (28,5%), Capillaria spp. (5,90%), dan Raillietina spp. (19%).

Lalu bagaimana data yang ada di Indonesia? Data identifikasi cacing yang sering menyerang ayam petelur di salah satu sentra peternakan ayam petelur, Udanawu Blitar, pernah dilakukan oleh peneliti dari Universitas Airlangga (Klalissa dkk, 2023). Hasilnya menunjukkan bahwa dari 96 sampel yang diambil, terdeteksi ada 81,25% sampel positif terserang cacing. Setelah diidentifikasi lebih lanjut, sebanyak... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2024.

Ditulis oleh:
Hindro Setyawan SPt
Technical Support-Research and Development,
PT Mensana Aneka Satwa

NE & KOKSIDIOSIS: DYNAMIC DUO PEMBAWA KERUGIAN

Perdarahan hebat pada usus, gejala klinis yang biasa diamati pada kasus NE. (Foto: Dok. Gold Coin)

Kombinasi dari dua jenis yang berbeda atau yang biasa disebut dengan istilah duet juga berlaku dalam penyakit unggas. Sangat familiar dengan penyakit CRD kompleks sebagai penyakit mematikan pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh infeksi Mycoplasma gallisepticum dan E. coli. Tak kalah mematikan yakni duet antara nekrotik enteritis (NE) dan koksidiosis. Kombinasi keduanya “sukses” membuat peternak ketar-ketir.

Awal Mula
Jika peternak ditanya apakah ayamnya sudah pernah kena koksidiosis atau NE? Pasti peternak sepakat menjawab “Jangan sampai kena,”. Koksidiosis dan NE, keduanya sama-sama “beroperasi” di saluran cerna, utamanya usus. Bedanya disebabkan oleh protozoa (Eimeria sp.) dan bakteri (Clostridium perfringens).

Berdasarkan buku teks atau diktat perkuliahan penyakit unggas, secara keseluruhan ada 12 jenis eimeria yang dibedakan berdasarkan lokasi lesio, bentuk lesio, bentuk, dan ukuran berbagai stadium perkembangan (ookista, schizont, merozoit), lokasi di jaringan dan waktu sporulasinya.

Dari ke-12 jenis eimeria tersebut, ada sembilan spesies yang mampu menginfeksi ayam, yaitu E. acervulina, E. brunetti, E. maxima, E. necratix, E. mivati, E. mitis, E. praecox, E. tenella, dan E. hagani. Namun dari kesembilan spesies itu tidak kesemuanya bersifat patogen pada ayam. Ada lima spesies Eimeria sp. yang patogen pada ayam, yaitu E. tenella, E. maxima, E. necratix, E. acervulina, dan E. brunetti, kesemuanya menjadi momok bagi peternak.

Serupa dengan koksidiosis, NE juga mengakibatkan kerusakan pada usus, penyakit bakterial ini bersifat sporadik pada ayam yang disebabkan infeksi Clostridium perfringens tipe A dan C. Seperti yang disebutkan di atas, di lapangan kasus koksidiosis dan NE biasanya berjalan seirama.

Hal ini bisa terjadi karena saat koksidia menyerang terjadi perdarahan dan kerusakan jaringan pada ileum yang men-trigger adanya kolonisasi bakteri anaerob, yaitu Clostridium perfringens. Adanya kolonisasi bakteri anaerob tentunya berujung pada serangan NE atau kematian jaringan usus.

Tak Kenal Ampun
Pada sebuah webinar beberapa waktu lalu, Drh Lussya Eveline, menyatakan bahwa kedua penyakit yang sering “hangout bareng” ini benar-benar mematikan. “Kalau sudah kena penyakit ini akan benar-benar merepotkan, terutama koksidia, karena protozoa itu berbeda dengan bakteri dan virus, jadi agak susah dieradikasi,” katanya. 

Ia melanjutkan, secara normal di dalam usus ayam yang sehat terdapat bakteri C. perfringens sebagai bakteri komensal (tidak menyebabkan terjadinya outbreak penyakit). Namun, hubungan ini bisa berubah menjadi parasitisme di saat kondisi ayam sedang buruk atau tidak fit dan didukung dengan kondisi lingkungan yang tidak nyaman (tantangan agen penyakit, stres, toksin, dan lain sebagainya), maka wabah NE dapat terjadi.

Pada ayam yang mati karena NE, jumlah C. perfringens yang dapat diisolasi pada usus ialah > 107-108 CFU per gram isi usus, sedangkan jumlah bakteri C. perfringens di dalam usus ayam pedaging yang sehat berkisar 0-105 CFU tiap gram isi usus.

Jika berbicara mengenai kerugian, serangan koksidiosis (apalagi kombinasi dengan NE) adalah jagonya. Tingkat kematian yang disebabkan bisa mencapai 80-90% dari total populasi pada ayam broiler. Sedangkan pada ternak layer, produksi telurnya sudah pasti terganggu. Seakan tidak puas sampai di situ, serangan koksidiosis juga akan menimbulkan efek imunosupresif yang menjadikan ayam rentan terhadap infeksi penyakit lainnya.

Bagaimana bisa imunosupresif? Lussya menerangkan, hal pertama yang terjadi adalah kerusakan pada jaringan mukosa usus menyebabkan proses pencernaan dan penyerapan zat nutrisi tidak optimal. Akibatnya terjadi defisiensi nutrisi pembentukan antibodi jadi terganggu.

Kedua, Peyer's patches dan caeca tonsil  (organ pertahanan di mukosa usus) mengalami kerusakan, jika kedua organ ini rusak akan mengakibatkan ayam lebih rentan terinfeksi penyakit lainnya.

Ketiga, di sepanjang jaringan mukosa usus terdapat jaringan limfoid penghasil antibodi (IgA), dimana IgA akan terakumulasi di dalam darah. Kerusakan mukosa usus akan mengakibatkan keluarnya plasma dan sel darah merah, sehingga kadar IgA sebagai benteng pertahananan di lapisan permukaan usus menurun.

“Sudah menyebabkan kematian, produksi turun, imunosupresif, kurang mengerikan apalagi duet penyakit ini?,” ucap dia.

Kalau Sudah Kena, Harus Bagaimana?
Bagaimana cara mengobati koksidiosis? Apakah yang harus dilakukan jika di suatu peternakan terjadi wabah koksidiosis plus NE? Jawabannya sederhana, namun implementasi di lapangannya kadang sulit dilakukan.

Menurut Product Manager Pharmaceutical PT Agrinusa Jaya Sentosa, Drh Endah Soelistyowati, yang harus dilakukan utamanya adalah pencegahan. “Kalau ditanya peternak begitu, saya suruh afkir semuanya dulu. Karena jawaban saya adalah jangan sampai kena,” sergahnya.

“Memberantas gabungan koksidiosis dan NE bukannya mustahil, tetapi memakan banyak waktu, tenaga, dan tentunya biaya dengan hasil yang pasti tidak sebanding.”

Ia menjelaskan bahwa peternak harus mengetahui dengan pasti musuh sebenarnya. “Siklus hidup eimeria itu panjang untuk menjadi sebuah individu sempurna. Oleh karenanya, kita harus memotong rantai siklus hidupnya sehingga ia tidak bisa berkembang lebih lanjut,” paparnya.

Lebih lanjut, semua dimulai dari dari fase ookista. Ookista dikeluarkan bersama dengan feses ayam, jika lingkungan sekitar lembap dan basah, ookista akan terus berkembang dan bersporulasi hingga akhirnya mampu menginfeksi ayam. “Supaya ookistanya tidak lanjut bersporulasi, kuncinya peternak juga harus rajin, program biosekuriti secara ketat harus dijalankan,” ucapnya.

Jika ookista sudah dihentikan sporulasinya, siklus hidupnya tidak langsung berhenti. Perlu diketahui, ookista dari eimeria tahan terhadap disinfektan yang banyak dijual. Tidak hanya tahan terhadap banyak disinfektan, kata Endah, ookista berukuran sangat kecil sehingga ia mudah diterbangkan oleh angin dan tersebar. Ookista juga mudah terbawa peralatan kandang, manusia, transportasi, serangga, atau hewan lainnya untuk menyebar.

“Yang paling sederhana yang bisa kita lakukan untuk memberantas ookista yakni memberikan kapur atau soda kaustik pada permukaan litter yang lembap dan basah,” jelasnya. Kapur dan soda kaustik merupakan bahan aktif yang bersifat basa. Ketika kedua bahan tersebut larut dalam air atau media yang basah (litter), maka akan menghasilkan suhu tinggi.

Sementara, ookista tidak tahan terhadap suhu ekstrim panas > 55° C. Ookista juga dapat mati jika berada pada kondisi suhu sangat dingin (suhu beku) dan kekeringan yang ekstrem. Inilah mengapa istirahat kandang juga menjadi poin penting dalam penyebaran ookista koksidia. 

Endah mengingatkan kepada peternak agar jangan lupa menerapkan manajemen pemeliharaan ayam yang baik dan benar. Karena ookista dapat berkembang dengan baik pada litter yang lembap, sebisa mungkin kualitasnya diperhatikan. Lakukan pembolak-balikan untuk mencegah litter basah.

“Pada masa brooding, kalau bisa litter sering dibolak-balikkan secara teratur setiap 3-4 hari sekali mulai umur 4-14 hari. Ini yang biasanya peternak suka malas lakukan,” tukasnya.

Litter basah dan menggumpal sebaiknya segera diganti. Jika gumpalan litter sedikit, maka dapat dipilah dan dikeluarkan dari kandang. Namun jika jumlah litter yang menggumpal atau basah banyak, sebaiknya tumpuk dengan yang baru hingga gumpalan tidak tampak.

Jika semua sudah dilakukan, namun serangan penyakit masih terjadi dan berulang, menurut beberapa literatur memang infeksi koksidia bisa menstimulasi pembentukan kekebalan. Namun, kekebalan akibat koksidia baru terbentuk setelah 3-4 siklus hidupnya di dalam tubuh ayam. Sedangkan terkadang kasus di lapangan baru satu siklus saja kebanyakan ayam sudah tepar.

Untuk kekebalan yang cukup instan di beberapa negara biasanya ada program vaksinasi koksidia. Pemberian vaksin juga salah satu cara pencegahan koksidiosis dengan dihasilkannya kekebalan dari koksidia dalam tubuh ayam, hanya saja vaksin juga memliki kelemahan, hal ini pernah diceritakan Prof Charles Rangga Tabbu.

“Enggak ada kekebalan silang antar spesies, jadi penggunaan vaksin koksidiosis tidak akan efektif kalau strain vaksin koksidiosis berbeda dengan strain yang menyerang. Kalau seperti ini identifikasinya harus benar,” katanya. (CR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer