Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini broiler | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

RAPAT KOORDINASI PERUNGGASAN DI SOLO HASILKAN TUJUH KEPUTUSAN

Solo, 14 Juni 2019 bertempat di Hotel Syariah Solo Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan drh I Ketut Diarmita memimpin rapat koordinasi perunggasan. Hadir dalam acara tersebut Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Wakil Ketua Satgas Pangan Mabes Polri, perwakilan perusahaan integrator, perwakilan organisasi peternak unggas (PINSAR, GOPAN, Presidium PRPM), Ketua Umum GPPU dan Perwakilan Dinas terkait di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. 

Setelah mencermati data perunggasan terkini yang disampaikan oleh Dirjen PKH dan banyaknya masukan selama sesi diskusi, maka dihasilkan keputusan sebagai berikut : 

  1. Pelaksanaan pengurangan DOC FS broiler sebanyak 30% dari populasi telur tetas fertil di seluruh Indonesia dan akan diawasi dengan pola cross monitoring oleh tim yang melibatkan unsur Dirjen PKH, Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan tingkat provinsi/kabupaten/kota, GPPU, PINSAR, PPUN dan GOPAN. Bukti pengurangan dari masing - masing perusahaan harus dibuat dalam bentuk berita acara yang ditandatangani oleh perwakilan perusahaan dan tim yang melakukan monitoring.
  2. Integarator harus membuat pakta integritas bahwa tidak semua ayam yang diternakkan di wilayah Jateng dan Jatim dijual ke pasar tradisional di wilayah yang dimaksud dan sebagainya harus diolah dalam bentuk daging beku atau olahan. Bagi yang tidak merealisasikan pakta integritas ini maka izin impor ditunda sampai pakta dipenuhi.
  3. Integrator dan peternakn mandiri harus melaporkan broker unggas komersial yang dimiliki atau yang menjadi langganannya kepada Direktur Jendral PKH dan Direktur Jendral Perdagangan Dalam Negeri Kemendag. Jika tidak, maka izin impor tidak akan diproses sampai laporan disampaikan. Satgas Pangan Mabes Polri pun akan ikut mengawasi perilaku broker dan integrator. 
  4. Kepala dinas yang membidangi fungsi PKH di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus segera mendata nama, nomor ponsel, alamat lengkap perusahaan, peternak mandiri, peternak UMKM, jumlah kandang serta kapasitas kandang terpasang. Dinas juga harus mendata secara lengkap jumlah RPHU secara lengkap berikut kapasitas cold storage yang dimiliki swasta dan pemerintah di wilayahnya. Selain itu Dinas juga diwajibkan memberikan pembinaan kepada perusahaan, peternak mandiri dan peternak UMKM di wilayahnya.
  5. Akan dilakukan review Permentan No. 32 tahun 2017 terutama pasal 12 mengenai kepemilikan RPHU dan rantai dingin dalam rangka penyempurnaan regulasi di bidang perunggasan dan definisi peternak mandiri, dan definisi integrator.
  6. Mengusulkan review Permendag No. 96 tahun 2018 terkait harga acuan pembelian di tingkat petani dan harga acuan penjualan di tingkat konsumen serta mengkaji harga acuan DOC FS dan pakan. 
  7. Dalam rangka menyelesaikan persoalan harga live bird yang rendag, Kemendag mengeluarkan himbauan (setelah berkoordinasi dengan KPPU) kepada para peternak (integrator, peternak mandiri, peternak UMKM) untuk melakukan pembagian live bird/karkas secara gratis kepada masyarakat khususnya masyarakat miskin menggunakan dana CSR. Dalam pelaksanaannya akan dikoordinasikan oleh dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan serta dinas yang membidangi fungsi perdagangan di tingkat provinsi/kabupaten/kota dengan GPPU dan PINSAR. (CR)


HARGA JUAL ANJLOK, PETERNAK SAMBANGI KEMENTAN DAN KEMENDAG

Mediasi peternak rakyat dan integrator yang dilakukan di Kementerian Pertanian, Selasa (26/3). (Foto: Infovet/Ridwan)

Dalam kurun waktu tujuh bulan terakhir (Agustus 2018-Maret 2019), industri perunggasan nasional mengalami kemerosotan harga live bird (LB) broiler di tingkat peternak yang mencapai Rp 12.000/kg. Hal ini diperparah lagi dengan tingginya harga DOC dan pakan, yang membuat peternak bertepuk jidat. Padahal HPP peternak yang ditetapkan pemerintah mencapai Rp 19.000/kg

Awal Maret 2019, para peternak sempat melakukan aksi demonstrasi di depan Istana Negara, menuntut kenaikan harga jual dan penurunan harga DOC serta pakan, namun tuntutan tak kunjung terpenuhi, bahkan jelang minggu terakhir di bulan yang sama.

Para peternak terus memperjuangkan nasibnya. Tuntutan pun kembali mereka sampaikan kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), I Ketut Diarmita, Selasa (26/3). Dirjen PKH melakukan mediasi para peternak yang mengajukan Tuntutan Perjuangan Peternak Rakyat dan Peternakan Mandiri (Perjuangan PRPM) dengan integrator (peternak besar).

Sugeng Wahyudi, selaku koordinator peternak sekaligus tim mediasi mengatakan, penyebab hancurnya harga LB disebabkan karena tingginya biaya sarana produksi (DOC dan pakan), diikuti berlebihnya produksi broiler dan lemahnya permintaan.

Ia menyebut, berbagai upaya memang sudah dilakukan pemerintah, namun sampai hari ini belum nampak perubahan signifikan dan cenderung semakin menekan harga LB ke titik terendah. “Apa yang menjadi harapan kita terkait tuntutan peternak semoga bisa mendapatkan solusinya,” kata Sugeng saat mediasi dihadapan integrator.

Adapun lembar tuntutan yang disampaikan peternak diantaranya, tuntutan jangka pendek yakni harga LB Rp 20.000/kg sesuai Permendag No. 96/2019 yang berlaku paling lambat 1 April 2019. Kemudian peternak meminta harga DOC Rp 5.500/ekor dengan kualitas grade I dan harga pakan grade premium turun Rp 500/kg yang berlaku mulai 28 Maret 2019. PRPM juga menuntut kepastian mendapatkan supply DOC sesuai kebutuhan rutin dan meminta penghapusan bundling pakan dan DOC. 

Untuk jangka menengah, mereka meminta adanya Perpres yang melindungi peternak rakyat, melakukan revisi Permentan 32/2017, diantaranya penghapusan kuota GPS dengan melakukan pengaturan di level PS dan impor GPS tetap diawasi serta tidak boleh diperdagangkan. Lalu, integrator wajib menjual LB ke pasar modern (hotel, restoran, kafe) dan meminta pasar becek (tradisional) dikembalikan kepada peternak rakyat, serta meminta ketegasan soal pembanguna CHS diintegrator.

Dalam jangka panjang, tuntutan PRPM meminta mengganti UU Peternakan No. 18/2009 jo UU No. 41/2014 dengan peraturan yang lebih berpihak kepada peternak rakyat dan peternak mandiri.

Beberapa tuntutan tersebut dibacakan dihadapan integrator yang hadir pada mediasi, diantaranya perwakilan Japfa, Charoen Pokphand Indonesia dan Cheil Jedang. Hingga mediasi usai, tuntutan pun masih memerlukan evaluasi bersama.

Hal serupa juga terjadi kala tuntutan PRPM dibawa ke Direktorat Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan (Kemendag), Rabu (27/3). Menurut salah satu koordinator peternak kepada Infovet, tuntutan yang diajukan masih belum menemui gambaran kebijakannya.

Dari haril pertemuan tersebut, mereka akan mencoba meminta bantuan ARPHUIN (Asosiasi Rumah Potong Hewan Unggas Indonesia) untuk menyerap ayam milik peternak. Namun, jika harga ayam di tingkat peternak tak kunjung naik dalam dua hari ke depan, tuntutan akan dievaluasi dengan menghadap kembali ke Kementan dan Kemendag 1 April mendatang. (RBS)

2019, Malindo Feedmill Proyeksikan Penjualan Tumbuh 15%

Acara public expose Malindo Feedmill (Foto: Ridwan/Infovet)

PT Malindo Feedmill Tbk, memproyeksikan pertumbuhan penjualan naik 15% sepanjang 2019 menjadi sekitar Rp7,4 triliun.

Pada 2017, emiten bersandi saham MAIN membukukan pertumbuhan penjualan negatif 4% year on year (yoy), menjadi Rp5,44 triliun dari posisi Rp5,23 triliun. Namun, perseroan berhasil membukukan pertumbuhan yang positif hingga akhir 2018.

Direktur MAIN Rudy Hartono Husin mengungkapkan, kinerja hingga akhir 2018 berhasil tumbuh dua digit. Dari sisi bilangan, katanya, pertumbuhan penjualan perseroan pada 2018 sekitar 19%--20%. Dia mengungkapkan, angka pertumbuhan sepanjang 2018, hampir mirip dengan pertumbuhan pada kuartal III/2018, dimana kenaikan dua digit sudah terjadi.

Bila mengacu pada penjualan bersih MAIN pada 2017, maka nilai yang dikantongi perseroan pada 2018 akan berkisar Rp6,4 triliun. Dalam catatan Bisnis, MAIN mengincar pertumbuhan pendapatan 15% atau menjadi Rp6,25 triliun. Namun, pertumbuhan pendapatan perseroan pada 2018 mendekati 20%.

"Pertumbuhan revenue [2018] similar dengan kuartal III/2018. Tahun ini, kami ingin tumbuh 15%," ungkapnya, Senin (4/2/2019).

Dia mengungkapkan, kinerja 2018 naik hingga dua digit karena pada 2017 membukukan pertumbuhan yang negatif. Rudy mengharapkan, kondisi positif pada 2018 bisa berlanjut hingga akhir 2019.

Saat ini, pelaku bisnis unggas mengharapkan pesta demokrasi pada tahun ini bisa berjalan dengan aman dan damai. Bila hal itu terjadi, tambahnya, 2019 akan kembali menjadi tahun yang positif bagi perseroan.

Sebagai informasi, hingga September 2018, MAIN membukukan pendapatan Rp4,84 triliun, naik 19,55% yoy dari sebelumnya Rp4,05 triliun. Laba bersih melonjak 6.642,24% yoy menuju Rp186,76 miliar dibandingkan dengan per kuartal III/2018 senilai Rp2,77 miliar.

September 2018, capaian pendapatan perseroan terutama ditopang peningkatan penjualan pakan, anak ayam usia sehari (DOC), dan ayam pedaging. Untuk ayam broiler, Malindo menjualnya langsung ke restoran besar, sehingga tidak terlalu terpengaruh harga pasar.

Dari sisi saham, kinerja saham MAIN sepanjang awal 2019 telah naik 32,26% menuju level Rp1.845 per saham. Sementara itu, pada penutupan perdagangan Senin (4/2/2019), harga saham MAIN naik 75 poin atau naik 4,24%. (Sumber: https://market.bisnis.com)

PAKAN ALTERNATIF UNTUK UNGGAS

Bahan baku pakan yang berbentuk bijian untuk Pakan Alternatif dikeringkan terlebih dahulu kemudian digiling menjadi ukuran lebih kecil atau tepung (mash). (Sumber: Google)

Mendefinisikan Pakan Alternatif sebagai pakan unggas yang dibuat bukan dari dominasi bahan baku pakan utama seperti jagung dan bungkil kedelai. Namun Pakan Alternatif diformulasikan menggunakan bahan baku pakan lokal bersumber dari daerah setempat, baik sebagian dan/atau seluruhnya. Namun formula Pakan Alternatif ini tetap bisa memenuhi syarat-syarat, seperti standar spesifikasi pakan yang sesuai jenis dan fase hidup ternak, harga lebih murah, performa bisa setara dibanding pakan konvensional pabrikan.

Pakan Alternatif disini harus bisa dipahami menurut kaidah SNI (Standar Nasional Indonesia) pakan unggas. Untuk itu dilampirkan beberapa tabulasi data pendukung, diantaranya tabel standar spesifikasi pakan ayam KUB yang merupakan hasil riset Balitnak (Balai Penelitian Ternak), tabel SNI pakan layer dan broiler sebagai pembanding yang terdekat, tabel SNI pakan ternak bebek dan tabel SNI pakan ternak puyuh, serta tabel persyaratan mutu SNI pakan layer.

Guna memformulasikan Pakan Alternatif, maka diperlukan 11 Jurus Keseimbangan Formulasi Pakan Unggas yang terdiri dari: 1) Kebutuhan vs Pasokan. 2) Harga vs Kualitas Bahan. 3) Sumber Protein Hewani vs Nabati. 4) Metabolisme Energi vs Protein Kasar (Crude Protein). 5) Makro Mineral (kalsium vs fosfor). 6) Mikro Mineral. 7) Asam Amino Essensial. 8) Asam Lemak. 9) Feed Intake vs Bobot Badan. 10) Feed Intake vs Karkas. 11) Feed Intake vs Feed Conversion Ratio.

Pakan Alternatif yang dimaksudkan di sini untuk digunakan pada peternakan skala kecil dengan populasi berkisar 1.000-2.000 ekor. Tujuan membuat Pakan Alternatif agar biaya operasional peternak kecil lebih efisien dan mandiri, serta memiliki patokan dari kandungan nutrisi maupun hal lainnya, terutama harga setelah menjadi pakan siap saji.

Faktor ekonomi terkait biaya pakan ini menjadi sangat penting mengingat semakin  terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap dolar US yang mengakibatkan harga pakan konvensional dari pabrikan semakin mahal. Dan pembelian pakan pabrikan dalam kuantitas sedikit tentu menyebabkan harganya lebih tinggi dan menjadi tidak efisien daripada pembelian pakan konvensional dalam jumlah besar pada peternak skala jumbo, sehingga peternak berpopulasi besar masih bisa efisien dan bertahan dengan naiknya harga pakan pabrikan.

Situasi sulit naiknya harga pakan jadi ini bisa saja dimanfaatkan pihak-pihak tertentu dengan mengatakan bahwa penggunaan Pakan Alternatif hanya untuk mendapat keuntungan sepihak, bahkan sesaat saja. Untuk itu mari bersama-sama pahami apa yang dimaksud Pakan Alternatif sebagaimana definisi awal tersebut. Yakni bukan asal pakan mandiri yang harganya murah disebut sebagai Pakan Alternatif.

Tujuan dari pembuatan Pakan Alternatif antara lain adalah Pertama, menciptakan kemandirian terhadap sumber bahan baku pakan baik sebagain dan/atau keseluruhan. Kedua, peternak dapat menikmati harga pakan komplitnya yang diharapkan bisa lebih murah 5-20% dibanding pakan konvensional buatan pabrikan. Kalau harga Pakan Alternatif bisa lebih murah 50% dibanding pakan pabrikan, itu sesuatu yang hampir mustahil. Jangan-jangan pakan abal-abal. Pertanyaan yang sering muncul adalah, apakah spesifikasinya dalam kualitas dan performanya bisa setara dengan pakan pabrikan? Maka jawaban pastinya dengan cara menunjukkan Sertifikat Hasil Uji Laboratorium yang kredibel dari Pakan Alternatif tersebut. Untuk itu pembuat dan/atau penjual Pakan Alternatif harus paham apa itu analisa proksimat. Ketiga, pembuat Pakan Alternatif harus bisa membuat pakan spesifik untuk tujuan tertentu, misal pembuatan pakan organik bebas antibiotika, kemudian pakan dengan tujuan untuk warna kulit telur lebih coklat, pucat atau lebih biru, warna ovum bisa lebih oranye, ukuran telur menjadi lebih kecil atau lebih besar, memproduksi telur organik, rendah kolestrol, bebas kuman dan untuk tujuan lainnya.

Langkah Membuat Pakan Alternatif
Pertama, lakukan survei sejauh radius maksimum 15 km dari lokasi peternakan, apakah ada bahan baku lokal yang masih layak pakai dengan jumlah yang cukup dan kontinyu. Bila sumber bahan baku pakan lokal jaraknya terlalu jauh >15 km, maka ongkos transportnya relatif mahal, tidak efisien dan pakan akhirnya tidak menjadi murah.

Berikutnya, tersedia sumber bahan baku pakan lokal. Bisa dari limbah industri, pertanian, perkebunan, peternakan, rumah makan, hotel dan lain-lain. Tentu saja harganya harus lebih murah atau bahkan gratis.

Tahapan lain untuk mendukung tersedianya sumber bahan baku bisa juga diperoleh melalui pembiakkan tanaman dan hewan tertentu (Azolla, cacing Lumbricus rubelus dan lain-lain), di mana nilai gizinya sangat baik dan cepat perkembang-biakannya, serta relatif mudah pengelolaannya.

Bahan baku pakan lokal seperti ini bisa saja keberadaannya musiman, tetapi dengan proses fermentasi tertutup, bisa disimpan relatif lama >1-24 bulan. Artinya semua bahan baku pakan lokal harus diperiksa untuk diketahui isi nutrisinya yang harus lengkap, seperti kadar air, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, kadar abu dan makro mineralnya (kalsium dan fosfor).

Bila tidak didukung database yang lengkap, maka hasil akhir formula Pakan Alternatif akan menjadi bias dan tidak memenuhi SNI, serta bijaknya usahakan untuk mencari referensi tentang kadar gizi dan isi detail bahan baku lokal (asam amino, asam lemak, vitamin dan mikro mineral) atau melalui hasil penelitian riset.

Proses Persiapan Bahan Baku Pakan Lokal
Bahan baku pakan lokal perlu diproses terlebih dahulu sebelum digunakan dalam pembuatan Pakan Alternatif. Bahan baku pakan yang basah atau kadar airnya tinggi lebih dari 15% perlu dikeringkan dahulu (ampas tahu, onggok singkong, limbah pabrik udang, limbah rumah makan/hotel, limbah pasar) sampai kadar airnya menjadi 10-14%, agar bila diformulasi pakan komplitnya berkadar air tidak lebih dari 14%. Batas maksimum kadar air pakan komplit tersebut itulah yang sesuai rekomendasi SNI.

Bahan baku pakan yang berbentuk bijian (biji nangka, biji durian, biji rambutan dan lain sebagainya), dikeringkan kemudian digiling menjadi ukuran lebih kecil atau tepung, mash 5-20 agar bisa merata saat dicampur. Seyogianya difermentasi dahulu agar zat-zat anti-nutrisinya terurai.

Bahan baku pakan yang berkualitas rendah dan berserat kasar tinggi >10% (dedak, ampas kelapa, ampas tahu, ampas singkong dan lain-lain), mesti difermentasi agar kualitasnya meningkat dengan menurunkan kadar serat sangat kasar (lignin) dan sarat kasar (selulosa, hemiselulosa) dan menaikkan Total Digestible Nutrien (TDN). Untuk fermentasi ini, diperlukan probiotika yang kerjanya lignolitik dan selulolitik, supaya secara nyata kadar serat kasarnya turun dan kadar proteinnya meningkat secara signifikan.

Apabila semua bahan lokal sudah siap digunakan, maka dengan pertimbangan dan berpatokan pada 11 Jurus Keseimbangan Formulasi Pakan Unggas, kemudian formulasikan bahan baku pakan lokal dengan bahan baku pakan nasional dan/atau internasional mengacu pada SNI pakan, sehingga Pakan Alternatif siap saji sesuai dengan jenis dan fase hidup ternaknya.

Apabila tujuan penggunaan Pakan Alternatif ini bisa tercapai, yaitu mandiri dan efisiensi dengan harga jauh lebih murah dibanding pakan pabrikan dan dengan performa ternak setara dengan pakan pabrikan, tentu lebih menguntungkan bagi peternak unggas. Memang seperti menjadi repot sedikit, mengapa tidak? Karena semua tenaga yang dicurahkan pun bisa dihitung dan dikonversikan dalam biaya total pembuatan Pakan Alternatif untuk dibandingkan sebagai pembeda dengan pakan konvensional.

Semua peternak khususnya pelaku bisnis penyedia Pakan Alternatif boleh berharap dan berdoa agar tidak ada pihak-pihak yang dengan mudah mengatakan bahwa pakannya Pakan Alternatif tetapi memiliki kualitas yang jauh dari SNI. Efeknya bisa dipastikan akan merugikan pembelinya.

Bagi peternak, jangan mudah tergiur dengan pakan yang diklaim sebagai Pakan Alternatif hanya karena murah harganya. Namun, tanyakan kepada produsen, apakah pakannya sudah memenuhi SNI Pakan Ternak dan Unggas. Serta agar produsen mampu menunjukkan sertifikat hasil uji analisa proksimat-nya. Apabila semua data tersebut terbukti ada, peternak bisa mencoba menggunakannya dengan jumlah sesuai kebutuhan untuk melihat performanya.

Demikian artikel ini disajikan penulis yang bertujuan memberikan pencerahan kepada peternak skala kecil, sehingga tidak salah dalam membeli atau menggunakan Pakan Alternatif untuk menghindari kerugian yang cukup besar. ***

Ditulis oleh Drh Djarot Winarno
Praktisi dan konsultan peternakan
Tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur






Menunggu Rekomendasi Terbaru Pakan Broiler Modern: "Tepat dan Semakin Menguntungkan"

Suasana seminar USSEC. (Foto:Infovet/Untung)

Sudah hampir lebih dari 20 tahun, tidak adanya rekomendasi tentang komposisi pakan (ransum) untuk ayam broiler. Rekomendasi terakhir yang sampai saat ini masih banyak menjadi acuan dan bahkan menjadi pedoman adalah hasil National Research Council (NRC) tahun 1994 silam.

Sedangkan beleid tentang hal itu keluar untuk pertama kali pada tahun 1957. Selama ini sebenarnya ada beberapa institusi yang menghasilkan dan mengeluarkannya. Sebut saja, pabrik asam amino, perusahaan bibit ayam, konsultan independen dan NRC. Lembaga NRC adalah yang saat ini paling banyak ditunggu-tunggu.

Jika beberapa waktu yang lalu sampai 2018 ini, referensi sebagai pedoman untuk menyusun ransum pakan oleh pihak pabrikan hampir selalu mengacu terhadap rekomendasi NRC tahun 1998. Maka menurut Budi Tangendjaja, Peneliti Balitnak, kemungkinan besar akhir 2018 atau setidaknya pada awal 2019, NRC akan segera mengeluarkannya. Sebab saat ini ayam broiler modern sudah saatnya juga memiliki dan memakai komposisi ransum yang termutakhir. Demikian inti paparannya saat tampil dalam Konferensi Teknologi Pakan dan Nutrisi Broiler Indonesia, yang dilaksanakan 11-12 Desember 2018, di Hotel Hyatt Regency Yogyakarta.


Kegiatan tersebut memberikan kesempatan kepada para pakar pakan ternak, khususnya konsultan dari USSEC (US Soybean Export Council)Dalam panel diskusi itu dibahas tentang perkembangan dan kemajuan teknologi pakan broiler. Acara yang diselenggarakan oleh USSEC itu diikuti hampir 100 orang, yaitu para nutrisionis lapangan (pengelola farm komersial) hingga nutrisionis feedmill, akademisi dan para peneliti pakan ternak.

Budi Tangendjaja juga menguraikan tentang sejarah ramuan pakan unggas. Ia yang juga Konsultan USSEC Indonesia, mengungkapkan bahwa ayam broiler sangat cepat mengalami perubahan kemajuan. Otomatis, ransumnya harus mengikuti. Memang benar, meskipun faktor dominan terhadap pertumbuhan berat badan ayam broiler adalah "genetik".

"Namun demikian, aspek pakan juga tak bisa bersikap konservatif, artinya harus berada tepat dbelakang perkembangan kemajuan genetik," jelasnya.

Menurut dia, kebutuhan asam amino jenis Lysin pada ayam broiler modern sangat penting. Ini dibuktikan dengan proporsi asam amino itu dalam ransum pakan berpengaruh kuat terhadap kecepatan pertumbuhan.

"Selain itu, pertumbuhan yang cepat mempunyai korelasi positif terhadap efisiensi produksi. Oleh karena itu, di massa milenial ini, broiler modern mutlak butuh ransum baru yang dapat mengikuti kecepatan pertumbuhannya," pungkasnya. (iyo)

Saatnya Menata Industri Perunggasan

Sektor perunggasan butuh regulasi yang tepat agar usaha budidaya yang dilakukan oleh peternak mandiri dan korporasi tidak berbenturan. (Foto: Infovet/Ridwan)

Lima tahun terakhir, problem utama industri perunggasan Nasional adalah over supply bibit (DOC) broiler. Dampak dari problem tersebut sudah nyata dan mudah dibuktikan, dari hancurnya harga broiler hidup (LB) dan telur ayam ras karena imbas masuknya telur breeding, hutang para peternak yang menumpuk, hingga peternak broiler yang “gulung tikar”. Itu dalam skala usaha UMKM dan UKM. Dalam skala perusahaan besar dan profesional juga terjadi, dari akuisisi aset-aset perusahaan peternakan, hingga kolapsnya perusahaan-perusahaan obat hewan di industri hilir perunggasan Nasional.

Kini, problem over supply bibit sudah mulai terlewati, terlihat dari anjlok dan meroketnya harga broiler dan telur yang sifatnya sangat temporal dan lebih cenderung dipengaruhi faktor permintaan atau konsumsi masyarakat terhadap produk unggas. Saat musim libur dan bulan “baik” permintaan tinggi dan harga terkerek jauh di atas harapan stakeholder. Saat momen akhir bulan, bulan Suro dan Sapar, permintaan ayam dan telur sepi, sehingga harga turun. Jika menelaah historikal data penurunan harga ayam dan telur juga terlihat tidak drastis, cenderung moderat.

Pada 2019 mendatang, problem di industri ini adalah soal in-efesiensi sebagai dampak kenaikan nilai tukar rupiah dan harga jagung dalam negeri yang berkibar di level tinggi, yakni Rp 5.600 per kg. Bagaimana bisa sektor budidaya melakukan efesiensi untuk mengurangi biaya produksi, sementara faktor biaya pakan terus meningkat? Padahal variabel pakan berkontribusi yakni sebesar 70 persen dari biaya produksi. Perlu dipahami, dalam skala tertentu, khususnya ketika harga jual ayam dan telur jatuh, peternak sebagai pembudidaya pasti akan berteriak keras. Seperti terjadi beberapa waktu lalu, yang dilakukan oleh peternak layer di Blitar dan kota-kota lain. Protes terhadap tingginya harga jagung, mereka salurkan dengan berdemonstrasi di daerah masing-masing dan mengancam demo besar-besaran di Istana Negara. Meskipun dalam waktu tidak terlalu lama, tuntutan petenak layer dipenuhi oleh pemerintah dengan penyediaan jagung seharga Rp 4.000 per kg, akan tetapi sampai kapan hal-hal seperti ini terus dilakukan? Karena pada dasarnya jagung tersebut adalah hasil ”pinjaman” dari feedmill-feedmill besar.

Maka, pekerjaan rumah pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan jagung dalam negeri khususnya untuk industri perunggasan harus bisa diselesaikan secepatnya saat memasuki awal 2019 nanti. Pelarangan impor jagung dalam jangka panjang malah merugikan industri penyedia protein hewani asal unggas ini. Bahkan beberapa penelusuran telah menyimpulkan bahwa pelarangan ini menimbulkan in-efesiensi devisa negara sebesar Rp 37 triliun per tahun. Artinya, pelarangan impor jagung menjadi salah satu kontributor terhadap defisit perdagangan Indonesia yang sudah beberapa bulan terjadi. Pasalnya, penyetopan impor jagung telah menyebabkan melonjaknya impor tepung gandum untuk pakan oleh feedmill yang harganya lebih mahal daripada jagung. Belum lagi kerugian yang diderita peternak, akibat kualitas pakan yang menurun. Karena pada dasarnya, sebagai bahan baku pakan ayam, kualitas jagung masih lebih baik daripada tepung gandum.

Solusi problem harga jagung yang ditunggu adalah dibukanya keran impor jagung yang harganya di pasar internasional jauh lebih murah dibanding dengan harga jagung lokal. Meskipun dalam catatan tertentu, mungkin dibuka dengan sistem kuota, yang jumlahnya disesuaikan, agar harga jagung di dalam negeri tidak sampai jatuh dan merugikan petani jagung. Jika ini bisa segera dilakukan dalam jangka menengah, problem tingginya harga jagung dan pakan bisa diredam.

Lebih lanjut, masalah serius yang jauh lebih “penting dan genting” adalah bagaimana menata kembali struktur industri perunggasan Nasional. Wacana restrukturisasi industri perunggasan beberapa tahun lalu perlu digaungkan kembali. Tidak dipungkiri, visi industri perunggasan saat ini jauh dari upaya pemerataan distribusi pendapatan dan keadilan ekonomi. Saat ini kita menyaksikan, betapa struktur industri perunggasan sangat tidak sehat bahkan mengancam keberadaan peternak mandiri/rakyat. Persaingan di sektor budidaya antara peternak UMKM/UKM dengan korporasi multinasional nyata-nyata menghancurkan peternak UMKM/UKM. Jadi visi perunggasaan saat ini lebih mendorong jargon “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”.

Tahun 90-an, sektor budidaya masih didominasi oleh peternak mandiri/rakyat, tetapi saat ini malah sebaliknya, penguasaan oleh korporasi yang memiliki perangkat produksi dari hulu hingga hilir semakin kuat dan tanpa dibatasi oleh regulasi. Perusahaan besar yang menguasai industri hilir masuk di sektor budidaya dan dibiarkan menjual ayam hasil panennya ke pasar tradisional yang seharusnya menjadi lahan peternak mandiri/rakyat. Maka khusus di industri perunggasan, negara ini sudah membiarkan dan mempraktekan “mahzdab” ekonomi liberal. Jauh dari semangat Pancasila yang menyuarakan Keadilan Sosial dan Ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan secara kemanusiaan sudah mengusik “nalar kita” sebagai anak bangsa.

Pemerintah sebagai pengemban amanat Negara cq Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, seharusnya mulai merubah haluan pengelolaan sektor budidaya unggas. Apa yang dilakukan oleh “Orde Baru”, dengan Kepres No. 22/1990, yang mengatur sektor budidaya dan memisahkan bagian untuk peternak mandiri/rakyat dan korporasi saat itu sangat tepat. Dan sesungguhnya, pada saat ini semangatnya masih sangat relevan untuk dimunculkan kembali. Dengan begitu industri perunggasan berjalan tidak hanya berorientasi pada perusahaan integrasi saja yang bias menikmati untung besar, tetapi bagaimana lingkungan industri ini nyaman bagi peternak mandiri/rakyat untuk berusaha dan mengembangkan usahanya.

Menata kembali industri perunggasan perlu segera dilakukan agar visi pembangunan industri ini bisa menciptakan keadilan dan mengatasi ketimpangan ekonomi yang saat ini menjadi problem besar pembangunan ekonomi Indonesia. Tidak membiarkan perilaku korporasi yang tidak pernah puas menggali keuntungan besar dari pasar rakyat Indonesia yang sangat besar. Namun, harus memberi kesempatan rakyat Indonesia dalam mengelola potensi ekonominya. Khususnya bagi peternak mandiri/rakyat, usaha peternakannya bisa hidup dan menghidupi sebagai produsen dan juga bisa mencukupi kebutuhan ayam dan telur bagi masyarakat dengan harga terjangkau.

Langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah perlunya menerbitkan regulasi di bawah UU No. 18/2009  tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mengatur pembagian atau pembatasan dari sektor budidaya. Harapannya adalah agar pembudidaya integrator diberi batas yang jelas dengan peternak mandiri/rakyat sebagai pembudidaya berkelas UMKM dan UKM. Argumentasi bahwa saat ini terminologi peternak rakyat telah hilang dalam UU tersebut tidak memungkinkan di keluarkannya regulasi pengganti Kepres No. 22/1990, penulis kira masih bisa diatasi. Bagaimana formatnya, hal ini tentu segera dikerjakan bersama antar asosiasi peternak. Tanpa ada upaya awal, maka tidak mungkin ada hasil yang ingin dicapai dan menjadi wujud cita-cita bersama. (Hadi)

DINAMIKA PENYAKIT AYAM RAS 2018

Pada 2019 kasus IBH masih perlu dicermati selain penyakit-penyakit viral lain pada unggas. (Sumber: Google)

Sepanjang 2018 bagi para praktisi dan ahli kesehatan hewan merupakan tahun tantangan “The Year of Challenge” yang sangat menyita banyak waktu, pikiran, keahlian, keterampilan dan kerjasama dengan berbagai pilar perunggasan Indonesia dalam strategi pengendaliannya. Tiga hal pokok tantangan utamanya adalah tidak diperbolehkannya lagi penggunaan Antibiotic Growth Promotor (AGP) pada pakan, munculnya penyakit baru Avian Influenza (AI) strain H9N2 dan merebaknya penyakit Inclusion Body Hepatitis (IBH) yang sudah lama ditemukan di Indonesia tetapi "hibernasi" dan epidemiologinya tidak termonitor secara seksama.

Merebaknya wabah AI-H9N2 pada peternakan  ayam petelur di Indonesia menjadi topik utama pembicaraan para ahli kesehatan hewan. Industri perunggasan terguncang karena bukan hanya turunnya produksi telur yang fenomenal, bahkan menjadi “Icon” yang disebut sebagai penyakit 90/40 yang gejalanya berupa penurunan produksi telur pada saat puncak produksi yaitu ketika mencapai sekitar 90% dan terjun bebas produksi telurnya menjadi hanya 40% ketika terserang penyakit, tetapi juga karena virus AI-H9N2 merupakan virus donor bagi virus AI yang lain, sehingga dapat terbentuk strain virus baru yang lebih ganas. Berbagai Institusi bekerja sama untuk menangani penyakit ini, bahkan juga kerjasama Internasional dengan beberapanegara yang memiliki masalah serupa serta badan-badan internasional yang terkait dengan masalah ini seperti FAO, OIE dan WHO.

Di 2018 juga mencatat kejadian penting dengan banyak ditemukannya kasus penyakit IBH yang umumnya menyerang ayam broiler. Penyakit yang sudah lama “hibernasi” ini marak pada peternakan ayam broiler muda dan menyebabkan kerugian yang tidak sedikit, bahkan menyebabkan angka kematian hingga 50% karena masuknya infeksi sekunder. Penanggulangan masalah penyakit ini menjadi pekerjaan rumah yang terasa berat bagi para konsultan kesehatan hewan karena belum adanya vaksin yang tersedia. Pihak yang berwenang dalam pengambilan kebijakan pengendaliannya belum dapat teryakinkan bahwa IBH merupakan penyakit yang serius, sehingga pengadaan vaksin dari luar negeri bukan merupakan prioritas, apalagi IBH bukan merupakan penyakit zoonosis.

Permasalahan dunia perunggasan di Indonesia mulai tahun 2018 ini juga menjadi semakin kompleks karena tidak siapnya industri dan stakeholder lainnya ketika AGP tidak diperbolehkan lagi digunakan dalam pakan unggas. Untuk masalah ini bukan hanya tantangan bagi para Nutrisionist, tetapi juga  kompetensi Dokter Hewan yang juga dituntut untuk semakin dalam memahami kompleksitas kesehatan ternak, karena pencabutan AGP berdampak pada kualitas kesehatan unggas. Para peternak melaporkan bahwa ayam menjadi sangat rentan terhadap serangan penyakit, berat badan tidak dapat mencapai standar, tingginya angka kematian, dan afkir ayam kerdil meningkat. Situasi ini tidak hanya menjadi masalah kesehatan hewan semata, tetapi juga menjadi masalah ketersediaan pangan dan keamanannya bagi masyarakat, karena turunnya tingkat produksi dan meningkatnya distribusi ayam sakit sehingga kuman penyakit semakin tersebar ke lingkungan sekitar.

Pendekatan kesehatan hewan memerlukan langkah preventif praproduksi, kendali produksi yang komprehensif, serta biosekuriti yang mengikuti rantai distribusi mulai dari pembibit, distributor, kelompok peternak hingga ke tingkat budi daya akhir. Oleh karena itu, sejalan dengan platform kesehatan unggas, maka mata rantai pencegahan dan biosekuriti menjadi penjaga pintu utama dalam pencegahan penyebaran penyakit unggas.

Langkah pengendalian suatu penyakit memerlukan panduan terpadu yang dimulai dari penetapan keberadaan suatu penyakit di suatu daerah, atau masih bebasnya suatu daerah dari satu penyakit menular, kemudian diikuti dengan penetapan...

Drh Dedi Kusmanagandi, MM
Kontributor Infovet, Praktisi Bisnis Obat Hewan


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Desember 2018.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer