-->

KEMENTAN DAN SWASTA MENYATUKAN KOMITMEN PERANGI AMR

Lokakarya Kementan Dengan Swasta, Membahas AMR
(Foto : Istimewa)


Dalam rangka meningkatkan kontribusi sektor kesehatan hewan dalam mencapai kesehatan masyarakat dengan tetap memastikan produktivitas perunggasan yang berkelanjutan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian bekerjasama dengan Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) serta dukungan dari Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), menginisiasi lokakarya penting tentang pendekatan Keterlibatan Sektor Swasta/Private Sector Engagement (PSE) dalam pengendalian resistensi antimikroba.

Kegiatan tersebut berlangsung di Hotel Trembesi BSD, Tangerang Selatan (19/08). Dalam lokakarya tersebut dipertemukanlah pemangku kepentingan utama dari sektor pemerintah, asosiasi, dan pelaku usaha perunggasan untuk membahas penyusunan indikator pengendalian AMR di sektor kesehatan hewan melalui penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggung jawab dalam peternakan unggas.

Acara ini juga sebagai ajang inisiatif untuk mensinergikan arah kebijakan nasional jelang pemerintahan baru dan dalam rangka menyiapkan rencana aksi nasional Rencana Aksi Nasional (RAN) pengendalian AMR periode 2025-2029, dengan fokus pada pengurangan penggunaan antibiotik di peternakan unggas yang akan berdampak pada kesehatan masyarakat.

Lokakarya ini memberikan ruang bagi sektor swasta untuk berkontribusi pada pengembangan regulasi dan kebijakan, yang kemudian menghasilkan komitmen signifikan dari sektor swasta yaitu menyetujui penyelarasan indikator target untuk RAN AMR 2025-2029 serta bekerja sama dengan pemerintah untuk mengembangkan strategi bersama guna menangani ancaman global "pandemi senyap" yang mendesak akibat AMR.

Komitmen tersebut meliputi dukungan terhadap larangan bertahap penggunaan antibiotik sebagai langkah pencegahan dalam peternakan unggas untuk mengatasi AMR dan mempromosikan praktik peternakan yang berkelanjutan. Selain itu, pertemuan ini juga membahas potensi implikasi dalam menyikapi dinamika perubahan arah kebijakan, memastikan pemerintah dan sektor swasta dapat selalu bersinergi membangun peternakan unggas yang lebih baik dan menjadikan Indonesia teladan bagi negara lain dalam pengendalian AMR bersama.

Direktur Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Imron Suandy, menyoroti pentingnya kesehatan hewan dalam kerangka kesehatan untuk semua, sehingga secara nyata berkontribusi dalam membangun Indonesia yang lebih sehat.

“Program Penatagunaan Antimikroba yang sukses memerlukan kepemimpinan dan dedikasi yang kuat dari pemerintah dan sektor swasta. Di Indonesia, keterlibatan sektor swasta dalam industri unggas sangat besar, dengan banyak perusahaan aktif di berbagai tahapan rantai nilai unggas. Hari ini menandai awal upaya kolaboratif kami untuk bertindak bersama membangun bangsa, dan kita selalu dijadikan inspirasi bagi negara lain dalam pengendalian AMR di tingkat regional, langkah peran serta sektor usaha bersama dengan pemerintah ini tentu akan menjadi pendekatan yang akan kita bagun bersama ke depannya” kata Imron.

Sejak 2017, Indonesia telah menerapkan Rencana Aksi Nasional untuk Pengendalian Resistensi Antimikroba, yang disahkan melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan No. 7/2021. Rencana ini menekankan pentingnya melibatkan semua pemangku kepentingan utama untuk mencapai target pengendalian AMR, dengan PSE memainkan peran penting dalam mendorong kolaborasi efektif untuk mencapai tujuan kesehatan penting ini.

Country Team Leader FAO ECTAD, Luuk Schoonman, menekankan pentingnya kolaborasi yang kuat antara pemerintah dan sektor swasta unggas untuk inisiatif ini. 

“Integrasi komitmen ini ke dalam Rencana Aksi Nasional menunjukkan dedikasi kita untuk meningkatkan praktik baik peternakan dan melindungi kesehatan masyarakat. Dukungan penuh FAO akan terus berlanjut sampai kita mencapai perbaikan yang substansial dan berkelanjutan,” kata Schoonman.

Team poultry health JAPFA Breeding Division, PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk, Dalmi Triyono mengatakan bahwa dirinya mendukung strategi pemerintah untuk pengendalian AMR dengan mempromosikan penggunaan antibiotik yang tepat dan bertanggung jawab, dengan mengurangi penggunaan antibiotik untuk pencegahan pada peternakan unggas. 

"Komitmen kami lebih dari sekedar kepatuhan, memastikan praktik kesehatan unggas kami memenuhi standar tinggi dan keberlanjutan. Dengan menerapkan biosekuriti dan manajemen pemeliharaan yang tepat dan berkelanjutan, kami memastikan ternak sehat, produktif dan aman dikonsumsi," tuturnya.

Surveillance Analyst Assistant Manager, PT Medion Farma Jaya, Gian Pertela juga mengutarakan hal serupa dimana Medion juga mendukung setiap rencana pemerintah terkait penggunaan antibiotik yang tepat dan rasional untuk kesehatan hewan. 

"Komitmen kami terhadap inisiatif ini mencerminkan dukungan terhadap kebijakan kesehatan yang bertanggung jawab dan dedikasi kami untuk berkontribusi pada upaya global melawan resistensi antimikroba, menjaga kesehatan hewan dan manusia, serta memastikan keberlanjutan industri peternakan di masa depan," kata dia.

Setelah lokakarya, sektor swasta, bekerja sama dengan pemerintah, akan menyusun indikator outcome dan output sebagai target untuk program intervensi. Program-program ini akan fokus pada peningkatan deteksi AMR melalui perbaikan sistem monitoring, pengujian laboratorium, dan data sharing, serta meningkatkan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) dan Penatagunaan Antimikroba (PGA) melalui pembangunan kapasitas, meningkatkan kesadaran, dan memperkuat komitmen di kedua sektor. Acara ini melanjutkan pertemuan sebelumnya yang diadakan pada 15 Agustus 2024, yang memperkenalkan pentingnya Keterlibatan Sektor Swasta (PSE) dalam pengendalian AMR dan menetapkan indikator target untuk RAN AMR 2025-2029. (CR)

''THINK GLOBALLY, ACT LOCALLY'' TERHADAP PERUBAHAN IKLIM GLOBAL

(Foto: Istimewa)

Bersyukur bisa hadir pada lokakarya Foresight yang diadakan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) bekerja sama dengan Food and Agriculture Organization (FAO), pada 15-16 Juli 2024, di Pullman Hotel Thamrin, Jakarta Pusat, bersama seorang kolega lain, mewakili Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia (ADHPI).

Pada lokakarya tersebut membahas tema meningkatnya ancaman perubahan iklim yang mengganggu produksi peternakan dan memicu penyakit zoonosis baru untuk mengidentifikasi tantangan masa depan subsektor peternakan di Indonesia, tema yang menarik bagi saya sebagai praktisi perunggasan.

Membaca undangan Ditjen PKH yang dikirimkan ketua ADHPI, Drh Dalmi Triyono, menerangkan bahwa kerangka acuan yang digunakan dalam lokakarya tersebut adalah Inisiatif Kebijakan dan Perencanaan Masa Depan Peternakan (Futures Livestock Policy and Planning (FLPP) Initiative) Mitigasi Dampak Perubahan Iklim terhadap Penyakit Zoonosis yang Muncul dan Muncul Kembali di Indonesia.

Dijelaskan dalam beberapa dekade mendatang, negara-negara berkembang seperti Indonesia akan mengalami lonjakan permintaan makanan sumber protein hewani karena pertumbuhan penduduk, meningkatnya pendapatan, dan urbanisasi. Peningkatan permintaan akan mendorong investasi besar dalam peternakan dan rantai nilai terkait, yang sangat berdampak pada mata pencaharian, kesehatan masyarakat, dan lingkungan.

Ketika sektor peternakan berubah, interaksi baru antara manusia, hewan, dan satwa liar akan muncul, berpotensi mengarah pada ancaman kesehatan masyarakat baru. Ancaman ini mencakup penyakit zoonosis yang muncul dengan potensi pandemi, bahaya keamanan pangan, dan penyebaran patogen resistan antimikroba.

Dalam lokakarya tersebut, metode foresight akan disusun untuk mengikuti Model Foresight Generik seperti yang digariskan oleh Joseph Voros.

Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Drh Syamsul Ma’arif MSi, sebelum membuka lokakarya secara resmi, turut memberi apresiasi positif, bersyukur, dan mendorong solusi perubahan iklim serta pencegahan zoonosis dengan pendekatan One Health.

Pada hari pertama fokus pada “Input” mengumpulkan informasi tentang keadaan sektor peternakan Indonesia saat ini, termasuk tren, tantangan, dan peluang. Kemudian “Analisis” untuk identifikasi pola dan mencari pendorong utama perubahan. Diawali pemaparan tentang tren perubahan iklim 15-20 tahun ke depan disampaikan oleh Kadarsih MSi dari BMKG, dilanjutkan Drh Didi Prigastono dari industri perunggasan, Josep lay dari industri penggemukan sapi potong, dan Drh Dedy Fachrudin mewakili industri sapi perah. Semua peserta terlibat dalam “Interpretasi” untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang kekuatan mendasar yang membentuk sektor ini.

Terhadap perubahan tersebut para narasumber menyikapi dengan cara berbeda, sehingga menjadi sebuah kombinasi yang melengkapi dan saling menguatkan, dengan perubahan iklim tersebut agar lebih memperhatikan biosecurity, food security, dan social security.

Pada hari kedua, fokus beralih ke “Prospection” mengeksplorasi skenario masa depan potensial untuk sektor peternakan Indonesia. Peserta menggunakan alat dan teknik Foresight untuk membayangkan masa depan alternatif, dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti perubahan iklim, kemunculan penyakit, dan preferensi konsumen. “Output” dari latihan ini akan diterjemahkan ke dalam rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti untuk kebijakan dan perencanaan.

Penulis (paling tengah) mewakili ADHPI saat lokakarya Foresight yang diadakan Ditjen PKH dan FAO di Jakarta. (Foto: Dok. Pribadi)

Tetapi dalam diskusi kecil kelompok, kami merasa ada yang kurang pas, karena aktualisasi bayangan perubahan yang kami presentasikan tersebut terlampau ekstrem. Kami khawatir menimbulkan gejolak, apalagi kondisi mental masyarakat saat ini sangat rapuh akibat perubahan yang terjadi, berpotensi menyebabkan gejolak sosial, sehingga bernegara bisa berubah ekstrem menjadi sosialis atau kapitalis.

Sehingga pada akhir sesi kami sampaikan bahwa menyikapi perubahan yang bakal terjadi di masa depan, sebaiknya “Berpikir Global tetapi Bertindak Lokal” (Think Globally, Act Locally) memahami masalah secara global, menyadari bahwa Indonesia juga terdampak akibat perubahan, tetapi mencari solusinya dengan tetap memperhatikan kepentingan dalam negeri dan kearifan sumber daya lokal agar kita tetap memiliki jati diri sebagai bangsa yang beradab, berbudaya, menjunjung tinggi perikemanusiaan, keadilan, dan persatuan untuk kesejahteraan rakyat dan kejayaan Indonesia. Berbeda dari konsep sosialis maupun kapitalis, maka gagasan itu kami namakan Sosio Capita Humanis.

Masih banyak yang ingin kami diskusikan, bersama tim dengan latar belakang berbeda, membahas strategi masa depan untuk kepentingan peternakan di Indonesia adalah sangat mengasyikan, tetapi karena terbatasnya waktu, lokakarya harus disudahi, dan ditutup resmi oleh Drh Imron Suandi MVPH selaku Direktur Kesehatan Hewan yang baru.

Semoga hasil pemikiran peserta dalam lokakarya tersebut bermanfaat sebagai kontribusi pada rencana strategis peternakan nasional yang tangguh menghadapi perubahan iklim, mencegah zoonozis, dan siap menyongsong Indonesia Emas 2045. ***

Ditulis oleh:
Drh H. Baskoro Tri Caroko
Koordinator ADHPI Area Jabodetabek Banten

KEMENTAN, FAO, DAN BBGP JABAR INTEGRASIKAN ZOONOSIS DALAM KURIKULUM SEKOLAH

Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kepala Balai Besar Guru Penggerak Provinsi Jawa Barat menandatangani Perjanjian Kerja Sama Program Pemberdayaan Guru dan Tenaga Kependidikan Sekolah Penggerak dalam Peningkatan Kesadaran Zoonosis pada Jenjang Pendidikan Tingkat Dasar di wilayah Provinsi Jawa Barat  (Foto : FAO)


Kementerian Pertanian (Kementan) bersama Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) dan Balai Besar Guru Penggerak (BBGP) Provinsi Jawa Barat, meluncurkan Program Pemberdayaan Guru dan Tenaga Kependidikan Sekolah Penggerak dalam Peningkatan Kesadaran Zoonosis pada Jenjang Pendidikan Tingkat Dasar di wilayah Provinsi Jawa Barat pada acara puncak perayaan Hari Rabies Sedunia atau World Rabies Day (WRD) di Bandung Sabtu (7/10).

Sesuai dengan semangat kampanye global WRD 2023 yang bertemakan, ‘All for 1, One Health for All’, kolaborasi multisektor ini mengambil pendekatan baru yang inovatifdengan memperkenalkan pendidikan zoonosis kepada siswa SD dan SMP melalui Kurikulum Merdeka Belajar.

 

Rabies merupakan salah satu dari enam penyakit zoonotik prioritas lintas sektor di Indonesia. Rabies adalah penyakit zoonotik pertama yang dikampanyekan sebagai model untuk memulai program ini, mengingat Jawa Barat masih dalam proses pembebasan rabies, khususnya Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Sukabumi yang masih endemis terhadap penyakit berbahaya ini


Oleh karena itu, pendidikan sejak usia dini sangat penting untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam respons rabies. Program ini merupakan bagian dari upaya pencegahan rabies yang lebih luas dengan melibatkan masyarakat dalam sektor pendidikan yang bertujuan untuk mengurangi risiko rabies, terutama di kalangan anak-anak.

 

Pada kesempatan tersebut, Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementerian Pertanian bersama Kepala Balai Besar Guru Penggerak Provinsi Jawa Barat menandatangani Perjanjian Kerja Sama sebagai bentuk dimulainya pelaksanaan program tersebut. 


“Rabies memerlukan program pengendalian lintas sektor yang terpadu berdasarkan prinsip One Health. Kesadaran terhadap masyarakat berisiko tinggi, dalam hal ini anak-anak, sangat diperlukan, mengingat 40% korban rabies adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun,” kata Syamsul Ma'arif, Direktur Kesehatan Masyarakat VeterinerKementerian Pertanian.

 

Mohammad Hartono, sebagai Kepala Balai Besar Guru Penggerak Provinsi Jawa Barat menyambut baik adanya program ini, dan menyatakan bahwa kurikulum ini, nantinya perlu disampaikan kepada seluruh sekolah, tidak terbatas hanya di Sekolah Penggerak saja. 


“Program ini merupakan bentuk kerja sama multisektoral yang strategis dan inovatif di Sekolah Penggerak Provinsi Jawa Barat untuk mengendalikan zoonosis dan memperkuat ketahanan kesehatan melalui pendidikan,” kata Hartono.

 

“Memasukkan zoonosis ke dalam Kurikulum Merdeka Belajar pada pendidikan tingkat SD dan SMP merupakan kolaborasi  multisektoral yang strategis untuk menciptakan generasi yang sadar akan zoonosis yang mengancam kesehatan masyarakat dan bersedia mengambil bagian dalam pencegahan dan pengendalian rabies atau zoonosis lain yang mungkin muncul di Indonesia kedepannya," kata Rajendra Aryal, Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste.


FAO percaya bahwa program ini dapat memberikan dampak yang signifikan dalam membantu mencapai rencana strategis global untuk menghilangkan kematian manusia akibat rabies yang disebabkan oleh anjing pada tahun 2030, sehingga menciptakan Indonesia bebas rabies.

 

Sebagai bagian dari kegiatan komunikasi risiko rabies dan keterlibatan masyarakat, FAO Indonesia sebelumnya memfasilitasi webinar online tentang pencegahan rabies bekerja sama dengan Kementerian Pertanian, yang secara eksklusif menyasar para guru dan staf kependidikan Sekolah Penggerak di Provinsi Jawa Barat untuk meningkatkan pengetahuan mereka mengenai ancaman rabies dan tindakan yang tepat dalam merespon penyakit tersebut. Setelah itu, materi informasi, edukasi, dan komunikasi dibagikan ke seluruh Sekolah Penggerak di Provinsi Jawa Barat sebagai alat bantu ajar untuk meningkatkan pengetahuan siswa tentang rabies. (INF)

MENGHAYATI PENTINGNYA PERAN TECHNICAL SERVICE DALAM MEMINIMALISIR AMR

Foto Bersama Para Peserta


Sabtu 17 Juni 2023 yang lalu di Hotel Oak Wood Taman Mini Indonesia Indah digelarlah Lokakarya Nasional Aksi Bersama Mencegah AMR Bagi Tenaga Pelayan Teknis (Technical Services) Peternakan Unggas di Indonesia.

Acara tersebut terselenggara berkat kolaborasi dari beberapa stakeholder di dunia peternakan seperti Asosiasi Dokter hewan Perunggasan Indonesia (ADHPI), Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS), Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI), Food and Agriculture Organization (FAO), World Animal Health Organization (WOAH), dan tentu saja Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Dalam sambutannya Ketua Umum ADHPI, Drh Dalmi Triyono menyampaikan bahwa sejatinya penggunaan antibiotik di bidang kesehatan manusia dan hewan adalah keniscayaan. Namun kurang bijak dan sesuainya penggunaan antibiotik menyebabkan terjadinya resistensi antimikroba (AMR). 

"Salah satu bidang pekerjaan dokter hewan di perunggasan misalnya, Technical Service. Mereka merupakan garda terdepan untuk mengedukasi peternak, bukan hanya menjual produk saja, tetapi harus lebih banyak memberikan pengetahuan dan mengubah mindset peternak khususnya dalam penggunaan antibiotik," tutur Dalmi.

Dalam kesempatan yang sama secara daring Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Nuryani Zainuddin menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia sebagai pemangku kebijakan juga telah melakukan berbagai upaya pengendalian AMR melalui penetapan peraturan yang mendorong AMU yang bijak dan bertanggung jawab.

Selain itu, pemerintah juga telah menetapkan salah satu indikator pengendalian AMR 2020-2024 adalah tercapainya penurunan 30% penggunaan antimikroba untuk tujuan profilaksis di peternakan unggas pedaging pada tahun 2024. Dengan mulai terbukanya pasar negara lain terhadap produk unggas Indonesia, tata laksana terapi antimikroba yang baik bukan saja mendukung target pemerintah dalam pengendalian AMR, tetapi juga mendukung usaha dalam memperluas pasar produk perunggasan Indonesia.

Sedangkan Tikiri Priyantha yang merupakan perwakilan WOAH mengatakan bahwa resistensi antimikroba menjadi permasalahan bersama secara global dan merupakan sepuluh besar ancaman yang membutuhkan perhatian serius. Menurutnya AMR bisa membahayakan semua makhluk, tak hanya hewan, namun juga manusia hingga lingkungan, Untuk itu sebuah gerakan bersama pengendalian AMR, untuk meningkatkan kesadaran di antara para pemangku kepentingan menjadi sebuah hal yang penting. (CR)


FAO LUNCURKAN PEDOMAN TRANSPORTASI DAN PENYEMBELIHAN TERNAK UNTUK ASIA - PASIFIK

Buku Panduan Transportasi dan Penyembelihan Hewan Ternak
(Sumber : FAO, 2023)


Awal tahun ini organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO) meluncurkan panduan teknis tentang transportasi dan pemotongan hewan ternak yang disesuaikan dengan kondisi negara-negara di wilayah Asia-Pasifik. Panduan ini mencakup proses transportasi untuk sapi, babi, kambing, domba, dan ungags, dengan penekanan pada transportasi darat, melengkapi dua panduan terdahulu tentang peternakan cerdas-iklim (climate-smart livestock) dan peternakan dan pemotongan skala rumah tangga (backyard farming and slaughtering) yang diluncurkan pada 2021 silam. 

Dokumen ini menyediakan informasi penting tentang bagaimana perlakuan sebelum penyembelihan, pada saat pemingsanan, serta praktik penyembelihan yang tidak memperhatikan kesejahteraan hewan atau animal welfare dengan perlakuan yang membuat ternak merasa sakit, takut, serta stress. Namun, panduan ini tidak mencakup proses lebih lanjut setelah kematian hewan terkonfirmasi.

Hal ini dilatarbelakangi oleh perdagangan hewan ternak hidup yang telah terjadi selama ribuan tahun. Hewan ternak telah diperdagangkan sejak praktik sistem pertukaran hewan sederhana dilakukan oleh masyarakat, hingga perdagangan hewan modern dengan jarak yang sangat jauh. Sifat produksi dan perdagangan ternak komersial terjadi sedemikian rupa sehingga pada titik tertentu memerlukan pengangkutan massal dari peternakan yang berfokus pada pembibitan ke pasar komersial, hingga ke rumah potong hewan atau tempat penyembelihan.

Sistem produksi peternakan di Asia dan Pasifik kini semakin terstratifikasi, dengan beberapa lalu lintas atau perpindahan ternak di antara peternakan produksi dan pemotongan, yang sebagian besar masih berupa peternakan tradisional. Pengurangan rantai pasar dan perencanaan lalu lintas yang baik secara hati-hati dapat dengan signifikan mengurangi risiko terhadap kesehatan atau penyakit hewan, kesejahteraan hewan, serta penyakit yang dimediasi dengan makanan (foodborne diseases). Selain itu, pengurangan durasi dan frekuensi transportasi, sambil mengoptimalkan kondisi transportasi (sehingga secara langsung atau tidak langsung meningkatkan kesejahteraan hewan), juga akan berpengaruh terhadap penurunan emisi gas rumah kaca.

Transportasi berpotensi bahaya bagi hewan, terlepas dari apakah perjalanan yang dilakukan antar- atau di dalam wilayah suatu negara, atau melalui jalur darat, kereta api, pesawat udara, atau kapal laut. Beruntungnya, masih ada cara di mana stakeholder peternakan tetap bisa mengidentifikasi risiko terhadap kesejahteraan hewan dan memberikan opsi lain yang cocok untuk menghasilkan kesjahteraan hewan yang optimal, yang menghasilkan produk ternak yang berkualitas. (WF)

PERINGATAN HARI PANGAN SEDUNIA : FAO & KEMENTAN TEGASKAN PENTINGNYA STANDAR PANGAN UNTUK MITIGASI AMR

Menteri Pertanian bersama FAO mengajak masyarakat mengonsumi produk hewan yang Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH) dalam peringatan Hari Keamanan Pangan Sedunia 2023.
(Sumber : FAO 2023)

Dalam rangka memperingati Hari Keamanan Pangan Sedunia, Kementerian Pertanian (Kementan) bersama dengan Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) mengajak masyarakat untuk mengkonsumsi produk pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).

Puncak peringatan Hari Keamanan Pangan Dunia atau World Food Safety Day (WFSD) 2023 yang dilaksanakan di Gedung Auditorium Kementerian Pertanian pada Kamis (8/6) sangat meriah.  Acara tersebut dihadiri oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL), Perwakilan FAO di Indonesia dan Timor Leste, serta Kementerian/Lembaga dan pemangku kepentingan terkait lainnya.

Pada kesempatan tersebut Mentan SYL menyampaikan, peringatan ini menjadi momentum dalam meningkatkan peran bersama untuk kita menjaga keamanan pangan.  “Pangan memiliki peran fundamental dalam keberlangsungan kehidupan manusia dan pangan yang aman merupakan hak setiap orang,” kata Mentan SYL. Sehingga menurutnya, segala upaya dalam memastikan pangan yang aman mutlak diperlukan.  

Sementara itu, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Nasrullah menyampaikan, salah satu upaya pemerintah untuk menjamin keamanan pangan bagi masyarakat adalah melalui sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner (NKV), yang merupakan salah satu bentuk jaminan keamanan pangan untuk produk asal hewan. “Adanya standar memberikan panduan penanganan makanan yang higienis bagi peternak, termasuk batas residu pestisida dan obat hewan, untuk mengurangi risiko resistensi antimikroba (AMR),” jelasnya.

Sebagai informasi, sejak tahun 2006, Indonesia bekerjasama dengan FAO dan USAID, serta pemangku kepentingan terkait untuk memperkuat sistem pengawasan keamanan pangan dengan memastikan keamanan produk ternak di Indonesia, serta secara efektif mengendalikan ancaman AMR melalui anjuran penerapan biosekuriti 3-zona dan kebersihan-sanitasi di peternakan.

Sementara itu, Yohanes Baptista Satya Sananugraha, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Penduduk, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan  menjelaskan pangan yang aman, sehat dan bergizi sangat diperlukan dalam setiap tahapan siklus hidup, mulai sejak dalam kandungan sampai usia lanjut. “Salah satu bahan pangan yang sangat baik untuk tumbuh kembang anak dalam upaya pencegahan stunting adalah protein hewani,” ungkapnya.

Hal senada juga disampaikan Rajendra Aryal, Perwakilan FAO di Indonesia dan Timor Leste, menyoroti pentingnya keamanan pangan bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Rajendra menyatakan, “Dengan menegakkan standar keamanan pangan yang tinggi, kita dapat menyelamatkan nyawa dan memastikan rantai pasokan pangan yang lebih aman.”

 

Lebih lanjut, Rajendra menegaskan bahwa pangan yang tidak aman juga dapat dihasilkan dari kontaminasi organisme AMR yang berpotensi menimbulkan ‘silent pandemic’ atau pandemi senyap. Untuk itu  penggunaan antimikroba secara bijak dan bertanggung jawab pada semua sektor harus terus digencarkan. “Mari berkomitmen untuk menjunjung tinggi standar keamanan pangan dan bekerja secara kolaboratif untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya. (INF)

HARI KEAMANAN PANGAN SEDUNIA 2023 : STANDARISASI PANGAN MENYELAMATKAN NYAWA

Memastikan Kemanan Pangan Yang Dikonsumsi adalah Suatu Keniscayaan

Memastikan keamanan pangan kita menjadi hal yang penting dalam dunia yang terus berubah dengan cepat. Dengan pertumbuhan populasi, urbanisasi, perluasan lahan pemukiman, dan perubahan iklim, Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) menekankan pentingnya standar pangan untuk melindungi kesehatan masyarakat. 

Menyambut Hari Keamanan Pangan Dunia yang dirayakan besok pada tanggal 7 Juni, FAO mendesak para pembuat kebijakan, praktisi, dan investor untuk memberi prioritas pada produksi dan konsumsi pangan yang aman dan berkelanjutan demi kehidupan yang sehat.  

Rajendra Aryal, Perwakilan FAO di Indonesia dan Timor Leste, menyoroti pentingnya keamanan pangan dengan mengatakan, "Dengan menjaga standar keamanan pangan yang tinggi, kita dapat menyelamatkan nyawa dan memastikan rantai pasokan pangan yang lebih aman." 

Tema Hari Keamanan Pangan Dunia tahun ini, "Standarisasi pangan menyelamatkan nyawa," bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang peran kritis standarisasi pangan dalam melindungi konsumen dan mempromosikan perdagangan pangan yang adil. 

 "Mempromosikan keselamatan pangan membuat perbedaan. Melalui upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah, pembuat kebijakan, dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk sektor swasta, kita melihat peningkatan kesadaran tentang keamanan pangan, yang sangat penting bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat," tambah Aryal. 

Angka statistik yang mengkhawatirkan mengungkapkan bahwa satu dari sepuluh orang di dunia jatuh sakit akibat makanan terkontaminasi setiap tahun. Hal ini terjadi di setiap negara. Lebih dari 200 penyakit terkait dengan konsumsi makanan yang terkontaminasi. "Kita harus bekerja sama untuk melindungi populasi rentan, terutama anak-anak di bawah usia 5 tahun, yang menjadi korban dari kontaminasi makanan ini," tekan Aryal terkait fakta bahwa anak-anak adalah salah satu yang pertama kali terkena penyakit akibat kontaminasi makanan. 

Peran Indonesia dalam Komisi Codex Alimentarius 

Indonesia secara aktif berpartisipasi dalam kerja Komisi Codex Alimentarius, badan pengatur standar pangan internasional yang didirikan oleh FAO dan WHO. Pemerintah Indonesia mengakui pentingnya menyelaraskan standar keamanan pangan nasional dengan standar internasional Codex untuk memastikan perdagangan yang adil dan memberikan perlindungan kesehatan bagi warganya. 

Badan Standardisasi Nasional (BSN) sebagai penanggung jawab untuk Codex di Indonesia memainkan peran penting dalam melaksanakan dan mempromosikan standar Codex. Sebagai penanggung jawab, BSN turut mengoordinasikan Komite Nasional Codex yang terdiri dari perwakilan dari berbagai lembaga pemerintah, asosiasi bisnis, organisasi konsumen, dan institusi ilmiah, serta meninjau, mengadopsi, dan mengusulkan revisi atau standar baru jika diperlukan. Tujuan dari Standarisasi adalah memastikan standar keamanan pangan nasional Indonesia sejalan dengan standar Codex internasional, untuk menjamin pangan yang aman dan berkualitas tinggi bagi konsumen. 

FAO bekerja sama erat dengan pemerintah Indonesia dan mitra lainnya untuk memperkuat sistem pengendalian keamanan pangan di negara ini. Melalui bantuan teknis, pembangunan kapasitas, dan panduan kebijakan, FAO bertujuan untuk meningkatkan praktik dan standar keamanan pangan di seluruh rantai nilai pangan. Kemitraan FAO dengan Indonesia dan negara-negara lainnya sangat penting untuk mempromosikan keamanan pangan dan menjamin kesehatan masyarakat. 

"Siapapun anda atau apa yang anda lakukan, anda memainkan peran penting dalam memastikan pangan aman untuk dikonsumsi. Mari berkomitmen untuk menjunjung tinggi standar keamanan pangan dan bekerja secara kolaboratif untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat," tambah Aryal. 

FAO mengimbau individu, bisnis, dan pemerintah untuk menyadari tanggung jawab mereka dalam memastikan keamanan pangan. (INF)

FAO DAN KEMENTAN UNDANG BARA GELAR WORKSHOP AMR

Foto Bersama Para Peserta dan Trainer

Resistensi antimikroba (AMR) tentunya sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Isu tersebut bahkan merupakan salah satu topik yang dibahas oleh para pemimpin dunia pada KTT G-20 di bali beberapa waktu yang lalu.

Indonesia sendiri masih berjuang dalam mengendalikan resistensi antimikroba. Dengan tujuan studi banding sekaligus berbagi pengalaman, FAO ECTAD Indonesia bersama Kementan melaksanakan kegiatan workshop mengenai AMR bertemakan MPTF - BARA Traning and Workshop di Hotel Aston Priority, Jakarta Selatan (23/5) lalu. Pesertanya merupakan semua stakeholder baik pemerintah dan swasta yang bergerak dalam bidang medis, akuakultur, dan pertanian yang bersinggungan dengan penggunan antimikroba. 

Kasubdit POH Drh Ni Made Ria Isriyanthi yang hadir mewakili Direktur Kesehatan Hewan dalam sambutannya menyatakan rasa terima kasihnya kepada semua pihak yang telah mendukung keberlangsungan acara tersebut. Ia menyebut bahwa pelatihan ini merupakan upaya dari pemerintah dalam mengendalikan resistensi antimikroba.

"Kita berkolaborasi dengan BARA dan FAO juga bukan tanpa alasan, di Bangladesh kampanye AMR ini sangat masif, dan kita bisa mengambil hal - hal positif dari mereka," tutur Ria.

BARA (Bangladesh AMR Response Alliance) sendiri merupakan organisasi independen yang terdiri dari bermacam profesi yang berhubungan dengan medis seprti dokter, dokter hewan dokter gigi, apoteker, dan semua pihak yang berkecimpung di sektor keamanan pangan, akuakultur, dan pertanian secara luas.

Hal tersebut disampaikan oleh Jahidul Hasan selaku fasilitator / trainer dalam acara tersebut Pria yang berprofesi sebagai apoteker tersebut juga merupakan salah satu anggota BARA. Ia mengatakan bahwa BARA terbentuk sejak tahun 2018 atas keresahan mengenai resistensi antimikroba yang terjadi di Bangladesh.

Di negaranya, Jahidul mengatakan bahwa penggunaan antimikroba di berbagai sektor dapat dibilang sangat serampangan. Bahkan ia menyebut bahwa seorang profesor di satu rumah sakit besar di Bangladesh sampai terkaget - kaget bahwa bakteri yang diisolat dari rumah sakit tempatnya bekerja merupakan superbug alias bakteri yang resisten terhadap berbagai macam jenis antibiotik.

"Ini tentu sangat meresahkan, oleh karena itu kami berinisiatif membangun BARA. semua sektor kami rangkul, dokter, dokter gigi, dokter hewan, bahkan dari sektor akuakultur dan pertanian juga boleh, kami tidak membatasi keanggotaan kami, siapapun yang merasa terpanggil akan masalah ini boleh menjadi anggota kami," tuturnya.

Kegiatan yang dilakukan BARA antara lain melakukan penyuluhan, pendampingan, konsultasi, dan pelatihan ke masyarakat, pelajar, mahasiswa, kalangan medis, bahkan petani, peternak, dan pembudidaya ikan. Mereka umumnya melaksanakan kegiatan dengan pendekatan yang persuasif dan menyenangkan sehingga masyarakat menerima kedatangan mereka.

"Kami memulai dari bawah, mengumpulkan data, melihat apa yang terjadi, dan melakukan action sesuai dengan permasalahan yang ada di lapangan. Pemerintah pun ikut andil dalam hal ini, karena kami tahu bahwa data adalah hal yang penting juga bagi mereka dalam mengambil keputusan," kata Jahidul.

Dari data yang terkumpul, BARA kemudian mengolahnya dan menjadikanya aplikasi yang dapat digunakan oleh masyarakat. Dari situlah masyarakat dapat mengakses isu tentang AMR, teredukasi, dan lebih menyadari pentingnya isu tersebut.

Dalam kesempatan yang sama Drh Erianto Nugroho selaku perwakilan FAO ECTAD Indonesia mengatakan bahwa program ini sangat bagus dan esensial bagi Indonesia yang tengah berjuang menghadapi AMR. Ia menilai dari sini Indonesia bisa banyak belajar, membagi dan berbagi pengalaman terutama challenge di lapangan terkait pengendalian AMR.

"Bisa saja kita membuat semacam organisasi kaya BARA, orang yang ikut yang benar - benar independen. Tapi sebagus - bagusnya program yang dibuat kalau masyarakatnya tidak aware akan hal ini juga rasanya percuma, jadi fokus utamanya bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat dulu ya mungkin," tutur dia.

Kegiatan tersebut berlangsung selama 3 hari dimulai dari 23-26 Mei 2023. Diharapkan dengan selesainya kegiatan ini kapasitas Indonesia dalam mengendalikan AMR semakin meningkat dan lebih baik. (CR)


ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer