“Daging
Impor Asal Brazil akan Gempur Pasar Indonesia”, demikian sebuah judul artikel
di sebuah media cetak nasional awal Mei lalu yang beredar di kalangan usaha dan
stakeholder peternakan. Judul artikel
ini menjadi bahan perbincangan hangat karena pembaca tergiring ke arah opini
bahwa sebentar lagi mimpi buruk masuknya daging ayam Brazil akan menjadi
kenyataan.
Beberapa
grup media sosial mendiskusikan topik ini. Ada yang menuduh pemerintah (Kementan dengan Kemendag) tidak
kompak, ada yang menganggap pemerintah tidak lihai berdiplomasi di WTO, ada
juga yang menuduh pemerintah sengaja membuka impor untuk tujuan tertentu, ada
pula yang menginformasikan bahwa pemerintah sudah berusaha optimal menghambat
masuknya impor daging ayam asal Brazil.
Untunglah
di tengah kesimpang-siuran informasi ini, Direktur Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Drh I Ketut Diarmita, segera menyebarkan rilis berita yang menegaskan bahwa
saat ini Indonesia tidak akan melakukan impor daging ayam dari Brazil.
Dirjen PKH bukan hanya menyatakan tidak berniat melakukan impor, namun juga menjelaskan
beberapa langkah yang telah dilakukan sebagai langkah nyata “pembelaan”
terhadap perunggasan nasional.
Langkah
yang dijelaskan Ketut antara lain bahwa tanggal 12 Februari 2018 telah dilakukan
pertemuan antara Menteri Pertanian RI dengan Tim Kementerian Pertanian Brazil
untuk membicarakan peluang peningkatan hubungan bilateral khususnya di sektor
pertanian dan peternakan melalui kerangka kerjasama Kemitraan Strategis RI-Brazil.
Pertemuan
tersebut menghasilkan setidaknya tiga kesepakatan. Pertama, Menteri Pertanian RI menyetujui masuknya daging sapi
Brazil ke Indonesia dan Tim Kementerian Pertanian Brazil menyetujui untuk tidak
memasukkan daging ayam dan produknya ke Indonesia. Hal ini disebabkan karena
Indonesia sudah oversupply daging
ayam bahkan sudah melakukan ekspor ke Jepang, Timor Leste, Papua New Guinea dan
sedang dalam penjajakan ekspor ke Negara-negara Asia lainnya dan Timur
Tengah.
Kedua, menjaga
hubungan baik kedua negara melalui kerjasama peningkatan SDM Peternakan dan
Kesehatan Hewan. Ketiga, Tim
Kementerian Pertanian Brazil juga akan mendorong pelaku usaha di Brazil untuk
melakukan investasi breeding farm dan
usaha peternakan sapi di Indonesia.
Jelaslah,
bahwa pemerintah melalui Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan sejatinya tidak
tinggal diam untuk menjaga “kedaulatan” perunggasan nasional. Sebelum heboh
berita daging Brazil akan gempur Indonesia, Infovet juga sempat mengikuti
diskusi dengan Dirjen PKH untuk meminta masukkan pemangku kepentingan
perunggasan perihal langkah-langkah apa saja yang diperlukan untuk menjaga agar
daging ayam Brazil tidak masuk atau setidaknya “tidak segera” masuk ke negeri
kita.
Dalam
diskusi itu antara lain perlunya peningkatan ekspor produk perunggasan.
“Janganlah ekspor itu hanya sekedar untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek.
Ekspor itu kan investasi membangun
jaringan bisnis internasional untuk jangka panjang,” ujar Dirjen dalam sebuah
forum.
Dirjen PKH berpendapat, ekspor adalah salah satu senjata untuk berdiplomasi agar
negara lain, termasuk Brazil, tidak dengan mudah masuk ke Indonesia.
Undang-undang kita mengamanatkan bisa impor jika kita kekurangan. “Kalau kita oversupply, buat apa impor,” tegas Ketut.
Siasat
ini tampaknya cukup ampuh untuk melakukan negosiasi dengan Brazil. Buktinya
pertemuan Tim Mentan dengan Tim Brazil menyepakati bahwa Brazil tidak memasukkan
daging ayam ke Indonesia.
Namun tetap
perlu diwaspadai, Brazil tentu masih berusaha memasukkan daging ayam ke Indonesia,
karena bagi Brazil, pasar Indonesia sangat menggiurkan. Indonesia adalah pasar
raksasa berjumlah 250 juta konsumen dengan pendapatan yang terus tumbuh.
Ketua
Gabungan Organisasi Peternakan Ayam Nasional (GOPAN), Herry
Dermawan mengatakan, harga ayam Brazil sangat murah karena “Negeri Samba” tersebut adalah salah satu produsen jagung di dunia. Harga jagung di
Brazil paling mahal Rp 2.200 sedangkan di Indonesia Rp 4.000 bahkan lebih,
kalau paceklik bisa Rp 5.000. Dengan harga jagung 50% lebih murah dari harga
jagung Indonesia, harga pakan di Brazil menjadi lebih murah.
Dengan
pernyataan Ketua Umum GOPAN tersebut, kita lihat, ada satu jurus lagi untuk menangkal
masuknya daging ayam asal Brazil, yaitu meningkatkan efisiensi usaha
perunggasan. Indonesia dan Brazil adalah negara dengan banyak persamaan.
Perbedaannya adalah di negara tersebut harga jagung sangat murah. Apakah karena
petani mendapat subsidi, atau karena pemerintah menyediakan lahan penanaman
jagung secara gratis atau teknologinya lebih bagus. Ini perlu dipelajari dengan
cermat.
Jika
benar, faktor utamanya adalah harga jagung, kini saatnya pemerintah melakukan
langkah pengembangan jagung yang efisien. Sekarang ini Indonesia berhasil
menyetop impor jagung, namun kalangan usaha peternakan mengeluh, swasembada
jagung menyebabkan biaya produksi unggas meningkat akibat harga jagung lokal
mahal.
Dengan
harga ayam yang relatif tinggi dibanding Brazil, pemerintah juga berupaya
menangkal impor dengan menerapkan syarat
Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang penyembelihan halal pada unggas,
yang mempersyaratkan pemotongan ayam harus dilakukan secara manual satu per
satu oleh juru sembelih (tukang potong).
Bagaimana
jika persyaratan halal yang cukup ketat bisa dipenuhi Brazil dengan harga yang
tetap lebih murah? Inilah tantangan yang harus dipikirkan lebih lanjut.
Jual-beli memang tidak sekedar harga murah. Ada unsur kualitas, ada juga
soal keamanan dan kenyamaman batin konsumen. Namun, harga yang berdaya saing
tetaplah penting.
Sambil
berupaya usaha perunggasan makin efisien, masih ada jurus lain yang perlu
dijalankan segera, misalnya kampanye cinta produk Indonesia, kampanye daging
segar sehat, inovasi produk olahan dan sebagainya.
Namun tak usah takut dengan Brazil jika kita terus berusaha menciptakan
keunggulan. ***