Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini budidaya | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

TOXIN BINDER DAN PERANANNYA

Kualitas pakan secara fisik ataupun laboratories sangat menentukan seberapa perlu penggunaan toxin binder dan kriteria/jenis penggunaannya sesuai dengan keperluan. (Sumber: zootecnicainternational.com)

Indonesia adalah negara yang terletak di sepanjang garis khatulistiwa, beriklim tropis dengan kelembaban udara yang relatif tinggi dari waktu ke waktu (sehingga sering disebut sebagai negara dengan iklim tropis basah). Indonesia memiliki iklim laut yang sifatnya lembab dan banyak mendatangkan hujan. Pada musim penghujan jelas akan memberikan dampak signifikan terhadap kelembaban lingkungan dibanding saat musim kemarau. Hal ini juga karena Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana sebagian besar tanah daratannya dikelilingi lautan dan samudera. Sehingga potensi pembentukkan uap air jauh lebih tinggi dibanding negara yang daratan lebih besar.

Lembab dan Faktor Resiko Munculnya Jamur
Pola suhu dan kelembaban di Indonesia dalam 24 jam sangat menciri sekali. Dimana pada saat tengah malam menuju ke dini/pagi hari, rendahnya suhu lingkungan biasanya akan diikuti oleh tingginya kelembaban, dan sebaliknya saat tingginya suhu siang hari secara umum kelembaban akan menurun signifikan.

Salah satu keunikan yang terjadi di Indonesia adalah dijumpainya kemarau basah yang berkepanjangan. Tingginya cekaman panas pada musim kemarau akhir-akhir ini menyebabkan terjadinya penguapan yang berlebihan dan berdampak pada terkumpulnya awan yang mengandung uap air yang pada titik kondensasi tertentu akan berubah menjadi hujan. Sehingga tidak jarang dijumpai kondisi pada saat cuaca panas, namun hujan turun yang menyebabkan kelembaban lingkungan semakin tinggi. Hal inilah yang menyebabkan pola kelembaban tidak hanya dipengaruhi rendahnya suhu pada malam hari, namunn juga suhu yang relatif tinggi yang berakibat penguapan berlebih pada saat siang hari.

Konsekuensi logis dari kondisi geografis tersebut membuat peternak harus lebih rinci dan detail dalam menjalankan aktivitas budidaya perunggasannya agar bisa meminimalkan efek atau resiko buruk dari kelembaban tinggi yang berdampak pada performa produksi ayam. Bahkan kelembaban relatif lingkungan bisa mencapai 100%. Tidak hanya sekedar dalam memainkan setting kipas dan tirai, upaya menjaga kualitas litter, mencegah adanya kepadatan semu, juga harus fokus terhadap ancaman penurunan kualitas pakan oleh adanya jamur dan mikotoksin. Mengingat efek yang dihasilkan sangat berbahaya dan merugikan, baik yang secara kasat mata mapun yang tidak.

Jamur dan Mikotoksin
Banyak para peternak yang belum bisa membedakan antara keduanya. Ada beberapa diantara peternak yang menganggapnya...

Drh Eko Prasetio
Commercial Broiler Farm Consultant


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2019.

HATI-HATI DALAM MEMANFAATKAN MANUR SEBAGAI PUPUK

Selain penghasil pangan, peternakan ayam juga menghasilkan limbah sampingan berupa manur. (Sumber: Istimewa)

Usaha peternakan unggas yang merupakan bagian dari pertanian memiliki fungsi utama untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat sekaligus berperan dalam penggerak perekonomian bangsa. Kebutuhan protein hewani semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, akan tetapi di sisi lain peternakan semakin terhimpit karena terbatasnya lahan.

Selain itu, keadaan juga diperparah dengan limbah hasil peternakan berupa manur, keberadaan manur sangat mengganggu karena menimbulkan bau yang tidak sedap bagi masyarakat dan dapat membuat lingkungan kotor dan tidak nyaman. Sudah banyak kasus peternakan unggas diprotes bahkan ditutup paksa oleh warga sekitar peternakan karena dirasa mengganggu kenyamanan warga setempat.

Kandungan Dalam Manur 
Manur secara tradisional bisa dimanfaatkan sebagai pupuk atau penyubur tanaman, terutama tanaman pangan karena kaya akan nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Manur seringkali langsung dimanfaatkan sebagai pupuk tanpa pengolahan lebih lanjut. Namun begitu, meskipun mengandung zat nutrisi tanaman yang tinggi, di dalam manur juga terkandung berbagai jenis bakteri patogen seperti Escherichia coli, Listeria, SalmonellaCampylobacter. (Pell 1997).

Bakteri-bakteri tersebut dapat mengontaminasi lingkungan sekaligus menimbulkan penyakit bersumber makanan (foodborne disease), berdasarkan data WHO (2017), terdapat 600 juta orang atau 1 dari 10 orang di dunia mengalami sakit setelah mengonsumsi makanan terkontaminasi oleh mikroorganisme patogen. Bakteri-bakteri tersebut diketahui juga dapat bertahan cukup lama di lingkungan yang sesuai, seperti Salmonella dan Campylobacter dapat bertahan selama sebulan, sedangkan Listeria dapat bertahan hingga tiga bulan. (Nicholson FA et al. 2005).

Ternak yang sedang diobati dengan antibiotik atau memakan pakan yang mengandung Antibiotic Growth Promoter (AGP) dapat menghasilkan manur yang mengandung residu antibiotik beserta bakteri yang membawa sifat resisten (Antibiotic Resistance Bacteria/ARB) (Youngquist CP et al. 2016).

Adapun jenis-jenis antibiotik yang diekskresikan melalui urin dan feses dan terdapat pada manur antara lain, Klortetrasiklin, Sulfa dan Tylosin. Kontaminasi antibiotik ke lingkungan dapat meningkatkan risiko resistensi antibiotik, risiko ini ditambah dengan hadirnya bakteri yang membawa gen resisten karena bakteri tersebut mampu menyebarkan sifat resistensinya melalui transfer plasmid kepada bakteri lain dan melalui perkembangbiakan bakteri itu sendiri.

Keberadaan bakteri-bakteri pembawa gen resistensi antibiotik dan residu antibiotik pada manur merupakan permasalahan yang dapat mengancam kesehatan, baik pada ternak maupun manusia. Salah satu metode yang dapat dilakukan untuk mengurangi bahaya biologis yang ditimbulkan oleh kontaminasi manur ke lingkungan adalah pengomposan manur.

Pengomposan Manur
Menurut Cooperbrand (2000), pengomposan adalah sebuah proses transformasi bahan organik seperti manur, serasah, sisa makanan dan bahan lainnya menjadi substansi mirip tanah atau humus. Proses pengomposan sendiri melibatkan mikroorganisme yang bersifat aerob dan anaerob. Proses aerob lebih umum terjadi, proses ini terbagi menjadi dua tingkat, yaitu mesofilik (10-45°C) dan thermofilik (45-70°C), proses pengomposan dapat berlangsung dari beberapa minggu hingga 40-50 hari.

Perubahan fisik, kimiawi dan biologis yang terjadi pada saat pengomposan manur dapat mengeliminasi bakteri patogen seperti Escherichia coli O157 H7, Salmonella enteritidis (Lung et al. 2001), Listeria (Grewal et al. 2013), bahkan populasi koliform dapat berkurang hingga 99,9% dengan pengomposan selama tujuh hari (Larney et al. 2003). Selain dapat menghilangkan bakteri patogen, pengomposan manur ternyata juga dapat mendegradasi residu antibiotik yang dieksresikan oleh ternak.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dolliver et al. (2008), kadar Klortetrasiklin, Monensin dan Tylosin berkurang selama proses pengomposan manur kalkun, pengurangan yang terjadi berlangsung selama 19 hari, merujuk pada proses pembuatan kompos biasa yang memakan waktu hingga 50 hari, maka dapat diasumsikan kadar antibiotik dalam manur ternak yang dibuat kompos berada dalam kadar minimal atau bahkan hilang sama sekali. Antibiotik golongan lainnya seperti Sulfonamide dan Trimetroprim dapat berkurang dengan proses fermentasi anaerob dalam waktu lima minggu (Mohring et al. 2009).

Pengomposan manur merupakan sebuah metode untuk meminimalisir bahaya penyakit infeksi sekaligus resistensi antibiotik pada lingkup peternakan, metode ini mudah dilakukan dan tidak banyak membutuhkan biaya, sehingga sangat ideal untuk diimplementasikan. Kompos hasil proses pengomposan juga dapat dimanfaatkan dengan tingkat keamanan yang lebih tinggi sebagai pupuk, karena telah terbebas dari bakteri maupun antibiotik. ***

Drh Afdi Pratama
Staff Dinas Perikanan dan Peternakan, Kabupaten Bogor

Pembentukan Sapi Indonesian Commercial Cross Mulai Digagas

Direncanakan pengembangan sapi Indonesian Commercial Cross untuk akselarasi produksi daging dan susu nasional. (Sumber: Istimewa)

“Perlunya dibentuk bangsa sapi potong dan perah komersial asli Indonesia yang mempunyai produktivitas mumpuni, namun juga mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropis di Indonesia.”

Keresahan kaum intelektual di perguruan tinggi dan lembaga penelitian terhadap ketiadaan brand sapi komersial asli Indonesia, sedikit mulai menemukan jawaban. Pertemuan ilmiah antara akademisi, peneliti dan praktisi peternakan ruminansia dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digagas Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Fapet UGM), yang dibuka oleh Prof Dr Ir Ali Agus, selaku Dekan Fapet UGM telah terlaksana dengan baik dan menghasilkan secercah harapan untuk masa depan sapi potong dan perah di Indonesia.

Bertempat di Ruang Sidang Besar, Gedung H-1, Fapet UGM Yogyakarta pada Jumat, (21/12), para akademisi dan peneliti dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian, serta praktisi dan pengusaha ternak ruminansia berkumpul, untuk menyamakan persepsi terhadap tujuan, arah dan model kombinasi untuk mendapatkan bangsa sapi komersial Indonesia (beef dan dairy) yang mampu menjawab kebutuhan daging dan susu di Indonesia.

Peserta akademisi berasal dari Fapet UGM, Unpad Bandung, UNS Surakarta, Unlam Kalimantan Selatan, Udayana Bali dan Kanjuruhan Malang. Sedangkan peneliti yang dihadirkan berasal dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong, BPTBA LIPI Yogyakarta, dan Loka Penelitian Sapi Potong Grati. Turut hadir pula perwakilan dari Koperasi Susu Warga Mulya Sleman dan PT Widodo Makmur Perkasa Klaten.

FGD diawali dengan pemaparan oleh Prof Dr Ir Sumadi, tentang definisi dan karakter yang dibutuhkan dalam pembentukan sapi Indonesian Beef Commercial Cross (IBCC) dan sapi Indonesian Dairy Commercial Cross (IDCC), serta potensi dan output yang diharapkan.

“Indonesia defisit satu juta ekor sapi potong yang saat ini diwujudkan dalam bentuk impor sapi sebanyak 700 ribu ekor dan impor daging setara 300 ribu ekor. Sedangkan untuk sapi perah, kita defisit dua juta induk, jika mengacu pada kebutuhan susu sapi nasional. Kurang lebih 70% kebutuhan susu nasional, kita dapatkan dari impor,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, perlu dibentuk bangsa sapi potong dan perah komersial asli Indonesia yang mempunyai produktivitas mumpuni, namun juga mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropis di Indonesia.

Bentuk Bangsa Sapi IBCC dan IDCC
Pembentukan bangsa sapi IBCC dan IDCC dapat ditempuh mulai dari nol (bisa mengacu pada pembentukan bangsa Kuda Pacu Indonesia), atau dengan cara pemetaan dari bangsa sapi yang ada saat ini.

Alternative crossing yang dapat dilakukan diantaranya dengan memaksimalkan heterosis (prestasi rata-rata anak di atas rata-rata induknya), grading up (mengubah bangsa satu ke bangsa yang lain), ataupun melalui pembentukan bangsa baru (komposit). Pemetaan bangsa sapi yang ada saat ini, menurut Prof Ir I Gede Suparta Budisatria, dapat mengacu pada hasil-hasil riset perguruan tinggi dan lembaga penelitian yang mengarah ke akselerasi produksi daging dan susu nasional. Hasil-hasil riset itu perlu disinkronisasikan, dirakit, hingga didapatkan komposit terbaik yang bisa diambil sebagai solusi untuk hasil yang lebih singkat, mengingat pekerjaan breeding beresiko menghabiskan waktu puluhan tahun hingga dihasilkan generasi sapi yang diharapkan.

Terkait dengan ketersediaan bangsa sapi lokal pure yang siap dijadikan sumber indukan, menurut Prof Dr Ir Sri Bandiati, telah tersedia bangsa sapi Pasundan hasil penelitian di Jawa Barat. Di lain pihak, Dr Syahruddin Said, menambahkan bahwa telah teridentifikasi genetik sebanyak 13 ekor sapi Sumba Ongole (SO) murni hasil kolaborasi dengan Puslit Bioteknologi LIPI di kandang milik PT Karya Anugerah Rumpin (KAR) Bogor. Sapi SO tersebut telah tersertifikasi SNI dan siap digunakan sebagai sumber indukan.

Sementara, dosen jurusan peternakan UNS, Nuzul Widyas, ikut menegaskan perlu juga dipertimbangkan bahwa tidak serta-merta persilangan antara Bos indicus (bangsa sapi tropis) dengan Bos taurus (bangsa sapi subtropis) selalu menghasilkan keuntungan. Sebagai contoh pada bangsa sapi Belgian blue di Belgia yang merupakan hasil persilangan berbagai bangsa sapi hingga didapatkan sapi dengan double muscling, yang ternyata mempunyai kekurangan berupa mengecilnya saluran reproduksi akibat pertumbuhan otot yang super, sehingga diperlukan operasi sesar dalam setiap penanganan kelahirannya. Tentu ini menambah biaya dan tenaga.

Saat ini diketahui bahwa sapi-sapi yang dipelihara di Indonesia tidak mudah lagi untuk dideteksi berapa persen darah suatu bangsa ada dalam ternak tersebut. Lemahnya recording system di tingkat peternak menjadi salah satu faktor, di samping sosiokultural sebagian masyarakat yang semakin senang jika ternak mereka semakin berwarna “merah” (darah Bos taurus semakin tinggi), tanpa mereka sadari bahwa akan semakin tinggi pula biaya yang di keluarkan untuk pemenuhan nutrien pakan dan pemeliharaan jika diinginkan produktivitasnya optimal.

Sementara terkait dengan pembentukan IDCC, Prof Dr Ir Tridjoko Wisnu Murti, menegaskan bahwa akselerasi yang dibutuhkan saat ini bukan hanya dalam pemenuhan jumlah tonase susu yang dihasilkan, tetapi juga pada kualitas susu itu sendiri.
Saat ini di lapangan, dengan 600 ribu ekor sapi perah yang dimiliki Indonesia, hampir seluruhnya merupakan sapi Friesian Holstein (FH) dan peranakannya (PFH) yang identik dengan warna hitam dan putih. Padahal, lanjut dia, terdapat sapi FH berwarna merah dan putih yang lebih adaptif terhadap kondisi tropis, serta bangsa sapi Jersey yang juga merupakan bangsa sapi perah dengan kemampuan adaptasi iklim tropis yang lebih baik, sehingga perlunya pemikiran untuk melakukan akselerasi dengan pendekatan breeding yang lebih terkonsep dengan baik.

Hal ini diamini oleh peternak sapi perah yang tergabung dalam Koperasi Susu Warga Mulya Sleman. Jenis sapi yang diinginkan peternak adalah sapi perah yang low cost, yaitu sapi yang dengan postur dan kemampuan produksi yang tidak superior, namun dapat dikelola sesuai dengan kemampuan peternak.

Sebab yang terjadi selama ini adalah, peternak “dipaksa” memelihara sapi perah FH/PFH dengan tuntutan biaya pakan tinggi, karena memang secara genetik sapi tersebut membutuhkan pakan dengan kuantitas dan kualitas tinggi. Ketika hal ini tidak dapat dipenuhi secara kontinu, maka produksi susu akan turun jauh di bawah performa yang diharapkan, bahkan rentan terjadi metabolic diseases dengan ditemukannya sapi perah produksi tinggi yang ambruk.

Menutupi kekurangan margin usaha sapi perah, para peternak menyilangkan induk perah mereka dengan straw sapi potong seperti Limousin dan Simmental, yang akan menghasilkan anakan dengan harga jual lebih tinggi. Ini pasti menimbulkan masalah, baik pada reproduksi maupun untuk replacement stock. Oleh karena itu, keluhan peternak ini harus segera dicarikan solusinya. Bisa jadi IDCC sebagai salah satu solusinya.

Dengan adanya bangsa sapi perah yang lebih adaptif terhadap iklim tropis, akan memudahkan peternak dalam mengelola pakan tanpa kekhawatiran menimbulkan kekurangan nutrien, sehingga produksi susu secara optimal dapat diraih. Satu hal yang pasti, meskipun bukan jumlah produksi susu yang superior, namun biaya yang dikeluarkan masih terjangkau peternak.

Dari kegiatan FGD tersebut, diharapkan menjadi awal inisiasi pemikiran seluruh stakeholder bidang sapi potong dan perah, untuk turut serta mengatasi permasalahan industri persapian. Pertemuan selanjutnya akan dilakukan pada awal 2019 di Bogor, dengan agenda pembentukan konsorsium sapi potong dan perah komersial Indonesia, serta penentuan langkah teknis, hingga diharapkan launching IBCC dan IDCC bisa terwujud pada 2022 mendatang.

Pengembangan bangsa sapi komersial ini membutuhkan dukungan dan kerja-keras semua pihak, mulai dari pihak swasta, asosiasi/organisasi, pemerintah sebagai regulator, perguruan tinggi dan lembaga penelitian. ***


Awistaros Angger Sakti, M.Sc.
Peneliti di BPTBA LIPI Yogyakarta

Saatnya Menata Industri Perunggasan

Sektor perunggasan butuh regulasi yang tepat agar usaha budidaya yang dilakukan oleh peternak mandiri dan korporasi tidak berbenturan. (Foto: Infovet/Ridwan)

Lima tahun terakhir, problem utama industri perunggasan Nasional adalah over supply bibit (DOC) broiler. Dampak dari problem tersebut sudah nyata dan mudah dibuktikan, dari hancurnya harga broiler hidup (LB) dan telur ayam ras karena imbas masuknya telur breeding, hutang para peternak yang menumpuk, hingga peternak broiler yang “gulung tikar”. Itu dalam skala usaha UMKM dan UKM. Dalam skala perusahaan besar dan profesional juga terjadi, dari akuisisi aset-aset perusahaan peternakan, hingga kolapsnya perusahaan-perusahaan obat hewan di industri hilir perunggasan Nasional.

Kini, problem over supply bibit sudah mulai terlewati, terlihat dari anjlok dan meroketnya harga broiler dan telur yang sifatnya sangat temporal dan lebih cenderung dipengaruhi faktor permintaan atau konsumsi masyarakat terhadap produk unggas. Saat musim libur dan bulan “baik” permintaan tinggi dan harga terkerek jauh di atas harapan stakeholder. Saat momen akhir bulan, bulan Suro dan Sapar, permintaan ayam dan telur sepi, sehingga harga turun. Jika menelaah historikal data penurunan harga ayam dan telur juga terlihat tidak drastis, cenderung moderat.

Pada 2019 mendatang, problem di industri ini adalah soal in-efesiensi sebagai dampak kenaikan nilai tukar rupiah dan harga jagung dalam negeri yang berkibar di level tinggi, yakni Rp 5.600 per kg. Bagaimana bisa sektor budidaya melakukan efesiensi untuk mengurangi biaya produksi, sementara faktor biaya pakan terus meningkat? Padahal variabel pakan berkontribusi yakni sebesar 70 persen dari biaya produksi. Perlu dipahami, dalam skala tertentu, khususnya ketika harga jual ayam dan telur jatuh, peternak sebagai pembudidaya pasti akan berteriak keras. Seperti terjadi beberapa waktu lalu, yang dilakukan oleh peternak layer di Blitar dan kota-kota lain. Protes terhadap tingginya harga jagung, mereka salurkan dengan berdemonstrasi di daerah masing-masing dan mengancam demo besar-besaran di Istana Negara. Meskipun dalam waktu tidak terlalu lama, tuntutan petenak layer dipenuhi oleh pemerintah dengan penyediaan jagung seharga Rp 4.000 per kg, akan tetapi sampai kapan hal-hal seperti ini terus dilakukan? Karena pada dasarnya jagung tersebut adalah hasil ”pinjaman” dari feedmill-feedmill besar.

Maka, pekerjaan rumah pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan jagung dalam negeri khususnya untuk industri perunggasan harus bisa diselesaikan secepatnya saat memasuki awal 2019 nanti. Pelarangan impor jagung dalam jangka panjang malah merugikan industri penyedia protein hewani asal unggas ini. Bahkan beberapa penelusuran telah menyimpulkan bahwa pelarangan ini menimbulkan in-efesiensi devisa negara sebesar Rp 37 triliun per tahun. Artinya, pelarangan impor jagung menjadi salah satu kontributor terhadap defisit perdagangan Indonesia yang sudah beberapa bulan terjadi. Pasalnya, penyetopan impor jagung telah menyebabkan melonjaknya impor tepung gandum untuk pakan oleh feedmill yang harganya lebih mahal daripada jagung. Belum lagi kerugian yang diderita peternak, akibat kualitas pakan yang menurun. Karena pada dasarnya, sebagai bahan baku pakan ayam, kualitas jagung masih lebih baik daripada tepung gandum.

Solusi problem harga jagung yang ditunggu adalah dibukanya keran impor jagung yang harganya di pasar internasional jauh lebih murah dibanding dengan harga jagung lokal. Meskipun dalam catatan tertentu, mungkin dibuka dengan sistem kuota, yang jumlahnya disesuaikan, agar harga jagung di dalam negeri tidak sampai jatuh dan merugikan petani jagung. Jika ini bisa segera dilakukan dalam jangka menengah, problem tingginya harga jagung dan pakan bisa diredam.

Lebih lanjut, masalah serius yang jauh lebih “penting dan genting” adalah bagaimana menata kembali struktur industri perunggasan Nasional. Wacana restrukturisasi industri perunggasan beberapa tahun lalu perlu digaungkan kembali. Tidak dipungkiri, visi industri perunggasan saat ini jauh dari upaya pemerataan distribusi pendapatan dan keadilan ekonomi. Saat ini kita menyaksikan, betapa struktur industri perunggasan sangat tidak sehat bahkan mengancam keberadaan peternak mandiri/rakyat. Persaingan di sektor budidaya antara peternak UMKM/UKM dengan korporasi multinasional nyata-nyata menghancurkan peternak UMKM/UKM. Jadi visi perunggasaan saat ini lebih mendorong jargon “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”.

Tahun 90-an, sektor budidaya masih didominasi oleh peternak mandiri/rakyat, tetapi saat ini malah sebaliknya, penguasaan oleh korporasi yang memiliki perangkat produksi dari hulu hingga hilir semakin kuat dan tanpa dibatasi oleh regulasi. Perusahaan besar yang menguasai industri hilir masuk di sektor budidaya dan dibiarkan menjual ayam hasil panennya ke pasar tradisional yang seharusnya menjadi lahan peternak mandiri/rakyat. Maka khusus di industri perunggasan, negara ini sudah membiarkan dan mempraktekan “mahzdab” ekonomi liberal. Jauh dari semangat Pancasila yang menyuarakan Keadilan Sosial dan Ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan secara kemanusiaan sudah mengusik “nalar kita” sebagai anak bangsa.

Pemerintah sebagai pengemban amanat Negara cq Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, seharusnya mulai merubah haluan pengelolaan sektor budidaya unggas. Apa yang dilakukan oleh “Orde Baru”, dengan Kepres No. 22/1990, yang mengatur sektor budidaya dan memisahkan bagian untuk peternak mandiri/rakyat dan korporasi saat itu sangat tepat. Dan sesungguhnya, pada saat ini semangatnya masih sangat relevan untuk dimunculkan kembali. Dengan begitu industri perunggasan berjalan tidak hanya berorientasi pada perusahaan integrasi saja yang bias menikmati untung besar, tetapi bagaimana lingkungan industri ini nyaman bagi peternak mandiri/rakyat untuk berusaha dan mengembangkan usahanya.

Menata kembali industri perunggasan perlu segera dilakukan agar visi pembangunan industri ini bisa menciptakan keadilan dan mengatasi ketimpangan ekonomi yang saat ini menjadi problem besar pembangunan ekonomi Indonesia. Tidak membiarkan perilaku korporasi yang tidak pernah puas menggali keuntungan besar dari pasar rakyat Indonesia yang sangat besar. Namun, harus memberi kesempatan rakyat Indonesia dalam mengelola potensi ekonominya. Khususnya bagi peternak mandiri/rakyat, usaha peternakannya bisa hidup dan menghidupi sebagai produsen dan juga bisa mencukupi kebutuhan ayam dan telur bagi masyarakat dengan harga terjangkau.

Langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah perlunya menerbitkan regulasi di bawah UU No. 18/2009  tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mengatur pembagian atau pembatasan dari sektor budidaya. Harapannya adalah agar pembudidaya integrator diberi batas yang jelas dengan peternak mandiri/rakyat sebagai pembudidaya berkelas UMKM dan UKM. Argumentasi bahwa saat ini terminologi peternak rakyat telah hilang dalam UU tersebut tidak memungkinkan di keluarkannya regulasi pengganti Kepres No. 22/1990, penulis kira masih bisa diatasi. Bagaimana formatnya, hal ini tentu segera dikerjakan bersama antar asosiasi peternak. Tanpa ada upaya awal, maka tidak mungkin ada hasil yang ingin dicapai dan menjadi wujud cita-cita bersama. (Hadi)

Catatan Akhir Tahun: Perunggasan Masih Prihatin, Penyakit Masih Merecoki

Beberapa penyakit konvensional masih merebak pada industri perunggasan, apalagi saat AGP dihentikan. (Sumber foto: Kontan)

Tumpukan permasalahan dunia usaha perunggasan domestik belum dapat diurai dengan tuntas pada sepanjang 2018. Mulai dari persoalan bahan baku pakan, khususnya unsur tersedianya jagung secara cukup, hingga pasokan bibit ayam (DOC) sampai kurang optimalnya performa hasil budidaya ayam (baik ayam pedaging maupun petelur).

Di sisi lain, persoalan klasik tentang gangguan kesehatan yang berawal dari beberapa penyakit konvensional dan juga jenis penyakit tahun 2000-an masih menghambat capaian target produksi.

Sebut saja beberapa penyakit seperti ND (Newcastle Disease), Gumboro, pilek menular (snot), CRD (Chronic Respiratory Disease) kompleks dan Kolibasilosis, serta Flu Burung (Avian Influenza/AI) atau Kekerdilan.

Drh Zahrul Anam, menuturkan pengamatannya di lapangan tentang hal itu kepada Infovet. Bahwa pasca ditutupnya keran pemakaian antibiotik pemacu pertumbuhan (AGP/Antibiotic Growth Promotor) di dalam pakan sejak awal 2018, memang tidak dapat dibantah memberikan permasalahan yang sifatnya transisional. Artinya, ada dampak yang serius terhadap target pencapaian produksi. Pada ayam potong, sangat signifikan dengan terjadinya lambat pertumbuhan ayam sejak awal DOC sampai menjelang umur pertengahan. Bobot pada masa pertumbuhan secara umum kurang mampu mencapai target. Bahkan jauh dari yang seharusnya.

Kemudian, diperburuk dengan tingkat keberhasilan vaksinasi yang sangat rendah. Dan implikasinya, lanjut Zahrul, ayam muda kurang tangguh menerima tantangan sergapan jenis penyakit virus. Akhirnya terlalu banyak dijumpai bobot ayam tumbuh relatif lebih lambat maupun kedewasaan pubertas.

Pada ayam potong sangat sering dijumpai capaian bobotnya mundur sampai 5-7 hari dibandingkan dengan masa periode sebelum larangan pemakaian antibiotik pemacu pertumbuhan pada pakan.

Sedangkan pada ayam petelur, usia awal produksi telur juga mengalami kemunduran lebih dari 11-16 hari. Namun jelas Zahrul, bahwa hal itu memang suatu jenis gangguan kesehatan yang muncul pada ayam komersial pada masa peralihan. Jika sebelumnya, posisi masa dan waktu produksi yang ideal sudah terjadi, karena ada perlakuan sengaja untuk menekan pemakaian antibiotika, maka sudah pasti akan mengalami kemunduran.

“Itu adalah suatu jenis gangguan kesehatan atau penyakit yang biasanya disebut sebagai penyakit transisional,” kata Zahrul.

Hasil pengamatannya, salah satu jenis penyakit yang sangat potensial dan sangat merugikan adalah gangguan pernafasan yang diduga kuat disebabkan oleh CRD kompleks. Selain itu jenis yang lain adalah ND, Kolibasilosis, Gumboro dan Coryza.

Tidak ada yang istimewa dalam hal gejala dan tanda-tanda penyakit tersebut. Namun khusus untuk ayam yang terserang infeksi AI, ada perbedaan meski kurang spesifik. Pada ayam petelur, jika terinfeksi AI, umumnya pertumbuhan menjadi relatif lambat dan mundur awal produksi mencapai 15-20 hari.

Sedangkan pada ayam pedaging, jika menderita infeksi ND, relatif lebih sulit dalam penanganannya. Kemudian capaian berat badan mundur atau kurang optimal. Bahkan sangat sering ditemui ayam kerdil. Zahrul pun mengimabu kepada para peternak binaannya untuk menekankan arti penting biosekuriti dan memperhatikan pengaturan suhu ruangan (pemanas) yang tertib dan benar.

Selain itu, desinfeksi kandang saat awal ayam masuk dan program vaksinasi yang lebih cermat, juga menjadi kunci penting. Hal ini dikarenakan peternak tidak memiliki kesempatan memilih dan menentukan kehendak dalam membeli DOC. Pada umumnya jika beberapa hal itu dilakukan dengan baik dan benar, hasil yang diperoleh ketika panen, tidaklah mengecewakan. (iyo)

Kapan dan Bagaimana Transfer Pullet ke Kandang Produksi

Alat ukur panjang kaki dengan jangka sorong.

Bila dicermati pada budidaya ayam petelur alias pullet maka pemeliharaannya terbagi dalam beberapa tahapan, sejak masih DOC (Day Old Chick) hingga ayam pada tahapan tumbuh-kembang menjadi ayam dara siap produksi hingga dewasa. Sejak ayam petelur ini baru menetas berumur harian (DOC) dari tempat penetasan (hatchery) kemudian dipelihara peternak melalui tahapan pemeliharaan Starter-Grower-Layer.

Langsung pada pokok bahasan, ketika anak ayam petelur ini sudah berumur dara, yakni berusia lebih-kurang 12-14 pekan, maka saatnya tiba pullet harus dipindahkan dari kandang peremajaan ke kandang produksi.

Model kandang pada peremajaan ayam layer bisa menggunakan tipe kandang terbuka (open house) maupun model kandang tertutup (closed house). Sedangkan jika ditinjau dari model lantai kandangnya, maka ada tiga tipe lantai yang biasa digunakan peternak, yakni model/tipe postal (litter), tipe panggung (slat) dan tipe sangkar (cage).

Masing-masing tipe dan model kandang tersebut, bisa menggunakan tempat minum dan tempat pakan manual dan atau otomatis. Tentu saja masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Namun fokusnya adalah pada waktu paling tepat untuk pemindahan ayam dara ini ke kandang produksi.

Kapan ke Kandang Produksi
Dari ukuran anatomi kaki ayam, transfer pullet ke kandang produksi saat yang tepat adalah ketika panjang kakinya (shank) sudah mencapai 100 mm. Biasanya saat ayam mencapai umur 12, 13 atau 14 minggu, bergantung pada masing-masing performance yang bisa dicapai oleh peternak. Tapi jika pencapaian panjang kaki 100 mm (10 cm) semakin cepat, maka hal ini sebagai tanda baik kualitas pullet-nya.


Apabila panjang kaki belum mencapai 100 mm, artinya pertumbuhan anatominya belum mencapai titik maksimum. Belum dewasa tubuh. Pada kondisi seperti ini tidak boleh dipaksakan naik ke kandang produksi, karena ada resiko jangka panjangnya dapat terjadi nantinya banyak layer yang akan menjadi lumpuh (fatiq cage = lelah kandang).


Resiko lain jika panjang kaki belum 100 mm adalah pullet akan sulit untuk menjangkau air minum, terutama air minum dengan nipple. Bagi ayam, sedikit minum, sedikit makan atau tidak minum dan tidak makan akan berakhir pada kematian.

Sehingga transfer pullet jika telah memenuhi syarat anatomi terkait panjang kaki/shank pada usia ayam 12 atau 13 minggu bisa saja dilakukan, namun pemindahan ke kandang produksi pada ayam umur 15 pekan sepertinya lebih ideal. Memang jika bisa lebih dini pemindahan kandang produksi, keuntungannya masa adaptasi ayam sebelum produksi cukup lama.

Alat ukur panjang kaki khusus.

Bagaimana Seharusnya Pemindahan Pullet

Pemindahan alias transfer pullet pada umur 15 minggu lebih dianjurkan, karena selain sudah dewasa tubuh, program vaksinasinya juga sudah komplit sampai vaksin ND+IB+EDS killed.

Namun apabila pada umur 15 minggu panjang kaki ayam dara itu belum mencapai 100 mm sebaiknya tidak dipaksakan pindah kandang. Dan ini merupakan kasus dalam budidaya ayam petelur yang menjadi problem serius. Artinya pada ayam layer dengan usia itu tidak tercapai target panjang shank-nya bisa divonis lambat tumbuh alias terjadi stunting (kerdil).


Seyogyanya pullet ditransfer pada umur 15 minggu + 1 hari (106 hari), tidak lebih. Karena layer modern, awal produksinya cenderung maju, yaitu produksi rata-rata mingguan (Hen Week = HW) 5% bisa dicapai pada umur 18-19 minggu. Pada hal setelah dipindahkan perlu waktu adaptasi di kandang produksi 2-3 minggu pertama.

Kapan saat terbaik pemindahan ayam dara itu? Sebaiknya transfer pullet dilakukan pada sore sampai malam hari, tujuannya untuk menghindari tambahan stres akibat udara panas selain dampak kontak fisik selama pemindahan.


Untuk itu pastikan kondisi pullet sehat karena saat proses pemindahan menyebabkan ayam stres relatif berat. Maka bila ayam masih dalam kondisi kurang fit atau bahkan sakit, harus disembuhkan terlebih dahulu di kandang peremajaan.

Ada catatan yang wajib hukumnya dilakuakan sebelum melakukan pemindahan pullet, yaitu pada H-4, pullet terlebih dahulu diterapi anti-endo parasit (cacing) dan anti-ekto parasit (kutu, gurem) satu hari sebelumnya dan lakukan pengobatan dengan preparat (sediaan) obat anti-parasit per oral. Dosisnya bisa mengikuti petunjuk dari pabrikan pembuatnya. Kemudian dilanjutkan dengan pengobatan antibiotika spektrum pencernaan dan pernapasan selama tiga hari untuk membersihkan pernapasan dan pencernaannya. Tujuannya agar pullet yang ditransfer ke kandang produksi tidak membawa penyakit.

Catatan berikutnya, untuk pemindahan sebaiknya saat mengisi pullet ke dalam keranjang plastik (boks) tidak melebihi kapasitas. Misal box berkapasitas 20 kg maka isilah dengan 15 ekor pullet saja yang bobotnya rata-rata 1,3 kg/ekor. Boks diisi pullet dahulu semua di tempat yang teduh di dalam kandang, baru dinaikkan ke atas truk yang dinding sampingnya dibuka sebagian atau seluruhnya (bak terbuka) supaya tidak panas dan ada ventilasi udara.

Sesampainya di tujuan, kemudian turunkan semua boks isi pullet itu di tempat yang teduh atau ke dalam kandang, baru kemudian pullet dimasukkan ke sangkar (cage) produksi. Prinsipnya, pullet jangan dibiarkan kepanasan di atas truk, baik saat mau berangkat mau pun saat tiba di tujuan kandang produksi.

Kandang produksi hendaknya sudah disiapkan air minum yang telah ditambah multi-vitamin plus elektrolit (anti-stres), selama 3 hari, berturut-turut. Di kandang produksi ini pula hendaknya disiapkan pakan standar developer, bisa ditambah pakan broiler starter 20% untuk keperluan seminggu. Tujuannya untuk segera memulihkan penurunan bobot badan selama proses transfer dan masa adaptasi. Pada pekan kedua di kandang produksi, pakan broiler starter, dosisnya dikurangi, tinggal 10%. Dan pada minggu ketiga, tinggal 5%. Pada minggu keempat sudah tanpa tambahan pakan broiler starter.

Di dalam kandang produksi jangan sampai lupa untuk menyalakan lampu, yakni: Pada hari pertama, lampu dihidupkan mulai pukul 18:00 sampai dengan pukul 06:00 waktu setempat (12 jam). Kemudian pada hari kedua, terang lampu pada kandang produksi mulai pukul 18:00 sampai pukul 24:00 saja pada waktu setempat (6 jam). Dan hari ketiga lampu menyala mulai pukul 18:00-21:00 waktu setempat (3 jam). Pada hari ke empat tanpa penyinaran tambahan. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat masa adaptasi terhadap lingkungan baru.

Bila pullet berasal dari kandang dimana air minumnya tidak menggunakan nipple, yaitu pakai galon manual atau otomatis model “bel” (bell drinker), pindah ke kandang produksi yang air minumnya pakai talang (pipa PVC belah), tidak ada masalah dengan proses minumnya ayam. Namun bila di kandang produksi air minumnya memakai nipple, maka wajib untuk mengajari, memberitahu dan menunjukkan ke ayam di mana ayam tersebut bisa minum. Caranya nipple harus ditutul-tutul atau dipencet-pencet tiap jam supaya air minum keluar dari nipple dan ayam segera tahu dimana sumber air minumnya. Pembelajaran dan pengenalan air minum via nipple biasanya perlu waktu 3-7 hari pertama saja.

Pengalaman yang pernah penulis lakukan saat pertama kali menggunakan nipple drinker pada tahun 1994 di Pare Kediri, Jawa Timur, yakni dengan melakukan pengukuran intake air minum ayam yang keluar dari tandon di kandang menuju pipa nipple. Hasilnya, pada hari pertama water intake hanya 25%, hari kedua 50% dan pada hari ketiga 75% dari yang seharusnya. Padahal water intake saat pullet, seharusnya setara 2,0 kali dari feed intake-nya. 

Setelah tujuh hari masa pengenalan cara minum dari nipple, barulah pullet bisa minum via nipple dengan baik. Di kandang produksi bila air minumnya pakai nipple, maka upayakan agar ayam segera bisa minum banyak, karena jika tidak demikian ada resiko bobot badannya jadi turun drastis dibanding sebelum ditransfer. Maka dari itu, perhatikan benar soal minumnya ayam dara tersebut setelah di kandang produksi yang menggunakan air minum model nipple. Persoalan intake air minum ini harus ditangani secara baik, karena penanganan makannya ayam akan jauh lebih mudah mengelolanya. ***

Drh Djarot Winarno
Penulis adalah pelaku bisnis dan konsultan
budidaya ternak unggas (ayam), domba-kambing dan sapi.
Tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur

Domba Batur Kebanggaan Banjarnegara

Domba batur. (Sumber: Istimewa)

Indonesia negeri yang sangat kaya akan plasma nutfah berbagai sumber hayati termasuk hewan, antara lain Domba Batur nama lain “Domas” yang dikembangkan masyarakat Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnagara, Jawa Tengah, secara turun menurun sejak 1984 silam.

Domba Batur merupakan hasil persilangan antara domba lokal Ekor Tipis (Indonesia) dengan domba Suffolk (Inggris) dan domba Texel (Belanda). Menurut catatan Dinas Peternakan dan Perikanan, Kabupaten Banjarnegara, populasi jenis domba ini dilaporkan menurun 50% dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Kini jumlahnya hanya sekitar 8.000 ekor saja.

Menyadari terjadinya penurunan populasi domba Batur, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), bersama masyarakat peternakan menggelar Festival Ternak Domba Batur dalam rangkaian acara Dieng Culture Festival 2018, pada 3-5 Agustus 2018 lalu.

I Ketut Diarmita selaku Dirjen PKH, pada kontes yang dilaksanakan di lapangan Soeharto Withlem Dieng Kulon, Banjarnegara, Sabtu (4/8), menyatakan, domba Batur salah satu Sumber Daya Genetik (SDG) yang menjadi aset besar Indonesia. “Menjadi tugas kita semua untuk menjaga dan melestarikannya, serta mengupayakan pengembangannya,” kata Ketut saat itu.

Ia pun menjelaskan, untuk melestarikan domba Batur dan sebagai perlindungan hukum terhadap plasma nutfah Indonesia, pemerintah melalui Kementan telah menetapkan domba Batur sebagai rumpun atau galur ternak melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2916/2011 tertanggal 17 Juni 2011.

Dirjen PKH, I Ketut Diarmita, pada acara Festival Ternak Domba Batur di Dieng. (Foto: Humas Ditjen PKH)

Problem Pengembangan
Problem yang dihadapi peternak dalam pengembangan domba Batur di Banjarnegara dan sekitarnya adalah Pertama, penjualan dan pemotongan yang tak terkendali, sehingga menurunkan populasi. Kedua, terjadinya inbreeding yang menjadi timbulnya penurunan kualitas. Ketiga, penyediaan pakan hijauan berkualitas terbatas. Keempat, ancaman penyakit.

Semua problem tersebut perlu segera diatasi dengan melakukan sinergi antara peternak dengan instansi pemerintah baik pusat dan daerah (Balai Besar Pengembangan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTUHPT) dan Balai Besar Veteriner Wates.

Keunggulan Domba Batur
Domba Batur memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan populasinya, emgingat nilai ekonomis yang besar dari daging dan wollnya. Domba Batur memberikan kontribusi pendapatan (income) bagi rumah tangga peternak, karena selain fungsinya sebagai penyedia protein hewani, juga berperan dalam penyediaan pupuk kandang untuk budidaya pertanian.

Domba Batur juga lebih dikenal sebagai hewan peliharaan para penghobi, dimana bayi domba Batur yang berbulu lebat usia 3-4 bulan mampu mencapai harga juataan rupiah. Sedangkan yang dewasa dengan performa baik mampu mencapai harga puluhan juta rupiah.

Salah satu peternak domba Batur setempat, Abdoni, pernah menjual domba Batur seharga Rp 23 juta. Domba Batur memiliki daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan, sehingga cocok dipelihara di daerah beriklim dingin sesuai dengan bulunya yang tebal.

Karakteristik Domba Batur
Adapun ciri-ciri domba Batur hasil persilangan ini memang cukup menarik dan berhasil meningkatkan keunggulan domba lokal, seperti pada tabel berikut:


Demikianlah sekilas tentang domba Batur yang menjadi ikon masyarakat peternak Banjarnegara, yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan berbagai stakeholder peternakan, khususnya peternak domba agar terhindar dari kepunahan. (SA)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer