Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Fokus | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MENGENDALIKAN IB SEMAKSIMAL MUNGKIN

Vaksinasi menjadi salah satu langkah pencegahan yang ditempuh dalam mengendalikan peredaran IB. (Sumber: Poultry World Visit)

Penyakit infectious bronchitis (IB) adalah penyakit yang sudah populer di kalangan peternak ayam layer, namun tidak demikian di kalangan peternak ayam broiler. Kematian yang relatif rendah membuat peternak ayam broiler memandang sebelah mata penyakit ini. Lalu, seberapa besar penyakit ini menyebabkan kerugian pada ayam broiler?

Jangan Remehkan IB di Peternakan Broiler
IB akan menyebabkan ayam mengalami gangguan pernapasan, reproduksi, bahkan gangguan pada ginjal. Hal tersebut akan menghambat pertumbuhan ayam broiler, sehingga pertumbuhan tidak optimal seperti yang diharapkan. ADG yang rendah dan FCR yang tinggi adalah bukti nyata kerugian dari IB. Bahkan, pada ayam yang terserang IB dan kombinasi dengan penyakit lainnya seperti kolibasilosis akan dapat menyebabkan peningkatan kematian. Hal tersebut disampaikan oleh Veterinary Service Coordinator PT Ceva Animal Health Indonesia, Drh Ignatia Tiksa Nurindra.

Meskipun sangat dikenal dan banyak terjadi kasusnya pada layer, pada dasarnya virus IB dapat menginfeksi ayam broiler juga. Hanya saja menurut Tiska, sebelumnya kesadaran peternak terhadap penyakit IB di broiler masih cukup rendah sehingga belum banyak yang mendiagnosis penyakit IB.

“Semakin lama juga semakin banyak kandang yang berdekatan, antara kandang layer dan broiler. Hal tersebut juga berkontribusi dalam mempermudah penularan berbagai penyakit pada ayam layer dan broiler, tidak hanya IB, tetapi penyakit lain juga,” tuturnya.

Ia melanjutkan, sebenarnya sudah cukup lama Ceva dapat mendiagnosis penyakit IB pada ayam broiler. Apabila membuka data laporan penyakit yang dikumpulkan oleh tim Ceva dari 2018 sampai saat ini, tren penyakit IB pada broiler cenderung naik setiap tahunnya. Dari gambaran serologis IB 2020-2023 juga menunjukkan selalu ada tantangan IB di setiap tahunnya.

Misalnya ketika mereka melakukan survei penyakit IB pada peternakan broiler di Indonesia dilakukan pada periode Agustus-Desember 2020 untuk mengetahui adanya virus penyebab IB di beberapa daerah di Indonesia, yaitu di Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sampel diambil dari ayam broiler pada usia panen (lebih dari 28 hari) yang divaksin dengan vaksin IB live massachusetts pada saat DOC dengan aplikasi spray.

Data serologi dikumpulkan dari 110 flock ayam yang berasal dari area... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2024.

Ditulis oleh:
Drh Cholillurahman
Redaksi Majalah Infovet

AWAS, SERANGAN INFECTIOUS BRONCHITIS BISA BIKIN MERINGIS

Gejala klinis umum IB, tidak spesifik. (Sumber: Ceva, 2021)

Pada 2019 lalu seluruh dunia dihebohkan dengan wabah COVID-19. Ternyata virus corona bukan barang baru di sektor perunggasan, virus tersebut juga menyebabkan damage yang sama besar bagi ternak unggas.

Dokter hewan yang berkecimpung di bidang perunggasan tentu tidak asing dengan penyakit infectious bronchitis (IB). Penyakit IB alias chicken bronchitis, atau gasping disease adalah penyakit yang sangat menular yang bersifat akut dan disebabkan oleh Avian Gammacoronavirus yang tidak hanya menyerang saluran pernapasan tapi juga saluran urogenital.

Lebih Dekat Dengan Virus IB
Dalam sejarahnya virus ini pertama kali dilaporkan pada 1977. Hingga kini ada beberapa serotipe yang telah berhasil diidentifikasi di lapangan di antaranya massachusetts/klasik, connecticut, dan sejumlah varian lainnya seperti 793B, QX, D274, dan arkansas. Selain itu, virus ini juga dikenal sangat gampang bermutasi sehingga banyak menghasilkan genotipe dan serotipe yang sangat beragam.

Head of Strategic Business Unit Animal Health and Live Equipment JAPFA, Dr Teguh Prajitno, mengatakan hingga kini telah diketahui sebanyak tujuh genotipe dan sekitar 100 serotipe dari virus IB. Perubahan genetik virus IB ini, lanjut dia, dapat terjadi melalui tiga faktor penyebab, yakni mutasi titik, insersi, delesi, maupun rekombinasi.

“Ketiga penyebab itu menjadikan terjadinya genetic drift, sedangkan rekombinasi menyebabkan terjadinya genetic shift,” tutur Teguh.

Ia menambahkan, virus IB dapat menyebar secara horizontal melalui udara dan droplet yang dikeluarkan melalui batuk dan bersin, selain itu virus juga dapat dieksresi melalui feses. Masa inkubasinya juga tergolong singkat hanya 18-36 jam. Sehari setelah infeksi, keberadaan virus dapat dideteksi pada trakea, ginjal, dan oviduk. Bahkan ia menyebut sampai hari ke-13, virus akan ditemukan di paru-paru, trakea, ovarium, dan oviduk.

Selain itu, penularan virus dari satu peternakan ke peternakan lain dapat terjadi karena kontaminasi silang dari mobilitas kendaraan dan manusia, juga air minum, pakan, litter, dan peralatan yang terkontaminasi dapat menjadi sumber penularan.

Meskipun begitu, kata Teguh, penularan secara vertikal belum terbukti, akan tetapi kerabang telur yang terkontaminasi virus dapat menjadi sumber penularan di hatchery. Utamanya virus IB langganan menyerang ayam broiler, layer, maupun breeder, selain itu spesies unggas lainnya seperti burung puyuh juga dapat terinfeksi IB.

Dalam suatu seminar yang diadakan di Jakarta beberapa waktu lalu, Poultry Health & Research Consultant dari Departemen Mikrobiologi FKH UGM, Prof Michael Haryadi Wibowo, memaparkan lebih dalam mengenai sifat virus IB.

Ia memaparkan bahwa tingkat kesakitan (morbiditas) akibat IB mencapai 100%. Yang artinya dalam sebuah flock atau satu peternakan dapat terinfeksi seluruhnya. Ia juga menjelaskan tropisme dari si virus yang sangat menyukai saluran pernapasan bagian atas dan saluran urogenital. Impaknya selain gangguan pernapasan adalah penurunan produksi telur yang dapat mencapai 70% bahkan terkadang lebih.

Secara umum kata Michael, terdapat tiga tipe serangan yang dimiliki IB, yakni... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April.

Ditulis oleh:
Drh Cholillurahman
Redaksi Majalah Infovet

INFECTIOUS BRONCHITIS, PENYAKIT UNGGAS YANG MASIH MENJADI ANCAMAN DI PETERNAKAN

Berbagai gejala penyakit IB. (Foto: Istimewa)

Infectious bronchitis (IB) termasuk penyakit pernapasan akut yang sangat menular pada ayam dan disebabkan oleh virus Coronavirus dari famili Coronaviridae. Ada berbagai hal yang menjadi poin penting yang membuat peternak harus waspada terhadap penyakit ini, di antaranya:

1. Penyebaran cukup cepat
Penularan dapat terjadi melalui droplet pernapasan (saat ayam batuk atau bersin) dan shedding virus melalui feses (dapat terjadi selama beberapa minggu). Sementara itu penularan tidak langsung dapat melalui peralatan, makanan, atau minuman yang tercemar. Masa inkubasi penyakit ini sekitar 18-36 jam dan telur yang terkontaminasi feses yang mengandung virus IB dapat menjadi sumber penularan.

2. Gejala klinis yang mengganggu produksi
Gejala yang umum ditemukan pada kasus IB di ayam muda adalah gejala pernapasan (batuk, bersin, ngorok, dan adanya sekresi hidung). Pada ayam layer dewasa, penurunan kuantitas dan kualitas telur lebih menonjol. Penurunan produksi dapat mencapai 5-10% (persentase dapat meningkat jika muncul bersama dengan penyakit lain), sementara kualitas telur turun akibat kalsifikasi telur yang tidak merata dan albumin encer. Selain itu, gejala IB yang saat ini sering ditemukan adalah distensi abdomen akibat sistik oviduk yang berisi cairan sehingga ayam memiliki postur mirip penguin.

3. Potensi mutasi yang tinggi
Infectious bronchitis merupakan jenis virus ss-RNA yang tidak memiliki mekanisme proof reading, sehingga berpotensi tinggi mengalami mutasi. Hal ini tentunya akan memengaruhi dalam pemilihan vaksin yang sesuai kondisi lapangan. Perbedaan antar serotipe virus IB bahkan dapat mencapai 20-25% dan memengaruhi kemampuan cross proteksi dalam menginduksi kekebalan yang protektif. Pemetaan kecocokan virus IB dapat berdasarkan sifat protektotipenya atau tipe kemampuannya dalam menginduksi imunitas yang protektif. 

4. Kerugian ekonomi
Kerugian ekonomi akibat virus IB utamanya adalah dari adanya penurunan... Selengkapnya baca di Majalah infovet edisi April 2024.

MENGATUR PRODUKSI TELUR TETAP SUBUR

Ternak ayam petelur. (Foto: Dok. Infovet)

Pemerintah menargetkan penurunan angka kasus stunting pada 2024 menjadi 14%, sebuah angka yang sangat optimis untuk bisa tercapai. Langkah-langkah untuk menurunkannya sudah disiapkan dengan memberikan makanan tambahan berupa protein hewani pada anak usia 6-24 bulan. Jenis protein hewani yang sangat murah berasal dari unggas, salah satunya adalah telur, dimana mengonsumsi sebutir telur dalam sehari pada anak umur 6-24 bulan mampu menurunkan resiko stunting.

Program penurunan stunting akan sukses apabila kerja sama pemerintah dalam hal ini BKKBN dengan organisasi-organisasi yang berkecimpung di bidang perunggasan sering mengadakan acara sosialisasi program konsumsi telur minimal satu butir per hari. Sehingga kebutuhan secara nasional telur yang saat ini 5,9 juta ton per tahun akan semakin meningkat dan harga telur akan terjaga di atas BEP.

Melihat semangat pemerintah dalam mengatasi permasalahan stunting dengan sosialisasinya, maka peternak ayam pertelur bersemangat pula dalam mengatur agar produksi telurnya tetap subur. Subur di sini dalam artian tetap optimal sesuai standar guiden masing-masing strain yang saat ini dikisaran 470 butir jumlah produksi telur dari umur 18-100 minggu.

Di sini para peternak pasti sudah membuat strategi-strategi untuk menjaga dan meningkatkan produksi telur tetap subur, ditunjang dengan perkembangan genetik yang semakin baik. Penulis mencoba menyampaikan pengalaman di lapangan akan strategi-strategi yang dijalankan peternak dalam menjaga produksinya.

Strategi pertama dan utama bagi peternak adalah keseimbangan nutrisi yang tepat. Di tengah gejolak harga bahan baku pakan yang sulit di dapat dan harga yang mahal, maka perlu strategi dalam memformulasikan pakan agar efisien tetapi ada keseimbangan nutrisi yang dibutuhkan.

Keseimbangan nutrisi sangat penting apalagi menghadapi tantangan potensi genetik yang semakin berkembang, dimana potensi genetik saat ini menggambarkan tingkat konsumsi semakin sedikit, berat organ cerna semakin turun, tetapi kapasitas produksi telur semakin meningkat. Intervensi nutrisi atau strategi nutrisi harus dilakukan menyesuaikan parameter kebutuhan sesuai standar masing-masing strain.

Keseimbang nutrisi di awali pada fase starter pada umur 0-8 minggu karena nutrisi pada fase ini sangat berperan dalam perkembangan sistem pencernaan, sistem kekebalan, dan sistem perototan. Sistem pencernaan pada awal ayam menetas merupakan transisi enterosit dari yolk sac ke pakan dan perkembangannya lebih cepat dari organ lain karena konsumsi pakan memacu perkembangan struktur dan beratnya. Pakan yang dikonsumsi juga sebagai “antigen” awal mengaktifkan kekebalan dan memacu respon terhadap patogen, serta untuk replikasi dan diferensiasi sel kekebalan, maka dibutuhkan keseimbangan nutrisi di awal pemeliharaan.

Target keseimbangan nutrisi di awal pemeliharaan ayam adalah memaksimalkan pertumbuhan, standar bobot badan tercapai, keseragaman (CV <5%), dan mortalitas minimal sebagai rangka dasar untuk membentuk ayam mencapai produksi telur optimal nantinya saat fase produksi.

Potensi permasalahan pada fase awal pemeliharaan antara lain... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2024.

Ditulis oleh:
Drh Damar Kristijanto
Business Manager Feed Additive
PT Romindo Primavetcom
agus.damar@romindo.net
Jl. Dr Sahardjo, No. 264 Jakarta
HP: 081286449471

MEMPERSIAPKAN AYAM PETELUR TETAP PRIMA

Vaksinasi untuk mencegah penyakit. (Foto: Dok. Infovet)

Persiapan menjelang produksi dalam pemeliharaan ayam petelur harus dipersiapkan dengan tepat sehingga produksi telur yang dihasilkan akan optimal. Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum masuk masa produksi tersebut.

Selain genetik, nutrisi, dan faktor manajemen, lingkungan juga turut andil dalam memengaruhi performa dan produksi ternak. Performa dan produksi ternak, serta keuntungan finansial adalah aspek yang menjadi parameter kesuksesan dalam beternak. Untuk mencapai parameter keberhasilan tersebut, maka produksi telur yang dilihat dari kuantitas dan kualitasnya harus mampu dicapai dengan maksimal.

Penyakit Bikin Tambah Rumit
Selain faktor non-infeksius seperti yang disebutkan dalam artikel sebelumnya, faktor infeksius serta lingkungan juga akan sangat krusial untuk diperhatikan dalam manajemen pemeliharaan.

Penyakit-penyakit infeksius tentu menjadi tantangan bagi peternak dalam membudidayakan ayam petelur, terlebih karena masa pemeliharannya yang panjang. Otomatis rintangan ini harus dapat dihadapi dengan kesiapsiagaan.

Menyoal penyakti infeksius pada ayam petelur, fokus utamanya adalah penyakit yang mampu merusak atau menganggu kinerja sistem reproduksi. Infeksi agen infeksius tersebut menyebabkan penurunan produksi dan kualitas telur.

Beberapa penyakit penyebab penurunan tersebut yakni newcastle disease (ND), avian influenza (AI), infectious bronchitis (IB), dan egg drop syndrome (EDS). Veterinary Service Manager Ceva Animal Health Indonesia, Drh Fauzi Iskandar, menuturkan bahwa penurunan produksi telur akibat serangan virus IB bisa mencapai 70%. Hal tersebut berdasarkan data yang timnya kumpulkan selama beberapa tahun di seluruh Indonesia.

Selain IB, penyakit seperti EDS dapat menurunkan produksi telur sekitar 20-40% dan AI bisa mencapai 80%, sedangkan pada kasus ND produksi telur mengalami penurunan bervariasi mulai dari 7-60% (Medion, 2021).

Untuk serangan AI masih didominasi low pathogenic avian influenza (LPAI) yakni subtipe H9N2 yang cenderung menyerang sistem reproduksi dan pada serangan tunggal, hal tersebut disampaikan oleh Technical Education & Consultation Manager PT Medion, Drh Christina Lilis selaku.

“AI H9N2 ini tidak menimbulkan angka kematian yang tinggi. Pada perkembangannya, virus AI memiliki dua mekanisme dalam mengganggu organ reproduksi ayam, yaitu pembendungan pembuluh darah di ovarium dan rusaknya permukaan ovarium pada saat budding exit atau keluarnya virus dari sel. Kedua mekanisme ini akan mengakibatkan penurunan bahkan menghentikan produksi telur,” tutur Lilis.

Ia melanjutkan, infeksi AI juga memengaruhi kualitas telur. Serangannya menyebabkan telur kehilangan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2024. (CR)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PRODUKSI TELUR

Keseragaman bobot pullet harus terjaga sampai fase puncak produksi. (Foto: Dok. Infovet)

Budi daya ayam petelur di Indonesia masih menjanjikan. Karena telur dinilai sebagai salah satu sumber protein hewani yang harganya terjangkau bagi masyarakat. Meskipun begitu, peternak kian dihadapkan tantangan dalam beternak ayam petelur, bagaimana agar tetap profit dan efisien?

Kenyataannya di lapangan masih banyak peternak ayam petelur yang mengeluhkan sulitnya mencapai standar performa ayam sesuai dengan guideline tiap strain-nya. Berbagai permasalahan yang biasa dikemukakan seperti produksi tidak mencapai puncak, produksi kurang persisten (cepat turun), kualitas dan berat telur di bawah standar sehingga mengakibatkan konversi ransum membengkak yang pada akhirnya mengganggu laju pendapatan.

Infovet mencoba menjabarkan beberapa hal yang menjadi kunci keberhasilan dalam beternak ayam petelur. Setidaknya ada beberapa faktor seperti genetik, nutrisi, manajemen pemeliharaan, serta lingkungan.

Memanfaatkan Potensi Genetik Secara Maksimal
Ayam petelur modern merupakan ayam dengan genetik yang terseleksi dengan berbagai teknik pemuliaan. Dimana tiap ras saling mengklaim memiliki potensi yang mampu menghasilkan telur dalam jumlah banyak (hen day tinggi) dengan intensitas waktu yang lama (persistensi produksi telur baik), serta memiliki tingkat konversi pakan yang baik. Hal tersebut disampaikan oleh Director PT ISA Indonesia, Henry Hendrix.

“Kini layer modern bisa berproduksi dengan baik hingga mencapai umur 100 minggu, dimana yang sebelumnya siklus produksi hanya sekitar 80 minggu,” tutur dia dalam sebuah seminar di BSD.

Meskipun telah didesain sedemikian rupa, ayam petelur modern memiliki beberapa sisi kekurangan. Salah satunya yaitu relatif sulit mencapai berat badan standar terutama ketika fase starter dan memasuki awal produksi hingga puncak.

Selain itu, ketertinggalan berat badan tersebut sulit dikompensasi saat fase pemeliharaan berikutnya. Ayam petelur modern saat ini juga lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan dan ransum.

Hal ini disampaikan oleh Senior Specialist Poultry De Heus Indonesia, Jan Van De Brink, dalam suatu webinar. Menurutnya saat ini di lapangan yang sering terjadi adalah over maupun under weight pada pullet yang hendak memasuki fase produksi.

“Keseimbangan dan keseragaman bobot badan menjelang fase produksi ini sangatlah penting. Ini yang kerap banyak gagal terjadi di peternak, kalau tidak kelebihan, ya bobotnya kurang, dan ketika masuk fase produksi jadi kurang optimal,” kata Jan.

Ketika ayam sudah memiliki potensi unggul tetapi tidak didukung lingkungan yang memadai, maka hasilnya tidak akan maksimal. Manajemen yang baik tentu akan menghasilkan produksi telur yang baik atau meningkat. Begitupun sebaliknya, manajemen buruk maka hasilnya tidak akan bagus.

Lebih lanjut Jan mengatakan, pertumbuhan dan fase rearing pada ayam petelur seharusnya tidak selesai di umur 16 minggu, melainkan sampai umur 30 minggu. “Kita harus mempersiapkannya karena ini sangat krusial, kita ingin produk optimal pada saat ayam memulai bertelur hingga fase puncak,” tambahnya.

Sebab apabila ayam sudah mencapai umur 18 minggu, yang bisa diperbaiki… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2024. (CR)

AYAM SEHAT PRODUKSI TIDAK GOYANG

Ayam memerlukan kandungan nutrisi seimbang yang menjadi salah satu faktor untuk mempertahankan produksi stabil dan tidak goyang. (Foto: Dok. Infovet)

Ayam sehat merupakan salah satu kunci keberhasilan peternak dalam menjaga produksi tetap stabil dan tidak goyang.

Menjaga ayam tetap sehat seperti halnya menjaga bayi yang sedang tumbuh membutuhkan tenaga dan energi yang ekstra. Untuk mencapai keberhasilan sesuai target yang diinginkan, yaitu ayam selalu dalam kondisi sehat dan menghasilkan untung bagi peternak tentu butuh effort yang lebih besar.

Ayam yang dibudidayakan saat ini merupakan ayam yang berasal dari proses domestikasi dalam waktu yang lama hingga menghasilkan ayam ras dengan potensi produksi telur tinggi seperti sekarang.

Generasi ayam ras ini dikenal dengan istilah final stock atau commercial stock atau modern commercial strain. Meski banyak keuntungan yang didapatkan dari ayam yang memiliki produksi telur tinggi, namun di sisi lain ada konsekuensi yang harus dihadapi oleh peternak ayam modern ini. Di antaranya ayam modern lebih peka terhadap kondisi lingkungan seperti perubahan cuaca atau musim dan mudah mengalami stres. Hal ini tentunya dapat menyebabkan penurunan performa ataupun produktivitas.

Oleh sebab itu, beberapa faktor yang menjadi penyebab kesehatan ayam petelur yang terganggu akibat penurunan performa produktivitas dapat dipengaruhi oleh multifaktor yang sering kali terkait satu sama lain dan bersifat kompleks. Faktor-faktor tersebut dapat berpengaruh terhadap kuantitas, ukuran, dan kualitas telur.

Salah satu faktor yang dapat memengaruhi kesehatan ayam yaitu paparan penyakit infeksius yang kebanyakan disebabkan oleh virus, seperti egg drop syndrome (EDS), infectious bronchitis (IB), avian influenza (AI), dan newcastle disease (ND). Penyakit ini dapat menyebabkan drop produksi yang tajam.

Pada kasus penyakit infeksius di lapangan sering kali ditemukan kombinasi dari beberapa penyakit. Contohnya ditemukan kasus dengan gejala klinis dan patologi anatomi mengarah AI, namun setelah dilakukan uji laboratorium ditemukan positif AI dan ND. Hal ini dapat disebabkan karena masuknya penyakit ke dalam tubuh ayam, maka ayam dalam kondisi imun yang turun sehingga penyakit ikutan lainnya mudah untuk masuk.

Langkah yang efektif untuk menjaga kesehatan ayam agar mampu memberikan produktivitas optimal adalah dengan pencegahan menggunakan vaksin yang homolog sebagai berikut:... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2024.

Ditulis oleh:
Syamsidar
Marketing Support, PT Sanbio Laboratories

AGAR CACINGAN TIDAK MEMBUDAYA

Diare pada ayam bisa jadi gejala awal cacingan. (Foto: Istimewa)

Tidak mudah memang mengendalikan penyakit parasitik seperti cacingan. Hingga kini masalah tersebut masih menghantui peternak di Indonesia. Bagaimanakah sebaiknya mengupayakan hal ini?

Sebagaimana disebutkan pada artikel sebelumnya mengenai ciri-ciri ayam yang mengalami cacingan dan jenis-jenis cacing yang menginfeksi, sebagai peternak harus memahami faktor penyebab ayam terinfeksi cacing. Beberapa di antaranya:

• Kandang kurang bersih. Telur cacing dikeluarkan bersama feses ayam, jika kondisi litter di kandang ayam kotor dan dipenuhi feses, serta jarang dikontrol untuk diganti, jangan terkejut apabila ayam menunjukkan gejala klinis atau mengalami cacingan. Penyakit ini bisa menular secara mudah melalui feses di kandang. Apabila tidak segera dibersihkan dan litter kandang jarang dikontrol, telur cacing dapat dengan mudah menginfeksi semua ayam di kandang.

• Kualitas pakan. Saat mendapati gejala klinis pada ayam yang mengarah pada cacingan, bisa saja salah satu penyebabnya adalah karena pakan yang diberikan tidak berkualitas. Pastikan hanya memberikan makanan dalam kondisi bagus pada ayam. Minimal tidak memberikan pakan yang kadaluarsa atau pakan yang tidak jelas. Pada pakan ayam kadaluarsa biasanya mengandung parasit dan telur cacing. Saat dikonsumsi ayam, akan mendatangkan berbagai gangguan kesehatan, apalagi di tengah kesulitan bahan baku pakan seperti saat ini.

• Suhu dan lingkungan. Beberapa literatur menyebutkan bahwa cacing parasit menyukai kondisi lingkungan dan suhu tertentu. Oleh karena itu, penting bagi pemilik ternak untuk mengatur suhu udara dan memberikan lingkungan baik bagi ayam peliharaan.

• Keberadaan vektor. Beberapa jenis serangga seperti kumbang franky, lalat, nyamuk, dan lain sebagainya telah terbukti menjadi vektor alami dari penyebab cacingan. Ayam memiliki risiko tinggi terkena penyakit cacingan apabila populasi lalat meningkat atau disebut dengan musim lalat. Terlebih ketika musim hujan dengan curah hujan yang tinggi dan tingkat kelembapan kandang meningkat.
Larva lalat dewasa menjadi inang bagi parasit cacing pita yang menyebabkan penyakit cacingan pada ayam. Selain itu, larva lalat dewasa juga menjadi vektor mekanik bagi cacing gilig dengan membawa telur cacing tersebut berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Oleh karenanya, pengendalian vektor merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam upaya pengendalian cacing.

Lebih Baik Mencegah
Jika ayam terkena penyakit cacingan, maka harus segera ditangani dengan menggunakan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2024. (CR)

INFESTASI CACING YANG BIKIN MERINDING

Ascaridia galli. (Foto: Istimewa)

Orang awam mungkin mengetahui cacing sebagai salah satu mahluk penggembur tanah atau umpan memancing. Namun tidak semua cacing menguntungkan, ada beberapa jenis cacing yang justru merugikan bagi manusia dan hewan ternak.

Cacing yang akan dibahas dalam artikel ini merupakan cacing yang bersifat parasitik, terutama pada unggas. Cacingan merupakan penyakit akibat infeksi/infestasi cacing parasit di dalam tubuh makhluk hidup.

Cacing parasit banyak menginfeksi saluran pencernaan ternak, tak terkecuali unggas. Parasit ini sering menimbulkan banyak keluhan terutama dari peternak layer maupun breeding farm. Keluhan awal yang terjadi umumnya penurunan nafsu makan, diare berkepanjangan, keseragaman bobot badan yang tidak baik, bobot badan berada di bawah standar, penurunan produksi telur disertai daya tetas telur yang berkurang.

Selain itu, cacingan dapat menginduksi penyakit-penyakit pencernaan seperti necrotic enteritis (NE) dan yang paling berbahaya adalah menyebabkan penurunan daya tahan tubuh (imunosupresi) yang berujung pada kematian.

Mengidentifikasi Cacing Parasit
Menurut Dosen Mata Kuliah Endoparasit SKHB IPB University, Drh Risa Tiuria, dikatakan bahwa jenis cacing yang sering menginfeksi ayam terdiri dari dua jenis, yaitu jenis cacing gelang (nematoda) dan cacing pita (cestoda). Parasit cacing gelang sangat sering dijumpai pada breeding farm yang menggunakan sistem closed house dan pemeliharaan postal yang memakai litter. Hal ini dikarenakan kondisi pada litter sangat mendukung siklus perkembangan cacing dan tingginya kemungkinan ayam memakan telur cacing yang ada pada litter. Jenis cacing gelang yang kerap dijumpai menginfeksi ayam di lapangan adalah:

• Cacing Ascaris sp. Cacing ini paling sering dijumpai, berbentuk seperti spageti dengan panjang sekitar 5-12 cm dan dapat ditemukan di sepanjang usus halus. Cacing ini memiliki lama siklus hidup dari telur yang termakan hingga bertelur kembali berkisar 5-8 minggu. Larva dari cacing ini menyebabkan pendarahan pada usus halus, sehingga meningkatkan risiko infeksi sekunder dari bakteri Clostridium perfringens yang dapat menyebabkan NE.

• Cacing Capillaria sp. Cacing ini berbentuk seperti benang halus, biasanya cacing ini ada pada kerongkongan dan/atau tembolok. Cacing ini dapat menembus mukosa saluran pencernaan bagian atas sehingga menyebabkan peradangan pada tembolok dan dinding kerongkongan. Hal ini akan menyebabkan ayam mengalami kesulitan makan yang mengakibatkan penurunan nafsu makan.

• Cacing Heterakis gallinarum. Cacing Heterakis berbentuk seperti benang halus dan dapat ditemukan pada sekum. Cacing ini menyebabkan peradangan pada sekum yang ditandai dengan berkurangnya lipatan-lipatan mukosa pada sekum. Cacing ini juga merupakan vektor penyebaran dari penyakit histomoniasis atau black head disease.

Sedangkan jenis cacing pita yang umum ditemukan pada ayam adalah cacing pita dari jenis... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2024. (CR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer