-->

MEWASPADAI MODUS JAHAT PENJUALAN “DAGING SAPI” (PALSU)

Modus jahat oknum pengoplos daging sapi dengan daging babi untuk mencari keuntungan dengan cara menipu konsumennya. (Foto: RRI)

Modus kejahatan penjualan daging babi hutan yang “disulap” menjadi rupa daging sapi, hampir setiap waktu terjadi. Para pelaku memanfaatkan momen perayaan hari besar keagamaan untuk menjalankan aksinya. Apa saja modusnya?

Bulan suci Ramadan 1446 Hijriah sebentar lagi tiba. Momen yang paling dinanti umat Islam seluruh dunia. Menu olahan daging biasanya menjadi menu favorit pada momen tersebut. Jelang bulan yang suci ini, terkadang ada saja orang yang secara sengaja mencari keuntungan dengan cara yang jahat. Dan, pola ini seolah terus terjadi setiap tahun.

Simak saja kejadian yang belum lama terjadi di salah satu kota di Sumatra. Sebuah rumah yang berlokasi di tak jauh dari Pos Ronda, di wilayah Way Kanan, Provinsi Lampung, tiba-tiba didatangi sejumlah personel kepolisian bersenjata. Waktu masih menunjukkan pukul 10 malam lebih beberapa menit. Sekitar lima polisi berpakaian preman langsung merangsek ke sebuah rumah yang sudah diintai sebelumnya.

Tak ada perlawanan dari penghuni rumah, saat para polisi memasuki rumah tersebut. Mereka tak menyangka rumahnya didatangi polisi secara tiba-tiba. Setelah menginterogasi penghuni rumah, polisi kemudian menggeledah seisi rumah dan pekarangan belakang rumah tersebut.

Hasilnya, sejumlah drum plastik berukuran besar dan ember plastik bekas cat tembok segera diamankan. Drum dan ember tersebut berisi daging segar yang tampaknya siap dijual esok hari. Usai menyita sejumlah barang bukti, dua orang penghuni rumah tersebut juga digiring ke mobil polisi. Kedua pelaku masing-masing yakni BJ (55) dan AA (21) yang merupakan bapak dan anak, warga Way Kanan.

“Kedua tersangka terindikasi jaringan penjual daging babi hutan alias celeng di Lampung Timur dengan cara mengakui sebagai daging sapi dan dijual di bawah harga pasar,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Lampung Timur Ajun Komisaris Polisi (AKP) Faria Arista kepada wartawan, saat itu.

Penangkapan dua orang ini terjadi beberapa bulan lalu, namun masih ada kekhawatiran masyarakat bahwa kasus seperti itu akan terulang. Mungkin karena kasusnya berkaitan dengan daging yang sering dikonsumsi, maka rasa was-was pun selalu membayangi.

Lelaku jahat para pedagang nakal masih saja membayangi konsumen daging sapi di pasaran. Hingga sekarang masih saja ada orang yang mengelabuhi pembeli dengan cara yang merugikan. Mereka bukan hanya melakukan pengoplosan daging sapi dengan daging babi hutan, tetapi juga mengubah daging babi agar tampak seperti daging sapi.

Modus Para Pelaku
Dari kasus ini, kepolisian mengungkap sejumlah modus para pedagang daging babi hutan itu untuk menarik minat dan menipu konsumennya. Kepada polisi, pelaku menyebutkan sejumlah modus jahat yang dilakukan. Ini menjadi alarm bagi masyarakat, khususnya umat Islam.

Dosen Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Ir Edi Suryanto,  menyebut peristiwa pencampuran daging sapi dengan daging babi hutan yang berulang-ulang merupakan tindakan kriminal.

“Harus ada tindakan pencegahan sesuai dengan UU PK No. 8 tahun 1999, UU Pangan No. 18 tahun 2012,  dan UURI No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH),” ujarnya kepada Infovet.

UU JPH menyatakan bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat.

Ada sejumlah modus yang dilakukan oleh para pelaku untuk mengoplos daging sapi dan daging babi hutan. Modus pertama, mengoplos daging sapi dengan daging celeng ke dalam satu kotak, lalu dimasukan ke dalam tempat pendingin. Untuk mengelabuhi petugas, bagian luar dari kotak penyimpanan itu diberi label daging impor.

Modus kedua, menyamarkan daging babi hutan sebagai daging sapi dengan cara menyiram daging celeng dengan darah sapi. Dengan begitu, sekilas daging celeng itu menjadi mirip daging sapi. Warnanya lebih kemerahan.

Modus ketiga, pelaku menawarkan daging dengan harga jauh di bawah harga pasaran. Jika harga daging sapi di pasar sekitar Rp 120.000/kg, maka para pelaku menjual dagangan mereka di bawah Rp 100.000/kg.

Para pelaku tak hanya menjual langsung di pasar atau pinggir jalan. Namun mereka menawarkannya melalui media sosial. Pelaku akan mengirimkan video palsu kepada calon konsumen. Konsumen ditunjukkan video pemotongan sapi agar lebih meyakinkan. Video itu di-download dari sumber lain lalu dikirimkan ke calon konsumen.

Para konsumen terkadang mudah terkecoh mengingat saat jelang bulan Puasa dan Lebaran, menyiapkan hidangan daging menjadi momen yang istimewa. Dengan tawaran harga di bawah harga pasaran, orang mudah tergiur.

Gunakan Boraks
Ada juga modus lain yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan penjualan daging ini. Masih segar dalam ingatan publik kejadian dua tahun lalu di Bandung. Aparat kepolisian Polresta Bandung berhasil mengungkap dan mengamankan empat pelaku pengedar daging babi yang diolah menyerupai daging sapi di wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Dalam melakukan aksinya para pelaku menggunakan boraks agar daging babi hutan menyerupai daging sapi. Diolah kemudian menyerupai daging sapi dan dijual seharga daging sapi. Pada saat dijual di pasar, para pelaku menyebut daging itu sebagai daging sapi. Ternyata dengan menggunakan boraks, warna daging babi yang asalnya pucat menjadi lebih merah menyerupai daging sapi.

Para pelaku dijerat dengan Pasal 91 A jo Pasal 58 Ayat 6 UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta Pasal 62 Ayat 1 jo Pasal 8 Ayat 1 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam pasal tersebut secara tegas disebutkan, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.

Pedagang Harus Jujur
Dari banyaknya penangkapan oleh aparat kepolisian dalam kasus ini, muncul pertanyaan dari publik, apakah tidak boleh menjual daging babi?

Menurut Edi Suryanto, penjualan daging babi tentu saja boleh. Tetapi pedagang harus jujur. Merujuk aturan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) produk makanan boleh diberikan izin edar jika memberikan label gambar babi.

Hal itu diatur Pasal 6 Ayat 2 yang berbunyi, dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bahwa produk makanan dan minuman yang bersumber, mengandung, atau berasal dari babi, dapat diberikan izin edar dengan ketentuan harus memenuhi persyaratan tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan.

Berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 28/2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, khususnya penanganan daging babi tertulis bahwa pangan mengandung babi dipajang pada tempat khusus, terpisah dari pangan lain yang tidak mengandung babi.

Pada tempat pemajangan sebaiknya ada tulisan dan peringatan “PANGAN MENGANDUNG BABI” dengan gambar babi dalam kotak dengan garis tepi berwarna merah di atas dasar putih sehingga mudah dibaca dan terlihat jelas.

Persyaratan label makanan juga harus mencantumkan logo dan tulisan “MENGANDUNG BABI” dalam kotak dengan garis tepi berwarna merah di atas dasar putih pada label kemasan (untuk produk terkemas) dan showcase.

Yang jelas, sebagai konsumen juga harus jeli dan cerdas. Jangan gampang tergiur dengan tawaran harga daging murah. Dari hasil obrolan Infovet dengan pedagang daging di Pasar Parung, Bogor, untuk membedakan daging babi dan daging sapi, tidak terlalu sulit. Daging sapi memiliki serat lebih kasar dibanding daging babi. Ciri lainnya, bagian bawah daging babi terdapat semacam kulit berwarna putih dan berminyak. Sementara daging sapi tidak berlemak seperti daging babi.

Peran dari aparat kepolisian juga dibutuhkan. Untuk menghindari ini biasanya aparat Kepolisian akan mengimbau masyarakat sebaiknya membeli daging sapi pada pedagang yang biasa berjualan daging sehari-hari. Hindari membeli daging pada pedagang daging dadakan yang berjualan di pinggir jalan.

Edi Suryanto juga mengingatkan kepada masyarakat mengingat bulan Ramadan sudah dekat, harus lebih hati-hati dan jeli dalam berbelanja daging. “Jangan mudah tergiur dengan penawaran harga murah oleh pedagang. Kalau ada pedagang yang menawarkan dengan harga murah atau di bawah harga rata-rata pasaran, pembeli harus curiga. Kalau memungkinkan pastikan apakah itu benar-benar daging sapi atau bukan,” pungkasnya. ***


Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet Daerah Depok,
Konsultan media dan penulis buku,
Writing Coach Griya Menulis (Bimbingan Menulis Buku & Jurnalistik),
Juara I Lomba Jurnalistik Tingkat Nasional (Unsoed, 2021) & Juara I Kompetisi Menulis
Artikel Tingkat Nasional dalam rangka HATN, 2022

WASPADAI TIPU-TIPU KUALITAS DAGING

Sumber: Buku Cara Pintar Pilih Pangan Asal Hewan

Bulan Ramadan sudah dekat. Saat momen itu, sudah jadi kelaziman orang berburu makanan bergizi untuk buka puasa atau makan sahur. Olahan daging ayam, telur dan daging sapi menjadi menu favorit. Kebutuhan pasar pun meningkat di bulan yang penuh berkah ini. Omzet para pedagang berlipat, bahkan harga naik karena tingginya permintaan pasar.

Namun di balik tingginya permintaan, biasanya muncul persoalan yang tak membuat tenteram konsumen. Ada saja pedagang yang sengaja melakukan tipu-tipu dalam usahanya. Tak sedikit pedagang nakal dengan menyuntikkan air ke dalam daging ayam, sehingga berat melebihi dari seharusnya, ada pula yang menjual karkas ayam menggunakan formalin.

Ada juga yang memanfaatkan ayam yang sudah mati sebelum dipotong (tiren/ayam mati kemarin-red), menjadi menu olahan atau dijual dalam bentuk karkas. Karkas ayam tiren biasanya diolesi bahan kimia tertentu, sehingga terlihat seperti ayam baru dipotong. Tipu-tipu kualitas daging semacam ini hampir setiap waktu terjadi.

“Saya juga pernah mengalami kejadian seperti ini. Beli ayam di pasar, kelihatannya dari luar bagus. Begitu sampai di rumah, waktu di masak baru keluar bau busuknya,” tutur Tri Wartini, warga Komplek Bumi Sawangan Indah, Kecamatan Sawangan, Kota Depok, kepada Infovet.

Ketidaktahuan Wartini akan kualitas daging ayam menyebabkan ia percaya saja dengan pedagang di pasar. Ia mengaku, sebenarnya sudah agak curiga dengan ayam yang akan dibeli, warnanya agak gelap dan kemerahan, tidak seperti biasanya. Bau busuknya juga sedikit tercium. Tapi, karena lingkungan di pasar tradisional memang bau menyengat, ibu rumah tangga ini tidak ingin buruk sangka. Apalagi harga daging ayam tersebut lebih murah dibanding di bakul lainnya, Wartini pun tergoda untuk membelinya.

Kejadian serupa juga pernah dialami Krishandini, ibu rumah tangga yang juga tinggal satu komplek dengan Wartini. Hanya saja, kasus yang dialami Krishandini sedikit berbeda. Wanita ini membeli dua ekor karkas ayam yang ternyata berat karkas daging ayam tak sesuai timbangan. Saat membeli di pasar, satu ekor karkas ayam pedaging kelihatan besar dan segar. Harga yang ditawarkan cukup “miring”.

“Tapi begitu sampai di rumah dan ayam saya potong-potong, keluar air dari dalam dagingnya. Kaget saya,” tutur Krishandini. Ibu rumah tangga ini mencoba untuk memeriksa, ternyata di karkas ayam tersebut ada beberapa bekas suntikan. Mirip lubang kecil dan saat ditekan keluar air.

Panduan Agar Tak Kena Tipu
Kedua kasus yang dialami ibu-ibu rumah tangga di atas, bisa jadi hanya salah satu dari sekian banyak kejadian saat ini di Depok dan di tempat lain. Di luaran sana, kemungkinan banyak peristiwa serupa. Taktik utak-atik para pedagang nakal cari untung macam ini jelas merugikan konsumen.

Dalam Buku “Cara Pintar Pilih Pangan Asal Hewan” yang diterbitkan Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH), Kementerian Pertanian, menyebutkan ada beberapa yang perlu dikenali untuk memastikan daging ayam aman dan tidak ada tipu-tipu.

Ciri-ciri daging ayam yang baik menurut para peneliti yang menyusun buku ini adalah warna daging ayam putih kemerahan dan cerah. Bau tidak menyimpang (tidak berbau amis, menyengat dan asam). Permukaan daging terlihat lembap (tidak kering dan tidak basah).

Selain itu, permukaan daging ayam juga tampak bersih dan tidak ada darah. Serabut daging relatif halus. Kadang daging menyatu dengan kulit. Untuk karkas dalam bentuk beku (frozen), daging ayam disimpan dalam kondisi dingin (1-10° C).Sementara untuk daging ayam yang sudah tergolong bangkai (mati tanpa disembelih), pada bagian permukaan karkas terlihat warna kemerahan (seperti memar).

Ciri lainnya, cobalah perhatikan pada bagian pangkal sayap. Pembuluh darah pada pangkal sayap berwarna biru kehitaman karena berisi darah. Konsumen juga perlu perhatikan pada pembuluh darah di balik kulit. Pembuluh darah kapiler terlihat jelas (merah kehitaman). Perhatikan pula pada daging di balik kulitnya, terdapat warna kemerahan pada daging (seperti memar).

Sekadar mengingatkan, ayam bangkai atau ayam tiren adalah ayam yang telah mati yang disembelih atau tidak disembelih, sehingga darah tidak keluar dari tubuh ayam dan banyak dijajakan di pasar dengan harga murah.

Ciri Ayam Berformalin
Bagaimana dengan daging ayam berformalin? Ayam berformalin adalah karkas/daging ayam mengandung formalin yang diberikan melalui suntikan ke dalam daging atau pencelupan daging ke dalam larutan formalin.

Konsumen bisa memperhatikan pada bagian leher, ada pembuluh darah yang tidak terpotong. Permukaan potongan saluran nafas (trakea), saluran makan (esofagus) dan pembuluh darah rata, pembuluh darah terisi darah dan berwarna kehitaman (gelap).

Di dalam buku yang sama juga dijelaskan pada ayam yang berformalin jika dicubit bagian kulitnya (dianjurkan menggunakan sarung tangan atau menggunakan pinset pada saat mencubit kulit), maka kulit tidak kembali ke semula dan kulit terlihat kaku.

Kasus lain yang sering dijumpai adalah ayam di suntik dengan air, seperti yang dialami Krishandini. Ayam suntik adalah ayam yang diberikan air melalui suntikan ke dalam daging dengan tujuan menambah berat daging.

Konsumen bisa memperhatikan bagian kulit karkas ayam tampak meregang, karena daging terisi air. Perhatikan juga pada bagian paha, biasanya ada bekas jarum suntikan. Lubang-lubang kecil itu merupakan bekas suntikan untuk memasukan air.

Daging Oplosan
Kewaspadaan konsumen juga tak kalah penting saat membeli daging sapi, baik daging sapi mentah maupun yang sudah dalam bentuk olahan. Sejak lama, kasus yang sering terjadi adalah adanya daging oplosan, antara daging sapi dan daging babi hutan (celeng).

Di saat harga daging melonjak, para pedagang curang kerap kali memanfaatkan momen ini. Para pedagang tersebut mencampur daging sapi dengan daging babi hutan dalam satu timbangan. Bagi yang jeli dan sudah tahu perbedaan antara daging sapi dengan daging babi hutan, pasti akan menolak. Namun bagi masyarakat lain yang masih awam dengan perbedaan tersebut, tentu sangat dirugikan. Terlebih bagi konsumen Muslim.

Yang lebih sulit lagi untuk membedakan keduanya adalah saat sudah menjadi makanan olahan. Mulai dari bakso, sosis dan lainnya. Harga memang jadi lebih murah dibanding bakso yang hanya menggunakan bahan daging sapi saja.

Dosen Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Ir Edi Suryanto MSc PhD IPU, menyebutkan dari sisi Islam, pencampuran atau pengoplosan akan menimbulkan kerugian kerohanian yang besar. Masuknya barang atau zat yang haram ke dalam tubuh seorang Muslim, sehingga amal ibadahnya dapat tidak diterima atau tidak berpahala.

Bahkan, kerugian juga datang dari sisi jasmani atau tubuh orang yang mengonsumsinya. Dari sisi gizi dan kesehatan barang yang haram mengandung berbagai kotoran yang dapat minimbulkan gangguan kesehatan tubuh (fisik) dan gangguan kejiwaan (psikis).

“Kotoran yang ada dalam barang yang haram antara lain seperti racun-racun, mikrobia perusak, mikrobia penyebab penyakit, parasit, virus dan sampah metabolit lainnya,” kata Edi.

Untuk menghindari keraguan masyarakat dalam membeli daging, Edi menyampaikan tips penting untuk membedakan antara daging sapi dan daging babi hutan. Menurutnya, tidak terlalu sulit untuk membedakan antara daging sapi dengan daging babi hutan yang masih mentah secara kasat mata.

Menurutnya, daging mempunyai ciri-ciri atau karakteristik sendiri-sendiri. Misalnya, daging sapi berbeda dengan daging babi, daging unggas berbeda dengan daging sapi atau pun daging babi. Perbedaan ini dapat disebabkan antara lain oleh genetik, pakan, umur dan manajemen.

Bagaimana jika sudah jadi olahan? Ini juga masalah yang sering dihadapi konsumen. Dijelaskan Edi, daging sapi dan daging babi hutan yang sudah matang juga masih dapat dibedakan. “Warna daging sapi matang cokelat gelap, sedangkan warna daging babi matang cokelat pucat,” ujarnya.

Jika olahan berkuah, maka kuah daging sapi memberikan aroma yang khas daging sapi, sedangkan kuah daging babi aromanya berbeda dari daging sapi. Sementara itu, lemak daging sapi akan menggumpal saat dingin, sedangkan lemak daging babi tetap cair saat dingin.

Namun jika telah dilakukan pengolahan lebih lanjut, misalnya sosis, maka pembedaan secara sensoris tidak mudah dilakukan. Perlu didukung analisis laboratorium menggunakan metode yang lebih canggih, yaitu penentuan DNA (metode PCR).“Dalam masalah ini, memang dibutuhkan kejujuran para pedagangnya. Jangan menipu pembeli,” ucapnya.

Selain itu, perlu adanya operasi pasar yang dilakukan instansi berwenang, dalam hal ini pemerintah. Bukan untuk mengamankan harga, tetapi memberikan jaminan kualitas daging yang dijual. Dan, semestinya operasi pasar tidak dilakukan pada momen jelang hari-hari besar keagamaan. Tetapi perlu dilakukan secara berkala, agar hak dan kesehatan masyarakat sebagai konsumen terjaga. (AK)

Mewaspadai Beredarnya Daging Oplosan Jelang Ramadhan



Dalam hitungan hari, Bulan Suci Ramadhan akan segera tiba. Momentum yang penuh hikmah ini membawa keberkahan hampir di setiap lini bisnis, mulai dari bisnis makanan, busana dan lainnya. Pada bulan ini, lazimnya, banyak pedagang dadakan yang membuka usaha menu berbuka puasa (takjil) hingga beragam lauk-pauk. Keuntungan berlipat sudah terbayang oleh para pelaku usaha setahun sekali itu.

Namun, kali ini ada rasa khawatir yang menyergap Rindha Wardani. Seorang ibu rumah tangga di Depok, Jawa Barat, ini punya kisah tak mengenakkan saat akan berjualan daging rendang untuk menu berbuka puasa, tahun lalu. Tak kurang dari 5 kg daging yang ia beli di pasar tak jauh dari tempat tinggalnya harus dibuang sia-sia.

Daging yang ia beli itu ternyata daging oplosan antara daging sapi dengan daging babi hutan (celeng). Rindha mengetahui daging yang ia beli ternyata oplosan, setelah diinformasikan seorang temannya yang berprofesi sebagai dosen dan ahli gizi.

“Saat beli di pasar, tidak kelihatan beda warnanya karena dicampur. Baru kelihatan beda warna dagingnya setelah mau diolah di rumah. Pantas saja waktu itu harganya jauh lebih murah dibanding biasanya,” tutur Rindha kepada Infovet.

Ia bisa jadi, hanya salah satu korban saja dari kasus daging oplosan yang hampir setiap tahun terjadi. Di beberapa kota lain, cukup banyak orang yang juga terkena imbas dari bisnis licik ini. Banyak ragam modus yang dilakukan oleh para pelaku untuk mengoplos daging sapi dan daging babi hutan. Dari pemberitaan yang ada selama ini, pihak kepolisian menemukan sedikitnya dua modus yang bisa dilakukan pelaku. Modus pertama, dengan mengoplos daging sapi dengan daging celeng ke dalam satu kotak, lalu dimasukan ke dalam tempat pendingin. Untuk mengelabuhi petugas, bagian luar dari kontak penyimpanan itu diberi label daging impor.

Modus kedua, menyamarkan daging babi hutan sebagai daging sapi dengan cara menyiram daging celeng dengan darah sapi. Dengan begitu, sekilas daging celeng itu menjadi mirip daging sapi. Untuk menghindari ini, biasanya aparat kepolisian akan mengimbau masyarakat sebaiknya membeli daging sapi pada pedagang yang biasa berjualan daging sehari-hari. Hindari membeli daging pada pedagang daging dadakan yang berjualan di pinggir jalan.

Rugi Jasmani dan Rohani
Berulangnya kasus daging oplosan yang terjadi di berbagai daerah mengundang keprihatinan dari banyak kalangan, termasuk para ahli gizi. Menurut Dosen Laboratorium Ilmu dan Teknologi Daging, Departemen Teknologi Hasil ternak, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Ir Edi Suryanto, MSc., Ph.D., IPU, peristiwa pencampuran daging sapi dengan daging babi hutan yang berulang-ulang merupakan tindakan kriminal.

Edi Suryanto
“Peristiwa ini harus dilakukan tindakan pencegahan dengan mendasarkan pada UU PK No. 8 tahun 1999, UU Pangan No. 18 tahun 2012 dan UURI No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH),” ujarnya.

UU JPH menyatakan, bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. 

Menurut pakar gizi ini, dari sisi Agama Islam, pencampuran atau pengoplosan akan menimbulkan kerugian kerohanian yang besar, karena masuknya barang atau zat yang haram ke dalam tubuh seorang Muslim, sehingga amal ibadahnya dapat tidak diterima atau tidak berpahala.

Bahkan, kerugian juga datang dari sisi jasmani atau tubuh orang yang mengkonsumsi barang haram tersebut. Dari sisi gizi dan kesehatan barang yang haram mengandung berbagai kotoran yang dapat minimbulkan gangguan kesehatan tubuh (fisik) dan gangguan kejiwaan (psikis).

“Kotoran yang ada dalam barang yang haram antara lain seperti racun-racun, mikrobia perusak, mikrobia penyebab penyakit, parasit, virus dan sampah-sampah metabolit lainnya,” tegasnya. 

Perbedaan Kasat Mata
Untuk menghindari keraguan masyarakat dalam membeli daging, Edi menjabarkan tips penting untuk membedakan antara daging sapi dan daging babi hutan. Tidak terlalu sulit untuk membedakan antara daging sapi dengan daging babi hutan yang masih mentah, secara kasat mata.

Cara membedakan jenis daging dapat dilakukan secara sensoris atau organoleptis dan secara laboratorium (fisis, kemis dan biokemis). “Pembedaan secara kasat mata daging sapi dengan daging babi dapat dilakukan menggunakan indera manusia atau secara inderawi,” kata Edi.

Menurut dia, daging mempunyai ciri-ciri atau karakteristik sendiri-sendiri. Misalnya, daging sapi berbeda dengan daging babi, daging unggas berbeda dengan daging sapi atau pun daging babi. Perbedaan ini dapat disebabkan antara lain oleh genetik, pakan, umur dan manajemen. 

Berikut adalah perbedaan kandungan kimia atau sering disebut kandungan gizi daging-daging tersebut secara kasat mata.

Daging sapi
Daging babi hutan (celeng)
Warna merah tua
Warna merah muda
Bau: khas daging sapi dan lebih kuat aromanya
Bau: khas daging babi agak apek
Serat daging lebih kasar
Serat daging lebih halus
Perlemakan lebih rendah
Perlemakan lebih banyak
Lemak punggung tipis
Lemak punggung tebal
Kulit dilepas dari karkas
Kulit tetap menempel pada karkas

Pemahaman lain yang perlu diperhatikan konsumen dalam mencermati perbedaan antara daging sapi dan daging babi hutan, adalah saat kedua daging sudah diolah atau matang. Menurut Edi, daging sapi dan daging babi hutan yang sudah matang juga masih dapat dibedakan dari sensorisnya. “Warna daging sapi matang coklat gelap, sedangkan warna daging babi matang coklat pucat,” ujarnya.

Jika olahan berkuah, maka kuah daging sapi memberikan aroma yang khas daging sapi, sedangkan kuah daging babi aromanya berbeda dari daging sapi. Sementara itu, lemak daging sapi akan menggumpal saat dingin, sedangkan lemak daging babi tetap cair saat dingin.

“Namun jika telah dilakukan pengolahan lebih lanjut, misalnya sosis, maka pembedaan secara sensoris ini tidak mudah dilakukan. “Perlu didukung dengan analisis laboratorium menggunakan metode yang lebih canggih yaitu penentuan DNA (metode PCR),” jelas Edi.

Tips Pilih Daging Berkualitas 
Selain kasus daging oplosan, di beberapa daerah juga masih terjadi kasus penjualan daging sapi yang sudah busuk yang diberi perlakuan khusus, sehingga terlihat seperti daging sapi segar. Karena itu, ahli gizi dari UGM ini memberikan tips sederhana dalam memilih daging sapi segar, agar kandungan gizinya sempurna.

Menurutnya, belilah daging yang berasal dari sapi sehat dan yang disembelih secara halal. Daging sapi sehat berwarna merah segar. Memiliki bau atau aroma khas daging sapi, yaitu lebih amis atau anyir. Serat daging lebih kasar dan tampak jelas. Selain itu, tidak ada memar atau pembuluh darah yang pecah karena jatuh, terhimpit, tertanduk, serta memiliki tekstur padat, solid dan kaku. “Jika ditanya, antara daging beku dan daging segar, lebih baik mana untuk dipilih? Itu sangat tergantung dari tujuan pengolahan berikutnya,” ujarnya.

Untuk produksi bakso, misalnya, kata Edi, maka daging segar adalah daging yang lebih baik dipilih, karena akan menghasilkan bakso yang kenyal, padat dan kompak. Sehingga tidak perlu menambahkan banyak bahan pengenyal, terkadang tidak perlu ditambahkan.

Sementara untuk daging beku, sebelum diolah harus disegarkan kembali atau thawing. Thawing ini akan menyebabkan cairan daging yang berwarna merah (drip) keluar. Drip ini membawa sebagian nutrien atau zat gizi daging, sehingga terjadi penurunan zat gizi daging. (Abdul Kholis)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer