-->

CEVA ANIMAL HEALTH

CEVA ANIMAL HEALTH

Boehringer Ingelheim

Boehringer Ingelheim

SIDO AGUNG FEED

SIDO AGUNG FEED

INFOVET EDISI MEI 2023

INFOVET EDISI MEI 2023

Susunan Redaksi

Pemimpin Umum/Redaksi
Ir. Bambang Suharno


Wakil Pemimpin Umum

Drh. Rakhmat Nurijanto, MM


Wakil Pemimpin Redaksi/Pemimpin Usaha
Ir. Darmanung Siswantoro


Redaktur Pelaksana
Ridwan Bayu Seto


Koordinator Peliputan
Nunung Dwi Verawati


Redaksi:
Wawan Kurniawan, SPt

Drh. Cholillurrahman (Jabodetabek)

Drh. Yonathan Rahardjo (Jatim)
Drh. Masdjoko Rudyanto,MS (Bali)
Drh Heru Rachmadi (NTB)
Dr. Sadarman S.Pt, MSi (Riau)
Drh. Sry Deniati (Sulsel)
Drh. Joko Susilo (Lampung)
Drh. Putut Pantoyo (Sumatera Selatan)

Kontributor:
Prof. Dr. Drh. Charles Rangga Tabbu,
Drh. Deddy Kusmanagandi, MM,
Gani Haryanto,
Drh. Ketut T. Sukata, MBA,
Drs. Tony Unandar MS.
Prof. Dr. Drh. CA Nidom MS.


Kabag Produksi & Sirkulasi
M. Fachrur Rozi

Staf Produksi & Sirkulasi:
M. Sofyan

Yayah Muhaeni

Administrasi
Nur Aidah


Keuangan:
Efrida Uli
Monita Susilawati


Staf Pemasaran
:
Yayah Muhaeni


Alamat Redaksi

Ruko Grand Pasar Minggu
Jl. Raya Rawa Bambu No. 88A
Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520
Telp: (021) 7829689, 78841279, Fax: 7820408
e-mail:
Redaksi: majalah.infovet@gmail.com
Pemasaran: marketing.infovet@gmail.com

Rekening:
Bank MANDIRI Cab Ragunan,
No 126.0002074119

Bank BCA KCP Cilandak KKO I. No 733-0301681
a/n PT Gallus Indonesia Utama

Redaksi menerima artikel yang berkaitan dengan kesehatan hewan dan atau peternakan. Redaksi berhak menyunting artikel sepanjang tidak merubah isinya.
Semua artikel yang dimuat menjadi milik redaksi.
Email artikel Anda ke:infovet02@gmail.com

Jumlah Pengunjung

GALLUS Group

Download Gratis Edisi Sisipan Vol 10

Pengikut

Info Agribisnis Klik Di Sini

alterntif text

TRANSLATE

BANTUAN FAO DAN PEMERINTAH AUSTRALIA UNTUK TANGANI WABAH PENYAKIT HEWAN DI INDONESIA

On Mei 09, 2023

Sapi Yang Terinfeksi LSD 
(Sumber: FAO 2023)

Merespon wabah Penyakit Kulit Berbenjol (Lumpy Skin Disease / LSD) dan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) baru-baru ini pada ternak di Indonesia, Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) dan Pemerintah Australia berkolaborasi untuk mendukung pemerintah Indonesia untuk menghentikan dan mengendalikan penyebaran penyakit ternak berdampak ekonomi tinggi ini.


Pemerintah Australia juga memberikan kontribusinya berupa dana sebesar AUD 1 200 000 (USD 792 000 atau sekitar 12 milyar rupiah). FAO bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia meningkatkan kapasitas para petugas kesehatan hewan di lapangan dan para peternak untuk membantu mencegah dan mengendalikan wabah LSD dan PMK, serta memperkuat komunikasi risiko pada target kelompok-kelompok peternak yang ternaknya berisiko tinggi untuk tertular penyakit tersebut.

“Warga Australia memiliki sejarah yang membanggakan untuk membantu tetangga dekat kami, dan kami sangat senang untuk  membantu menghentikan penyebaran lebih lanjut penyakit kaki dan mulut (PMK) dan LSD di wilayah ini. Upaya ini membutuhkan sumber daya yang signifikan, keahlian teknis dan kolaborasi, dan kami akan terus bekerja sama untuk saling mendukung dan berbagi pengetahuan,” ujar Murray Watt, Menteri Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Australia.

“Kami berharap dengan dukungan tambahan dari Australia ini, melalui rekan-rekan kami di FAO, dapat membantu mengurangi dampak negatif penyakit ini terhadap ketahanan pangan dan mata pencaharian peternak Indonesia, sekaligus melindungi industri peternakan di negara lain, termasuk Australia," tambahnya.

Sangat menular, berakibat fatal, dan sangat merugikan

Meskipun tidak mengancam kesehatan manusia, LSD dan PMK adalah penyakit virus yang sangat menular yang menyerang sapi dan hewan ternak lainnya. Lebih dari 600.000 hewan di Indonesia telah terinfeksi PMK dan lebih dari 11.000 telah mati dan peternak terpaksa memotong  15.000 ternak lainnya. Indonesia telah bebas dari PMK selama lebih dari 30 tahun, tetapi pada September 2022, pemerintah melaporkan bahwa wabah PMK telah terdeteksi di 24 dari 34 Provinsi. Sejak itu, tiga provinsi lainnya telah tertular. Sementara itu, LSD telah menginfeksi lebih dari 22.000 hewan di 13 provinsi di Indonesia, seiring dengan berlanjutnya wabah.

Potensi kerugian ekonomi setiap tahun akibat wabah PMK bisa mencapai 1 triliun Rupiah. Hal ini cukup buruk bagi perekonomian negara secara keseluruhan, dan menghancurkan perekonomian peternak dan keluarganya.

"Peternakan adalah komponen penting dari banyak ekonomi pedesaan, menyediakan makanan, pendapatan, dan mata pencaharian bagi jutaan orang di seluruh dunia. Mengontrol dan memberantas penyakit seperti PMK dan LSD sangat penting untuk melindungi mata pencaharian ini dan memastikan masa depan yang berkelanjutan bagi masyarakat pedesaan," kata Rajendra Aryal, Perwakilan FAO di Indonesia dan Timor-Leste.

“FAO berkomitmen penuh untuk mendukung negara-negara anggota kami dalam mencapai tujuan ini."

Dukungan dari pemerintah Australia terhadap penanganan PMK dan LSD ini dinamai “Mengurangi Dampak Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Penyakit Kulit Berbenjol (LSD) dan Membangun Kapasitas Respon Terhadap Wabah Ini di Indonesia” akan dilaksanakan selama periode satu tahun. (INF)

DOSEN IPB BEBERKAN MASALAH SERIUS SEKTOR PETERNAKAN AUSTRALIA

On April 23, 2023

Sapi, Salah Satu Komoditas Peternakan Andalan Australia

Australia merupakan salah satu negara utama dunia penghasil daging dan susu. Tidak heran, jumlah ternak di Australia sangat banyak.

Sebagai gambaran, total sapi di Australia sebanyak 24,4 juta ekor dan jumlah domba mencapai 68 juta ekor. Guru Besar IPB University, Ronny Rachman Noor, dalam sebuah webinar pada (22/4) yang lalu menyebut dengan jumlah ternak sebanyak itu, salah satu masalah serius yang dihadapi dunia peternakan Australia adalah pencurian ternak yang menimbulkan kerugian sangat besar.

“Korban pencurian ternak ini umumnya adalah peternak yang tinggalnya di wilayah terpencil. Dari data resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Australia, setiap tahunnya diperkirakan terjadi pencurian ternak sebanyak 31 ribu ekor yang menimbulkan kerugian sebesar AUD50 juta atau setara dengan Rp498.594.250.000,” beber Ronny

ia mencontohkan tingkat pencurian ternak di wilayah negara bagian New South Wales, salah satu sentra peternakan Australia, pada periode 2015 sampai 2020 sebanyak 16.700 domba dan 1.800 sapi.

“Jika kita membayangkan peternakan di Australia, sebaiknya kita tidak membayangkan peternakan seperti di Indonesia yang jumlah ternaknya rata-rata 1-3 ekor saja per peternak dan umumnya dikandangkan,” ungkap dosen IPB University dari Fakultas Peternakan (Fapet) ini.

Dia menuturkan di Australia, ternak sapi dan domba umumnya dipelihara ekstensif di area yang sangat luas dan biasanya cukup terpencil. Kondisi ini memungkinkan pencuri dengan leluasa menjarah ternak.

“Sebenarnya hukum di Australia sudah cukup keras bagi para pencuri ternak ini karena jika pencuri tertangkap dan diproses di pengadilan, maka pelakunya dapat dihukum sampai dengan 14 tahun,” tutur dia.

Misalnya, pada salah satu kejadian, pencuri berhasil menggondol 700 ekor domba senilai AUD140.000 atau senilai Rp1.396.063.900. Dengan skala pencurian sebesar ini, dapat dipastikan pencuri memiliki perencanaan matang dan menggunakan truk pengangkut ternak.

“Kemungkinan mereka juga memiliki informasi yang cukup canggih untuk menentukan waktu pencurian yang tepat sehingga tidak diketahui oleh pemiliknya,” beber dia.

Di samping itu, agar tidak menimbulkan kegaduhan dan suara dari ternak yang dicurinya, sudah dipastikan pencurinya memahami betul cara menangani domba agar ketika dipindahkan ke truk ternak yang dicuri tidak ribut. Roni menyebut pihak kepolisian yang menangani pencurian ternak di Australia mengalami kesulitan karena peternak tidak mengetahui secara pasti kapan ternaknya dicuri.

Selain itu, tidak setiap hari ternak mereka dikumpulkan. Melainkan hanya pada waktu tertentu saja dalam kurun waktu setahun.

“Guna mengatasi semakin meluasnya pencurian ini di Australia, kini dikembangkan nomor telinga ternak yang terhubung dengan Global Positioning System (GPS). Nomor telinga canggih ini dapat melacak pergerakan ternak yang dicuri sekaligus menginformasikan lokasinya dengan menggunakan satelit,” beber Ronny.

Ronny mengatakan dengan menggunakan nomor telinga canggih ini peternak dapat memonitor pergerakan ternaknya. Apabila terjadi pergerakan ternak yang cepat, peternak dapat langsung melaporkannya pada polisi karena kemungkinan terjadi pencurian ternak di peternakannya.

Selanjutnya, polisi dapat menggunakan data GPS tersebut untuk melacak ternak yang dicuri. Teknologi lain yang digunakan oleh Australia untuk mengatasi pencurian ternak adalah pengenalan wajah.

"Yang khusus dikembangkan untuk ternak berbasis teknologi kecerdasan buatan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi ternak secara individu,” ujar Ronny.

Ronny menyebut teknologi pengenalan wajah untuk ternak ini memfokuskan variasi bentuk moncongnya. Hidung sapi memiliki bentuk berbeda-beda satu sama lain, sehingga dapat digunakan sebagai pembeda sebagaimana halnya dengan sidik jari pada manusia.

“Penggunaan teknologi canggih seperti teknologi pengenalan wajah pada ternak memang masih dalam pengembangan. Namun tampaknya ke depan teknologi ini sangat diperlukan karena paling tidak akan mengurangi tingkat pencurian ternak sapi dan domba di Australia yang jumlahnya pada taraf yang sangat mengkhawatirkan,” tutur dia. (CR)

AUSTRALIA AKAN IMPOR SAPI LSD DARI INDONESIA

On April 13, 2022

Peternakan Sapi, Sumber Pendapatan Utama Australia


Langkah tidak biasa ditempuh oleh Australia, pasalnya mereka hendak mengimpor sapi yang mengidap penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) dari Indonesia. Tujuannya agar ilmuwan bisa mengembangkan vaksin untuk mencegah penyebaran infeksi LSD jika akhirnya virus itu masuk ke Australia. Menteri Pertanian Australia David Littleproud mengatakan lembaga penelitian CSIRO di Geelong, Victoria, akan menguji virus yang dapat memusnahkan industri daging merah dan produk susu Australia tersebut. 

"Ini merupakan langkah besar dan tidak bisa saya anggap enteng. Tapi itulah risiko yang harus diambil untuk dapat mencegahnya di negara kami. Langkah ini pun tidak akan memengaruhi status penyakit hewan ternak di Australia maupun peluang perdagangan kita" katanya.

Keputusan Australia  untuk mengimpor sapi terinfeksi LSD dari Indonesia memang berisiko, pasalnya penyakit tersebut dapat menular melalui perantara vektor berupa serangga. Oleh karena itu mereka sangat khawatir akan keselamatan sektor peternakan sapinya, karena faktanya Australia memang dapat banyak devisa dari sektor tersebut.

"Virus LSD ini saya khawatir akan datang dan akhirnya masuk ke Australia, entah dalam waktu cepat atau lambat. Saat ini jarak penyakit ternak itu ke wilayah daratan Australia sekitar 3.000 kilometer. Cukup dengan badai angin topan dan sejumlah pengusir hama sudah cukup untuk menyebar ke Australia. Saya tidak bisa memasang penangkal lalat besar di seluruh wilayah Australia utara. Saya tidak akan bisa menghentikannya," tambahnya. (INF)
". 

POPULASI TAK TERKENDALI, KUDA LIAR DI AUSTRALIA AKAN "DIBASMI"

On April 12, 2021

Kawanan kuda liar di Kosciuszko National Park Australia, mengalami peningkatan populasi (Sumber : ABC Indonesia)

Badan pengelola kawasan hutan dan taman negara bagian Victoria, Australia, menyarankan pembasmian kuda liar. Saran ini dikeluarkan untuk melindungi vegetasi di wilayah pegunungan. Pembasmian akan dilakukan dengan cara menembaki kuda liar dari udara, bila tidak mungkin dilakukan di daratan.

Lembaga bernama Parks Victoria itu telah mengumumkan rencana tersebut bulan lalu dan mendapat dukungan dari organisasi kesejahteraan hewan RSPCA. Rencana ini mengesampingkan upaya pengendalian dengan cara mengumpulkan dan menambat kuda-kuda liar untuk selanjutnya dijinakkan. Metode seperti ini didukung oleh kalangan tuan tanah di dataran tinggi Victoria.

Parks Victoria juga berencana melakukan penangkapan sendiri serta akan mengizinkan tuan tanah untuk mengambil kuda liar jika mereka dapat menyediakan kandang yang cocok untuk hewan tersebut. Beberapa pagar pembatas juga akan dibangun. Semua rencana ini tertunda tahun lalu karena seorang peternak terkemuka di dataran tinggi Victoria bernama Philip Maguire menggugat ke Mahkamah Agung untuk menghentikan pemusnahan kuda liar. Pengadilan pun telah menolak gugatan ini.

Rencana baru untuk pengendalian kuda liar akan memetakan langkah Parks Victoria untuk dekade berikutnya. Lembaga ini memperkirakan jumlah kuda liar di wilayah pegunungan Victoria meningkat dua kali lipat dari 2014 hingga 2019. Sebuah survei menunjukkan populasinya meningkat dari sekitar 2.300 ekor menjadi 5.000 ekor. 

Juru bicara Parks Victoria menyebutkan pengurangan populasi kuda liar sangat penting dilakukan setelah kebakaran hutan tahun 2019/2020 menyapu habis area habitat yang luas di Taman Nasional Alpine. 

"Daerah-daerah yang tidak terpengaruh oleh kebakaran, kini jadi habitat yang kritis bagi spesies satwa liar asli pegunungan seperti kadal pohon, katak pohon dan udang karang berduri," katanya. "Tanaman langka dan terancam punah di dataran tinggi yang gundul menjadi semakin rentan," tambahnya.

Juru bicara Asosiasi Taman Nasional Victoria Phil Ingamells mengatakan, penembakan hewan secara manusiawi harus dilakukan karena vegetasi daerah pegunungan perlu diperbaiki.

“Risiko kepunahan spesies sangat nyata dalam konteks pemanasan global dan iklim yang mengering. Frekuensi kebakaran meningkat, invasi gulma, perusakan habitat oleh spesies yang masuk ke wilayah ini. Taman Nasional Alpine adalah ekosistem yang sangat rapuh, dan bukan tempat bagi hewan ternak," kata Phil.

Ia mengakui penjinakan lebih disukai sebagian peternak, namun upaya ini katanya tidak akan bisa mengurangi populasi kuda liar.

"Upaya ini tidak akan pernah menjadi solusi. Ada 6.000 kuda liar di Taman Nasional Alpine dan tidak tersedia 6.000 kandang yang bagus untuk menjinakkan mereka," ujar Phil.

Seorang juru bicara RSPCA Victoria mengatakan pihaknya mendukung penembakan kuda liar dari udara di area terbuka dengan medan datar.

"Harus dipertimbangkan kemampuan tembakan yang akurat. Karena itu, hanya penembak dan pilot yang sangat berpengalaman yang harus dilibatkan," katanya.

Ia menambahkan penembakan dari usara harus ditinjau secara teratur dan segera dihentikan jika terbukti merugikan kesejahteraan hewan. Seorang pejabat Pemerintah Kota East Gippsland, Sonia Buckley, menyatakan pihaknya tidak senang dengan rencana tersebut. Dia setuju kuda liar merupakan masalah, tapi seharusnya Parks Victoria membentuk satuan tugas yang melibatkan penduduk pedalaman, mirip dengan satgas penanggulangan anjing liar sebelumnya. Berburu kuda liar, kata Sonia, sebaiknya dilakukan karena hewan-hewan ini juga ada pasarnya.

“Anak saya seorang pemburu kuda liar, ikut dalam Benambra Buck Runners. Mereka melakukan dengan hati-hati agar hewan ini bisa diambil dengan selamat,” ujarnya.

Sonia menyebut menembaki kuda liar dari udara sangatlah tidak manusiawi dan tidak efektif. "Medannya sangat sulit untuk dapat melihat hewan dari udara. Penembak tidak dapat melakukannya dalam satu kali tembakan," katanya.

Ia menggambarkan pembasmian seperti itu sama dengan menjatuhkan hukuman kepada penjahat. Dia juga mempertanyakan jumlah kuda liar di wilayah pegunungan negara bagian yang disebutkan pihak Parks. Menurut Sonia, jumlahnya hanya sekitar 2.000 ekor. Politisi setempat Tim Bull juga menyatakan tak setuju bila kuda-kuda liar ini dimusnahkan. Dia menyarankan agar kuda-kuda liar itu dijinakkan dan dikumpulkan bukan malah ditembaki dari udara. (CR/ABC Indonesia)



MENCARI BIBIT UNGGUL TENAGA KERJA DI BIDANG PETERNAKAN

On Februari 06, 2020

Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) berkolaborasi dengan Indonesia - Australia Partnership Food Security in The Red Meat and Cattle Sector Red Meat and Cattle Partnership (RMCP) menyelenggarakan program pelatihan kerja untuk sarjana baru di bidang peternakan.

Program perdana bertajuk "ISPI-Red Meat Cattle Partnership Internship Program for Fresh Graduate" ini digelar pada tahun 2019 dan diikuti oleh 25 orang sarjana peternakan. Nantinya para peserta akan ditempatkan di 12 perusahaan yang bergerak di bidang sapi potong baik di hulu maupun hilir. Keduabelas perusahaan tersebut yakni PT Citra Agro Buana Semesta, PT Juang Jaya Abadi Alam, PT Indo Prima Beef, PT Karunia Alam Sentosa Abadi, PT Superindo Utama Jaya, PT Buana Karya Bakti, PT Nutricell Pacific, PT AEON, Haleen Australasian Livestock Trader Pty Ltd, Austrex, dan Livestock Shipping Services Pty Ltd. Lama waktu yang disediakan bagi para peserta dalam program ini adalah 3 bulan.

Muhsin Al-Anas selaku koordinator program menyatakan bahwa program ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan teknis lulusan program studi peternakan utamanya yang baru lulus (fresh graduate), sehingga mereka dapat memahami proses bisnis di industri peternakan secara real-time

Suasana saat presentasi dan sharing peserta magang

"Ini merupakan kontribusi nyata dari ISPI dalam mempersiapkan SDM Indonesia yang unggul sesuai dengan visi mis Indonesia negara maju 2045. Selain mempersiapkan SDM yang berkualitas, harapannya akan meningkatkan daya saing dan pemikiran inovatif para tenaga kerja di sektor peternakan terlebih lagi di era revolusi industri 4.0 di Indonesia," tutur Muhsin ketika ditemui Infovet.

Infovet juga berkesempatan menyambangi para peserta magang dalam rangka kegiatan monitoring dan supervisi di Bandung dan Garut, pada 3 - 4 Februari 2019 yang lalu. Dalam kegiatan supervisi tersebut para peserta magang melakukan presentasi dan sharing singkat tentang hal apa saja yang mereka kerjakan pada waktu magang.

Dalam kesempatan yang sama, David Goodwins Monitoring and Evaluation Advisor Project Advisory and Support Group, Indonesia - Australia Partnership on Food Security in The Read Meat and Cattle Sector Red Meat and Cattle Partnership (RMCP) mengatakan bahwa dirinya sangat senang dengan diadakannya program ini. Selain menjalin kerjasama internasional yang telah lama dilakukan oleh Indonesia dan Australia, program ini diharapkan dapat menghasilkan tenaga kerja unggul di bidang peternakan khususnya ternak sapi potong.

"Saya senang melihat mereka dapat mengimplementasikan ilmu yang mereka dapat di bangku perkuliahan, tentunya mereka sudah dibekali ilmu dari universitas dan pada program ini adalah waktu yang tepat bagi mereka untuk menerapkannya," tutur David.

Ketika ditanya Infovet mengenai tolak ukur keberhasilan dari program tersebut, David mengutarakan bahwa salah satu indikatornya adalah presentase peserta yang diterima oleh perusahaan sebagai karyawan mereka. Ia juga mengatakan bahwa dari program ini diharapkan akan terjadi hubungan saling menguntungkan antara perusahaan dan organisasi seperti ISPI dan RMCP.

Dari segi peserta, program ini dinilai sangat baik bagi para lulusan baru dalam menjajaki dunia kerja. Hal tersebut diutarakan oleh Agil Darmawan, seorang peserta program asal Mataram, Nusa Tenggara Barat. Bagi Agil, program ini selain sebagai ajang implementasi ilmu yang telah ia dapatkan di bangku perkuliahan, juga menjadi arena dalam mencari pengalaman dan mengasah soft skill.

"Saya senang dengan adanya program ini, dan sepertinya saya jadi semakin yakin untuk bekerja di bidang yang memang saya senangi dan pelajari. Memang ada beberapa hal yang butuh adaptasi lebih, tetapi saya rasa dalam dua bulan ini fine - fine saja," tutur Agil. Namun begitu, Agil juga memberikan masukan kepada penyelenggara program tentang program ini.

Salah satunya yakni mengenai lama waktu magang yang hanya 3 bulan. Menurut Agil, waktu yang diberikan selama 3 bulan masih kurang karena ia merasa bahwa butuh waktu lebih dari itu untuk benar - benar menghayati apa yang dikerjakannya. Ia berharap nantinya waktu yang diberikan untuk program pada batch selanjutnya diperpanjang, minimal 6 bulan.

Berfoto bersama para peserta magang 

Sementara itu menurut Petrus Hendra Widyantoro Program Manager Indonesia - Australia Partnership on Food Security in The Read Meat and Cattle Sector Red Meat and Cattle Partnership (RMCP) animo peserta dari program ini sangat tinggi. Tercatat bahwa peserta yang mendaftar dalam program ini sebanyak 140 orang. Dari 140 pendaftar dilakukan proses seleksi hingga mendapatkan 25 orang peserta yang dianggap layak mengikuti program ini.

"Ada 25 orang totalnya, dan mereka semua adalah lulusan sarjana peternakan dari seluruh Indonesia. Kita senang karena program ini sangat diminati, semoga kedepannya kita bisa terus membuat program semacam ini dan lebih masif dan mudah - mudahan kontinu," tutur Petrus.

Petrus berharap bahwa peserta yang ikut dalam program ini adalah orang - orang yang siap mendedikasikan dirinya secara total di bidang peternakan khususnya sapi potong. Oleh karena itu, untuk selanjutnya dirinya dan ISPI sudah menyiapkan metode penjaringan peserta yang baru dan lebih kompetitif agar mendapatkan bibit unggul tenaga kerja di bidang peternakan dan lulusan dari program ini selain dapat berkarya di bidang peternakan juga dapat berinovasi.

Kegiatan supervisi tersebut masih akan berlangsung hingga tanggal 7 Februari 2020 di Lampung. Tentunya kita semua berharap agar kegiatan ini akan berbuah manis dan dapat menghasilkan tenaga kerja di bidang peternakan yang berdaya saing, inovatif dan siap dalam menghadapi segala tantangan yang ada di sektor peternakan Indonesia.  (CR)

MENILAI DAMPAK PETERNAKAN SAPI BAGI LINGKUNGAN

On Januari 27, 2020

Para pembicara dan moderator dalam diskusi mengenai dampak peternakan sapi bagi lingkungan mendapat cinderamata. (Foto: Infovet/Ridwan)

Menurut para peneliti, industri peternakan sapi turut menyumbang 65% emisi gas rumah kaca. Ternak ruminansia (sapi, kambing, domba) tersebut menghasilkan gas metana yang dikeluarkan melalui sendawa, gas buang dan kotorannya.

Sebagaimana dikutip dari tulisan berjudul “Animal Agriculture’s Impact on Climate Change,” gas metana menyumbang 16% dari total efek pemanasan global. Potensi pemanasan global mencapai 28 hingga 36 kali lipat yang berujung pada prduksi karbon dioksida.

Ketika dampak perubahan iklim semakin mengkhawatirkan, gerakan mengurangi pangan berbahan daging menjadi populer. Para aktivis lingkungan mendesak masyarakat untuk mengurangi makan daging untuk menyelamatkan lingkungan. Beberapa aktivis telah menyerukan pemberlakuan pajak atas daging untuk mengurangi konsumsi daging.

Pada 2006, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), menerbitkan penelitian berjudul “Livestock’s Long Shadow,” yang mendapat perhatian luas secara global. Disebutkan bahwa ternak memberikan kontribusi sebesar 18% emisi gas rumah kaca dunia. Hal itu mendorong tiap negara untuk memiliki kebijakan yang fokus pada masalah degradasi lahan, perubahan iklim dan polusi udara, kekurangan air dan polusinya, serta berkurangnya biodiversitas.

Memperhatikan permasalahan tersebut, Northern Territory Cattlemen's Association (NTCA) dan Red Meat and Cattle Partnership, bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), mengadakan seminar bertajuk “Dampak Peternakan Sapi Bagi Lingkungan,” Senin (27/1/2020) di Jakarta.

Menurut Ketua Umum ISPI, yang diwakili oleh Dewan Pertimbangan Organisasi ISPI, Joni Liano, mengatakan bahwa tema tersebut menjadi isu yang sangat serius dan harus dipelajari lebih mendalam.

“Nantinya hal itu bisa ditindaklanjuti melalui penelitian, serta implementasi lapangan. Dengan begitu bisa memajukan peternak dan mensejahterakan ternak di Indonesia,” kata Joni saat menjadi keynote speech.

Sementara Pebi Purwosuseno, mewakili Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, menyatakan pembahasan yang diangkat sangat relevan dengan situasi pembangunan peternakan dan kondisi lingkungan secara global saat ini.

“Kita ketahui bahwa sektor peternakan muncul sebagai salah satu kontributor bagi masalah lingkungan. Temuan ini mendorong setiap negara untuk memiliki kebijakan yang fokus pada masalah degradasi lahan, perubahan iklim dan polusi udara, kekurangan air dan polusinya, serta berkurangnya biodiversitas,” kata Pebi.

Lebih lanjut dikatakan, dengan memperhatikan permasalahan tersebut dan mempertimbangkan pentingnya peternakan bagi masyarakat, semua pelaku maupun stakeholder peternakan dituntut jeli dan berhati-hati dalam menentukan sikap.

“Kita harus secara jeli dan berhati-hati mengambil sikap terkait kondisi ini. Masalah akibat sektor peternakan di Indonesia mungkin tidak semasif di negara-negara yang sektor peternakannya jauh lebih besar dan maju. Namun langkah-langkah pengoptimalan seperti lahan, pakan, pengelolaan limbah dan biogas, terus dilakukan pemerintah,” tukasnya.

Dalam kegiatan tersebut, penyelenggara juga turut mengundang beberapa narasumber yang kompeten dibidangnya, diantaranya Ashley Manicaros (CEO NTCA), Dr Parjono (Fapet UGM), Kieran Mc Cooskeed (Department Primary Industry, Northern Teritorry Government) dan M. Pribadie Nugraha (Meat & Livestock Australia/MLA). (RBS)

PARTNERSHIP GANDENG UGM BERI PELATIHAN PETERNAK SAPI

On April 01, 2019

Peserta pelatihan pembiakkan dan manajemen sapi komersial. (Istimewa)

Kemitraan Indonesia Australia dalam Ketahanan Pangan di Sektor Daging Merah dan Sapi (Partnership) bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, menyelenggarakan Program Pelatihan Pembiakkan dan Manajemen Sapi Komersial tahap III Senin, (1/4).

Pelatihan diikuti 20 peserta dari seluruh Indonesia yang merupakan pelaku industri sapi potong, pelaku integrasi sapi-sawit dan peternak sapi komersial. Pelatihan akan dilaksanakan selama tiga minggu di Indonesia (1-12 April) dan Australia (21-30 April). Pelatihan berupa kelas dan kunjungan lapangan ke pembiakkan sapi komersial di Jawa, Kalimantan dan Queensland.

Dalam keterangan pers yang diterima Infovet, Team Leader Advisory and Support Group Partnership, Muhamad Isradi Alireja, menyatakan, tujuan pelatihan ini untuk mendorong model usaha pembiakkan sapi yang lebih menguntungkan dan berkelanjutan di Indonesia.

“Melalui pelatihan ini diharapkan terjadi proses transfer pengetahuan dan pertukaran pengalaman antara akademisi dan sesama pelaku industri untuk menemukan keahlian dan pengetahuan yang paling cocok bagi Indonesia dalam mencapai kompetensi dan daya saing global,” katanya.

Sebagai mitra sekaligus fasilitator pelatihan, Dekan Fakultas Peternakan UGM, Prof Ali Agus, mengemukakan kerjasama ini adalah bentuk kontribusi civitas akademi dan penguatan peningkatan sektor peternakan di Indonesia, khususnya sektor pembiakkan sapi komersial.

Program pelatihan ini diselenggarakan dan didanai Indonesia-Australia Partnership on Food Security in the Red Meat and Cattle Sector. Program yang diinisiasi pada 2013 akan berlangsung hingga 2023 mendatang, dengan alokasi dana sebesar AUD 60 juta. Sejak 2015, Partnership telah mengalokasikan dana sebesar AUD 4,2 juta untuk peningkatan kapasitas dalam sektor daging merah dan sapi di Indonesia. (INF)

Artikel Populer