Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini AMR | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

WAAW 2021: MENTAN TEGASKAN PENDEKATAN ONE HEALTH DIBUTUHKAN UNTUK KESEHATAN DUNIA

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo pada puncak acara WAAW 2021. (Foto: Infovet/Ridwan)

Pekan Kesadaran Antimikroba Sedunia (World Antimicrobial Awareness Week/WAAW), yang diperingati setiap tahunnya pada 18-24 November, merupakan momentum penting untuk meningkatkan kesadaran dan komitmen masyarakat dunia dalam pengendalian resistensi antimikroba/antimicrobial resistance (AMR) dengan pendekatan one health.

“Pendekatan one health sangat dibutuhkan untuk kesehatan dunia, mengingat saat ini masalah kesehatan dengan adanya pandemi COVID-19 dan AMR membuat tren kemunduran dalam ketahanan pangan. Oleh karena itu, semua sektor harus terlibat aktif dan bertanggung jawab dalam menjaga kesehatan dan ketahanan pangan,” ujar Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo, dalam kegiatan puncak Pekan Kesadaran Antimikroba 2021 yang diselenggarakan secara hybrid di Provinsi Bali, Rabu (24/11/2021).

Lebih lanjut dijelaskan, AMR menjadi isu yang santer dibicarakan di seluruh dunia karena diprediksi menjadi pembunuh nomor satu pada 2050 mendatang dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa pertahun dan kematian tertinggi terjadi di kawasan Asia.

“Prediksi tersebut bisa saja terjadi apabila kita tidak melakukan pengendalian secara konkrit. Untuk itu komitmen kita dalam mengendalikan AMR bersama-sama menjadi bagian penting,” imbuh Mentan Syahrul.

Untuk mengantisipasi dampak tersebut dan meningkatkan ketahanan pangan, lanjut Syahrul, pihaknya telah melakukan beberapa strategi diantaranya meningkatkan kapasitas produksi berkelanjutan, penguatan diversifikasi pangan lokal, penguatan cadangan pangan dan sistem logistik, pengembangan pertanian modern dan dukungan Gratieks.

“Melalui strategi ini kita transformasikan kemandirian sistem pangan secara holistik, berintegrasi dan berkelanjutan. Saya berharap ada kesatuan emosional bahwa masalah kesehatan adalah ujung yang sangat penting melalui ketahanan pangan. Saya percaya kita semakin mempertajam program bersama lembaga dunia sebagai upaya gerakan antimikroba di Indonesia untuk kontribusi pada kepentingan dunia,” ucap dia.

“Mari kita bekerjasama saling bertukar pikiran cerdas kita dengan pendekatan intelektual melalui referensi dunia yang bisa kita pelajari bersama untuk kesehatan manusia, hewan dan lingkungan di masa mendatang.”

Konsep one health didefinisikan sebagai upaya kolaboratif dan komunikatif dari berbagai sektor, utamanya kesehatan manusia, hewan dan lingkungan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global untuk mencapai kesehatan optimal. Pengendalian penyakit zoonosis, AMR dan penggunaan antibiotik yang bijak memerlukan kolaborasi multisektor, tidak hanya terbatas pada kesehatan dan pertanian, tetapi juga kehutanan, lingkungan dan pendidikan. (RBS)

SOSIALISASI PENINGKATAN KESADARAN PENATAGUNAAN ANTIMIKROBA

Dirkeswan Nuryani Zainuddin saat memaparkan presentasinya dalam Sosialisasi Peningkatan Kesadaran Penatagunaan Antimikroba untuk Dokter Hewan. (Foto: Infovet/Ridwan)

Antimikroba merupakan penemuan besar yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan lingkungan. Kendati demikian, antimikroba bagai pedang bermata dua, penggunaannya yang tinggi dan tidak bijak memacu meningkatnya resistansi mikroba atau antimicrobial resistance (AMR).

Data WHO 2014, menunjukkan kejadian AMR sudah merenggut 700 ribu jiwa dan diperkirakan meningkat 10 juta jiwa pada 2050 apabila tidak dikendalikan. Sementara survei AMU 2020, menunjukkan antibiotik enrofloxacine, amoxicillin, colistin, sulfadiazine, trimethoprim, ciprofloxacin dan tylosin masih cukup tinggi digunakan di enam provinsi di Indonesia.

Dari latar belakang tersebut, dilaksanakan Sosialisasi Peningkatan Kesadaran Penatagunaan Antimikroba untuk Dokter Hewan, Selasa (5/10/2021), atas kerja sama Kementerian Pertanian, FAO, USAID dan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI).

Dalam kegiatan tersebut dijelaskan, salah satu dampak residu antibiotik yang tertinggal di bahan pangan asal hewan sangat berbahaya bagi manusia. Hal tersebut bisa mengakibatkan reaksi alergi, toksisitas, memengaruhi flora usus, pengaruh buruk pada respon imun dan resistensi pada mikroorganisme.

“Selain berbahaya bagi kesehatan, residu antibiotik juga berpengaruh terhadap lingkungan dan ekonomi,” papar Prof Ida Tjahajati dari Universitas Gadjah Mada yang menjadi narasumber.

Ida menjelaskan, faktor pendorong terjadinya resistensi antimikroba pada sektor peternakan akibat dari penggunannya yang berlebihan, tidak sesuai dosis dan waktu henti, penerapan sanitasi dan higiene yang buruk, minimnya kesadaran, serta lemahnya kepatuhan dan kontrol penggunaan antimikroba.

Oleh karena itu, kesadaran masyarakat di sektor peternakan dan kesehatan hewan menjadi sangat penting dalam menegakkan penatagunaan antimikroba. Hal itu ditegaskan Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan), Nuryani Zainuddin.

Ia menjelaskan, tujuan penatagunaan antimikroba adalah untuk mengurangi kerusakan berkelanjutan akibat AMR pada hewan, manusia dan lingkungan, serta mengurangi konsumsi dan biaya antimikroba tanpa meningkatkan mortalitas. “Juga mengoptimalkan biaya perawatan kesehatan pada manusia maupun hewan,” katanya.

Lebih lanjut, adapun strategi penatagunaan antimikroba di bidang peternakan dan kesehatan hewan bisa dilakukan dengan menerapkan good farming practices, biosekuriti, biosafety, vaksinasi dan praktik kedokteran hewan yang baik. Dengan begitu, lanjut dia, bisa dipastikan penggunaan antimikroba dan risiko perpindahan mikroorganisme akan menurun.

“Penting juga untuk melakukan diagnosis tepat terhadap suatu kasus penyakit dan peresepan yang bertanggung jawab dari dokter hewan. Hal ini menjadi pendorong penggunaan antimikroba secara bijak dan bertanggung jawab,” pungkasnya. (RBS)

MENINGKATKAN KESEHATAN DAN PRODUKTIVITAS AYAM TANPA AGP

Direktur Pakan, Agus Sunanto, saat menjadi keynote speaker dalam webinar “Training Formulasi Pakan Tanpa AGP”. (Foto: Infovet/Ridwan)

Dampak penggunaan antibiotic growth promoter (AGP) pada industri ayam ras menjadi alasan pemerintah melarang AGP yang biasanya digunakan melalui pakan. Walau diketahui penggunaannya dapat membantu menekan bakteri patogen di saluran pencernaan.

Namun dalam jangka panjang pemberian AGP dapat menimbulkan residu antibiotik pada produk unggas yang berbahaya dikonsumsi manusia, yang turut meningkatkan kasus antimicrobial resistant (AMR).

“Survei WHO pada 2014 menyebutkan angka kematian global akibat AMR sebanyak 700 juta jiwa (low estimate) dan diperkirakan meningkat menjadi 10 juta jiwa di tahun 2050 mendatang. Banyak negara di Eropa melarang semua jenis antibiotik sebagai growth promoter,” ujar Direktur Pakan Ditjen PKH Kementerian Pertanian, Agus Sunanto, dalam webinar “Training Formulasi Pakan Tanpa AGP”, Rabu (8/9/2021), yang merupakan rangkaian kegiatan Hari Ayam dan Telur Nasional (HATN) dan World Egg Day (WED) 2021 di Provinsi NTT pada Oktober mendatang.

Pelarangan AGP di Indonesia telah diatur melalui berbagai regulasi, diantaranya UU No. 18/2009 jo UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Permentan No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan, Permentan No. 22/2017 mengenai Pendaftaran dan Peredaran Pakan dan Permentan No. 65/2007 tentang Pengawasan Mutu dan Keamanan Pakan.

Dipaparkan Agus, tujuan dari pelarangan AGP tersebut untuk mencegah terjadinya residu obat pada ternak dan resitensi mikroba patogen, mencegah gangguan kesehatan pada manusia, serta menjaga kesehatan lingkungan.

Oleh karena itu, kata dia, langkah strategis yang bisa diupayakan untuk meningkatkan kesehatan dan produktivitas ayam bisa menggunakan alternatif seperti probiotik, prebiotik, asam organik, minyak esensial, enzim, maupun feed supplement berkualitas.

“Juga dengan penerapan biosekuriti tiga zona, peningkatan kualitas pakan dan pemilihan DOC yang sehat, berkualitas dan bersertifikat,” ungkap Agus.

Hal senada juga disampaikan Direktur Nutricell Pacific, Wira Wisnu, yang menjadi narasumber. Dikatakan di era bebas AGP sekarang ini, pelaku budi daya unggas harus lebih jeli dalam perbaikan pemeliharaan.

Dijelaskan Wira, beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan untuk mengoptimalkan performa ayam yakni dengan memperhatikan kepadatan kandang, kebutuhan air, ketersediaan dan kualitas pakan.

“Serta bagaimana kita mengatur temperatur, kelembapan, oksigen, manajemen pH saluran pencernaan (keseimbangan mikroflora), pengelolaan organ hati dan usus, serta meminimalisir kondisi stres pada ayam,” katanya. (RBS)

FGD FORMAT : RAMBU - RAMBU PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI PERUNGGASAN

FGD FORMAT, membahas penggunaan antibiotik di perunggaan lebih mendalam

Beberapa waktu yang lalu harian Kompas mengangkat tema terkait Antimicrobial Resisstance (AMR) pada laman utamanya. Lalu kemudian digelar pula acara konferensi pers antara YLKI bekerjasama dengan beberapa LSM terkait temuan bakteri yang resisten antimikroba pada produk perunggasan (karkas).

Sebagai upaya klarifikasi atas isu tersebut, Forum Media Peternakan (FORMAT) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) mengenai penggunaan antibiotik di sektor perunggasan melalui daring Zoom Meeting pada Kamis (5/8). FGD ini sengaja dibatasi pesertanya hanya pengurus Format dan para wartawan media anggota Format, sedangkan narasumber yang diundang adalah para pimpinan asosiasi terkait dengan isu ini yaitu Pinsar Indonesia, GOPAN, Pinsar Petelur Nasional, GPMT, GPPU, ASOHI, PDHI serta perwakilan pemerintah yaitu Ditkeswan. FGD  dibuka oleh Ketua Format Suhadi Purnomo dan dipandu oleh sekretaris Format Yopi Safari

Pada kesempatan pertama Drh Rakhmat Nuryanto Ketua Bidang Kesmavet PINSAR Indonesia mengatakan bahwa isu bakteri kebal antibiotik terutama E.Coli sebenarnya adalah isu yang sudah lama terjadi, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Ia mengutip beberapa laporan dan hasil penelitian terkait isu tersebut.

"Permasalahannya, yang duluan mengangkat isu tersebut adalah media mainstream, sehingga masyarakat menjadi geger. Itu tidak bisa dihindari dan memang dampak sosio-ekonominya cukup besar," tutur Rakhmat. 

Rakhmat sendiri menyayangkan hal tersebut, padahal menurutnya bakteri sekebal apapun terhadap antimikroba akan tetap mati dengan cara dimasak . Jadi untuk meredam isu tersebut ia menyarankan pada stakeholder untuk meng-counternya dengan menyarankan pada masyarakat agar tidak takut makan ayam dan telur.

Selain itu menurut Rakhmat, sektor peternakan bukanlah satu - satunya sektor yang harus disalahkan dari terjadinya AMR. Kesalahan pola konsumsi antibiotik pada manusia juga memegang peranan yang besar atas terjadinya AMR.

Senada dengan Rakhmat, Ketua Umum PB PDHI Dr. Drh Muhammad Munawaroh juga menyayangkan hal tersebut. Menurutnya hal tersebut hanya menyebabkan kepanikan belaka di masyarakat sehingga masyarakat menjadi takut untuk mengonsumsi daging dan telur ayam.

Peternak Bicara

Dalam forum tersebut juga hadir perwakilan PINSAR Petelur Nasional (PPN) yakni Yudianto Yosgiarso. Menurutnya di lapangan sebisa mungkin peternak tidak menggunakan antibiotik maupun obat, karena hal tersebut juga merupakan cost tambahan produksi. 

Ia juga mendukung upaya pemerintah dalam menggalakkan program sertifikasi NKV di Indonesia. Menurutnya dengan adanya program tersebut, peternak dapat lebih meningkatkan sisi manajemen pemeliharaan dimana dengan manajemen yang baik, tidak dibutuhkan penggunaan obat - obatan termasuk antibiotik dalam jumlah yang banyak.

"Saya sangat mendukung itu dan sudah melihat sendiri bahwa dengan memperbaiki cara beternak, obat - obatan termasuk antibiotik dapat dikurangi. Makanya saya dukung program pemerintah ini dan kalau bisa semua peternak ayam petelur juga meneruskan langkah baik ini," tuturnya.

Pendapat Yosgiarso juga didukung oleh Herry Dermawan, Ketua Umum GOPAN. Ia memaparkan bahwasanya penggunaan antibiotik dapat ditekan dengan cara menerapkan biosekuriti yang baik sehingga ayam tetap sehat dan performanya baik.

"Di Priangan Timur sana, kami (termasuk saya), memanen ayam di umur 23-24 harian, karena kami sadar nanti kalau dipanen di umur 28 hari keatas banyak tantangan penyakit. Dengan  dipanen 24 hari, peternak sudah mulai menerapkan cara pemeliharaan yang sangat minim menggunakan obat. Jadi faktanya peternak sendiri sudah melakukan upaya mengurangi penggunaan obat-obatan termasuk antibiotik," kata Herry.

Namun begitu kata Herry, isu yang ditimbulkan oleh pemberitaan negatif terkait ayam membuat peternak cukup terpukul. Terlebih lagi ketika peternak menghadapi anjloknya harga ayam terkait masalah supply dan demand. Oleh karenanya Herry mengatakan bahwa isu ini harus bisa segera diredam untuk mencegah dampak sosio - ekonomi yang lebih hebat lagi.

Memperkuat Pengawasan dan Komunikasi

Pemerintah pun sebenarnya tidak tinggal diam dalam menghadapi masalah ini. berbagai peraturan telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam mengurangi penggunaan antibiotik yang serampangan. Mewakili Direktur Kesehatan Hewan Drh Ni Made Ria Isriyanthi, PhD pun menjabarkan berbagai regulasi terkait penggunaan antibiotik pada ternak.

Menurut Ria, berbagai upaya kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementan bersama stakeholder di luar sektor peternakan. Ia menjelaskan bahwa pihaknya terus meningkatkan pengawasan peredaran obat hewan bersama stakeholder . 

"Kami sedang menggodok aturan bagaimana caranya agar sediaan obat hewan ilegal tidak dijual di marketplace . Ini masih butuh waktu dan kami diskusikan juga dengan ASOHI," tutur Ria.

Sementara itu Ketua Umum ASOHI Drh Irawati Fari dalam forum ini mengutarakan, bahwa sebagai mitra pemerintah pihaknya mendukung upaya pemerintah dalam menjalankan kebijakan pengendalian AMR.

"Kami juga mengerti kalau permasalahan ini tidak bisa kami selesaikan sendiri. ASOHI pun telah mewanti - wanti anggotanya agar selalu menaati peraturan yang berlaku, dan kami membuktikan itu. Berbagai kolaborasi dengan pihak lain juga telah kami jalankan agar bisa mereduksi dampak dari AMR, karena kami paham isu ini sifatnya global dan dampak sosio - ekonominya pun besar," tutur Irawati.

Dalam kesempatan yang serupa, Drh Desianto Budi Utomo Ketua Umum GPMT ikut menyatakan pendapat. Ia menjabarkan bahwa semua pabrik pakan anggota GPMT dipastikan sudah mematuhi semua peraturan terkait antibiotik baik AGP maupun medikasi.

"Kami ikuti sesuai peraturannya dan setiap anggota kami wajib memiliki dokter hewan yang menjadi PJTOH (Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan) di pabrik masing - masing, jika nanti terjadi praktik yang tidak sesuai tentunya akan mudah dilacak," kata Desianto.

Sementara itu, Ketua Umum GPPU Ahmad Dawami mengatakan bahwa memang isu perunggasan yang diangkat Kompas beberapa waktu belakangan efeknya cukup mencengangkan. Meskipun ia mengetahui pasti bahwa orang - orang di sektor perunggasan akan menanggapinya dengan santai, tetapi di luar sektor perunggasan pasti dampaknya akan berbeda.

"Kita santai karena kita ngerti, yang lain kan enggak ngerti. Makanya ini kita harus bisa mengubah mindset orang - orang ini agar enggak takut makan ayam dan telur," tutur Dawami.

Ia menyoroti pola komunikasi yang ada di masyarakat dimana sebenarnya banyak beredar isu tak sedap mengenai perunggasan, mulai dari hormon, telur palsu, antibiotik, dan lain sebagainya. 

Selain itu Dawami juga menyoroti ketegasan pemerintah dalam melakukan sanksi pada pihak yang dinilai menyalahi aturan.Menurutnya, pemerintah harus lebih tegas dalam memberikan sanksi, jangan hanya memberikan sanksi administratif, bila perlu penutupan izin usaha.

Drh Munawaroh juga sangat menyoroti sisi komunikasi dari isu ini. Menurutnya, sektor peternakan kurang aktif dalam mengampanyekan sisi baiknya kepada masyarakat luas. Sehingga berita - berita hoaks jadi semakin susah ditangkis.

"Selama ini saya enggak pernah lihat di TV, koran, ada kampanye "Ayo makan daging dan telur Ayam!" padahal ini penting. Makanya kalau dibutuhkan ayo kita bikin kampanye yang masif, PDHI siap membantu mengedukasi masyarakat juga kok. Kalau komunikasinya berjalan dengan baik pasti bisa kita naikkan konsumsi protein hewani kita," tutur Munawaroh.

Ia juga meminta agar FORMAT senantiasa melakukan upaya terbaik dalam meng-counter pemberitaan di media mainsteam. Karena menurutnya FORMAT sebagai media yang berfokus di sektor peternakan lebih paham dan mengerti terkait seluk - beluk peternakan ketimbang media mainstream (CR).



YLKI ADAKAN KONFERENSI PERS TERKAIT PRODUK UNGGAS

Konferensi Pers Online bersama YLKI via daring Zoom meeting


Jumat (16/7) yang lalu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bersama  World Animal Protection (WAP), dan CIVAS mengadakan ‘Press Conference Final Report: Penemuan Bakteri Kebal Antibiotik Pada Produk Pangan Ayam Broiler.’ Acara ini diselenggarakan secara daring via Zoom.

Hal tersebut adalah tindaklanjut dari hasil investigasi YLKI bersama CIVAS dan WAP terkait isu resistensi antimikroba yang menjadi isu global. Tulus Abadi selaku ketua YLKI berukar bahwa isu tersebut sudah menjadi isu yang sering diperbincangkan di lembaga konsumen dunia. Oleh karenanya YLKI sebagai lembaga perlindungan konsumen di Indonesia merasa harus melakukan sesuatu sebagai bentuk kontribusinya di masyarakat.

"Kami berusaha mengedukasi konsumen agar lebih cerdas dan paham mengenai apa itu food safety dan security. Daging ayam sudah menjadi bagian hidup sehari - hari di meja makan masyarakat, oleh karenanya ini harus diamankan agar tidak membahayakan," tuturnya.

Ia juga menuturkan bahwa dengan adanya temuan ini diharapkan dapat menjadi pemacu bagi konsumen, pemerintah, maupun pelaku usaha untuk semakin concern dan berusaha menghasilkan produk perunggasan yang aman bagi masayarakat dan tidak meminimalisir cemaran residu antibiotik maupun bakteri yang kebal antibiotik agar tidak membahayakan kesehatan pemakannya.

Dalam kesempatan yang sama, Rully Prayoga dari WAP menjabarkan hasil temuannya. Setidaknya dari sampel karkas dan sekum yang diambil dari retail dan RPHU ditemukan adanya bakteri E.coli yang resisten terhadap beberapa jenis antimikroba seperti Ciprofloxacin, Kolistin, Meropenem, Sulfomethoxazole, dan Kloramfenikol.

"Ini cukup membahayakan, jika bakteri ini mengontaminasi dan termakan oleh konsumen tentunya akan menyebabkan risiko bagi konsumen. Oleh karenanya kami perlu mengklarifikasi hal ini," tutur Rully.

Dirinya juga memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah dan pelaku usaha untuk mencegah terjadinya hal ini. Diantaranya meningkatkan manajemen pemeliharaan ternak terutama dalam aspek biosekuriti dan meminimalisir penggunaan antibiotik pada ternak. Pemerintah juga dihimbau agar lebih menjalankan fungsi pengawasan kepada peternak dalam hal penggunaan antibiotik.

Ketua Umum PDHI yang juga hadir dalam pertemuan online tersebut Drh Muhammad Munawaroh mengapresiasi hasil investigasi tersebut. Dirinya pun mengakui bahwa fungsi pengawasan yang dilakukan juga belum maksimal karena terbatasnya sumber daya dari pemerintah. Oleh karenanya dia menghimbau kepada seluruh stakeholder yang berkecimpung agar bersinergi dan berkolaborasi menjalankan fungsi pengawasan tersebut.

Terkait temuan tersebut, Munawaroh menghimbau utamanya kepada YLKI agar tidak terlebih dahulu "kebakaran jenggot" menanggapi temuannya. Hal tersebut tentunya akan berdampak besar pada aspek sosio-ekonomi dimana nantinya masyarakat akan takut mengonsumsi daging ayam karena mengandung bakteri berbahaya.

"Temuan ini sebaiknya ditanggapi dengan bijak, toh yang ditemukan adalah bakteri kebal antibiotik pada karkas. Sebenarnya jika masyarakat dihimbau agar memasak ayamnya sampai benar - benar matang, bakterinya otomatis akan mati karena suhu panas tadi. Berbeda kalau yang ditemukan adalah residu antibiotik, ini lebih berbahaya karena residu antibiotik tidak mudah hancur dalam suhu panas sekalipun," tutur Munawaroh.

Ia juga mengatakan kepada audiens terutama pewarta agar lebih bijak dalam menanggapi hal ini, karena seperti yang ia bilang tadi, dampak sosio-ekonominya akan sangat terasa terutama bagi peternak dan pelaku usaha. Terlebih lagi kini peternak dan pelaku usaha tengah dipusingkan dengan anjloknya harga ayam yang tentunya merugikan bagi mereka. (CR)

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK YANG RASIONAL DAN TEPAT SASARAN AGAR BAKTERI TAK KEBAL

Dalam budi daya usaha peternakan ayam, penggunaan suatu preparat antibiotika harus dievaluasi secara teknis dan ekonomis. (Foto: Dok. Infovet)

Pertumbuhan bisnis ayam broiler dari waktu ke waktu mengalami kenaikan yang signifikan. Berdasarkan data (FAO Agriculture Outlook 2020) produksi daging secara global untuk daging ayam broiler bisa 2-3 kali bahkan 7-8 kali lipat lebih tinggi dibanding komoditi lain seperti sapi dan domba/kambing, termasuk di Indonesia. Munculnya kandang-kandang modern dalam 3-5 tahun terakhir ini semakin mengonfirmasi bahwa persaingan usaha di sektor ayam ras pedaging konsisten mengalami pertumbuhan yang cepat.

Isu Global: Resistensi Antibiotik (Antimicobial Resistance/AMR)
Seiring dengan perkembangan industri broiler modern yang pesat, dunia digemparkan oleh isu resistensi antibiotik. Pada Juli 2014, telah diadakan pertemuan global “The Review on Antimicrobial Resistance” dimana dari hasil pertemuan menyatakan bahwa kasus infeksi bakteri yang sudah kebal/resisten terhadap antimikroba meningkat signifikan. Di Eropa dan Amerika Serikat saja, lebih dari 50.000 nyawa hilang tiap tahunnya karena resistensi ini pada kejadian infeksi sekunder bakteri pada penyakit malaria, HIV/AIDS dan TBC.

Dari pertemuan tersebut pula para ahli memperkirakan jumlah korban meninggal secara global di seluruh dunia mencapai sedikitnya 700.000 jiwa setiap tahun. Pada 2050, diprediksi naik mencapai 10 juta orang, jauh lebih tinggi dibanding penyakit Kanker, Diabetes, kecelakaan lalu lintas, Kolera, Tetanus, Measles dan Diarea.

Resistensi antibiotik turut meningkatkan risiko kematian yang secara langsung berpengaruh pada menurunnya usia harapan hidup suatu negara. Dari data yang dilansir WHO, setelah gelombang resistensi antibiotik rata-rata usia harapan hidup di negara-negara Asia Tenggara dibandingkan dengan Afrika, yakni 70 berbanding 58.

Atas pertimbangan itulah sehingga dalam budi daya usaha peternakan ayam, penggunaan suatu preparat antibiotika juga harus dievaluasi secara teknis dan ekonomis. Timbulnya kesadaran residu ataupun ketakutan akan resistensi dari suatu mikroba terhadap satu atau lebih dari satu jenis preparat antibiotika juga akan memberikan tekanan-tekanan tertentu pada dunia perunggasan dalam menggunakannya.

Dinamika Regulasi dan Realita
Dalam menyikapi isu AMR, Indonesia memberikan penegasan implementasi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Kriteria obat hewan yang dilarang tercantum dalam... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Mei 2021.

Ditulis oleh:
Eko, DVM (commercial broiler farm consultant)

MENGURANGI DAMPAK AMR PADA SEKTOR PETERNAKAN ALA MEIJI INDONESIA

Bakteri B. subtilis yang diisolasi dari natto bisa menjadi alternatid pengganti AGP

Pelarangan AGP pada sektor peternakan di Indonesia memang sudah dilakukan sejak 2018 yang lalu. Meskipun sempat terkendala dengan beberapa hal, nyatanya sektor peternakan Indonesia masih dapat bertahan dengan kondisi tanpa AGP.

Dalam rangka meneruskan langkah tersebut PT Meiji Indonesia selaku salah satu pemain dalam industri farmasi menggelar seminar daring bertajuk Embracing AGP-Free Era and Reducing AMR Risk. Acara berlangsung pada 26 Agustus 2020 tepat pukul 13.30 WIB.

Acara dibuka dengan sambutan dari Presiden Direktur PT Meiji Indonesia Masanobu Sato, ia menyebut acara ini sebagai acara pembuka yang bertujuan dalam mefasilitasi masyarakat khususnya stakeholder di dunia peternakan mengenai informasi terkini di dunia peternakan.  Rencananya PT Meiji Indonesia juga hendak mengadakan seminar yang sama secara rutin tiap bulannya, ia juga menyampaikan bahwa PT Meiji Indonesia selalu berkomitmen untuk memberikan solusi terbaik bagi kesehatan hewan di Indonesia.

Prof Budi Tangendjaja sebagai pembicara pertama membuka sesi pertama seminar pada hari itu. Dalam presentasinya Budi mengatakan bahwa sangat penting dalam menjaga saluran pencernaan ternak, terutama unggas. Menjaga kesehatan saluran cerna, artinya menjaga agar performa tetap stabil. Terlebih lagi sistem pemeliharaan di Indonesia yang masih banak menganut pemeliharaan dengan sistem tradisional yang tentunya membuat ayam menjadi lebih mudah berkontak dengan agen mikrobiologis pathogen.

Belum lagi manajemen pemeliharaan yang bisa dibilang “begitu – begitu saja”, tentunya beternak dengan cara seperti ini tanpa mengindahkan kaidah hygiene dan sanitasi semakin membuat ayam lebih berisiko terinfeksi penyakit terutama di saluran pencernaan.

Budi juga menyinggung mengenai pemakaian Antibiotik sebagai Growth Promoter pada ternak yang sudah dilakukan berpuluh tahun yang lalu. Namun penggunaan antibiotik baik pada hewan dan manusia yang serampangan menyebabkan residu dan bahkan resistensi antimikroba yang kian mengkhawatirkan. Oleh karenanya penggunaan antibiotik sebagai growth promoter pada ternak sudah dilarang dan pemakaiannya pun kini diawasi.

Berbagai jenis zat akhirnya banyak diteliti oleh para ilmuwan dunia untuk menggantikan penggunaan antibiotik sebagai growth promoter. Salah satunya adalah bakteri dari jenis Bacillus subtilis natto ang diisolasi dari natto alias makanan khas Jepang yang terbuat dari kedelai yang ternyata dapat digunakan sebagai substituent AGP.

Hal ini disampaikan oleh Atsushi Tahara DVM dari Meiji Seika Pharma , induk perusahaan PT Meiji Indonesia. Natto sendiri merupakan pangan khas Jepang, salah satu manfaat dari natto yakni mampu menunjang dan memperbaiki sistem pencernaan.

Bakteri Bacillus subtilis BN yang telah diisolasi dari natto tadi juga ternyata memiliki efek yang sama pada ternak. Penggunaan bakteri Bacillus subtilis sebagai probiotik pada ternak telah diujicobakan oleh Meiji Seika Pharma dan terbukti dapat memperbaiki performa ternak, melindungi saluran pencernaan agar tetap sehat, serta meningkatkan produksi ternak tanpa menunjukkan efek samping yang merugikan ternak.

Acara pada hari itu diakhiri dengan sesi tanya jawab antara peserta webinar dengan kedua narasumber. Sangat banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh para peserta hingga tidak semua pertanyaan dapat dijawab secara live. PT Meiji Indonesia juga membagikan door prize kepada 10 pendaftar webinar pertama dan penanya dengan pertanyaan terbaik (CR).

PASCA FREE AGP, KONSEKUENSI REGULASI DAN UPAYA MENJAGA PERFORMA AYAM DENGAN PAKAN TERAPI

Penggunaan antibiotik dalam pakan masih diperbolehkan melalui pakan terapi yang penggunaannya harus sesuai aturan pemerintah. (Foto: Dok. Infovet)

Kebijakan penggunaan antibiotik dalam dunia peternakan dua tahun terakhir ini benar-benar menjadi tema dan trending topik yang selalu seru untuk dikupas lebih rinci dan detail. Tidak hanya berdampak terhadap perubahan pola strategi dalam menyusun formula pakan, namun juga startegi tata cara pemeliharaan termasuk sistem biosekuritinya.

Zaman telah berubah, waktu berganti dan strategi untuk bisa bertahan hidup dengan efisiensi terbaikpun mengalami penyesuaian. Titik-tolak perubahan ini terjadi seiring dengan penegasan implementasi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan pada bagian kelima. Kriteria obat hewan yang dilarang tercantum dalam Pasal 15 ayat 1. Kebijakan tersebut sesuai amanat Undang-Undang No. 18/2009 juncto No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Secara tersurat, esensi dari Permentan No. 14/2017 mengatur penggunaan antibiotik yang dicampur dalam pakan tidak lagi diperbolehkan. Kendati demikian, pencampuran antibitoik dalam pakan saat ini hanya boleh digunakan dengan resep dokter hewan dan dalam monitoring yang ekstra ketat. Berbeda dengan era sebelumnya dimana antibiotik masih diizinkan sebagai pemicu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promotor/AGP). Namun dengan adanya penegasan pemerintah terkait pelarangan penggunaan antibiotik, menjadi paradigma baru bagi industri peternakan khususnya untuk menyediakan produk-produk peternakan yang lebih ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal).

Konsekuensi yang harus dihadapi dari hal tersebut terjadi tidak hanya di kalangan peternak, namun juga terjadi di semua stakeholder yang berhubungan dengan industri peternakan (feed mill, breeding farm, perusahaan obat hewan dan imbuhan pakan, perusahaan penyedia bahan baku pakan dan sebagainya). Sehingga tantangan kuman penyakit, baik virus ataupun bakteri harus disikapi dengan melakukan antisipasi lebih dini dan lebih serius dibandingkan sebelumnya. Jangan sampai bakteri menjadi kebal (resistant) terhadap berbagai jenis antibiotik, sehingga akan menjadi bom biologis yang membahayakan bagi kelangsungan hidup manusia.

Isu Resistensi Antimikroba (AMR/Antimicrobial Resistance)
Pada Juli 2014 silam pernah diadakan pertemuan global “The Review on Antimicrobial Resistance” dimana dari hasil pertemuan tersebut menyatakan bahwa kasus infeksi bakteri yang kebal/resisten terhadap antimikroba meningkat sangat signifikan. Di Eropa dan Amerika Serikat saja lebih dari 50.000 nyawa hilang tiap tahunnya karena kasus resistensi ini pada kejadian infeksi sekunder bakteri penyakit malaria, HIV/AIDS dan TBC.

Dari pertemuan itu juga para ahli memperkirakan jumlah korban meninggal secara global di seluruh dunia mencapai sedikitnya 700.000 setiap tahun. Pada 2050, jumlah ini diprediksi naik mencapai 10 juta orang, jauh lebih tinggi dibandingkan korban meninggal akibat kanker, diabetes, kecelakaan lalu lintas, kolera, tetanus, measles, diarea dan kolera.

Dari total jumlah tersebut, korban terbesar sekitar 4 juta orang dari Afrika dan Asia. Bahkan prediksi biaya kesehatan untuk mengatasi kasus resistensi ini mencapai hingga 100 triliun dolar AS per tahun. Selain itu resistensi antibiotik juga turut meningkatkan risiko kematian yang secara langsung berpengaruh pada menurunnya usia harapan hidup suatu negara.

• Konsekuensi di Kalangan Peternak
Terbukti semua peternak berbenah diri. Bagi para peternak yang mempunyai anggaran cukup, tidak tanggung-tanggung langsung menyulap kandangnya dari open house (kandang terbuka) menjadi semi closed house (tunel) bahkan full closed house (kandang tertutup) dengan evaporative cooling system.

Tantangan kuman dari luar bisa ditekan karena kandang dalam kondisi tertutup 24 jam, dimana hanya area inlet (tempat udara masuk) saja yang dibuka. Harapannya jumlah kontaminan bibit penyakit bisa di tekan seoptimal mungkin. Tidak hanya itu, di kalangan peternak yang masih menggunakan sistem kandang terbuka pun tidak mau kalah. Mereka mencari... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi November 2019.

Oleh: Drh Eko Prasetio
Private Commercial Broiler Farm Consultant

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer