Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini AGP | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MENGURANGI DAMPAK AMR PADA SEKTOR PETERNAKAN ALA MEIJI INDONESIA

Bakteri B. subtilis yang diisolasi dari natto bisa menjadi alternatid pengganti AGP

Pelarangan AGP pada sektor peternakan di Indonesia memang sudah dilakukan sejak 2018 yang lalu. Meskipun sempat terkendala dengan beberapa hal, nyatanya sektor peternakan Indonesia masih dapat bertahan dengan kondisi tanpa AGP.

Dalam rangka meneruskan langkah tersebut PT Meiji Indonesia selaku salah satu pemain dalam industri farmasi menggelar seminar daring bertajuk Embracing AGP-Free Era and Reducing AMR Risk. Acara berlangsung pada 26 Agustus 2020 tepat pukul 13.30 WIB.

Acara dibuka dengan sambutan dari Presiden Direktur PT Meiji Indonesia Masanobu Sato, ia menyebut acara ini sebagai acara pembuka yang bertujuan dalam mefasilitasi masyarakat khususnya stakeholder di dunia peternakan mengenai informasi terkini di dunia peternakan.  Rencananya PT Meiji Indonesia juga hendak mengadakan seminar yang sama secara rutin tiap bulannya, ia juga menyampaikan bahwa PT Meiji Indonesia selalu berkomitmen untuk memberikan solusi terbaik bagi kesehatan hewan di Indonesia.

Prof Budi Tangendjaja sebagai pembicara pertama membuka sesi pertama seminar pada hari itu. Dalam presentasinya Budi mengatakan bahwa sangat penting dalam menjaga saluran pencernaan ternak, terutama unggas. Menjaga kesehatan saluran cerna, artinya menjaga agar performa tetap stabil. Terlebih lagi sistem pemeliharaan di Indonesia yang masih banak menganut pemeliharaan dengan sistem tradisional yang tentunya membuat ayam menjadi lebih mudah berkontak dengan agen mikrobiologis pathogen.

Belum lagi manajemen pemeliharaan yang bisa dibilang “begitu – begitu saja”, tentunya beternak dengan cara seperti ini tanpa mengindahkan kaidah hygiene dan sanitasi semakin membuat ayam lebih berisiko terinfeksi penyakit terutama di saluran pencernaan.

Budi juga menyinggung mengenai pemakaian Antibiotik sebagai Growth Promoter pada ternak yang sudah dilakukan berpuluh tahun yang lalu. Namun penggunaan antibiotik baik pada hewan dan manusia yang serampangan menyebabkan residu dan bahkan resistensi antimikroba yang kian mengkhawatirkan. Oleh karenanya penggunaan antibiotik sebagai growth promoter pada ternak sudah dilarang dan pemakaiannya pun kini diawasi.

Berbagai jenis zat akhirnya banyak diteliti oleh para ilmuwan dunia untuk menggantikan penggunaan antibiotik sebagai growth promoter. Salah satunya adalah bakteri dari jenis Bacillus subtilis natto ang diisolasi dari natto alias makanan khas Jepang yang terbuat dari kedelai yang ternyata dapat digunakan sebagai substituent AGP.

Hal ini disampaikan oleh Atsushi Tahara DVM dari Meiji Seika Pharma , induk perusahaan PT Meiji Indonesia. Natto sendiri merupakan pangan khas Jepang, salah satu manfaat dari natto yakni mampu menunjang dan memperbaiki sistem pencernaan.

Bakteri Bacillus subtilis BN yang telah diisolasi dari natto tadi juga ternyata memiliki efek yang sama pada ternak. Penggunaan bakteri Bacillus subtilis sebagai probiotik pada ternak telah diujicobakan oleh Meiji Seika Pharma dan terbukti dapat memperbaiki performa ternak, melindungi saluran pencernaan agar tetap sehat, serta meningkatkan produksi ternak tanpa menunjukkan efek samping yang merugikan ternak.

Acara pada hari itu diakhiri dengan sesi tanya jawab antara peserta webinar dengan kedua narasumber. Sangat banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh para peserta hingga tidak semua pertanyaan dapat dijawab secara live. PT Meiji Indonesia juga membagikan door prize kepada 10 pendaftar webinar pertama dan penanya dengan pertanyaan terbaik (CR).

MENGOPTIMALKAN KERJA SALURAN PENCERNAAN

Kepadatan kandang harus diperhatikan agar meminimalisir stres. (Sumber: Istimewa)

Agar nutrisi yang ada pada ransum dapat diserap sempurna, dibutuhkan sistem pencernaan yang sehat agar performa tetap optimal. Saluran pencernaan yang berfungsi secara optimal akan mampu memaksimalkan nilai pemanfaatan ransum melalui proses pencernaan dan penyerapan nutrisi.

Tantangan yang dihadapi peternak di masa kini amatlah banyak. Masalah pada saluran pencernaan merupakan persoalan klasik, baik yang bersifat infeksius maupun non-infeksius. Lebih kece lagi ketika keduanya berkomplikasi dan menimbulkan masalah yang epic di lapangan.

Sunardi, peternak broiler kemitraan asal Tegal mengerti betul hal itu. Ketika kebijakan pakan non-AGP (antibiotic growth promoter) dimulai, dirinya merasa performa ayam di kandangnya menurun cukup drastis. Hal ini semakin rumit, karena diperparah dengan cuaca ekstrem.

“Awalnya ayam cuma diare, terus saya kasih obat anti-diare, nah setelah jalan dua hari bukannya sembuh enggak tahunya malah diare berdarah gitu. Gimana enggak panik? saya langsung telepon TS (technical service) obat, besoknya dateng konsultasi dan fix ayam saya kena Koksi,” tutur Sunardi.

Saat itu kata dia, untungnya ayam sudah berusia 25-an hari, walaupun bobot badannya di bawah standar, Sunardi langsung buru-buru melakukan panen dini ketimbang merugi lebih lanjut. Ia pun langsung berbenah, semua aspek yang berkaitan dengan kasus yang ia alami kemudian dibenahi dan cari tahu penyebabnya.

“Pakan dan air minum sih enggak bermasalah, semua aspek saya sudah penuhi. Tetapi memang mungkin saya teledor dari cara pemeliharaan, memang beda ketika AGP sudah enggak boleh lagi digunakan, cara pelihara juga harus berubah,” ucap dia.

Merubah Mindset 
Dilarangnya AGP kerap kali dijadikan kambing hitam oleh peternak di lapangan terkait masalah yang mereka alami. Tidak semua orang seperti Sunardi, memiliki pemikiran positif dan mau merubah tata cara budidayanya. Di luar sana masih banyak peternak yang sangat yakin bahwa AGP adalah “dewa” yang harus hadir disetiap pakan unggasnya.

Drh Akhmad Harris Priyadi dari PT DSM Nutritional Products, mengakui bahwa saat ini mindset dari peternak harus diubah terkait pakan. “Semua produsen pakan pasti berlomba-lomba dengan keadaan yang ada saat ini tentang bagaimana menggantikan AGP dengan formulasi yang terbaik. Masalahnya, mindset peternak ini sulit diubah, mereka pasti akan selalu menganggap pakan merk A, B dan sebagainya sudah tidak sebagus dulu. Ini wajar sih, soalnya tiap formula berbeda, tinggal peternaknya saja gimana,” tutur Harris.

Lebih lanjut ia tuturkan, jika mindset peternak tidak kunjung berubah di era yang memang sudah berubah ini, tentunya akan berakibat... (CR) (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2020)

SEMNAS ASOHI: PETERNAKAN PASCA DUA TAHUN PELARANGAN AGP

Foto bersama seminar nasional ASOHI pasca dua tahun pelarangan AGP di Jakarta. (Foto: Dok. Infovet)

Sejak 2018, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), resmi melarang penggunaan Antibiotic Growth Promoter (AGP). Hal ini menjadi tantangan bagi para pelaku usaha budidaya ternak, khususnya unggas, dan perusahaan obat hewan di Indonesia.

Pelarangan tersebut dilakukan untuk menghindari residu antibiotik pada produk asal hewan untuk konsumsi dan menekan kejadian antimicrobial resistance (AMR) pada manusia, seperti yang dilakukan beberapa negara lain. Kendati demikian, pelarangan AGP kerap dijadikan kambing hitam terhadap melorotnya produksi pada ternak, terutama unggas.

Setelah dua tahun aturan tersebut berjalan, masih banyak pro-kontra yang terjadi, terutama dari segi kesehatan ternak dan bisnis obat hewan. Hal tersebut melatarbelakangi Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) menyelenggarakan Seminar Nasional (semnas) bertajuk "Peternakan Indonesia Pasca Dua Tahun Pelarangan AGP" di Menara 165, Jakarta, Kamis (27/2/2020).

"Tak terasa sudah dua tahun pelarangan AGP berjalan, namun apakah sudah berjalan efektif? Apakah terjadi peningkatan atau penurunan terhadap pemakaian antibiotik pada ternak unggas? Itu yg menjadi alasan kami menggelar seminar ini," ujar Ketua Bidang Hubungan antar Lembaga ASOHI, Drh Andi Wijanarko, mewakili ketua panitia dalam sambutannya.

Pemakaian antibiotik dalam pakan memang sudah dilakukan lama di Indonesia dan bisa dibilang menjadi kebiasaan. Sejak aturan mulai diberlakukan, ASOHI tak tinggal diam dengan terus berkoordinasi bersama pemerintah karena menyangkut banyak hal yang harus dibenahi.

"Ini terkait banyak hal, utamanya pada aturan dimana antibiotik dilarang. ASOHI juga banyak mendapat tekanan dari para anggota yang memiliki sediaan AGP, karena itu dampaknya sangat besar pada penggunannya, digunakan berton-ton. Pengaruhnya tidak hanya dari segi bisnis saja, banyak pertimbangan, namun harus kita taati," tambah Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari.

ASOHI, lanjut Ira, pun banyak mengadakan pertemuan bersama pemerintah. "Kita juga banyak pertemuan dengan pemerintah, sehingga banyak lahir aturan, salah satunya Juknis Medicated Feed, pemerintah juga mengakomodir itu. Kita harap ke depan ada program secara nasional untuk lebih menindaklanjuti dan memperjelas aturan yang ada," jelasnya.

Lebih lanjut disampaikan, "Melalui seminar ini setelah dua tahun AGP dilarang, kita lakukan evaluasi terkait penelitian di lapangan dan mengupdatenya, kami harapkan ada national action program yang bisa menjadi salah satu referensi penindaklanjutan program tersebut. Peran semua sangat penting, sehingga ke depannya aturan bisa lebih tepat sasaran dan akurat."

Sementara, Direktur Kesehatan Hewan, Kementan, Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, mengemukakan bahwa pemerintah terus melakukan pembinaan terhadap para pelaku usaha, khususnya obat hewan.

"Kita terus lakukan pembinaan, lagipula alternatif AGP juga sudah banyak, ada lebih dari 300 produk (enzim, asam organik, probiotik, prebiotik dan obat alami). Kami juga terus mengupayakan peternak memiliki sertifikat NKV agar produknya aman dan menerapkan good farming practice, dimana di dalamnya ada kompartemen bebas AI, penerapan biosekuriti 3 zona sebagai solusi penekanan penggunaan antibiotik agar tercipta ternak yang sehat," tukas Fadjar.

Dalam kegiatan tersebut dihadiri para pakar terpercaya yang menjadi narasumber untuk memberikan evaluasi mendalam pasca dua tahun AGP dilarang, diantaranya Fadjar Sumping Tjatur Rasa (Diskeswan), Drh Agustin Indrawati (FKH IPB), Ika Puspitasari (UGM), Prof Budi Tangendjaja dan Sri Widayati (Direktur Pakan Kementan). (CR/RBS)

KASUS PENYAKIT PENTING DI 2019 DAN PREDIKSINYA DI 2020

Ternak ayam broiler. (Foto: Dok. Infovet)

Kejadian penyakit di 2019 pasca pencabutan AGP (Antibiotic Growth Promoter) di dalam pakan masih ditemukan tinggi, terutama untuk penyakit pernapasan dan pencernaan. Tahun ini benar-benar menjadi ujian berat bagi para pelaku insan perunggasan nasional, selain masalah tren harga LB (live bird) yang kerap berada di bawah HPP (harga pokok produksi), juga tantangan penyakit yang semakin kuat.

Berdasarkan pengalaman penulis, di sini akan dijelaskan review beberapa kasus penyakit paling penting dan sering terjadi sepanjang tahun 2019, baik yang menimpa ayam broiler maupun layer.

Newcastle Diseases (ND)
Temuan kasus di lapangan untuk kejadian ND masih menjadi momok menakutkan dan penyebab kerugian utama pada ternak broiler dan layer. Seperti digambarkan dari data berikut pada 2019 ditemukan kejadian kasus ND sebesar 29%, terbanyak dibanding kasus lain. Data dihimpun dari Januari-Juli 2019 dengan total kasus penyakit sebanyak 357 laporan kasus, (sumber: Ceva 2019).

Grafik kematian kejadian ND pada broiler dimulai di umur 17 sudah ada peningkatan kematian dan puncaknya di umur 25 hari. Kerugian yang ditimbulkan dari ND selain kematian juga dari kualitas karkas yang rusak/merah dan kematian waktu tunggu di pemotongan.

Penyakit ND sudah sangat tidak asing bagi peternak, karena sudah sejak 1926 teridentifikasi ada di Indonesia dan virus ND yang bersirkulasi dikategorikan vvND (velogenic viscerotropic Newcastle Disease). Virus ini juga bisa menyerang mulai unggas usia muda hingga masa produksi dengan gejala klinis mulai munculnya kematian yang sering pada ayam muda atau mengakibatkan penurunan produksi telur pada layer.

Gejala yang muncul juga tergantung dari kekebalan ayam dan biasanya tergantung usia tantangan, kepadatan virus yang menantang dan jenis virus ND-nya. Berdasarkan publikasi ilmiah miller et all. (2014), menyebutkan bahwa virus ND yang bersirkulasi di Indonesia didominasi sub genotipe VIIi dan VIIh yang juga teridentifikasi di beberapa negara Asia (Malaysia, China, Kamboja dan Pakistan). Virus sub genotipe VIIi ini masih dekat kekerabatannya dengan virus ND yang bersirkulasi pada 1983-1990.

Virus ND genotipe VII mampu bereplikasi, mengakibatkan reaksi peradangan dan respon cytokine yang hebat di jaringan limfoid (limpa, timus dan bursa) dibandingkan genotipe V (herts 33) berdasarkan laporan Z. Hu et all. (2015).

Jika infeksi terjadi di masa produksi, “Cytokine storm” yang lebih hebat ini akan mengakibatkan ayam yang terinfeksi menunjukkan gejala... (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2019).

Drh Sumarno
Head of AHS Central & Outer Island, PT Sierad Produce Tbk

TERNAK YANG SEHAT DIMULAI DARI USUS YANG SEHAT

Pemberian pakan pada ternak broiler. (Foto: Dok. Infovet)

Berdasarkan survei yang dilakukan Kementrian Pertanian bersama FAO Indonesia pada 2017 di beberapa wilayah sentra produksi unggas, penggunaan antimikroba pada sektor peternakan masih sangat tinggi. Dari hasil survei diketahui bahwa peternak menggunakan antibiotik pada unggas untuk pencegahan sebesar 81,4%, untuk pengobatan sebanyak 30,2% dan masih ada peternak yang menggunakan antibiotik untuk pemacu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promoter/AGP) sebanyak 0,3%.

Maraknya penggunaan antibiotik di industri perunggasan ini disertai kekhawatiran timbulnya resistensi antibiotik (AMR) yang menjadi alasan pemerintah menetapkan larangan penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan. Peraturan tersebut disahkan dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 14/2017.

Setelah adanya penerapan peraturan tersebut, beberapa testimoni melaporkan bahwa pencabutan AGP mempengaruhi performa ayam broiler, antara lain pertambahan bobot berat badan, Feed Conversion Ratio (FCR), masa panen dan penurunan kualitas kesehatan ternak, terutama kesehatan saluran cerna. Demikian pula pada ayam layer terjadi penurunan produktivitas yaitu produksi, bobot dan penurunan sistem imun.

Dalam menyikapi permasalahan tersebut perlu dilakukan perbaikan dalam berbagai hal, seperti manajemen pemeliharaan kesehatan, manajemen pakan dan biosekuriti. Selain itu, untuk menggantikan peran AGP, bahan alternatif yang bisa digunakan sebagai imbuhan pakan antara lain adalah mineral, enzim, asam organik, probiotik, prebiotik dan minyak esensial.

Probiotik sebagai salah satu alternatif pengganti AGP merupakan mikroba atau bakteri hidup yang digunakan untuk membantu memperbaiki kesehatan, terutama sistem pencernaan dengan tujuan meningkatkan keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan dan mengurangi mikroba patogen seperti Eschericia coli, Salmonella dan Clostridium.

Kelebihan lain dari probiotik adalah sebagai bioregulator mikroflora dalam usus dan menguatkan kekebalan alami tubuh, sebagai kompetitor tempat kolonisasi pada membran mukosa usus sehingga mikroorganisme patogen terhalang untuk menghuni saluran pencernaan (kompetisi nutrisi). Memproduksi senyawa tertentu untuk menyerang bakteri patogen seperti bakteriosin, asam organik dan hidrogen peroksida. Selain itu, probiotik dapat merangsang sistem imun dengan cara menciptakan kondisi usus yang fungsional dan menghambat perkembangan bakteri merugikan.

Sebagai pengganti AGP, probiotik dapat dibuat dari monokultur atau konsorsium beberapa mikroorganisme probiotik. Mikroorganisme yang biasa digunakan untuk probiotik dari golongan bakteri adalah strain Bifidobacterium, Enterococcus, Lactobacillus, Bacillus, Pediococcus dan Streptococcus, selain bakteri beberapa probiotik juga mengandung ragi dan jamur (Yirga H 2015, The Use of Probiotics in Animal Nutrition. J. Prob. Health 3 132).

Sedangkan prebiotik merupakan bahan makanan terhadap mikroba-mikroba yang menguntungkan dan menekan mikroba yang merugikan dalam pencernaan. Prebiotik tidak selalu merupakan mikroba hidup seperti halnya probiotik. Beberapa hasil fermentasi seperti yeast culture atau Aspergillus sp. dilaporkan dapat dipakai sebagai prebiotik. Prebiotik digunakan sebagai ramuan yang tidak dapat dicerna yang menghasilkan pengaruh menguntungkan terhadap inang dengan cara merangsang secara selektif pertumbuhan satu atau lebih sejumlah mikroba terbatas pada saluran pencernaan, sehingga dapat meningkatkan kesehatan inang. Prebiotik juga memiliki kelebihan dalam membantu meningkatkan kinerja dari probiotik, sumber energi probiotik, serta meningkatkan sistem imun tubuh. 

Suatu bahan dapat diklasifikasikan sebagai prebiotik harus memiliki syarat, antara lain tidak terhidrolisis asam lambung dan tidak diserap usus, menginduksi efek luminal inang, serta hanya mempengaruhi pertumbuhan bakteri baik di dalam usus. Selain itu, prebiotik yang baik harus memiliki sifat tidak dapat dimanfaatkan oleh bakteri patogen sebagai sumber nutrisi. Contoh prebiotik adalah Inulin, Laktulosa, Frukto oligosakarida (FOS) dan Galakto oligosakarida yang ditemukan pada beberapa jenis tumbuhan.

Sementara sinbiotik merupakan kombinasi antara probiotik dan prebiotik. Penambahan mikroorganisme hidup (probiotik) dan substrat (prebiotik) untuk pertumbuhan bakteri misalnya FOS dengan Bifidobacterium atau Lactitol dengan Lactobacillus. Kombinasi ini akan meningkatkan daya tahan hidup bakteri probiotik karena substrat yang spesifik telah tersedia untuk fermentasi, sehingga tubuh mendapatkan manfaat yang lebih sempurna. Dipastikan bakteri tetap hidup bekerja dalam saluran pencernaan dan melekat dalam mukosa usus, karena terdapat substrat atau makanannya (prebiotik).

Bahan imbuhan pakan sebagai alternatif AGP akan terus dikembangkan seiring dengan kebutuhan industri peternakan di Indonesia. Bagi industri pakan ternak masih terbuka peluang bisnis cukup besar dengan menciptakan produk-produk zat aditif baru dengan nilai ekonomis tinggi. Sedangkan tantangan bagi peternak, bagaimana mempertahankan performa di era bebas AGP ini dengan pemanfaatan bermacam alternatif pemacu pertumbuhan bagi ternak. ***

Ditulis oleh divisi Veterinary Section
PT Meiji Indonesian Pharmaceutical Industries

MENILIK UNTUNG - RUGI PASCA PELARANGAN AGP

Setahun berlalu sejak terbitnya Permentan No.17/2017 tentang klasifikasi obat hewan. Salah satu poin dalam peraturan tersebut yakni dilarangnya Antibiotic Growth Promoter (AGP) ke dalam pakan ternak.  Banyak hal yang terjadi di lapangan, baik dalam hal teknis maupun dari segi bisnis. Apa saja perkembangan yang terjadi sejak pelarangan tersebut?.

Permentan no 14/2017 bisa dikatakan sebagai Permentan yang paling menghebohkan di jagat peternakan nasional. Judul Permentan tampak sederhana “ Klasifikasi Obat Hewan”. Sekilas terkesan sekedar sebuah aturan penggolongan saja yang hanya berdampak pada pengelompokan dalam bidang keilmuan. Namun di dalamnya ada pasal yang membuat industri obat hewan, pakan  dan budidaya perunggasan harus melakukan perubahan yang signifikan. Tak heran jika proses penerbitan peraturan ini membutuhkan diskusi yang cukup panjang dan alot. Utamanya pada poin pelarangan AGP di dalam pakan.

Ketika dikonfirmasi oleh Infovet, Direktur Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Drh. I Ketut Diarmite mengatakan bahwa pemerintah mengambil langkah tersebut untuk melindungi hewan, masyarakat, dan lingkungan. “Penggunaan antibiotik sebagai growth promoter memang kita stop, tapi untuk medikasi masih boleh,” tukas Ketut.

Ia melanjutkan, menurut beberapa kajian yang telah dilakukan oleh para ahli baik di dalam dan luar negeri penggunaan AGP dapat memacu resistensi antimikroba pada ternak selain dan menimbulkan efek residu pada produk peternakan yang berbahaya bagi kesehatan manusia.“Intinya peraturan ini juga sudah diaturdi Undang –Undang peternakan dan pemerintah berniat pula menjalankan amanat itu,” tutur Ketut.  

Ketut juga menyadari bahwa langkah yang diambil oleh pemerintah sudah barang tentu akan menimbulkan pro dan kontra di dunia peternakan Indonesia khususnya unggas karena AGP paling banyak digunakan didalam pakan unggas, oleh karenanya ia selalu berusaha untuk terbuka, mendekatkan diri, berdiskusi dan menerima saran serta kritikan yang konstruktif dalam menanggapi permasalahan ini.

Kekhawatiran Akan Performa Ternak

Menyoroti pelarangan AGP tersebut, Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Ternak (GPMT) Drh. Desianto Budi Utomo berpendapat bahwa fine – fine saja melarang AGP tetapi harus berdasarkan kajian yang mendalam. “Maksud saya begini, Indonesia lain dari negara – negara barat sana, kita ini negara beriklim tropis, tahu sendiri lah bagaimana risikonya tinggal di negara tropis,” pungkasnya. Negara dengan iklim tropis kata Desianto, berisiko lebih tinggi terhadap penyakit infeksius karena iklim tropis mendukung mikroorganisme untuk tumbuh.

Ia melanjutkan bahwa para integrator besar bisa saja menyiasati penggunaan antibiotik karena teknologi dan manajemen yang lebih modern dan canggih, namun bagaimana dengan para peternak kecil yang mungkin akan kerepotan karena masih menggunakan cara tradisional. “Pelarangan AGP ini kan bukan cuma soal medis, tapi ada dampak di sisi non-medisnya, ekonomi misalnya, kan jadi nambah cost pemeliharaan, apakah pemerintah berpikir sampai kesitu?,” kata Desianto.

Selain itu, Desianto berujar bahwa pemerintah juga tidak boleh hanya melarang saja, tetapi juga harus ikut berperan mengawasi pelarangan AGP ini. “Saya berharap pemerintah aktif melakukan pengawasan, bisa saja nanti ada pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab karena merasa tidak diawasi dia tetap pakai AGP, sementara yang lain tidak pakai, kan tidak fair. Intinya jangan sampai kebijakan yang diambil menimbulkan masalah baru,” tutur Desianto.

Sejak jauh hari, GPMT telah melakukan riset mengenai hal tersebut, hasilnya sebagaimana terlihat pada Tabel 1. di bawah ini :

Tabel 1. Hasil trial penggunaan AGP dan non AGP pada broiler

(Sumber : GPMT, 2017)


Dari data dapat disimpulkan bahwa penurunan performa akan terjadi ketika penggunaan AGP distop. Ternyata kekhawatiran akan penurunan performa terbayar kontan, beberapa peternak unggas baik broiler dan layer di seluruh Indonesia mengeluhkan kebijakan tersebut. Seperti yang dikeluhkan Wahidin, peternak broiler asal Demak, Jawa Tengah. Sejak menggunakan pakan non-AGP, ayam – ayam di kandangnya tumbuh lebih lambat dan sering sakit. “Berkali – kali kena nyekrek (ngorok) Mas, sudah dua periode begini, sudah gitu lebh lambat naik bobot badannya,” Kata Wahidin.

Hal yang serupa dirasakan oleh beberapa peternak layer di Jawa Timur, sejak dilarangnya AGP performa produksi dari ayam – ayam petelur menurun. Selain itu ayam juga rentan sakit. Penurunan performa kemudian berimbas pada harga telur yang sempat naik dan menjadi pemberitaan di media – media mainstream beberapa waktu yang lalu, dilarangnya AGP ditengarai menjadi biang keladi dari semua persoalan tersebut.

Mencari Solusi Kesana-Kemari

Sebenarnya jauh hari sebelum AGP dilarang di Indonesia, berbagai subtituen pengganti AGP telah banyak ditemukan dan digunakan di seluruh dunia. Misalnya saja herbal, enzim, probiotik & prebiotik, asam organik, essential oil dan bahkan bateriofag. Namun begitu, tetap saja dari segi performa bisa dibilang tidak sebaik AGP. Selain itu, faktor cost menjadi pertimbangan lain yang membuat para formulator di pabrik pakan harus lebih sering memutar otak. Pasalnya harga subtituen AGP jauh lebih mahal daripada AGP.

Intan Mustika Herfiana formulator PT. Agrosari Nusantara telah mengujicoba beberapa jenis produk subtituen AGP dalam formulanya, menurutnya hasil yang didapat memang belum bisa sebaik AGP. “Misalnya probiotik, ketika saya pakai itu hasilnya bias. Ketika saya coba di kandang closed house hasilnya bagus, tetapi ketika saya coba di kandang tradisional hasilnya lebih sering kurang bagus, jadi bingung sendiri karena sebenarnya ini faktor kandang atau faktor AGP-nya?,” pungkas wanita yang akrab disapa Ika tersebut.

Closed house atau sistem kandang tertutup juga bisa dibilang solusi dalam meningkatkan performa. Hal tersebut karena di dalam closed house, peternak dapat mengontrol semua parameter seperti suhu, iklim, pencahayaan, kelembapan dna lain sebagainya sehingga performa ayam tetap baik. Namun sayang, pembangunan closed house memakan biaya yang besar dan peternak – peternak tradisional sulit menjangkaunya, terlebih lagi dengan harga ayam yang sangat fluktuatif. Mereka masih berpikir keras untuk mendirikan closed house, apalagi kalau – kalu ditengah jalan tiba-tiba harga ayam turun, selain keuntungan mereka berkurang, beban tanggungan mereka akan bertambah karena cicilan pembangunan closed house.

Solusi lain dalam mengakali performa adalah peningkatan biosekuriti di dalam peternakan. FAO ECTAD Indonesia beberapa tahun belakangan gencar dalam mengampanyekan konsep biosekuriti tiga zona. Alfred Kompudu selaku National Technical Advisor FAO ECTAD memaparkan bahwa selama ini peternak kesulitan dan tidak memahami dengan baik konsep biosekuriti, sehingga abai akan hal tersebut. Padahal penerapan biosekuriti adalah suatu kewajiban dalam peternakan khususnya unggas.

“Kami dalam beberapa tahun ini melakukan pendekatan kepada para peternak dengan cara yang lebih santai dan casual, kami tidak ajak mereka seminar atau workshop atau yang lain – lain, kami ajak mereka agar mau menambah keuntungan, akhirnya pelan – pelan mereka mau,” papar Alfred. Ia mengakui bahwa usaha yang dilakukan timnya tidak mudah dan cukup alot, namun begitu beberapa peternak yang menyadari akan pentingnya biosekuriti secara perlahan tapi pasti mulai mengadopsi konsep yang lantang digaungkan oleh FAO.

“Beberapa peternak di Jawa Tengah, Lampung, dan daerah lainnya sudah mengadopsi. Dari yang sederhana sampai cukup mewah, yang ingin kita sampaikan pada peternak adalah biosekuriti itu wajib dan tidak harus yang mewah / mahal. Ada kok di Ungaran sana peternak yang biosekuriti tiga zonanya sederhana banget, tapi performa ternaknya tetap stabil,” pungkas Alfred.

Ketika ditanya mengenai sisi ekonomi dari penerapan biosekuriti, Alfred menjabarkan lebh jauh hal tersebut. Ia mencontohkan misalnya pada peternakan layer, imbas dari penerapan biosekuriti tiga zona selain menaikkan performa, produk yang dihasilkan juga jadi punya added value. “Di Lampung kami bekerja sama dengan Dinas setempat agar peternak yang sudah menerapkan biosekuriti tiga zona direkomendasikan untuk mendapatkan sertifikat Nomor Kontrol Veteriner (NKV), sertifikat ini adalah jaminan bahwa produk yang dihasilkan sudah aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Produk yang ber-NKV ini juga dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi ketimbang produk biasa,” tukas Alfred. Jadi dengan memiliki NKV, selain dapat dijual di pasar becek, peternak juga punya kesempatan agar produknya dapat dijual ke modern market sehingga walaupun ada cost untuk investasi biosekuriti adapula output yang dihasilkan.Walaupun begitu nampaknya Alfred dan timnya masih harus berjuang lebih keras karena konsep sebaik itupun masih sulit diterima oleh peternak, karena masih banyak peternak enggan mengeluarkan cost lebih.


Dampak Sisi Bisnis Obat Hewan

Ketika banyak pihak yang khawatir dengan pelarangan AGP. Dampak buruk terhadap performa rupanya telah banyak yang memikirkan matang - matang. Beberapa perusahaan obat hewan sudah melakukan antisipasi terhadap pelarangan ini sehingga ketika pelarangan diberlakukan mereka sudah menyiapkan produk substitusinya.

Seorang narasumber Infovet di sebuah perusahaan obat hewan multinasional mengatakan, ketika ada isu yang berhembus tentang terbitnya peraturan baru tersebut dari jauh hari, pihaknya langsung mempelajari isinya dan memberikan informasi ke pihak mitra di luar negeri bahwa di dalam peraturan baru tadi ada pasal yang menyebutkan bahwa AGP akan dilarang di Indonesia.

Informasi ini sangat berharga bagi perusahaan tersebut, mereka kemudian melakukan sejumlah riset agar bisa meluncurkan produk pengganti AGP. Tahun 2018 ketika pelarangan diberlakukan, perusahaan ini sudah siap melakukan registrasi produk baru. Ini adalah contoh bagus dimana perusahaan harus mencermati perkembangan peraturan di Indonesia dan melakukan antisipasi atas rencana pemerintah dalam memberlakukan peraturan baru.

Banyak pihak mengatakan Indonesia belum siap untuk memberlakukan pelarangan AGP, namun sebenarnya kalau dihitung sejak terbit UU Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2009, berarti ada waktu 8 tahun untuk persiapan pelarangan AGP, karena pelarangan baru diberlakukan Januari 2018 melalui Permentan tahun 2017. Mungkin ada yang mengira bahwa pelarangan AGP tidak akan “secepat“ ini karena beberapa negara lain juga belum memberlakukannya. Sejak pelarangan AGP diberlakukan awal tahun 2018, beberapa perkembangan dalam industri peternakan di sektor hulu dan hilir terjadi.

Seperti yang disebutkan tadi di atas, dilarangnya AGP memunculkan banyak produk baru sebagai pengganti. Produk-produk yang beredar di pasaran sebagai pengganti AGP adalah sediaan alami (jejamu), probiotik, prebiotik, enzim,  asam organic (acidifier) dan lain sebagainya. Data  Direktorat Kesehatan Hewan menunjukkan, sebelum tahun 2017 terdapat 294 produk imbuhan pakan dalam kategori non AGP.

Selanjutnya tahun 2017 terjadi banyak penambahan registrasi baru produk pengganti AGP, yaitu 21 produk enzim, sediaan alami dan acidifier. Terdapat pendaftaran 31 produk yang semula indikasinya sebagai feed additive (sebagai AGP), berubah indikasi menjadi kategori farmasetik (kuratif). Perubahan ini dalam istilah registrasi obat hewan dikenal dengan istilah perubahan “F ke P”. Selain itu ada juga pendaftaran 3 produk vaksin Koksidiosis, yang semula (sebelum pelarangan AGP), produk ini belum populer.

Direktur Kesehatan Hewan Drh Fajar Sumping Tjatur Rasa mengatakan, tidak perlu khawatir dengan pelarangan AGP karena produk penggantinya sudah cukup banyak, dan terus bertambah. Data terbaru (2018) dari Ditkeswan menunjukkan, saat ini sudah ada 104 jenis enzim yang sudah mendapat nomor registrasi, 66 produk kategori asam organik,  85 produk probiotik dan prebiotik,  dan 36 produk obat alami. Sebagaimana terlihat pada diagram 1 di bawah ini :

Diagram 1 Produk pengganti AGP yang terdaftar di DItjen PKH
 
(Sumber : Direktorat Kesehatan Hewan, 2018)
 
Market Obat Hewan Melonjak

Ternyata Dilarangnya AGP juga menyebabkan market obat hewan yang beredar meningkat tajam. Data yang dirilis ASOHI pada acara Seminar Nasional Bisnis Peternakan yang berlangsung akhir 2018 lalu menyebutkan, nilai market obat hewan golongan feed additive dan feed supplement tahun 2018 diperkirakan sebesar Rp 8,5 triliun , meningkat 75% dibanding tahun 2017 sebesar  Rp 4,8 triliun. Baru pertama dalam sejarah, pertumbuhan market obat hewan sebesar itu. Datanya sebagaimana terlihat dalam Tabel 2., Tabel 3. di bawah ini.

Tabel 2. Market Obat Hewan Golongan Feed Additive Tahun 2017



 Tabel 3. Market Obat Hewan Golongan Feed Additive Tahun 2018






                                                     
(Sumber : ASOHI, 2018)

ASOHI juga menyebut, secara total market  obat hewan tahun 2018 sebesar Rp 13,8 triliun, naik 65% dibanding tahun 2017 sebesar Rp 8,4 triliun. Penyebab kenaikan tinggi (melebihi pertumbuhan populasi) ini disebabkan oleh peningkatan revisi data populasi,  adanya pelarangan AGP yang menyebabkan biaya pakan meningkat, serta adanya pelemahan kurs rupiah sehingga harga obat hewan naik.

Walaupun banyak menuai kontroversi pada awal diberlakukannya kebijakan pelarangan AGP, namun ada dampak yang cukup signifikan dari sisi ekonomi. Namun begitu, penerapan pelarangan AGP masih perlu dibenahi, misalnya saja meningkatkan kesadaran peternak terhadap resistensi dan residu antimikroba yang tidak hanya membahayakan hewan, tetapi juga manusia dan lingkungan.

Pemerintah, swasta, dan stakeholder lainnya juga tidak boleh abai dengan peternak, mereka juga tetap harus didampingi, diawasi dan dibina. Jangan hanya menikmati keuntungan saja akibat naiknya nilai market obat hewan, adalah kewajiban bagi semua stakeholder dalam berkontribusi memajukan sektor peternakan di Indonesia (CR)

Perlunya Evaluasi Setelah Pelarangan AGP di Indonesia

Setahun pasca pelarangan AGP dalam pakan unggas perlu mendapat evaluasi dan pengkajian mendalam guna mencapai tujuan menekan AMR. (Sumber: Google)

Oleh: Budi Tangendjaja

Pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promotor) sudah berjalan selama satu tahun semenjak pelarangannya digaungkan awal 2018 kemarin. Pemerintah masih mengijinkan penggunaan antibiotik dalam pakan melalui Petunjuk Teknis untuk Pakan Terapi (Medicated Feed). Penggunaan antibiotika pada tingkat peternak juga masih berjalan tanpa banyak perubahan.

Tetapi kelihatannya terjadi pergeseran penggunaan antibiotika, baik di peternak maupun di pabrik pakan. Berbagai upaya telah dikerjakan oleh para stakeholder industri peternakan, tetapi alangkah baiknya jika perjalanan satu tahun kebijakan pelarangan penggunaan AGP dalam pakan dievaluasi.

Hal penting yang perlu dipertimbangkan lagi untuk mencapai tujuan akhir menurunkan Antimicrobial Reistence (AMR) atau resistensi antimikroba pada manusia seperti diamanahkan oleh FAO dan WHO, perlu dibuatkan suatu rencana startegi jangka panjang bagi Indonesia. 

Perlunya Evaluasi
Belajar dari pengalaman negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu melakukan pelarangan penggunaan AGP, salah satunya yakni Denmark yang sudah melarang AGP selama 20 tahun. Ketika pelarangan dilakukan, ternyata pemakaian antibiotika yang diberikan resep oleh dokter hewan meningkat tajam, tetapi juga pemberian antibiotika pada manusia tetap berjalan dan tidak menurun. Pemakaian antibiotika untuk pengobatan meningkat sampai 2009-2010 setelah pelarangan lebih dari 10 tahun.

Perubahan pemakaian antibiotika di Denmark setelah pelarangan AGP dalam 20 tahun.

Berbeda dengan Denmark, adapun Belanda yang juga telah melakukan pelarangan AGP, penjualan antibiotika untuk hewan secara total...



Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Januari 2019.

AFFAVETI Dorong Dokter Hewan Bijak Gunakan Antibiotik

Foto bareng seminar AFFAVETI, di Bogor, Jawa Barat, Rabu (12/12). (Foto: Infovet/Ridwan)

“Peran Dokter Hewan dalam Membangun Ketangguhan Industri Peternakan Modern” menjadi tema yang diangkat dalam seminar yang dilaksanakan Asosiasi Farmakologi dan Farmasi Veteriner Indonesia (AFFAVETI), Rabu (12/12), di Bogor, Jawa Barat.

Drh Min Rahminiwati, Ketua Affaveti, mengemukakan, peran AFFAVETI saat ini khususnya di era pelarangan penggunaan AGP (Antibiotic Growth Promotor) guna mendorong kompetitif industri peternakan melalui penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggung jawab, gencar melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai bijak antibiotik kepada para kolega dokter hewan di Indonesia.

“Kami berupaya merasionalisasi penggunaan antibiotik dan mendorong dilakukannya eksplorasi bahan berkhasiat atau bahan alam yang bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya sebagai antibiotik baru atau sebagai pengganti untuk AGP,” ujarnya saat memberikan materi presentasi mengenai peran AFFAVETI.

Sebab saat ini, akibat penggunaan antibiotik yang tidak bijak dikhawatirkan menimbulkan efek residu antimikroba (AMR) yang kini menjadi isu global. Oleh karena itu, Rahminiwati menekankan, keamanan dan efektivitas antibiotik perlu diperhatikan khususnya oleh dokter hewan.

“Penggunaan antibiotik itu harus aman dalam hal penanganan residu dan efektif, diantaranya sesuai target, tepat dosis dan pemberian, serta cukup dalam waktu pemberiannya. Saya yakin dokter hewan paham sekali dengan prinsip-prinsip ini,” jelas dia. Ia pun menegaskan, AFFAVETI siap terjun membantu memberikan edukasi terkait antibiotik dan penanggulangan AMR.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Pehimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI), Drh M. Munawaroh. Menurutnya, dokter hewan memiliki peran penting dalam mensosialisasikan penggunaan antibiotik secara nasional.

“Itu merupakan tugas kita bersama. Kita ajak kolega dokter hewan untuk menggunakan antibiotik secara profesional dan bijak. Sebab pangan asal hewan itu harus bebas dari residu,” kata Munawaroh.

Kendati demikian, menurut Kasubdit Pengawas Obat Hewan (POH), Drh Ni Made Ria Isriyanthi, penggunaan antibiotik dalam pakan ternak masih diperbolehkan. Aturan tersebut tertuang dalam Petunjuk Teknis Obat Hewan dalam Pakan untuk Tujuan Terapi (medicated feed).

“Aturan tersebut dapat menjadi acuan dalam melaksanakan kegiatan pencampuran obat hewan ke dalam pakan dengan pengawasan ketat oleh dokter hewan di lapangan,” ujar Ria.

Dalam seminar sehari tersebut, Ria juga turut memberikan pemaparan mengenai dasar teknis dan aturan penggunaan antibiotik serta obat hewan. Adapun narasumber lain diantaranya, Dr Iskandarsyah (Fakultas Farmasi UI), Dr Drh Agustina Dwi Wijayanti (FKH UGM), Prof Lazuardi (FKH Unair) dan beberapa perusahaan yang bergerak di bidang obat hewan. Di sela-sela acara juga dilakukan pengukuhan pengurus AFFAVETI oleh Ketum PDHI. (RBS)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer