Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Jamur Tiram Makin Berkualitas, Gara-gara Limbah Unggas

Budidaya jamur tiram putih.
Terobosan di dunia peruggasan di dalam negeri tampaknya bukan saja terjadi di bidang produksi ayam dan telur. Berbagai riset juga dilakukan para ahli untuk memanfaat produk luaran (limbah) dari peternakan ayam yang terus berlimpah. Komoditas peternakan, di samping menjadi sub sektor pertanian yang sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, juga menghasilkan limbah yang mengakibatkan pencemaran lingkungan.

Sebab itu, diperlukan pengolahan limbah dengan teknologi tepat guna untuk dapat diterapkan oleh masyarakat. Pengolahan ini akan menjadi solusi dalam penanganan limbah peternakan, bahkan berpotensi dalam menambah nilai tambah bagi masyarakat.

Saat ini, pemanfaatan limbah peternakan unggas ini bukan sekadar wacana. Fakultas Peternakan (Fapet) Universitas Gadjah Mada (UGM), belum lama ini melakukan terobosan mengubah limbah unggas atau sludge biogas dari kotoran ayam menjadi media tanam bagi jamur tiram putih berkualitas.

Ambar Pertiwiningrum
“Kami memandang, perlu dilakukan penelitian mengenai pengolahan lain dari limbah yang dihasilkan untuk dapat menghasilkan nilai tambah dan mengacu pada orientasi pangan manusia,” ujar Ambar Pertiwiningrum Ph.D, Dosen Laboratorium Teknologi Kulit, Hasil Ikutan dan Limbah Peternakan, Departemen Teknologi Hasil Ternak, Fapet UGM kepada Infovet.

Perlakuan Khusus Limbah
Untuk memanfaatkan limbah ternak unggas menjadi media tanam jamur tiram putih, menurut Ambar, tidak serta merta digunakan layaknya para petani menggunaknnya sebagai pupuk kandang selama ini. Ada proses yang dilalui agar menghasilkan media tanam dan hasil panen jamur yang berkualitas.

Seperti apa perlakuan khususnya? Sludge ekskreta ayam yang keluar dari bak penampungan kemudian diambil dengan menggunakan plastik atau karung. Selanjutnya, dikeringkan terlebih dahulu selama 2-3 hari hingga teksturnya menyerupai tanah dengan kadar air sekitar 10%.

Dalam penelitian yang dilakukan, sludge ekskreta ayam yang telah kering diambil sekitar 4.000 g, kemudian dihaluskan dengan menggunakan mesin grinder. Sludge ekskreta ayam yang telah halus dibungkus dengan kertas koran lalu dioven dalam suhu 55oC selama 3-5 hari, kemudian dipindahkan pada plastik dan disterilisasi pada suhu 121oC dengan tekanan 15 psi.

“Selain membuat media jamur sebagai substitusi dedak oleh limbah biogas kotoran ayam, kami juga gunakan limbah kerabang (cangkang) telur yang dapat digunakan sebagai pengganti kapur yang lebih ramah lingkungan,” papar peneliti yang sedang berjuang untuk meraih gelar guru besar ini.

Menurut Ambar, dalam penggunaannya pada media, komposisi limbah unggas dapat dilakukan tanpa penambahan dedak maupun dilakukan dengan penambahan bahan lain seperti dedak atau lainnya. “Keduanya berperan sebagai sumber protein pada jamur tiram pada media jamur dan untuk komposisi substitusi kerabang telur masih disertai kapur,” tambahnya.

Kenapa Jamur Tiram Putih?
Memilih jamur sebagai “user” media tanam ini bukan tanpa alasan. Salah satu alasannya, tingkat konsumsi jamur di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, lantaran kandungan gizinya yang tinggi.

Berdasar penelitian sebelumnya (Parjimo dan Andoko, 2013), protein pada jamur tiram setiap 100 gram kandungan sebesar 27%, atau lebih tinggi dibanding protein pada kedelai tempe sebesar 18,3% setiap 100 gram. Serat jamur sangat baik untuk pencernaan, kandungan seratnya mencapai 7,4-24,6%, sehingga cocok untuk tubuh.

Maka itu, perlu memperoleh komposisi yang baik untuk dapat mensubstitusi bahan penyusun media jamur, yang selama ini digunakan para petani yakni dedak. Limbah unggas ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan penyusun media jamur, pengganti dedak yang harganya cukup mahal dan berkompetisi untuk pakan ternak.

“Temuan lain dari hasil penelitian yang kami lakukan, kualitas media jamur tiram putih dengan penggunaan sludge biogas 100% didapatkan hasil yang terbaik. Karena meningkatkan kadar C-organik, kadar Nitrogen (N), kadar P (P2O5) dan kadar K (K2O). Artinya, limbah unggas kini tidak lagi menjadi sampah, tetapi justru dapat meningkatkan kesehatan dan perekonomian masyarakat,” terang Ambar.

Perbandingan Nustrisi 
Hasil penelitian yang dilakukan Ambar menunjukkan adanya perbedaan cukup signifikan dalam penggunaan limbah unggas sebagai media jamur. Berikut tabel hasil penelitiannya.

Tabel 1. Kadar Nutrien Media Jamur Tiram Putih
Variabel
P0
P1
P2
P3
P4
Kadar airns
67,97
64,02
67,70
71,42
70,82
Bahan organikns
68,20
60,78
63,09
53,15
49,35
Serat kasar
28,30
29,56
25,05
20,76
15,14
C-organik
46,67
48,26
41,04
43,66
49,12
Nitrogen
0,34
0,42
0,35
0,53
0,71
C/N rasio
142,61
118,07
105,63
87,75
77,56
Phospor
0,55
0,56
0,44
0,86
1,42
Kalium
0,13
0,22
0,19
0,39
0,94
Keterangan:
P0 : media jamur dengan komposisi dedak 100%
P1 : media jamur dengan komposisi dedak 75% dan sludge 25%
P2 : media jamur dengan komposisi dedak 50% dan sludge 50%
P3 : media jamur dengan komposisi dedak 25% dan sludge 75%
P4 : media jamur dengan komposisi sludge 100%

Tabel 2. Parameter Biologis Jamur Tiram Putih
Variabel
P0
P1
P2
P3
P4
Mulai umur panen (hari)
65,00
72,00
71,00
72,33
66,33
Berat segar (gr)
143,03
173,20
195,63
104,20
163,33
Panjang tangkai (cm)
7,82
8,33
8,80
6,84
8,61
Diameter tudung (cm)
11,79
11,54
12,40
12,88
13,83
Jumlah tudung (cm)
13,33
13,67
12,67
5,00
6,33
Keterangan:
P0 : media jamur dengan komposisi dedak 100%
P1 : media jamur dengan komposisi dedak 75% dan sludge 25%
P2 : media jamur dengan komposisi dedak 50% dan sludge 50%
P3 : media jamur dengan komposisi dedak 25% dan sludge 75%
P4 : media jamur dengan komposisi sludge 100%

Tabel 3. Kadar Nutrien Jamur Tiram Putih
Variabel
P0
P1
P2
P3
P4
Kadar air (%)
57,95
63,25
79,15
82,26
61,79
Bahan organik (%)
78,76
76,72
79,35
83,16
79,57
Serat kasar (%)
20,59
22,75
17,45
18,05
21,46
Lemak kasar (%)
6,15
6,09
6,54
6,18
6,67
Protein kasar(%)
20,63
20,80
18,58
20,62
16,52
Keterangan:
P0 : media jamur dengan komposisi dedak 100%
P1 : media jamur dengan komposisi dedak 75% dan sludge 25%
P2 : media jamur dengan komposisi dedak 50% dan sludge 50%
P3 : media jamur dengan komposisi dedak 25% dan sludge 75%
P4 : media jamur dengan komposisi sludge 100%

Hasil uji kimia yang dilakukan menunjukkan bahwa kualitas media yang paling baik pada substitusi dedak dengan sludge biogas ekskreta ayam 15% (P4) dengan kandungan kadar serat kasar, kadar C-organik, kadar P dan kadar K secara berturut-turut yaitu 15,14%; 49,1%; 0,54%; 77,56%; 1,42% dan 0,94%.

Uji parameter biologi yang dilakukan meliputi umur mulai panen, berat segar, panjang tangkai, diameter tudung dan jumlah tudung yang paling baik adalah pada perlakuan P2 (dedak 50% dan sludge 50%) karena dapat meningkatkan berat segar jamur dengan berat sebesar 195,63 g. “Dapat disimpulkan bahwa dedak dapat diganti dengan sludge biogas ekskreta ayam sebesar 50% dalam media jamur tiam putih,” kata Ambar.

Nilai Ekonomi 
Hasil penelitian Fapet UGM ini, diakui Ambar, hingga saat ini belum ada yang memanfaatkan. Alasannya, masih mencari komposisi (formula) dan nilai gizi dari jamur tiram yang sesuai untuk media berbahan dasar limbah sepenuhnya. Saat ini produksi jamur dari bahan limbah hanya dilakukan oleh para mahasiswa yang masih aktif dan alumni yang memang ingin fokus wirausaha untuk mengembangkan jamur tiram putih.

Meski demikian, dosen ini yakin, penggunaan sludge biogas sebagai media tanam jamur tiram putih ini memiliki nilai ekonomi yang lebih menguntungkan, jika diterapkan oleh para petani jamur.

Nilai ekonomi yang dapat dihitung jika hanya dengan memanfaatkan limbah unggas ini hanya mampu men-substitusi peran dedak sebesar 15% pada setiap media. Jika dikalkulasikan harga dedak 8000/kg, maka hanya dapat dimanfaatkan dalam 6-7 media dan dalam satu kali produksi, biasanya para petani  jamur akan memproduksi minimalnya 500 baglog.

Dalam perhitungan Ambar, kalau dihitung nilai ekonominya, total biaya yang dapat dihemat jika menggunakan limbah unggas untuk pengganti dedak, maka 500 baglog dapat menghemat biaya dedak sekitar 600 ribu rupiah. “Dengan catatan 1 kg dedak dapat digunakan pada enam baglog (media jamur) dalam berat 1 kg pada masing-masing baglog,” pungkas Ambar. (Abdul Kholis)

Pelarangan AGP dan Penguatan Profesi Dokter Hewan



Dalam sebuah  pertemuan dengan pengurus ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia), Rabu 31 januari 2018, Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan) Drh. Fadjar Sumping Tjatur Rasa, PhD  yang didampingi Kasubdit Pengawasan Obat Hewan (POH) Drh. Ni Made Ria Isriyanthi PhD, menyatakan, bahwa dengan resep dokter hewan, antikoksidia golongan ionophore dapat dipakai lebih dari tujuh hari. Pernyataan ini sangat penting bagi dunia peternakan dan kesehatan hewan, karena sejak berlakunya pelarangan AGP awal Januari 2018 ini, banyak informasi simpang-siur di lapangan mengenai bagaimana teknis penggunaan antikoksidia golongan ionophore maupun non-ionophore.

Mengambil referensi peraturan di dunia kesehatan manusia, Dirkeswan  mengatakan, antibiotik untuk pengobatan manusia  aturannya hanya boleh dipakai  selama lima hari. Namun seorang dokter dengan tanggung jawab profesinya bisa membuat resep penggunaan antibiotik sampai sebulan bahkan bisa sampai setahun, misalnya untuk pasien yang terserang TBC.

Begitupun dengan peraturan yang berlaku di dunia kesehatan hewan. Permentan No. 14/2017 pasal 17 menyebutkan bahwa dalam hal untuk keperluan terapi, antibiotik dapat dicampur dalam pakan dengan dosis terapi dan lama pemakaiannya paling lama tujuh hari.  “Dalam hal ini seorang dokter hewan, dengan kewenangan dan tanggung jawabnya, dapat menulis resep penggunaan antikosidia golongan ionophore lebih dari tujuh hari dan golongan non-ionophore lebih dari 21 hari,” ujarnya.

Pernyataan ini menegaskan, lahirnya Permentan No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan, sekaligus merupakan salah satu upaya penguatan profesi dokter hewan. Hal ini mestinya didukung oleh semua pihak. Permentan 14/2017 tersebut melarang penggunaan antibiotika sebagai imbuhan pakan, namun penggunaan antibiotika sebagai terapi, termasuk terapi melalui pakan, diperbolehkan dengan beberapa syarat, antara lain harus dengan resep dokter hewan.

Siapa dokter hewan yang boleh menulis resep? Dirkeswan mengatakan, semua dokter hewan prinsipnya boleh membuat resep karena mereka telah disumpah sebagai dokter hewan. Namun ia menyatakan dalam waktu dekat akan ada pengaturan lebih lanjut mengenai bagaimana mekanismenya. Misalkan apakah satu resep itu ditulis untuk satu flok kandang, satu kawasan area peternakan atau bagaimana. Akan diatur juga apakah nantinya dokter hewan tersebut harus memiliki izin praktek khusus. Sambil menunggu peraturan lebih lanjut itu, maka dokter hewan manapun boleh menulis resep mengenai penggunaan antibiotik untuk terapi.

Diakui oleh Dirkeswan, sebagai sebuah peraturan baru, Permentan No. 14/2017 belum mengatur semua aspek yang terkait pelarangan AGP. Namun pada prinsipnya pemerintah sama sekali tidak bermaksud untuk mempersulit dunia usaha peternakan dan kesehatan hewan. Peraturan ini dibuat dengan niat baik untuk meningkatkan kualitas peternakan nasional. Pelarangan AGP pada tahap awal tentu tampak seperti merugikan, namun dalam jangka panjang akan membuat usaha menjadi lebih sehat. Hal ini karena jika AGP digunakan terus-menerus maka akan terjadi resistensi antibiotika, sehingga dalam jangka panjang biaya pengobatan akan justru menjadi lebih mahal.

Dirkeswan menyadari banyak informasi yang berkembang di media umum yang membuat masyarakat resah. Sebuah media online memberitakan bahwa akibat pelarangan AGP produksi telur di Jawa Timur turun hingga 60%.

Hal ini sama sekali tidak benar. AGP selama ini digunakan sebagai pemacu pertumbuhan, yang dapat membantu meningkatkan produksi unggas sekitar 3-5%. Dengan dilarangnya penggunaan AGP maka kemungkinan penurunan produksi unggas hanya sekitar 3-5%. “AGP bukanlah obat untuk pengobatan penyakit, sehingga tidak ada hubungannya pelarangan AGP dengan peningkatan kejadian penyakit di peternakan,” kata Dirkeswan.

Melihat kasus tersebut, Dirkeswan mengatakan, sosialisasi mengenai pelarangan AGP dan implementasinya, akan terus dilakukan dan ditingkatkan oleh pemerintah. Ia mengharapkan agar ASOHI, Majalah Infovet, serta kalangan profesi dokter hewan ikut membantu sosialisasi ini agar peternak mendapatkan informasi yang tepat.

Selama Januari 2018 ada beberapa pertanyaan yang masuk ke Redaksi Majalah Infovet, antara lain bagaimana mekanisme pembuatan resep untuk peternak oleh dokter hewan? Apakah pakan yang mengandung antibiotika sebagai terapi harus didaftarkan dengan NPP (Nomor Pendaftaran Pakan) yang berbeda dengan pakan yang tanpa antibiotika? Bagaimana jika penambahan antibiotika itu berupa produk customized yang berdasarkan pesanan peternak atau perusahaan tertentu, apakah juga perlu didaftarkan? bagaimana dengan pelabelan pakan setelah berlakunya Permentan No. 14/2017? Pertanyaan yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana teknis pengawasannya, baik oleh pengawas obat hewan maupun pengawas mutu pakan (wastukan)?

Pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan, sebenarnya pelaku usaha memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pelaksanaan Permentan No. 14/2017. Diharapkan pemerintah dapat menjelaskan lebih gamblang beberapa pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Langkah ASOHI bersama Ditkeswan menyelenggarakan Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan (PJTOH) bulan Desember 2017 dan dilanjutkan angkatan berikutnya pada Februari 2018 merupakan salah satu upaya ASOHI untuk membantu pemerintah dalam melakukan sosialisasi tentang Permentan No. 14/2017 beserta dampaknya. Banyaknya animo dokter hewan di perusahaan obat hewan dan perusahaan pakan untuk ikut pelatihan, juga menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap pelaksanaan permentan tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa Permentan No. 14/2017 juga membuat peran dokter hewan sebagai penanggung jawab teknis obat hewan, baik di perusahaan obat hewan maupun pakan juga semakin penting. Dokter hewan yang menjadi penanggung jawab teknis obat hewan harus paham betul tugas dan tanggung jawab mereka, serta memahami masalah-masalah peraturan perundang-undangan, masalah teknis dan penguatan profesi. ***

Editorial Majalah Infovet Edisi 283 Februari 2018

Instalasi dan Distribusi Pas, Ayam pun Puas

Sumber: Cobb-vantress.com
Penyediaan air bersih dan segar, lengkap dengan laju alir memadai adalah salah satu hal mendasar dalam produksi ayam yang baik. Instalasi dan manajemen distribusi sangat diperlukan.

Selain ketersediaan air itu sendiri, faktor tak kalah penting dalam manajemen beternak ayam adalah pendistribusian air hingga siap dikonsumsi. Apalagi, semakin banyak jumlah populasi ayam yang diternakkan, semakin banyak pula tenaga, waktu dan otomatis biaya untuk mendistribusikan air ke penjuru kandang. Semakin besar populasi ayam, keberadaan instalasi pendistribusian air yang efektif dan efisien semakin penting.

Dalam dunia peternakan ayam pedaging (broiler) atau pun (layer) di Indonesia saat ini, setidaknya dikenal dua sistem pendistribusian air minum, yaitu sistem terbuka (open system) dan tertutup (closed system). Perbedaan diantara keduanya sangat sederhana dan mudah dilihat. Pada open system, air disajikan dalam wadah terbuka. Sementara pada closed system, air disajikan tertutup, yang akan keluar dengan mekanisme tertentu.

Alat Minum Model Terbuka (Open System)
Pada sistem terbuka terdapat tiga model wadah penyajian. Ketiga model tersebut yaitu cup drinker, model galon dan automatic bell drinker.

Di masyarakat, penggunaan model cup drinker digunakan untuk ayam klangenan yang diletakkan dalam sangkar. Cara manual ini jelas sangat boros tenaga dan waktu jika diterapkan pada peternakan dengan skala yang lebih besar, hingga ribuan ekor. Untuk memenuhi kebutuhan peternak skala besar, cup drinker dibuat dengan mekanisme otomatis dengan menempatkan semacam tuas pada cup. Jika ayam mematuk atau menekan tuas, air akan mengalir dari dalam penampung air. Cup drinker otomatis ini bisa diinstalasi pada wadah penampung seperti ember atau bentuk penampung lainnya, bisa juga dipasang pada pipa air yang terhubung langsung ke sumber atau tandon air.

Model galon adalah jenis alat minum yang banyak digunakan para peternak saat ini, terutama peternak yang menggunakan sistem open house. Dibuat dalam ukuran volume galon yang bervariasi, alat ini bisa digunakan bersama oleh beberapa ekor ayam sekaligus. Pengisian model galon dilakukan secara manual.


TMAO
(Sumber: ayambroiler.com)
Seperti namanya, automatic bell drinker bekerja secara otomatis atau disebut juga dengan Tempat Minum Otomatis (TMO). Alat minum ini memiliki struktur kerja mekanis, yang akan menghentikan aliran air pada ketinggian permukaan level air tertentu. TMO dihubungkan oleh selang air dengan pipa penyalur air.

Keuntungan yang diperoleh dari sistem alat minum terbuka yaitu biaya pemasangan yang lebih murah. Namun, masalah yang umumnya muncul terkait dengan kualitas serasah (litter) dan kebersihan air minum. Pada sistem terbuka, kualitas air minum sulit dikontrol dari kemungkinan masuknya kontaminan, misalnya serasah bahkan feses ayam. Akibatnya, tempat air perlu dibersihkan setiap hari. Ini pemborosan air yang pertama. Pemborosan air yang kedua yaitu tumpahnya air minum akibat tersenggol ayam. Otomatis, kontrol ketersediaan air dan pengisian perlu lebih sering dilakukan.

Cara termudah untuk memantau konsumsi air minum yaitu dengan melihat kondisi litter di bawah tempat air minum. Litter basah di bawah tempat minum menunjukkan posisi alat minum terlalu rendah. Selain itu, pemberat (ballast) air minum kurang memadai untuk memertahankan posisi alat dari gucangan.

Dalam Panduan Manajemen Broiler Cobb, dijelaskan soal rekomendasi instalasi dan manajemen penggunaan tempat air minum sistem terbuka ini. Cobb menyarankan agar tersedia ruang cukup untuk paruh ayam dalam setiap tempat minum, yaitu 0,6 cm per ayam. Artinya, jika keliling lingkaran tempat minum 26 cm, ayam yang bisa ditampung sebanyak 40 ekor. Jika populasi ayam 10.000 ekor, butuh tempat minum dengan keliling 24 cm sebanyak 250 buah.

Semakin besar diameter atau keliling, daya tampung terhadap ayam semakin besar dan jumlah tempat minum yang dibutuhkan semakin sedikit. Meskipun begitu, peternak perlu mempertimbangkan sebaran tempat air minum agar lebih mudah dijangkau ayam. Meskipun mampu menampung banyak ayam, jangan sampai ayam terlalu jauh menjangkaunya. Sesuaikan jumlah dan penempatan tempat minum dengan kepadatan ayam.

Agar air tidak mudah tumpah, tempat minum terutama model bell drinker dan galon manual yang digantung diberi pemberat (ballast). Pemberat ini berfungsi agar tempat minum stabil dan tidak mudah bergoyang saat tertabrak ayam.

Ketinggian level bibir cup atau bell drinker harus dipastikan sejajar dengan punggung ayam saat berdiri normal. Ketinggian tempat minum juga harus disesuaikan dengan tinggi ayam selama dalam pertumbuhannya untuk meminimalkan kontaminasi kotoran. Pada hari pertama (day old), level air minum berjarak 0,5 cm dari bibir tempat minum. Setelah tujuh hari, permukaan air diturunkan hingga kedalaman. Pada praktiknya, peternak bisa menyesuaikan jarak ketinggian level air minum ini sesuai ukuran tempat air minum pabrikan yang bervariasi. 

Alat Minum Model Tertutup (Closed System)
Alat minum dengan sistem tertutup adalah nipple drinker. Jika dibandingkan dengan sistem terbuka, sistem nipple drinker cenderung tidak mudah terkontaminasi. Setidaknya, terdapat dua macam nipple drinker, yaitu high flow nipple drinker dan low flow nipple drinker. Pembedaan ini didasarkan pada perbedaan laju air minum per menit.


High flow nipple drinker (Sumber: roxell.com)
High flow nipple drinker beroperasi pada laju 80-90 ml/menit. Pada ujung nipple terlihat adanya manik-manik air yang dapat dilihat dengan mudah oleh ayam. Sementara di bagian bawah nipple terdapat cawan plastik untuk menangkap adanya kelebihan atau kebocoran air yang menetes ke bawah. Pada model ini, Cobb merekomendasikan satu nipple untuk 12 ekor ayam.

Low flow nipple drinker (Sumber: choretime.com)
Adapun low flow nipple drinker beroperasi pada laju aliran 50-60 ml/menit. Secara mudah, model ini dapat dilihat dari ketiadaan cangkir penampung di bawah nipple. Hal ini juga menandakan bahwa tekanan telah disesuaikan agar aliran air memenuhi kebutuhan broiler. Pada model ini, Cobb merekomendasikan satu nipple untuk 10 ekor ayam.

Nipple drinker membutuhkan tekanan air. Dengan begitu, dibutuhkan pompa atau pemasangan tandon dengan ketinggian tertentu agar diperoleh tekanan yang pas. Jarak antar-nipple perlu dipertimbangkan agar ayam tidak terlalu jauh menjangkaunya. Menurut Cobb, ayam diusahakan agar tidak menempuh perjalanan sejauh 3 meter.

Ketinggian pemasangan nipple harus disesuaikan dengan tekanan air dan tinggi badan ayam. Secara umum, ketinggian ujung nipple hanya cukup untuk dijangkau paruh ayam dalam posisi berdiri dengan telapak kaki rata di lantai. Jangan sampai nipple dipasang terlalu rendah hingga ayam membungkuk.

Pilih Mana?
Selain potensi kontaminasi yang lebih sedikit dibandingkan sistem terbuka, sistem tertutup juga meminimalkan terbuangnya air karena beragam hal. Di samping itu, banyak tenaga dan waktu yang dihemat karena tidak perlu membersihkan tempat minum setiap hari.

Meskipun begitu, biaya investasi di awal untuk sistem tertutup lebih besar dibandingkan sistem terbuka. Perawatannya pun memiliki kerumitan yang lebih, meskipun jarang dilakukan, contohnya flushing pipa.

Dari sisi ekonomis, Agus Yohani dari Tembalang Poultry, menyebutkan dalam websitenya, bahwa biaya pengadaan nipple untuk sistem tertutup bisa ditutupi oleh penghematan pakan di sistem terbuka. Bagaimana bisa?

Menurut Agus, pada sistem terbuka, sering ditemukan sebagian pakan yang terpindahkan secara tidak sengaja ke tempat minum. Ia melihat fenomena ini berpotensi mengakibatkan pemborosan.


Setting nipple (Sumber: weiku.com)
Dalam kalkulasinya, jika diasumsikan setiap hari setiap ekor ayam memindahkan 1 gram pakan dan populasi ayam sebanyak 30.000 ekor, dalam satu hari terdapat 30.000 gram atau 30 kilogram pakan yang terbuang. Jika harga asumsi pakan Rp 5.000 per kilogram, nilainya sama dengan Rp 150.000 per hari atau Rp 80.850.000, dengan asumsi 539 hari per periode. Cukup fantastis, meskipun asumsi ini harus dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut.

Jika menggunakan nipple, diperlukan 15.000 nipple (asumsi: satu nipple untuk dua ekor ayam) atau senilai dengan  Rp 97.500.000. Artinya, hanya dalam satu periode, kerugian pakan yang hilang bisa digunakan untuk menutupi biaya pembelian nipple.

Nah, pilih yang mana? Apapun pilihannya, pastikan niat beternak Anda tetap bisa berjalan dan terus dikembangkan dari waktu ke waktu. (RCH)

Kemitraan: Langkah Pemerintah Tingkatkan Industri Persusuan

Pembicara dan pembahas saat berfoto bersama.

Untuk meningkatkan produktivitas industri susu, pemerintah berupaya membangun konsep kemitraan antara peternak dan pengusaha yang dinilai akan membawa dampak positif.

Hal itu seperti disampaikan oleh Ir Fini Murfiani, Direktur Pemasaran dan Pengolahan Hasil Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. “Kami akan terus fokuskan konsep kemitraan, agar bisa saling membutuhkan, saling ketergantungan dan menguntungkan,” kata Fini.

Ia yang menjadi pembicara dalam seminar bertajuk “Meningkatkan Produktivitas dan Kualitas Susu Segar Dalam Negeri: Sharing Peternak Muda” di Aula Puslitbang Peternakan, Kementerian Pertanian, Bogor, Rabu (25/4), menilai, konsep tersebut bisa membawa percepatan yang signifikan terhadap keberlangsungan industri persusuan, mengingat problema yang terus dihadapi.

Menurutnya, permasalahan dari sisi hulu terjadinya penurunan populasi sapi perah menyebabkan penurunan produksi Susu Segar Dalam Negeri (SSDN). Fini menjelaskan, data dari BPS kebutuhan susu pada 2017 dengan konsumsi susu 16,5 liter/kapita/tahun adalah 4.448,67 ribu ton, sementara produksi susu nasional dari populasi sapi perah 544.791 ekor adalah 922,97 ribu ton (20,74%), sisanya 3.525,70 ribu ton (79,26%) harus dipenuhi melalui impor.

Sedangkan di sisi hilir, lanjut dia, harga susu di tingkat peternak masih rendah, karena kualitas susu yang juga belum memadai. “Padahal kualitas susu menjadi salah satu indikator utama penentuan harga. Selain itu, tingkat konsumsi dan produk olahan kita masih rendah dibanding negara Asean lainnya, karena kurangnya informasi dan edukasi pentingnya susu untuk kecerdasan dan kesehatan,” jelas Fini yang juga menjadi keynote speech mewakili Dirjen PKH.

Karena itu, diharapkan konsep kemitraan menjadi dongkrak kemajuan industri sapi perah ke arah yang lebih baik. “Intinya adalah pemanfaatan SSDN, nantinya bekerjasama dengan Industri Pengolahan Susu (IPS) yang sudah memiliki Unit Pengolahan Susu (UPS), melakukan promosi, serta penyediaan sarana produksi (peralatan) dan pembiayaan. Kemitraan ini bersifat fleksibel, artinya sesuai dengan kebutuhan peternak,” terang dia.

Konsep tersebut juga diperkuat dengan Permentan No. 26/2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu, yang merupakan regulasi pertama sejak 1998 silam. “Kami menyadari selama ini kemitraan yang telah dilakukan oleh beberapa pelaku usaha, khususnya IPS belum ada peraturan pemerintah yang mengaturnya. Permentan ini terbit agar kegiatan kemitraan lebih efektif, terarah dan terukur,” jelasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, kemitraan untuk peningkatan produksi dilakukan melalui penambahan populasi ternak, fasilitasi pembesaran pedet (rearing) dan/atau peningkatan keterampilan dan kompetensi peternak. Sedangkan kemitraan untuk pembiayaan meliputi fasilitas modal usaha dan/atau penjaminan kredit usaha.

Adapun bentuk kemitraan meliputi bantuan sapi bergulir, cooling unit, renovasi kandang, pakan konsentrat dan hijauan, peralatan, pelatihan dan penyuluhan, pengolahan limbah, studi banding, edukasi gizi, serta pinjaman bank. “Kami berharap upaya kemitraan dan sinergi antar pelaku usaha ini dapat memberikan motivasi yang tinggi bagi para peternak,” tukasnya.

Pada kesempatan itu, hadir sebagai narasumber lain yakni Prof (Riset) Dr Ismeth Inounu Ketua Tim Kajian Antisipatif dan Responsif Kebijakan Peternakan dan Veteriner Puslitbang Peternakan, Drh Deddy Fakhrudin Kurniawan peternak muda berprestasi asal Malang, Drh M. Dwi Satriyo peternak muda berprestasi asal Bogor, serta sebagai pembahas Ir Jafi Alzagladi Asisten Deputi Peternakan dan Perikanan Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Bidang Perekonomian dan Dr Ir Arief Daryanto selaku dosen MB IPB. (RBS)

Upaya Percepatan Pelayanan dan Kewajiban Alih Teknologi



Ada sebuah Peraturan Presiden (Perpres) baru yang agaknya kurang mendapat perhatian dari masyarakat peternakan Indonesia. Peraturan Presiden itu bernomor 91 tahun 2017 berisi peraturan tentang “Percepatan Pelaksanaan Berusaha”, ditandatangani Presiden Joko Widodo tanggal 22 September 2017. Perpres ini diterbitkan sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam memberikan pelayanan terbaik bagi investor dalam negeri maupun luar negeri, sehingga dunia usaha dapat menjalankan kegiatannya dengan lebih produktif.

Sesuai namanya isi Perpres nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha meliputi beberapa upaya pemerintah untuk mempercepat pelaksanaan kegiatan bisnis oleh investor baru, di mana upaya percepatan pelayanan ini akan dilakukan dalam dua tahap.

Tahap pertama, meliputi tiga kegiatan, yaitu pembentukan satuan tugas untuk mengawal sistem perizinan, pelaksanaan perizinan dalam bentuk pemenuhan persyaratan (checklist) yang dilakukan di kawasan ekonomi dan  pelaksanaan perizinan berusaha dengan menggunakan data sharing.

Tahap kedua, meliputi kegiatan pelaksanaan reformasi peraturan perizinan berusaha dan penerapan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission).

Satuan tugas itu sendiri meliputi satuan tugas tingkat nasional, satuan tugas kementerian, serta satuan tugas di tingkat provinsi dan kabupaten. Hingga tulisan ini disusun, belum diperoleh informasi bagaimana perkembangan satuan tugas di Kementerian Pertanian yang di dalamnya tentunya termasuk peternakan.

Sementara itu, Direktorat Kesehatan Hewan sejak tahun lalu sudah mulai mendiskusikan Draft Pementan baru mengenai Penyediaan dan Peredaran Obat Hewan. Salah satu pasal yang cukup hangat didiskusikan dikalangan dunia usaha obat hewan adalah kewajiban alih teknologi. Dalam salah satu pasal disebutkan, bahwa Penerbitan Nomor Pendaftaran Obat Hewan Asal Impor hanya diberikan satu kali masa berlaku selama 10 tahun. Apabila nomor pendaftaran  telah habis masa berlakunya, maka nomor pendaftaran dimaksud tidak dapat diperpanjang.  Dalam ayat berikutnya disebutkan, setelah habis masa berlaku nomor pendaftaran obat hewan, pelaku usaha pemegang nomor pendaftaran harus dapat melakukan alih teknologi obat hewan untuk diproduksi di dalam negeri dalam jangka waktu paling lama 10 tahun.

Seperti biasanya setiap ada rancangan peraturan baru, pro-kontra bermunculan. Seorang pengusaha obat hewan berpendapat, peraturan ini tidak memungkinkan untuk diimplementasikan jika diberlakukan untuk semua jenis produk obat hewan impor. “Perlu ada pengecualian untuk produk-produk tertentu,” usulnya.
“Negara-negara maju saja tidak semua obat hewannya produksi lokal. Mereka tetap membuka peluang obat hewan impor, meskipun sudah bisa dibuat di dalam negeri,” ujarnya memberi alasan.

Ada pula yang mempertanyakan tentang masa persiapan 10 tahun. Masalahnya, jika peraturan ini berlaku mulai tahun ini dan produk perusahaan tahun ini sudah habis masa pendaftarannya, berarti dia hanya punya waktu persiapan alih teknologi 10 tahun saja. Sementara itu, produk yang baru setahun diregistrasi berarti masih punya waktu 9 tahun sampai habis masa berlakunya registrasi, baru kemudian melakukan proses alih teknologi 10 tahun, artinya ia punya waktu persiapan selama 19 tahun.

Di lain pihak dari hasil wawancara dengan beberapa pengusaha, tak sedikit pula yang bersikap positif, dalam arti, prinsipnya pihaknya siap melakukan alih teknologi dan melakukan investasi di Indonesia, bahkan siap membuat basis produksi di Indonesia bukan hanya untuk pasar Indonesia melainkan juga untuk pasar internasional.

Hal terpenting adalah jika ada perusahaan yang berniat investasi lebih cepat di Indonesia, apakah pemerintah akan memberikan insentif yang menarik, sehingga investor lebih bergairah membangun pabrik di Indonesia, bukan di negara tetangga.

Sekedar catatan, negara-negara di kawasan ASEAN semakin baik pelayanannya kepada investor, karena mereka bersaing memperebutkan investor baru termasuk investor di industri obat hewan yang masuk ke negaranya.

Diskusi yang berkembang ini menunjukan, bahwa apapun yang akan dilakukan pemerintah, pada umumnya dunia usaha semakin peduli dan ingin mendukung upaya pemerintah untuk memajukan peternakan dan kesehatan hewan. Bahwa di sana-sini ada yang mengajukan keberatan, hal itu perlu didengar sebagai masukkan, sehingga keputusan akhirnya adalah sebuah peraturan yang dapat menaungi semua pelaku usaha.

Niat pemerintah untuk memperkuat industri obat hewan nasional pantas kita apresiasi. Di lingkungan peternakan dan kesehatan hewan, ekspor terbesar berasal dari obat hewan yang telah menembus lebih dari 30 negera. Data Ditjen PKH menyebutkan, ekspor obat hewan tahun 2017 mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya dengan nilai sekitar 27 triliun rupiah. Ini sebuah prestasi yang sangat bagus. Sebuah perusahaan eksportir feed supplement mengatakan, pihaknya memang mengalami peningkatan ekspor meskipun kondisi ekonomi global sedang mengalami stagnasi.

Selama ini insentif yang nyata untuk para eksportir obat hewan belum begitu dirasakan oleh kalangan perusahaan obat hewan. Mereka sukses menembus berbagai negara bisa dikatakan dengan keringat sendiri. Bahkan pameran internasional pun dengan biaya sendiri. Berbeda dengan negara lain di mana setiap ada pameran peternakan internasional pemerintahnya membiayai pameran itu secara gratis untuk eksportir mereka.

Oleh karena itu, wacana untuk memperkuat industri dalam negeri dengan melakukan alih teknologi selayaknya dibarengi dengan insentif yang menarik, bukan hanya untuk investor baru, tapi juga untuk usaha dalam negeri yang selama ini sudah berjuang mengibarkan bendera Indonesia di berbagai negara.

Untuk itu, wacana kewajiban alih teknologi yang akan dimuat dalam Permentan tentang Penyediaan dan Peredaran Obat Hewan hendaknya memiliki semangat seiring dengan amanat Perpres tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha. Hal ini agar Permentan tersebut menjadi bagian dari semangat untuk melakukan pelayanan dalam percepatan pelaksanaan berusaha. ***

Editorial Majalah Infovet Edisi 284 Maret 2018

Mengkaji Aturan tentang Medicated Feed

Tahun 2017 lalu setidaknya ada dua Permentan (Peraturan Menteri Pertanian) yang menjadi pembicaraan hangat di kalangan pelaku usaha peternakan. Yaitu Permentan No.14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan yang di dalamnya ada aturan pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promoter) dan Permentan No. 22/2017 tentang Pendaftaran dan Peredaran Pakan. Dua peraturan ini saling terkait.

Permentan No.14/2017 antara lain mengatur pelarangan penggunaan antibiotika sebagai imbuhan pakan atau lebih populer dengan istilah AGP yang efektif berlaku sejak 1 Januari 2018. Sedangkan Permentan No. 22/2017 mengatur pendaftaran dan peredaraan pakan yang diantaranya menegaskan bahwa pabrik pakan harus membuat pernyataan “pakan tidak mengandung AGP”.

Permentan No. 22/2017 terdiri dari tujuh bab, meliputi ketentuan umum, pendaftaran pakan, peredaran pakan, pembinaan dan pengawasan, ketentuan sanksi, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.

Pada Pasal 2  Ayat 1 Permentan No. 22/2017 menyebutkan, pakan yang dibuat untuk diedarkan (untuk diperdagangkan maupun tidak diperdagangkan) wajib memiliki Nomor Pendaftaran Pakan (NPP). Selanjutkan pada Pasal 25 Huruf a disebutkan, pakan yang diedarkan harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Pakan yang Baik (CPPB). Kemudian pada syarat-syarat teknis untuk mendapatkan NPP salah satunya adalah produsen pakan harus membuat pernyataan “tidak menggunakan Hormon Sintetik “ dan pernyataan “tidak menggunakan AGP”.

Sementara itu, di dalam Permentan No. 14/2017 ditegaskan bahwa antibiotika sebagai imbuhan pakan (AGP) dilarang untuk digunakan, namun antibiotika untuk pengobatan (terapi) tetap diperbolehkan. Beberapa jenis antibiotik yang semula didaftarkan sebagai feed additive (berfungsi sebagai AGP), boleh didaftar ulang menjadi antibiotika yang berfungsi sebagai terapi (pharmasetic) jika dapat memenuhi persayaratan teknis sebagai terapi. Peraturan ini sudah dijalankan pemerintah dan untuk menjamin ketersediaan antibiotika di peternakan, pihak pemerintah melakukan proses percepatan registrasi sehingga saat ini sudah ada beberapa jenis antibiotika yang semula dengan kode F (Feed Additive) berubah menjadi P (Pharmaceutic).

Karena antibiotika yang berfungsi sebagai terapi ini boleh dicampur di dalam pakan maka kini muncul dua jenis pakan, yakni pakan biasa (reguler) yang dipakai sehari-hari dan sudah dijamin tanpa AGP, serta pakan yang diproduksi pabrik pakan yang pemakaiannya sekaligus untuk mengobati penyakit (mengandung antibiotik untuk pengobatan). Pakan jenis ini digolongkan sebagai medicated feed.

Karena medicated feed dipakai untuk terapi jika ada kasus penyakit, maka penggunaanya harus melalui resep dokter hewan. Berarti harus ada “pengaturan lebih lanjut” mengenai mekanisme pembuatan resep oleh dokter hewan. Perlu diatur apakah semua dokter hewan boleh membuat resep penggunaan medicated feed atau hanya dokter hewan yang memiliki izin tertentu.

Berikutnya muncul pemikiran, mengingat ada dua jenis pakan, yakni pakan regular (non-medicated) dan medicated feed, berarti perlu juga pengaturan lebih lanjut tentang pendaftaran medicated feed.

Dalam sebuah seminar di Jakarta Maret 2018 lalu, Kasubdit Mutu dan Peredaran Pakan Ossy Ponsania yang hadir mewakili Direktur Pakan mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan hamonisasi aturan medicated feed dengan Direktorat Kesehatan Hewan.

Sebagaimana diketahui, pelayanan pakan dan obat hewan di Ditjen PKH dikelola oleh dua direktorat (jabatan eselon II, di bawah Dirjen PKH), yakni Direktorat Kesehatan Hewan (mengurus obat hewan) dan Direktorat Pakan (mengurus pakan). Dalam hal medicated feed, berarti ada irisan antara kedua direktorat tersebut. Obat hewan yang dicampurkan di pakan adalah kewenangan Direktorat Kesehatan Hewan, sedangkan produksi, pendaftaran dan peredaran pakan di bawah kewenangan Direktorat Pakan.

Muncul pendapat bahwa medicated feed harus didaftar tersendiri (punya NPP tersendiri) di luar non-medicated feed. Pertanyaannya adalah mendaftarnya di Direktorat Kesehatan Hewan atau Direktorat Pakan? Bagaimana tata aturan pendaftarannya?

Menarik juga disimak pemikiran lain yang lebih sederhana. Bahwa obat hewan yang dicampur di pakan sudah pasti memiliki nomor registrasi dari Direktorat Kesehatan Hewan. Demikian pula pakan, sudah pasti memiliki NPP. Selain itu, di perusahaan obat hewan maupun di pabrik pakan ada penanggung jawab teknis obat hewan, dan sudah ada sertifikasi CPOHB (Cara PembuatanObat Hewan yang Baik) di pabrik obat hewan dan sertifikasi CPPB (Cara Pembuatan Pakan dan Baik) di pabrik pakan.

Di pihak pemerintah juga ada pengawas obat hewan dan pengawas mutu pakan. Tak kalah pentingnya adalah, penggunaan medicated feed harus melalui resep dokter hewan. Karena aturan yang  akan dan tengah berjalan saja sudah berjalan demikian ketat, mengapa masih perlu registrasi tersendiri untuk medicated feed?

Pertanyaan di atas hendaknya mendapat perhatian pemerintah. Jangan sampai terjadi overregulated, pengaturan yang berlebihan, yang menyebabkan suasana usaha kurang kondusif, bahkan kontra produktif, yang membuat dunia usaha menjadi tidak efisien.

Ketua Umum GPMT Desianto Budi Utomo, sepakat dengan pendapat di atas. Sebaiknya medicated feed tidak perlu pendaftaran tersendiri. “Lebih baik kita percayakan saja dengan kewenangan dokter hewan yang memberi resep, serta penanggung jawab teknis obat hewan yang ada di pabrik pakan maupun di perusahaan obat hewan,” ujar Desianto.

Kiranya pernyataan Ketua Umum GPMT layak mendapat respon positif dari pemerintah. Dengan mekanisme yang ada, yakni adanya resep dokter hewan dan juga penanggung jawab teknis obat hewan, serta pengawas obat hewan dan pengawas mutu pakan, maka peternak sudah cukup mendapat jaminan atas keamanan dan kualitas pakan. pemerintah tinggal memastikan dan melakukan  monitoring agar mekanisme yang ada dapat berjalan sesuai dengan koridornya. ***

Editorial Majalah Infovet Edisi 285 April 2018

Sistem IVMS Tingkatkan Produktivitas Sapi di NTB

Penerapan IVMS menyesuaikan kebutuhan nutrisi dengan suplai pakan yang tersedia
Sistem Pengelolaan Pembiakan Terpadu di Desa atau Integrated Village Management System (IVMS) membawa kebahagiaan tersendiri bagi peternak sapi Bali di Dusun Karang Kendal, Desa Segara Katon, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, NTB. Sapi Bali menjadi ternak unggulan yang dikembangkan dengan sistem IVMS.

Sejak tahun 2009, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi NTB bersama tim peneliti dari ACIAR, Universitas Mataram dan Universitas Queensland Australia melakukan pendampingan untuk peternak di sana.

Sistem IVMS merupakan sistem sekaligus paket teknologi yang diaplikasikan demi meningkatnya produktivitas sapi Bali. Prinsip dasar dalam penerapan IVMS yaitu menyesuaikan kebutuhan nutrisi dari pola reproduksi sapi dengan suplai pakan yang tersedia.

Peneliti BPTP NTB, Dr Ir Tanda S. Panjaitan 
Dalam workshop IndoBeef di Lombok yang digelar pada 30 Januari 2018 lalu, penulis menguraikan hambatan perkembangan produktivitas dan efisiensi sektor peternakan sapi di NTB.

Nutrisi buruk dan kelahiran terjadi pada waktu yang tidak tepat yaitu pada musim kering, waktu ketersediaan pakan menipis menyebabkan panjangnya interval dari kelahiran satu dengan kelahiran berikutnya. Selain itu, tingginya angka kematian pedet dan rendahnya angka pertumbuhan pedet menghambat perkembangan produktivitas ternak di ITB.

Sistem Pengelolaan Pembiakan Terpadu di Desa atau IVMS menekankan pada manajemen atau pengelolaan sebagai kunci menurunkan angka kematian pedet dengan menata waktu kelahiran atau menata musim kawin, sehingga induk sapi melahirkan pada saat yang tepat waktu pakan cukup tersedia untuk memenuhi kebutuhan induk menyusui dan pedet yang dilahirkan.

Sistem pengelolaan sapi alternatif ini dibuat pola reproduksi ternak sesuai dengan suplai makanan yang berasal dari pertumbuhan rumput di lapang maupun sisa panen.

Pengelolaan IVMS
Seperti apa pengelolaan IVMS? Pengelolaan IVMS terdiri dari penyapihan dini pada usia 5-6 bulan, kemudian tahap pemilihan sapi jantan, pengaturan musim kawin alamiah, serta pemberian pakan untuk sapi yang baru disapih.

Fase penyapihan dini di usia 5-6 bulan. Pedet yang berusia lima bulan pada musim kemarau harus disapih. Ketika musim penghujan, pedet yang berusia lima bulan dapat ditunda penyapihannya hingga berusia enam bulan.

Untuk menjaga kondisi tubuh sapi, nilai skor kondisi tubuhnya harus diatas level kritis yaitu 2,5 (skala 1-5), serta fokus meningkatkan efisiensi penggunaan pakan yang tersedia. ***

Lebih lengkap dapat dibaca di Majalah Infovet cetak edisi 285 April 2018. 

SUKSESKAN ACARA ANDA BERSAMA GITA ORGANIZER


Kenali Penyebab Terjadinya Pinguin Disease


Pinguin disease yang diakibatkan secara klinis menyebabkan performance atau tingkah laku, bahkan juga bentuk ayam menjadi mirip seperti pinguin. Penyebabnya adalah virus yang berasal dari grup corona virus, secara spesifik adalah avian corona virus. Di Indonesia corona virus ada bermacam-macam, namun adanya pinguin disease ini dari beberapa studi diakibatkan oleh beberapa strain tertentu yang secara spesifik di Indonesia belum diketahui berasal dari strain yang mana.

Dari hasil wawancara bersama dosen Universitas Gadjah Mada, Dr Drh Michael Hariyadi Wibowo, MP penyakit pinguin disease ini terbilang sangat merugikan bagi peternak khususnya peternak ayam layer atau pembibitan (breeding). Dari beberapa informasi yang diterima, penyakit ini dapat menyebabkan turunnya produksi telur dari 40-90%. IB atau Infectiuos Bronchitis (nama penyakitnya) yang kemudian menimbulkan efek pinguin (pinguin disease), pada umumnya masyarakat mengenal ini diakibatkan oleh QX (Quan Dao) strain, namun strain dari jenis 793 B juga dapat menimbulkan hal yang sama, di mana di Indonesia kasus tersebut belum dapat dideteksi secara spesifik. Tidak hanya itu, dari beberapa literatur strain IB dari Massachusetts juga dapat menyebabkan terjadinya pinguin disease.

Dr Drh Michael Hariyadi
Dijelaskan oleh Dr Hariyadi, IB yang sejatinya adalah penyakit pernafasan pada ayam menjadi momok yang sangat merugikan peternak. Hal ini tentu saja akibat dari manivestasi penyakit ini pada sistem respirasi, di mana ditujukkan dengan gejala adanya gangguan pernafasan seperti ngorok dan gangguan pernafasan lainnya, kemudian gejala lainnya adalah manivestasi di saluran reproduksi yang mengakibatkan kerusakan pada saluran reproduksi sehubungan dengan kualitas telur dan produksi telur yang mengalami penurunan tajam. Lebih lanjut, kerusakan yang dibawa oleh varian virus IB mengakibatkan adanya indikasi pinguin disease akibat kerusakan dari cystovary, kemudian manivestasi berikutnya terkait dengan kerusakan ginjal seperti varian Australian T virus dan varian QX misalnya.

“Walaupun yang sekarang ini masyarakat lebih mengenal varian QX, sebenarnya terdapat banyak sekali varian dari IB. Di Indonesia dikenal juga Massachusetts strain atau IB klasik, IB respiratory yang berakibat juga penurunan terhadap kualitas dan produksi yang kemudian berdampak pada pinguin disease. Namun pada saat ini penyebab IB di Indonesia yang mengakibatkan adanya pinguin disease belum dapat diketahui secara spesifik apakah dari QX, grup Massachusetts tertentu, 793B, yang semuanya bisa menyebabkan adanya pinguin disease,” jelas Dr Hariyadi.

Penting untuk diketahui, bahwa tidak semua varian dari virus IB menyebabkan pinguin disease. Adanya fenomena pinguin disease di lapangan juga belum tentu diakibatkan oleh virus dari varian QX (yang dikenal di masyarakat).

Dikemukakan Dr Hariyadi bahwa, fenomena pinguin disease biasanya teramati pada saat fase produksi bahkan pullet yang sebenarnya tidak menutup kemungkinan sudah adanya infeksi yang mengakibatkan kerusakan struktural pada oviduct dari awal mula kehidupan (DOC) yang akhirnya baru teramati pada saat menjelang produksi (pullet) atau pada saat produksi. “Hanya akumulasi dari kerusakan ini yang ditandai dengan adanya cairan di bagian oviduct banyak terlihat pada fase produksi dibandingkan dengan pada saat pullet, tentu saja fenomena ini terjadi dalam waktu yang panjang akibat akumulasi dari kerusakan tersebut dan masuk ke dalam katagori kronis apabila sudah ditemukan adanya gejala pinguin disease,” papar dia.

Ia menambahkan, apabila dalam proses ini murni diakibatkan oleh virus, maka akumulasi cairan yang ada di oviduct akan berwarna jernih dan tidak berbau, atau bahkan ketika dibuat preparat histopatology kerusakan jaringan telihat tidak terlalu signifikan. Lain halnya apabila diikuti dengan infeksi bakteri, cairan akibat adanya infeksi bakteri (yang menyertai infeksi virus) berada dalam area peritoneum atau rongga dalam perut yang mengakibatkan gejala lain seperti asites misalnya.

Dalam pengamatan lesi (keadaan jaringan yang abnormal), lanjutnya, sepintas akibat dari infeksi IB tidak berbeda dengan EDS (Egg Drop Syndrome), di mana kasus IB klasik terlihat telur secara morfologi mempunyai bentuk yang asimetris dan kondisi putih telur yang lebih cair. Ada tidaknya akumulasi cairan di oviduct inilah yang membedakan antara pinguin disease (IB) dan EDS pada layer, karena tanpa mengetahui riwayat dan pengamatan yang lebih detail hal ini akan terlihat sama di lapangan. Apabila diketahui memang adanya kasus pinguin disease, perlu pengamatan lebih lanjut terkait varian apa yang menginfeksi (dengan skala lab dan pengujian molekuler) dan jenis strain apa yang menginfeksi.

Perlu Adanya Karakterisasi
Menurut Dr Hariyadi, ayam yang terinfeksi virus IB pada saluran reproduksi pada umumnya sulit diobati, karena sudah mengalami kerusakan dan akan memicu infeksi lainnya. Untuk itu dilakukan penyeleksian untuk afkir pada ayam yang sudah teridentifikasi adanya gejala mirip pinguin disease, kemudian dilakukan pengobatan normatif pada ayam-ayam lainnya (yang tidak terseleksi) berupa pemberian antibiotik dan multivitamin, tidak lupa pengamanan biosecurity yang baik untuk mencegah adanya penularan terutama adanya kontak langsung maupun melalui media perantara.

Bagian oviduct yang berisi cairan.
Pencegahan terhadap IB sejatinya sudah dilakukan mulai dari DOC baik pemberian vaksin life maupun killed, namun perlu diketahui bahwa varian IB yang dipakai sejauh ini adalah varian Massachusetts strain. Fenomena di mana dalam suatu populasi ternak yang sudah divaksin strain virus tertentu kemudian timbul adanya infeksi virus sejenis (kemungkinan dari strain lain) maka disebut virus varian.

“Misalnya dalam suatu farm telah dilakukan proteksi terhadap virus IB dengan varian Massachusetts, tentu saja proteksi hanya terkait varian Massachusetts dan apabila terjadi kemunculan kasus IB (pinguin disease) yang tidak terproteksi oleh varian Massacusets maka hal ini yang dikenal sebagai virus varian. Terkait virus varian inilah yang kemudian perlu dikarakterisasi,” ucapnya.

Karakterisasi ini menjadi penting terkait proteksi yang akan diberikan dalam pemeliharaan ayam yang berkelanjutan, terutama dalam hal ini terkait pinguin disease, mengingat dalam 10 tahun terkahir tidak hanya dari varian Massachusetts saja, akan tetapi ada jenis lain yang menginfeksi seperti varian QX, 793 B, maupun Australian T virus, sehingga proteksi dikalangan peternak terhadap pinguin disease bisa lebih optimal, mengingat besarnya dampak kerugian ekonomi langsung dari infeksi virus IB yang diderita peternak. (Wisnu Bawono)

Biosekuriti dan Vaksinasi Saja?

Banyak faktor yang memengaruhi performa ayam di lapangan,
tak cukup hanya biosekuriti dan vaksinasi saja.
((Penerapan biosekuriti, vaksinasi, serta tindakan lain dalam mengendalikan penyakit di kandang merupakan aspek penting dalam menunjang performa ternak. Namun begitu, bukan berarti faktor lainnya tidak diperhatikan, semuanya harus berjalan selaras dan seimbang agar performa ternak tetap prima.))

Segala sesuatu memang ada pakemnya, termasuk dalam manajemen pemeliharaan ayam baik pedaging maupun petelur. Dari masa ke masa, pakem-pakem tersebut berubah seiring berkembanganya ilmu pengetahuan dan teknologi. Inti dari aspek pemeliharaan tidak berubah, namun teknisnya bisa saja berubah-ubah sesuai dengan kondisi di lapangan.

Misalnya saja vaksinasi, program vaksinasi merupakan hal yang wajib di dunia peternakan. Berbagai jenis vaksin beredar di pasaran, beragam pula cara dan aplikasi vaksin di kandang. Dengan melakukan vaksinasi, peternak yakin bahwa ternaknya akan sehat walafiat sampai akhir fase produksi.

Begitu juga dengan biosekuriti, hal yang umum dijumpai dalam suatu peternakan yang mengandung makna biosekuriti, misalnya penyemprotan kendaraan dan pembersihan kandang setelah panen. Dari kedua “ritual” tersebut (vaksinasi dan biosekuriti) seringkali peternak merasa yakin bahwa performa akan bagus sampai akhir periode produksi, namun apa iya akan terus begitu?

Mulai dari Hal Kecil
Nyatanya memelihara ayam baik broiler maupun layer tidak semudah itu, banyak sekali aspek-aspek yang wajib diperhatikan oleh peternak, bukan hanya biosekuriti dan vaksinasi. Apalagi kini cara memelihara ayam sudah banyak mengalami perubahan baik dari segi genetis ayam, iklim, penyakit dan lain sebagainya.

Salah satu praktisi perunggasan Indonesia, Prof Charles Rangga Tabbu, mengatakan, bahwa banyak sekali faktor yang mempengaruhi performa ayam di lapangan. Semua faktor tadi tidak boleh diabaikan oleh peternak. “Kita mulai dari yang terkecil, misalnya kualitas DOC saja. Sebenarnya ini juga menentukan, namun seringkali peternak luput. Mereka percaya saja bahwa DOC yang dibeli sudah sesuai dengan SNI,” ujar Charles.

Padahal seringkali Prof Charles menemui keadaan di mana kualitas DOC buruk. “Peternak kadang tidak peduli DOC baik atau buruk kualitasnya, sekarang yang mereka peduli dapat DOC apa tidak, karena sulit sekarang dapat DOC,” kata Charles. Padahal, kualitas DOC juga menentukan performa pada tahap selanjutnya. Ia menyarankan kepada peternak minimal melakukan sampling pada DOC yang akan masuk dan melakukan chick in sesegera mungkin tanpa ditunda-tunda. (CR)


Selengkapnya baca majalah Infovet edisi 285 April 2018.

Tak Cukup Hanya Biosekuritas & Vaksinasi


Oleh:
Tony Unandar (Anggota Dewan Pakar ASOHI)

((Dalam era pasca pakan tanpa AGP (non-Antibiotic Growth Promotor feed), strategi jitu untuk membentuk daya tahan flok ayam (flock immunity) sangatlah penting, baik terhadap tantangan penyakit viral, bakterial dan/atau parasiter.  Walaupun prinsip-prinsip biosekuritas seoptimal mungkin sudah diterapkan (well-implemented) dan program vaksinasi sudah dirancang sebaik mungkin (well-designed), namun ledakan kasus-kasus infeksius lapangan masih saja terus terjadi. Mengapa? Dalam koridor epidemiologis, penulis mencoba menelisik dan memaparkan beberapa sisi kunci yang juga harus dipertimbangkan kolega praktisi lapangan, agar daya tahan flok ayam yang diharapkan memang benar-benar teruji.))

Vaksinasi untuk Populasi
Aplikasi program vaksinasi dalam industri perunggasan modern sebenarnya merupakan tindakan yang bersifat massal. Oleh sebab itu, respon terhadap program vaksinasi yang diberikan juga sangat tergantung pada faktor-faktor yang ada dalam populasi tersebut. Beberapa faktor penting yang sangat menentukan variasi respon imunitas flok, yaitu:
a) Kekebalan pasif dari induk (MDA = Maternal Derived Antibody).
b) Asupan nutrisi (Nutrient Intake).
c) Faktor stress eksternal atau faktor imunosupresi.
d) Kondisi patogen lapangan (Total Inokulum).
e) Teknologi sediaan dan aplikasi vaksin yang digunakan.

Maternal Derived Antibody (MDA)
Pada ayam, MDA dapat ditemukan dalam bentuk antibodi terlarut dari fraksi IgA dan atau IgM dalam albumin telur serta IgY (=IgG) dalam kuning telur (T. Van den Berg, 2014).  Hanya saja, baik dari sisi titer (aspek kuantitas) maupun efektivitasnya (aspek kualitatif) dalam melindungi progeni (anak ayam) di awal kehidupannya terhadap serangan patogen lapangan, justru peranan IgY jauh lebih penting dibandingkan dengan IgA atau IgM.

Dari penelitian imunologi molekuler diketahui bahwa MDA dalam sistem sirkulasi darah embrio dapat dideteksi pertama kali secara signifikan rata-rata pada hari ke-12 masa inkubasi di dalam mesin pengeram (setter) dan mencapai puncaknya pada umur 1-2 hari pasca menetas (post-hatching). Ini berarti, penyerapan sisa kuning telur (egg yolk) pada awal masa brooder menjadi sangat penting, tidak saja asupan nutrisi awal terpenuhi tetapi juga penyerapan MDA akan menjadi optimal.

Ketika menelisik kegagalan pembentukan daya tahan flok di lapangan, maka salah satu hal penting yang juga perlu dicermati, yaitu status keberadaan titer antibodi induk alias MDA (aspek kuantitas) dan keseragaman titer MDA (aspek kualitas) saat memberikan vaksinasi awal pada suatu flok ayam. Ada beberapa argumentasi teknis mengenai hal ini, yaitu: .... (toe)

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi 285 April 2018.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer