-->

VAKSINASI MASSAL TEKAN RABIES DI TIMOR TENGAH SELATAN

Vaksinasi massal terhadap anjing-anjing di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan. (Foto: Istimewa)

Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), melakukan vaksinasi masal terhadap hewan anjing di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur, pasca penetapan kejadian luar biasa wabah rabies.

Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen PKH, Kementan, Nuryani Zainuddin, melalui keterangan tertulisnya, Minggu (4/6/2023), mengatakan Kementan telah bergerak cepat memantau langsung pendataan di wilayah penyebaran virus rabies.

“Kami telah mengalokasikan 15 ribu dosis vaksin rabies untuk Provinsi NTT dan saat ini juga memberikan bantuan tambahan sebanyak 5 ribu dosis vaksin untuk Kabupaten Timor Tengah Selatan,” kata Nuryani.

“Kamis hingga Sabtu kemarin berturut-turut kita laksanakan vaksinasi massal terhadap anjing-anjing di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan dan ini akan terus berlanjut hingga target vaksinasi tercapai.”

Nuryani membeberkan, Kementan telah menjalankan program pengendalian dan pemberantasan rabies di Indonesia, antara lain melalui vaksinasi di wilayah tertular atau wilayah bebas yang terancam, surveilans, pengawasan lalu lintas hewan penular rabies (HPR), manajemen populasi HPR, dan bekerja sama dengan pihak kesehatan dalam rangka penanganan kasus gigitan yang terjadi.

Ia menyebutkan terdapat delapan provinsi bebas rabies, meliputi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Papua, dan Papua Barat. Sedangkan 25 provinsi lainnya di Indonesia menjadi endemik rabies.

Ia juga katakan Kementan telah mengirim tim pusat untuk pelaksanaan vaksinasi dan melakukan diseminasi informasi dan edukasi yang benar tentang rabies, sehingga upaya pencegahan dan pengendalian dapat dilakukan semua pihak.

Sementara Bupati Timor Tengah Selatan, Egusem Pieter Tahun, mengatakan adanya bantuan vaksin dan kehadiran tim vaksinator secara langsung ke lokasi sangat membantu mempercepat pengendalian wabah rabies.

“Kondisi saat ini sudah 128 orang dengan lokasi penyebarannya  di 11 kecamatan, 37 desa, dan kami sudah ke sana sudah tertata dengan kesiapan tenaga medis dan petugas dari peternakan” ujar Egusem.

Kepala Dinas Peternakan Kabupaten TTS, Dianar Ati, mengatakan vaksinasi massal rabies ini merupakan tonggak awal untuk terus dilakukannya vaksinasi terhadap seluruh hewan anjing yang ada di daerah ini.

“Mulai hari ini dan seterusnya vaksinasi harus selalu dilakukan, tadi bapak Bupati berpesan agar setiap hari harus melaporkan ke beliau seberapa banyak capaian pada hari tersebut,” kata Dianar.

“Saat ini sebanyak 2.500 dosis akan kami fokuskan di Kecamatan Kota Soe, kemudian kami juga mengarah ke kecamatan yang saat ini dikategorikan zona merah.” (INF)

UAR GELAR WEBINAR INTERNASIONAL DAN SOSIALISASI VAKSINASI RABIES ORAL

UAR Selenggarakan Webinar Rabies

Menyusul diakuinya vaksin peroral pertama untuk anjing yang digunakan untuk melawan rabies, forum United Against Rabies (UaR) menyelenggarakan webinar pada hari selasa (9/5). Untuk pertama kalinya, webinar ini merupakan salah satu bentuk upaya percepatan pemberantasan rabies yang dimediasi oleh anjing sebagai salah satu tujuan forum ini dibentuk pada tahun 2020 oleh kolaborasi “tripartite” FAO, WOAH, dan WHO.

Thomas Muller, kepala laboratorium referensi WOAH dan WHO untuk rabies dari Friedrich-Loeffler-Institute (FLI) Jerman, pada awal sesi di webinar ini mempresentasikan dokumen terbaru tentang vaksinasi oral rabies yang akan diresmikan pada bulan Juli ini.

Pada satu-satunya presentasi di dalam webinar ini, ia menyebutkan bahwa vaksinasi anjing secara massal untuk mempertahankan kekebalan kelompok populasi anjing menggunakan vaksin parenteral dapat menghadapi banyak tantangan, terutama pada negara di mana banyak anjing berkeliaran bebas dan mempunyai sumber daya terbatas.

“Oleh karena itu penggunaan Vaksin rabies oral merupakan tindakan pelengkap yang menjanjikan untuk dapat menjangkau populasi anjing yang berkeliaran”, tambahnya

Tiga panelis lain berbagi pengalaman tentang apa yang sudah mereka lakukan berkaitan dengan program pilot dan studi vaksin oral dari wilayahnya masing-masing.

Beatrice Shikongo, staf lapangan dari bidang kesehatan hewan di wilayah Zambezi – Namibia, membagikan pengalamannya terkait aspek rantai dingin vaksin rabies oral yang dilakukan di negaranya. Ia menegaskan bagaimana vaksin rabies oral dapat dengan mudah digunakan untuk vaksinasi anjing yang agresif.

“Kami bahkan dapat dengan mudah melakukan vaksinasi anjing agresif dengan penanganan yang minimal, atau tanpa penanganan sama sekali”, sebutnya.

Wahid Husein, panelis lainnya dari FAO ECTAD Indonesia, menambahkan bahwa metode vaksinasi rabies oral mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan metode vaksinasi menggunakan jaring.

“Vaksin rabies oral lebih cocok untuk vaksinasi anjing yang sulit dijangkau dan mengurangi stress pada tim vaksinasi dan hewan”, terangnya. Selain itu, dia juga berbagi pengalamannya terkait aspek keamanan untuk spesies non target, termasuk manusia.

Sedangkan aspek efektivitas dan efisiensi biaya, serta bagaimana penandaan anjing yang sudah divaksin dijelaskan oleh panelis terakhir, Ryan Wallace yang merupakan kepala tim epidemiologi rabies CDC Amerika Serikat.

“Hanya sedikit pertanyaan tentang vaksin rabies oral untuk anjing yang belum terjawab. Sekarang, semua terserah pada masing-masing negara untuk memulai menggunakannya atau tidak”, tambahnya. 

Pada sesi akhir webinar, moderator, Richard Chipman yang merupakan koordinator program manajemen rabies nasional USDA, mendorong sekitar 150 orang peserta yang hadir secara global untuk mengakses daftar pertanyaan yang sering diajukan atau frequently asked questions (FAQs) tentang vaksin rabies oral yang sudah tersedia pada website UAR. (WF)

VAKSIN RABIES PERORAL PERTAMA DI DUNIA DISETUJUI WOAH

Vaksinasi Pada Anjing Penting Untuk Mencegah Rabies

Sejumlah vaksin rabies oral, baik virus yang dilemahkan maupun rekombinan, telah dikembangkan dan dilisensikan untuk satwa liar, akan tetapi belum ada satu pun vaksin yang mendapatkan persetujuan regulatory untuk anjing.


Seperti untuk satwa liar, perlu dipastikan bahwa vaksin rabies oral, serta umpannya, harus memiliki efektivitas, aman, dan menarik untuk anjing. Sebagian besar kandidat vaksin potensial hanya digunakan secara eksperimental pada anjing, baik di laboratorium maupun di lapangan.

Baru-baru ini, vaksin rabies oral pertama untuk anjing dilaporkan menunjukkan efikasi, imunogenisitas, dan tingkat keamanan yang tinggi baik pada riset yang dilakukan di laboratorium maupun di lapangan. Vaksin ini sedang dalam proses persetujuan penggunaan atau regulatory secara luas.

Vaksin yang aman dan memiliki efikasi yang baik, baik berupa virus hidup yang dimodifikasi (modified live) atau hasil bioteknologi, merupakan pilar utama program ORV untuk anjing. Dilansir dari website miliknya, World Organisation of Animal Health (WOAH) telah menetapkan standar internasional yang ketat terkait efikasi dan keamanan vaksin rabies oral baik untuk satwa liar maupun anjing.

Sehubungan dengan vaksin untuk anjing, standar WOAH melebihi persyaratan untuk target satwa liar dan mencakup penilaian risiko pada manusia yang mempertimbangkan kemungkinan seseorang melakukan kontak dengan vaksin, serta potensi dampak kesehatan akbiat kontak tersebut. (WF)

PROVINCIAL BRIDGING WORKSHOP UNTUK MEMPERKUAT PROGRAM PENGENDALIAN RABIES DI BALI


Provincial Bridging Diharapkan Dapat Membantu Pemerintah Tanggulangi Rabies

Berbagai Organisasi Non Pemerintah (NGO) seperti FAO, WHO, WOAH, GARC, FLI Jerman, dan Tim Kesiapsiagaan Epidemi Jerman mengadakan provincial bridging workshop untuk pengendalian rabies di Bali dari tanggal 12 hingga 14 April 2023. Tujuannya tentu saja untuk  mendukung Pemerintah Indonesia dalam pengendalian penyakit rabies terutama di Bali. 

Pada lokakarya ini, peserta diajak membahas status penyakit rabies di Bali saat ini, strategi pengendaliannya, serta mengidentifikasi kegiatan lintas sektoral untuk mencapai target pemberantasan rabies global "zero by 2030". Metodologi International Health Regulations dan Performance of Veterinary Services (IHR-PVS) diadaptasi untuk memfasilitasi kolaborasi lintas sektor untuk kegiatan strategis dalam pencegahan dan pengendalian rabies di seluruh wilayah di Bali.

Ada beberapa rekomendasi dan tindak lanjut yang dihasilkan dari kegiatan ini, antara lain pembentukan tim koordinasi pencegahan dan pengendalian zoonosis dan penyakit menular baru (emerging infectious diseases) di Bali, menyusun program tematik penganggulangan rabies, serta mengadopsi hasil lokakarya dalam bentuk roadmap bersama untuk pemberantasan rabies sebagai rencana kerja lintas sektoral di Bali. Sebagai catatan, Indonesia merupakan negara kedua yang menjadi percontohan lokakarya ini selain Ghana. (WF)

PENYAKIT BARU BERMUNCULAN, PERLU TINGKATKAN KEWASPADAAN

Sapi tertular LSD di Provinsi Riau. (Foto: ECTAD Indonesia)

Pasca pandemi COVID-19, globalisasi seakan berjalan kembali setelah hampir dua tahun lalu lintas dunia dihentikan. Dampak negatifnya, dunia peternakan di Indonesia diserang secara bertubi-tubi oleh penyakit lintas batas.

Kewaspadaan dini perlu ditingkatkan kembali mengingat masih banyak penyakit berdampak besar lain yang cepat atau lambat bisa masuk ke Indonesia, salah satunya Avian Influenza (AI) clade baru, juga Rabies yang juga masih ada di sekitar masyarakat. Semuanya adalah penyakit yang memiliki dampak besar, bahkan beberapa diantaranya bersifat zoonotik yang dapat mengancam manusia.

“Re-globalisasi” Pasca COVID-19 dan Munculnya Penyakit Baru
Pandemi COVID-19 telah memberikan keadaan darurat yang belum pernah terjadi sebelumnya dan berdampak serius bagi masyarakat. Setelah dua tahun terjadi, geliat ekonomi kembali muncul dengan dibukanya lagi akses transportasi dengan pelonggaran pembatasan lalu lintas. Artinya, globalisasi berjalan kembali yang dibarengi dengan segala macam dampaknya. Salah satunya adalah masalah kesehatan global.

Ancaman terhadap kesehatan global tidak hanya terjadi pada sektor kesehatan masyarakat saja, namun juga sektor peternakan dan kesehatan hewan. Penyakit hewan lintas batas atau transboundary animal disease menjadi fokus utama karena potensi penyebarannya yang sangat cepat dan luas, serta menyebabkan dampak sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat yang serius.

Dalam lima tahun terakhir, setidaknya ada tiga penyakit lintas batas yang masuk Indonesia... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2023.

Ditulis oleh:
Drh Wahid Fakhri Husein 
Praktisi Manajemen Kesehatan Hewan dan One Health

ZERO ACCIDENT RABIES DI BERAU

Vaksinasi, Upaya Pencegahan Rabies Sejak Dini

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Berau, Totoh Hermanto memastikan Berau tak ada kasus rabies. Namun ia tetap menyarankan pemilik hewan peliharaan agar memberikan vaksin rabies kepada peliharaannya.

Ia mengatakan, penyakit rabies merupakan penyakit cukup berbahaya yang berasal dari gigitan monyet ataupun anjing. Rabies merupakan infeksi virus pada otak dan sistem saraf. Umumnya, virus penyebab rabies menular ke manusia melalui gigitan hewan dan tergolong penyakit berbahaya karena berisiko menyebabkan kematian jika tidak cepat ditangani.

“Jadi belum ada dari manusia ke manusia, penyalurannya melalui perantara, yakni hewan baik anjing maupun monyet,” ujarnya.

Totoh menambahkan, Rabies disebabkan oleh virus yang umumnya ditularkan dari anjing melalui gigitan, cakaran, atau air liur. Selain anjing, hewan yang juga dapat membawa virus rabies dan menularkannya ke manusia antara lain kera, kucing, musang, dan kelinci.

“Pada kasus yang jarang terjadi, penularan virus rabies juga dapat terjadi dari manusia ke manusia, melalui transplantasi organ,” beber Totoh.

Mantan Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Berau ini mengatakan, gejala rabies biasanya muncul sekitar 30–90 hari setelah penderita tergigit hewan yang terinfeksi. Hal ini dapat membuat diagnosis rabies sedikit susah, karena penderita bisa saja lupa telah tergigit atau tercakar hewan rabies.

“Biasanya diawali demam, kesemutan pada bekas luka, dan juga pusing, selain itu juga muncul kram otot, sesak napas, dan halusinasi,” katanya.

Rabies perlu ditangani segera setelah paparan terjadi, meski gejalanya belum muncul. Pengobatan rabies adalah dengan membersihkan luka serta memberikan serum dan vaksin rabies. Tujuannya untuk membantu sistem kekebalan tubuh melawan virus rabies, sehingga infeksi dan peradangan pada otak dapat dicegah.

“Akan tetapi, jika virusnya telah menginfeksi otak, penanganan akan menjadi sulit karena belum diketahui metode yang benar-benar efektif untuk mengatasinya,” pungkasnya.  (INF)

BOCAH 8 TAHUN MENINGGAL DIDUGA DIGIGIT ANJING RABIES

Anjing Yang Terinfeksi Rabies Cenderung Agresif (Ilustrasi)


Rabies lagi - lagi memakan korban jiwa, kali ini korbannya adalah seorang anak  laki-laki berinisial H (8) warga Kaper, Desa Golo Bilas, Kecamatan Komodo Manggarai Barat yang meninggal dunia diduga akibat digigit anjing rabies.

Kejadian ini terjadi pada Rabu 19 Oktober 2022 petang. Ibu korban yang khawatir kemungkinan anjing itu rabies, segera membawa putranya ke Puskesmas Labuan Bajo untuk mendapatkan suntikan serum Anti Rabies.

Setelah disuntik serum anti rabies, korban sempat dibawa pulang ke rumah oleh orang tuanya. Namun tak lama berselang, korban mengalami mual dan wajahnya mengalami pembengkakan.

Orang tua lalu segera melarikan korban ke Rumah Sakit Umum Daerah atau RSUD Komodo Labuan Bajo. Namun nyawa bocah ini tidak bisa diselamatkan dan menghembuskan nafas terakhir.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manggarai Barat siap menindaklanjuti kasus kematian Bocah 8 tahun yang meninggal diduga digigit Anjing Rabies. 

Saat ini Pemkab Manggarai Barat sedang menunggu hasil laporan dari dinas terkait sehingga bisa segera diambil tindakan lebih lanjut. 

"Saya belum mendapat laporan bagaimana kronologi kejadian dari dinas yang bersangkutan, setelah mendapat laporan pastinya pemerintah siap untuk menindaklanjuti, " kata dr Yulianus Weng.

Wabup Yulianus mengaku belum mengetahui pasti apakah anak tersebut benar disuntik Vaksin rabies atau diberi obat lain. 

"Musti jelas apa yang disuntik, apakah misalnya anti sakit, atau ada riwayat gigit anjing dan anaknya belum divaksin anti rabies, atau apa, itu musti jelas, " tegas Wabup. 

"Misalkan kalau benar anak ini divaksin rabies, protapnya seperti kita divaksin covid, yaitu tidak boleh pulang dulu observasi dulu siapa tau tidak cocok dan ada reaksi tubuh, ini harus perlu dicari tau, " tambahnya. 

Wabup lebih lanjut menjelaskan, untuk memastikan bahwa anjing tersebut terpapar rabies atau tidak maka harus diperiksa dulu otaknya. 

"Kalau mau memastikan kalau anjing ini rabies, anjingnya dibunuh otaknya terus diperiksa untuk memastikan rabies atau tidak, dan kita di NTT ini belum ada, adanya di Bali dan Makasar, " jelas dia. (INF)









ARTIKEL POPULER MINGGU INI

ARTIKEL POPULER BULAN INI

ARTIKEL POPULER TAHUN INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer