Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini peternakan ayam | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

TINGKATKAN LABA, PANGKAS RANTAI PEMASARAN DAN BANGUN RPHU MANDIRI

Semakin panjang rantai distribusi atau pemasaran, semakin besar disparitas harga di tingkat peternak dengan harga di konsumen. (Foto: Dok. Infovet)

Lima tahun mengalami kerugian, para peternak mandiri dan peternak rakyat yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Perunggasan Indonesia menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (13/3).

Demikian dilansir dari nasional.kontan.co.id. Lebih lanjut disebutkan bahwa Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Jawa Tengah, Parjuni, menuturkan selama lima tahun ini, perlindungan pemerintah terhadap peternak UMKN tidak ada.

“Sudah lima tahun dari 2017 sampai hari ini. Peternak kecil makin hari makin habis. Ini adalah sisa kekuatan. Kami mengadu di Komnas HAM. Semoga Komnas HAM bisa memberi jalan keluar agar kami bisa bertahan hidup di negeri sendiri. Jangan sampai jadi kacung di negeri sendiri,” kata Parjuni dalam Aksi Damai Peternak Rakyat di Komnas HAM tersebut.

Salah satu langkah mendongkrak harga di tingkat peternak dikeluarkan Peraturan Badan Pangan Nasional No. 5/2022 pada 5 Oktober 2022. Dalam peraturan tersebut tercantum harga acuan daging ayam ras untuk konsumen sebesar Rp 36.750/kg karkas. Sementara harga acuan ayam hidup (live bird) di tingkat peternak untuk batas atas Rp 24.000/kg dan batas bawah Rp22.000/kg. Demikian informasi dari cnbcindonesia.com, Senin (13/3).

Namun, harga ayam ras pedaging per 13 Maret 2023, masih di bawah harga acuan batas bawah, yaitu Rp 20.470/kg. Hal ini menunjukkan bahwa peternak tidak memiliki posisi kuat dalam penetapan harga. Meskipun berada dalam posisi kurang diuntungkan, tak ada pilihan lain bagi peternak kecuali harus menjual ayamnya. Bahkan dalam beberapa kasus, ayam tetap harus dijual meskipun di bawah harga pokok produksi (HPP) alias jual rugi.

Oleh karena bersifat livestock, menahan ayam bukan menjadi sebuah solusi. Semakin lama dipelihara, biaya operasional pemeliharaan akan bertambah, misalnya dari penambahan biaya pakan dan perawatan.

Memahami Sistem Agribisnis Ayam Pedaging
Berbicara soal keuntungan usaha dalam sistem agribisnis ayam pedaging memang tidak bisa berdiri sendiri. Hal ini disebabkan sistem agribisnis perunggasan terdiri dari beberapa subsistem yang saling terkait. Dalam prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UGM, 2016 silam, dengan judul Analisis Rantai Pasok dan Distribusi Ayam Pedaging, Ratna Purwaningsih dkk. mengutip pendapat Saragih dan Tanjung yang mengatakan bahwa sistem agribisnis peternakan dapat dipetakan menjadi beberapa subsistem. Selain itu, terdapat pula beberapa kelompok mata rantai pasok di dalamnya.

Setidaknya, terdapat lima subsistem dalam sistem agribisnis ayam pedaging, yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem budi daya, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran dan subsistem jasa penunjang.

Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm) adalah bisnis pendukung usaha budi daya yang menjadi input untuk usaha produksi peternakan. Beberapa pelaku usaha dalam subsistem yaitu perusahaan penyuplai bibit (DOC), penyuplai pakan ternak, penyuplai vaksin dan obat, serta penyuplai peralatan peternakan.

Pada subsistem peternakan (on farm), terdapat tiga pelaku usaha produksi. Ketiganya yaitu perusahaan peternakan besar (company farm), peternak kemitraan atau plasma dan peternak mandiri.

Adapun yang termasuk dalam subsistem pengolahan dalam rantai pasok ayam pedaging adalah rumah pemotongan hewan unggas (RPHU). Sementara subsistem pemasaran mencakup kegiatan distribusi oleh pengepul dan penjualan pada rumah makan, pedagang pengecer dan supermarket. Pada subsistem pemasaran inilah harga ayam pada tingkat konsumen terbentuk.

Subsistem jasa penunjang sendiri terdiri dari beragam fungsi seperti fungsi regulasi oleh dinas terkait, fungsi penelitian oleh Litbang Pertanian dan Perguruan Tinggi, fungsi penyuluhan oleh penyuluh dinas maupun swasta, fungsi informasi oleh media dan komunikasi personal, fungsi pengadaan modal usaha, fungsi pasar dan beragam fungsi lainnya.

Semakin Panjang Rantai Pemasaran, Semakin Besar Disparitas Harga
Menurut Ratna Purwaningsih, pedagang perantara dalam pemasaran ayam antara lain adalah broker, bakul dan lapak. Broker merupakan bakul besar dengan omset tertentu yang mendistribusikan penjualannya pada bakul lain berdasarkan delivery order. Dengan kata lain, broker tidak menjual ayamnya dengan menggunakan transportasi sendiri. Broker menyediakan modal besar untuk membeli ayam dari peternak. Modal tersebut akan kembali setelah bakul melakukan pembayaran order pada broker dari hasil penjualan ayamnya pada lapak.

Adapun bakul adalah pedagang perantara yang mengunakan modal transportasi sendiri untuk mengambil ayam hidup dari peternak (dari kandang atau farm) atau dari broker dalam jumlah yang besar. Sementara lapak adalah pedagang akhir di pasar yang menjual ayam pedaging dalam bentuk karkas pada konsumen. Karkas merupakan bagian bagian daging ayam beserta tulangnya, tanpa darah, bulu, kepala, kaki dan organ dalam.

Berdasarkan observasi yang dilakukan Ratna, ada tiga skema pemasaran daging ayam. Namun, skema yang akan dibahas dalam artikel ini adalah skema yang pertama, terdiri dari lima pelaku usaha, yaitu peternak, broker, bakul, lapak (pemotong) dan konsumen. Pada skema ini, peternak menjual ayam hidup pada broker. Kemudian, broker mendistribusikan ayam hidup pada bakul. Selanjutnya, bakul akan menjual kembali ayam hidupnya ke lapak. Di lapak atau pedagang akhir di pasar, ayam akan melewati proses pemotongan dan pembersihan dari darah, bulu, kepala, kaki dan organ dalam. Hasil akhir berupa karkas dijual pada konsumen akhir.

Adapun pembentukan harga yang terjadi yaitu ayam dengan bobot hidup 1,9 kg di tingkat peternak dibeli broker dengan harga Rp 15.000/kg. Selanjutnya, broker menjual ayam tersebut kepada bakul dengan mengambil laba sebesar Rp 200/kg. Dengan begitu, bakul mendapat harga Rp 15.200/kg dari broker. Kemudian bakul menjual ayam ke lapak pemotong dengan harga Rp 16.600/kg. Terdapat selisih harga sebesar Rp 1.400/kg, dengan rincian Rp 300/kg untuk biaya kendaraan dan Rp 1.100/kg untuk laba bakul.

Di lapak pemotongan, ayam dijual kembali dalam bentuk karkas dengan harga Rp 30.000/kg. Rincian penentuan harga tersebut sebagai berikut. Pertama, penentuan harga karkas. Dengan asumsi karkas 72%, harga karkas diperoleh dari membagi harga pembelian ayam dengan persentase karkas, yaitu Rp 16.600 : 0,72. Dengan begitu, diperoleh harga karkas Rp 23.000/kg. Selanjutnya, penentuan harga akhir karkas dengan menambahkan ongkos potong sebesar Rp 1.000/kg, biaya operasional Rp 5.000/kg dan laba untuk lapak pemotongan sebesar Rp 2.000/kg. Jadi, total harga karkas ayam yang dilepas ke pembeli selanjutnya adalah Rp 30.000/kg.

Bisa dibayangkan, bagaimana jika rantai pemasarannya lebih panjang lagi? Tentu saja, harga ke konsumen akan menjadi lebih mahal. Lantas, bagaimana jika harga konsumen dibatasi dengan harga batas atas atau tertinggi? Jawabannya sangat mudah. Jika selisih harga tidak bisa menekan ke atas, ia akan menekan ke bawah. Artinya, harga di tingkat peternak akan mendapat tekanan sampai tingkat paling rendah yang bisa diperoleh pedagang.

Pangkas Rantai Pemasaran, Perbanyak RPHU
Melihat subsistem budi daya yang berada diantara input produksi dan pemasaran memang serba sulit. Di satu sisi, peternak dihadapkan dengan biaya input produksi yang bisa naik setiap saat. Sementara di sisi lain, peternak menghadapi fluktuasi harga yang terkadang membawa untung dan terkadang membuat buntung. Namun, bukan berarti masalah yang ada tanpa solusi.

Dalam presentasinya berjudul Kinerja Bisnis Pembibitan Unggas 2022 dan Prospek Bisnis 2023 di Jawa Timur, Surabaya, Rabu (14/12), Ketua Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU), Achmad Dawami, mengatakan bahwa solusi mengatasi persoalan harga yaitu memperpendek rantai distribusi.

Pola utama distribusi ayam ras pedaging di Jawa Timur, yaitu dari produsen ke distributor, kemudian dari distributor ke pedagang eceran dan berakhir di konsumen. Dari produsen dan distributor, ayam masih dalam keadaan hidup (live bird). Sementara pemotongan dilakukan oleh pedagang eceran dan sampai ke konsumen dalam bentuk karkas.

Terdapat juga pola lain yang lebih panjang. Pada pola ini, produsen menjual ayam hidup kepada distributor, lalu distributor ke subdistributor. Kemudian dari subdistributor ke agen, dari agen ke pedagang eceran dan berakhir di konsumen. “Harus sedekat mungkin. Kalau yang paling ideal itu dari farm menuju RPA (rumah pemotongan ayam), lalu ke konsumen,” kata Dawami.

Semakin panjang rantai distribusi atau pemasaran, semakin besar disparitas atau kesenjangan antara harga di tingkat peternak dengan harga di tingkat konsumen. Dengan memperpendek rantai pemasaran, harga di tingkat peternak pun bisa diharapkan lebih menguntungkan.

Jika kondisi ideal dapat dicapai, ada selisih harga yang bisa dinikmati para peternak. Jika awalnya harga ditingkat peternak Rp 15.000/kg, peternak bisa mendapatkan harga Rp 16.600/kg dengan laba Rp 1.100/kg. Lantas, bagaimana jika peternak membangun sendiri usaha RPHU untuk peternakannya? Ada tambahan laba lagi sebesar Rp 2.000/kg.

No Pain, No Gain
Untuk mendapatkan tambahan laba atau keuntungan tentu membutuhkan usaha yang lebih dibanding pasrah pada nasib. Artinya, peternak perlu menyadari kondisi saat ini dan segera beradaptasi dengan kompetisi yang terjadi.

Memperpendek rantai pemasaran bisa mendatangkan laba tambahan bagi peternak. Namun, keterbatasan unit RPHU dapat menjadi kendala. Kecepatan potong RPHU tentu akan berpengaruh pada jadwal panen.

Dalam presentasinya, Achmad Dawami menampilkan data hasil survei yang menunjukkan bahwa secara nasional terdapat RPHU sebanyak 316 unit. Jumlah RPHU yang beroperasi sebanyak 268 unit dan unit yang memiliki NKV sebanyak 139 unit. Berdasarkan data dari 19 RPHU, yang terdiri dari 12 perusahaan pembibit dan tujuh perusahaan lainnya diperoleh informasi kapasitas potong sebanyak 183.188 ekor/jam. Sementara kapasitas cold storage sebanyak 42.352 ton.

Untuk mengatasi kendala keterbatasan RPHU yang ada, peternak dapat mengadakan RPHU sendiri untuk usaha peternakannya. Di setiap skala usaha peternakan, tempat pemotongan ayam memungkinkan untuk dibuat. Tentu saja, dengan skala teknologi yang sesuai dengan kapasitas produksi ayam. Untuk peternakan kecil skala UKM, pemotongan dapat dilakukan manual dengan tenaga manusia. Namun, semakin besar kapasitas produksi, semakin besar pula kebutuhan alat dan teknologi yang dibutuhkan.

Apakah dengan menambah RPHU sudah cukup? Ternyata tidak. Dibutuhkan usaha lain, yaitu kegiatan pemasaran. Wajar, karena untuk mendapatkan laba lebih, peternak harus mengambil alih pekerjaan dari bakul dan lapak pemotongan.

Membangun pasar konsumen yang selama ini dilakukan lapak pemotongan atau RPHU lain, kini harus diambil alih. Peternak perlu menambah modal untuk pengadaan alat dan SDM, sekaligus menambah wawasan tentang kualitas karkas ayam yang dihasikan terkait dengan ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal).

Di samping itu, peternak juga perlu memahami model pemasaran konvensional dan digital. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan daya serap pasar. Semakin pendek rantai pemasaran dan distribusi, semakin besar potensi laba yang bisa diperoleh.

Every problem has a solution. You just have to be creative enough to find it,” papar Dawami menyitir perkataan dari Travis Kalanick. Setiap masalah memiliki solusi, hanya perlu cukup kreatif untuk menemukannya. Di akhir presentasinya, Dawami juga menyitir sebuah ayat dalam Al Quran, yaitu Surat Al Insyirah 5 dan 6, yang berbunyi, “Karena sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (RA)

AGAR KEAMANAN DAN KUALITAS PAKAN SENANTIASA TERJAGA

Penyimpanan pakan menentukan kualitasnya. (Foto: Istimewa)

Selain menjadi tanggung jawab produsen, keamanan dan kualitas pakan juga harus diupayakan oleh semua mata rantai yang terlibat, tentunya pakan berkualitas merupakan idaman bagi semua stakeholder.

Iklim vs Kualitas
Kualitas pakan juga bergantung pada lingkungan, hal ini karena lingkungan dapat memengaruhi kualitas dari suatu bahan baku pakan. Contoh keadaan iklim dan musim, dikala musim penghujan tiba, produsen biasanya ketar-ketir dengan kualitas beberapa bahan baku yang cenderung tercemar mikotoksin yang tinggi.

Hal tersebut diungkapkan Nutrisionis PT Farmsco Feed Indonesia, Intan Nursiam. Ketika kelembapan cenderung tinggi dan terjadi penurunan suhu, hal tersebut akan memengaruhi kadar air suatu bahan pakan. Setiap bahan pakan memiliki standar mutu level kadar air, namun selama penyimpanan, level kadar air bahan pakan tidak selalu konstan.

Air di dalam bahan pakan dan udara saling membentuk keseimbangan, yang disebut juga dengan Equilibrium Moisture Content (EMC). Oleh karena itu, selama penyimpanan agar kadar air selalu terjaga tidak mencapai level yang bisa membuat tumbuhnya mikroorganisme penyebab kerusakan, maka perlu dijaga kelembapan udara di tempat penyimpanannya.

“Oleh karena itu, dalam memilih bahan baku misalnya jagung, kita juga mempertimbangkan kadar air yang terkandung di dalamnya, ini akan memengaruhi kualitas dari bahan baku itu sendiri. Formulator dan nutrisionis harus pintar menyiasatinya,” kata Intan.

Bisa diambil contoh untuk jagung, apabila disimpan biasa saja pada musim penghujan (biasanya kelembapan mencapai 80%) maka kadar air bahan pakan akan menjadi 15.6%. Bila kondisi ini dibiarkan, maka akan berisiko meningkatnya pertumbuhan jamur. Agar hal tersebut tidak terjadi, maka kelembapan lingkungan perlu diatur supaya lebih rendah (di level 60-65%) supaya kadar air jagung menjadi lebih rendah (di bawah 14%).

Memanfaatkan Data dan Jaringan
Sebelum memilih bahan baku pakan terutama… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2023. (CR)

MENJAGA KUALITAS PAKAN

Pakan harus bisa memenuhi kebutuhan ayam untuk berproduksi dengan optimal, baik dari segi kualitas dan kuantitas. (Sumber: allaboutfeed.net)

Pakan menjadi komponen usaha peternakan sangat penting. Menduduki biaya tertinggi dalam usaha peternakan, mencapai 75-85%. Pakan yang berkualitas sangat menentukan pencapaian performa ayam yang optimal, baik pertumbuhan daging maupun produksi telur.

Pakan harus bisa memenuhi kebutuhan ayam untuk berproduksi dengan optimal, baik dari segi kualitas dan kuantitas (feed intake). Kontrol kualitas pakan harus dilakukan dengan tepat dan ketat, mulai dari penerimaan bahan baku, proses produksi (penggilingan sampai pencampuran) sampai pengemasan dan distribusi ke lokasi peternakan.

Kontrol Kualitas Pakan dengan Tepat dan Ketat
Pakan yang dibeli maupun yang diformulasikan sendiri (self mixing) harus melalui tahapan kontrol kualitas saat datang di kandang. Perlu adanya personel khusus yang ditugaskan untuk mengecek kualitas pakan maupun bahan baku pakan yang diterima. Kontrol kualitas yang bisa dilakukan antara lain:

• Kontrol kualitas fisik dan sensorik. Mudah dilakukan karena menggunakan panca indera. Penglihatan bisa mengidentifikasi warna, tekstur, bentuk partikel maupun adanya kontaminasi bahan lainnya. Indera pendengaran bisa mendengarkan suara biji-bijian untuk memprediksikan tingkat kekeringannya. Hidung bisa mengecek aroma dari pakan maupun bahan baku. Pengukuran bulk density (berat bahan baku atau pakan per satuan volume) juga bisa dilakukan sebagai kontrol kualitas fisik.

Agar kontrol kualitas fisik dan sensorik ini optimal, maka perlu adanya sampel pertinggal dari masing-masing bahan baku atau pakan yang digunakan sebelumnya. Tujuannya agar bisa menjadi pembanding atau standar untuk pengecekan bahan baku atau pakan yang akan diterima. Sampel pertinggal ini bisa disimpan dalam wadah plastik maupun kaca sehingga mampu menjaga kualitasnya.

• Kontrol kualitas... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2023.

Ditulis oleh:
Hindro Setyawan SPt
Technical Support-Research and Development
PT Mensana Aneka Satwa

MEMUTUS “LINGKARAN SIPUT” PERUNGGASAN

Bambang Suharno
Gejolak perunggasan nyaris tak kunjung berhenti, meskipun sudah  banyak upaya untuk mengatasinya. Bahkan sejak sebelum pandemi, peternak unggas khususnya peternak broiler nyaris belum sempat menikmati yang namanya laba usaha. Gejolak yang dihadapi peternak mandiri semakin besar. Jika pada era 90-an peternak berteriak karena rugi beberapa periode produksi, kini yang terjadi mereka mengalami kerugian lebih dari setahun, sehingga jumlah pelaku usaha mandiri/rakyat disinyalir semakin sedikit.

Kejadian ini sudah pernah diramalkan Dr Drh Soehadji (Dirjen Peternakan 1986-1994). Ia menyebut, masalah gejolak harga di perunggasan ini adalah masalah klasik yang berputar dan berulang yang digambarkan sebagai “lingkaran siput”. Dimulai dari harga melonjak karena kekurangan pasokan, disusul penambahan populasi oleh pelaku usaha, lalu terjadi kelebihan pasokan (oversupply) yang membuat harga jatuh. Selanjutnya dilakukan pengurangan investasi secara alami, yang kemudian menyebabkan harga naik lagi dan seterusnya berputar berulang-ulang, makin membesar dan membesar, seperti lingkaran siput.

Bisa kita bayangkan, pada 1990-an, populasi ayam sekitar 800 juta ekor, tahun ini diperkirakan lebih 3 miliar ekor. Gejolak akibat fluktuasi harga pastinya jauh lebih dashyat dibanding fluktuasi pada 1990-an. Apalagi jika kondisi harga jatuh berlangsung berbulan-bulan. Total kerugian yang diderita peternak dan perusahaan sarana produksi ternak mencapai puluhan triliun rupiah.

Siput dalam terminologi yang digunakan Soehadji bukan hanya bermakna gejolak yang semakin membesar, tapi juga sebagai singkatan dari “Selalu Itu Permasalahannya Untuk Tuduh-tuduhan.” Soehadji melihat permasalahan yang disampaikan peternak dan pihak lainnya dari tahun ke tahun itu-itu saja alias nyaris sama, antara lain perlunya perlindungan untuk peternak mandiri/rakyat, perbaikan tata niaga ayam, serta data perunggasan yang perlu diperbaiki agar akurat untuk mengambil keputusan.

Apa yang disampaikan Soehadji tentang “selalu itu permasalahannya” masih relevan hingga sekarang. Dalam siaran pers yang dirilis Sekretariat Bersama Asosiasi Perunggasan pada Maret 2023, disebutkan beberapa tuntutan yang diajukan antara lain perbaikan data perunggasan, keberpihakan pemerintah terhadap peternak mandiri/rakyat, serta perbaikan tata niaga perunggasan agar mereka bisa menjalankan usaha secara normal.

Bedanya dulu tuntutan lebih sering ditujukan ke Kementerian Pertanian (Kementan), kini karena banyak lembaga mengurus perunggasan, yang dituntut selain Kementan, juga Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Badan Pangan Nasional (Bapanas). Selain itu juga turut ditambah permintaan peternak ke Komnas HAM agar memanggil kementerian tersebut untuk menelusuri apakah ada pelanggaran HAM dalam kebijakan perunggasan.

Jika selama 30 tahun peternak menuntut hal yang sama, kita bisa menyimpulkan bahwa masalah yang sama belum dapat diatasi meskipun pemerintah sudah berganti pemimpin dan undang-undang juga sudah direvisi.

Memutus Lingkaran Siput
Pada negara yang pasarnya didominasi penjualan live bird (ayam hidup), campur tangan pemerintah sangat diperlukan. Hal ini karena produk peternakan mudah rusak. Kecepatan distribusi dan keseimbangan supply-demand menjadi faktor penting penentu untung dan rugi peternak. Oleh karena itu, perlu manajemen pasokan di hulu dan pengurangan penjualan ayam hidup di bagian hilir. Jika dua hal ini saja bisa dikelola dengan baik, setidaknya gejolak akan berkurang.

Integrator 100%
Perihal manajemen pasokan yang artinya mengatur jumlah impor GPS (Grand Parent Stock) agar sesuai perkembangan permintaan pasar, telah dibahas di berbagai forum. Ada yang pro terhadap pengaturan kuota, ada juga yang menuntut pembebasan kuota impor. Intinya mau dibebaskan atau dengan model kuota, tetap perlu ada mekanisme kontrol agar pasokan sesuai pergerakan permintaan. Selain itu perlu juga ada jaminan bahwa peternak mandiri selalu mendapatkan pasokan bibit sesuai kebutuhan.

Ada suara dari beberapa pihak agar integrator berhenti melakukan budi daya sehingga pasar ayam hidup menjadi hak peternak mandiri/rakyat. Secara umum pengertian integrator adalah usaha dari hulu (pembibitan) hingga hilir (pasca panen). Ini artinya integrator beserta grup kemitraannya mestinya tidak menjual ayam hidup. Kalau perusahaan yang disebut integrator masih menjual ayam hidup, maka perusahaan itu belum disebut integrator. Istilah ini menjadi salah kaprah. Jika integrator tidak boleh budi daya artinya mereka juga tidak bisa disebut integrator. Demikian juga yang saat ini disebut integrator, jika mayoritas ayamnya dijual dalam bentuk live bird, juga bisa disebut sebagai integrator “setengah matang.” Faktanya memang mereka sudah terlanjur disebut sebagai integrator.

Jika pemerintah mewajibkan perusahaan yang sekarang disebut integrator itu menjadi integrator 100%, maka penjualan ayam hidup otomatis hanya milik peternak mandiri/rakyat. Setidaknya dengan cara ini tidak ada “pertandingan tinju yang beda kelas di ring yang sama.”

Patut dicatat, dari 3 miliar ekor ayam yang diproduksi Indonesia, yang dijual sebagai ayam beku diperkirakan baru sekitar 20% saja. Ini membuktikan yang disebut integrator itu masih menjadi integrator semu, belum 100%.

Ekspor dan Kampanye Gizi
Selama ini program yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi oversupply adalah dengan melakukan pemangkasan telur tetas, afkir dini PS (Parent Stock) dan upaya pemangkasan produksi yang lain. Sementara itu menjaga keseimbangan pasokan dalam negeri dengan melakukan ekspor belum secara nyata dilakukan. Ada program gerakan tiga kali ekspor oleh Kementan tapi fokusnya lebih ke peningkatan devisa negara, bukan stabilisasi harga.

Ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Perancis beberapa tahun lalu, tatkala oversupply produksi susu sapi akibat embargo ke Rusia, pemerintah setempat membeli susu milik peternak dan melakukan ekspor ke negara berkembang, baik sebagai bantuan kemanusian maupun aktivitas lainnya.

Sementara itu, pemerintah juga perlu memanfaatkan dana APBN untuk kampanye konsumsi ayam dan telur. Masih ada ruang untuk meningkatkan konsumsi ayam dan telur sebesar dua kali lipat dari sekarang, karena kita melihat konsumsi rokok masyarakat Indonesia sangat tinggi, sekitar 4.000 batang rokok/orang/tahun, sementara konsumsi ayam hanya 13 kg/kapita/tahun dan konsumsi telur hanya 150 butir/kapita/tahun. Jika konsumsi naik dua kali lipat saja, bisnis perunggasan akan menciptakan jutaan tenaga kerja baru sekaligus usaha perunggasan akan semakin bergairah.

Pada 2011 lalu Menteri Pertanian, Suswono, mencanangkan Hari Ayam dan Telur Nasional (HATN) yang diinisiasi oleh 14 asosiasi perunggasan. Pencanangan ini sebagai upaya mempercepat peningkatkan konsumsi ayam dan telur. Sayangnya, kegiatan kampanye ayam dan telur ini dijalankan sendiri oleh para peternak dan asosiasi perunggasan. Belum ada dukungan nyata dari pemerintah untuk mendongkrak konsumsi ayam dan telur agar tidak terpaut jauh dengan konsumsi negara tetangga. Padahal Kementerian Perikanan dan Kelautan memiliki program gemar makan ikan (Gemarikan), dengan tim yang lengkap dari pemerintah pusat hingga daerah, sehingga konsumsi ikan secara nyata mengalami pertumbuhan lebih cepat dibanding konsumsi ayam dan telur.

Kemitraan, Jembatan Menuju Mandiri
Pola kemitraan sudah dikembangkan sejak era 80-an, tujuannya agar peternak kecil bermitra setelah semakin besar bisa berdiri sendiri. Ini tujuan ideal, yang ternyata dalam implementasi bisnis terjadi kebalikannya. Peternak mandiri yang tidak kuat akhirnya berhenti atau melanjutkan sebagai mitra perusahaan lain. Jika itu yang terus terjadi berarti pola kemitraan yang berkembang tidak sesuai tujuan awal dikembangkannya kemitraan, dan jumlah peternak mandiri semakin sedikit.

Program untuk menjadikan lebih banyak peternak tangguh dan mandiri layak kita gaungkan, agar peta bisnis perunggasan menjadi lebih sehat dan kondusif. Jika itu dilakukan, lingkaran siput sudah terputus dan tak ada lagi ungkapan “selalu itu permasalahannya untuk tuduh-tuduhan.” ***

Ditulis oleh: 
Bambang Suharno, GITA Consultant, Pengamat Peternakan

MEMURNIKAN AIR HUJAN AGAR DIGUNAKAN DI PETERNAKAN

Ayam juga memerlukan air minum yang berkualitas untuk menghasilkan protein hewani berupa daging. (Foto: Istimewa)

Setiap periode pemeliharaan ayam menggunakan cukup banyak air untuk minum maupun membersihkan kandang. Sering kali air yang digunakan adalah air tanah. Untuk wilayah dengan air berlimpah seperti Indonesia, hal itu tidak menjadi masalah.

Tapi bagaimana dengan daerah yang sulit mendapatkan air? Atau jika suatu saat ketersediaan air tanah di suatu daerah menipis? Berpaling pada sumber air yang berkelanjutan adalah solusi yang baik, yaitu air hujan. Melansir dari situs poultryworld.net, Kamis (26/1), berikut ulasannya.

Proyek Inovasi Penghematan Air
Experimental Poultry Centre (EPC) di Belgia telah mengarahkan fokus penelitiannya pada penggunaan air hujan sebagai air minum untuk ayam pedaging. Di bawah program pendanaan Eropa LIFE, EPC akan mendemonstrasikan tiga inovasi penghematan air yang berbeda selama periode lima tahun.

Di EPC konsorsium perusahaan, lembaga dan pemerintah daerah bekerja sama dalam skema LIFE Aclima. Proyek ini terdiri dari tiga bagian yaitu pemantauan konsumsi air selama pendinginan, pemurnian air hujan sehingga dapat digunakan sebagai air minum unggas, serta penggunaan air bersih secara sirkuler di kandang broiler melalui penggunaan pengolahan air secara biologis.

LIFE Aclima dimulai pada 1 Juli 2021 dan proyek akan berlangsung selama lima tahun, berakhir pada 1 Juli 2026. EPC adalah lembaga penelitian unggas terbesar di Belgia dan memiliki total 36.000 ayam petelur Isa Brown dan Dekalb White dan 42.000 ayam pedaging Ross 308, yang dibagi menjadi berbagai kelompok eksperimen dan di sistem perkandangan yang berbeda.

Peneliti EPC di Geel, Belgia, Peter Bleyen, menjelaskan bahwa tujuan LIFE Aclima adalah membuat sektor pertanian lebih tangguh dan fleksibel dalam penggunaan air. Bleyen terlibat dalam proyek ini bersama rekannya Neil van den Broeck.

Pendinginan Suhu di Kandang
Bagian pertama dari LIFE Aclima adalah tentang pendinginan suhu di kandang unggas. Bleyen mengatakan, “Kami telah memasang pad cooling dan cooling melalui atomisasi, yang dikenal sebagai spray cooling. Hanya spray cooling yang dipasang di kandang layer, sedangkan kedua sistem dipasang di kandang broiler.”

Penelitian sedang dilakukan antara lain untuk memantau penggunaan air dari dua sistem pendingin dan untuk memvisualisasikan aliran air yang berbeda di kandang unggas. Bleyen menambahkan, “Selain itu, dengan mendinginkan kandang Anda juga dapat memastikan bahwa unggas minum lebih sedikit, sehingga Anda juga membutuhkan lebih sedikit air minum berkualitas tinggi. Kami memasukkan ini ke dalam data pemantauan kami.”

Pemurnian Air Hujan
Tujuan penelitian kedua adalah untuk memverifikasi apakah air hujan dapat dimurnikan menjadi air minum untuk unggas. “Keuntungan besar dari air hujan adalah sifatnya yang berkelanjutan. Saat ini, air tanah adalah sumber air utama untuk peternakan unggas di Flanders. Cadangan air tanah di wilayah ini semakin menipis dan isi ulangnya melambat. Oleh karena itu, di Flanders bisnis pertanian baru wajib memasang penyimpanan air hujan, sehingga air hujan tersedia untuk berbagai aplikasi,” jelas Bleyen.

EPC memiliki 173 m3 penyimpanan air bawah tanah. Air hujan dari cekungan bawah tanah dimurnikan menggunakan teknik yang berbeda hingga memenuhi standar air minum untuk unggas.

Untuk dapat menjernihkan air hujan, EPC memasang dua sistem penjernihan air yaitu nano ultrafiltration (NUF) dan teknik penjernihan dengan berbagai langkah. Sistem NUF menggunakan filter dialisis ginjal yang sebelumnya digunakan di rumah sakit. Prinsip kerjanya seperti mesin cuci darah.

 “Berkelanjutannya lagi, karena filter ini masih bekerja dengan baik setelah digunakan. Filter menghilangkan 100% partikel yang lebih besar dari 0,03 mikron. Air hujan dipompa dari cekungan bawah tanah ke bejana penyangga berukuran 300 liter. Dari sana dipompa melalui filter NUF dan disimpan lagi di bejana penyangga lainnya,” ujarnya.

Teknik pemurnian lainnya terdiri dari proses filtrasi, UV treatment, disinfeksi, penyaringan pasir, penyaringan karbon, disinfeksi berikutnya dan terakhir UV treatment lainnya. Pengaturan eksperimental dengan dua metode pemurnian, kata Blayen, sudah mulai beroperasi.

“Pertama-tama kami akan melakukan uji coba dengan kedua teknik tersebut sebelum kami memberikan air hujan yang telah dimurnikan kepada ternak. Kami ingin mendapatkan hasil analisis yang memadai. Jika kami dapat menjamin kualitas air yang berkelanjutan, kami akan memulai uji coba yang sebenarnya tahun depan,” ucap dia.

Dalam uji coba yang sebenarnya, air hujan yang dimurnikan dan air ledeng akan digunakan sebagai air minum untuk unggas dengan efek kesehatan dan performa teknis yang dianalisis.

Air Adalah Isu global
Bleyen dan Neil mencatat bahwa kecukupan air dengan kualitas yang baik untuk semua jenis keperluan adalah masalah dunia, dengan penekanan pada kualitas air yang baik. Besi terlarut dan polusi dalam air tanah dan air permukaan tampaknya menjadi isu dunia.

Neil berkata, “Keunggulan air hujan adalah tidak mengandung mineral terlarut seperti magnesium, kalsium atau besi. Jika Anda dapat membersihkan air dari polutan dan patogen lain, Anda akan mendapatkan sumber air minum yang cocok untuk unggas.”

Tahun depan, air hujan murni akan dialirkan ke ayam petelur dan ayam pedaging EPC. Neil menjelaskan bahwa mereka akan mengevaluasi efisiensi dan kualitas hasil metode pemurnian.

Teknik pemurnian termurah juga akan diidentifikasi, tetapi para peneliti sadar bahwa peternak unggas pada akhirnya akan memutuskan metode mana yang paling hemat biaya.

Proyek LIFE Aclima juga memperhitungkan fakta bahwa penelitian ini mencakup dua kelompok hewan, ayam pedaging dan petelur. “Broiler sangat sensitif terhadap kontaminasi mikroba pada fase awal kehidupan mereka. Sebaliknya, siklus produksi ayam petelur dapat bertahan hingga sekitar 80 minggu yang membutuhkan aliran air minum yang lebih kontinu dan konstan,” kata Neil.

Para peneliti tidak mempertimbangkan hal ini secara khusus saat memilih teknik pemurnian untuk setiap kelompok hewan. Tetapi Bleyen mencatat bahwa mungkin metode pemurnian tertentu lebih cocok untuk kelompok hewan tertentu daripada yang lain.

Penggunaan Air Bersih Secara Sirkular
Area ketiga dari proyek LIFE Aclima di EPC adalah penggunaan air bersih secara sirkular dari kandang broiler. Untuk melakukan ini, air yang digunakan untuk membersihkan kandang dikumpulkan di reservoir bawah tanah.

“Kami masih bekerja untuk memasangnya dan memulainya, tetapi segera setelah pabrik pengolahan air biologis siap, kami dapat mulai memurnikan gelombang pertama air bersih,” ucap Bleyen.

EPC sedang mengerjakan ini bersama dengan perusahaan Belgia BelleAqua dari Wuustwezel. Setelah dibersihkan, air digunakan kembali untuk membersihkan kandang-kandang di EPC. Bagian dari proyek ini akan memakan waktu lima tahun dan waktu itu akan digunakan untuk mengoptimalkan semuanya. (NDV)

SUDAH SAATNYA PETERNAK MANDIRI BERTRANSFORMASI

Disarankan agar peternak membangun hilirnya dahulu meskipun dalam skala kecil. (Foto: Shutterstock)

Peternak broiler mandiri sering menghadapi berbagai permasalahan. Bagaimana caranya agar bisnis ayam pedaging bisa memberikan keuntungan yang layak dan stabil untuk mereka? Infovet mewawancara Nurul Ikhwan, peternak ayam asal Tasikmalaya, yang mempunyai ide-ide menarik untuk memperbaiki profit peternak mandiri.

Efisiensi Peternakan Mandiri, Memungkinkan?
“Efisiensi dari sisi biaya kadang kita tidak bisa mengendalikan misalnya ABK, upah, UMR. Harga yang menentukan pihak ketiga kecuali kita seperti perusahaan besar, dimana integrasi mereka sudah sempurna, sangat mampu untuk menekan itu semua,” kata Nurul Ikhwan yang kerap disapa Iwang ini.

Iwang mengatakan, solusi untuk peternak mandiri adalah dengan mengoptimalkan IP. Ada korelasi antara IP dengan FCR dan deplesi. Kuncinya adalah menekan FCR di angka 1,4, angka yang ideal dan masuk akal karena akan agak sulit jika menargetkan FCR di bawah 1,4.

Gangguan Eksternal
Peternak mandiri dihadapkan pada kemungkinan adanya gangguan eksternal. Misalnya pencurian, demo warga, binatang buas pemangsa, banjir dan lainnya. Menurut Iwang, hal tersebut bisa dicegah dengan cara sebelum membuka peternakan di sebuah kawasan dilakukan kajian keilmuan, peraturan dan sosial masyarakat.

Ada beberapa gangguan eksternal yang timbul jika tidak dilakukan kajian keilmuan. Seperti struktur lahan yang ternyata tidak cocok, transportasi sulit, termasuk daerah yang rawan banjir dan masih banyaknya binatang liar yang bisa mengganggu. “Setiap daerah mempunyai peraturan kawasan mana yang masuk area peternakan, perkebunan, pemukiman dan sebagainya,” kata Iwang.

“Ketika kita sudah memenuhi semua peraturan dan persyaratan di daerah tersebut dan sampai keluar izin, itu berarti sudah ditempuh analisis risikonya dari SKPD atau Satuan Kerja Perangkat Daerah.”

Kemudian perlu dilakukan juga kajian sosial masyarakat dengan melakukan pendekatan sebelum kandang mulai dibangun, atau bahkan sebelum tanah dibeli. Jelaskan dengan baik pada warga sekitar bagaimana dampak positif dan negatifnya dengan keberadaan peternakan untuk lingkungan mereka.

Perlu ada komitmen dengan warga tentang dampak positifnya. Bisa dengan memberikan kompensasi lingkungan, keterlibatan masyarakat sebagai tenaga kerja, sehingga sedikit banyak warga merasa ikut memiliki usaha peternakan.

Masalah eksternal tetap akan ada, namun jika pencegahannya sudah diterapkan dengan baik maka masalah yang akan datang tidak akan signifikan. Penyelesaiannya relatif mudah dan bisa didiskusikan dengan baik.

Pencatatan Keuangan
Pencatatan keuangan yang baik untuk sebuah usaha adalah hal yang wajib dilakukan. “Kami membangun sebuah usaha walaupun skalanya UMKM, pencatatan keuangan itu perlu. Solusinya merekrut yang paham accounting dan tax, serta kita pun harus mengerti tentang pembukuan meskipun tidak menguasai,” terang Iwang.

Menurutnya, jika diperlukan bisa juga memakai jasa konsultan, supaya bisa menentukan kebijakan dengan lebih baik. Untuk pencatatan bisa menggunakan Microsoft Excel yang sudah mencukupi untuk usaha peternakan mandiri.

Penyebab Penundaan Panen
Terkadang peternak terpaksa menunda panen. Iwang mengatakan, kebanyakan peternak mandiri menghasilkan dan menjual live bird. Ketika live bird dikeluarkan ke pasaran akan berlaku hukum pasar. Jika harga pasar tidak sesuai HPP, peternak bisa enggan dan menunda panen sehingga harus mengeluarkan cost tambahan.

“Kalau di atas HPP semua orang tidak akan menunda, karena pakan yang dimakan ayam ketika panen ditunda akan menambah biaya. Penundaan panen karena peternak menjualnya live bird, karena lebih gampang dijual, kalau harus memotong dulu di-add value itu perlu cost. Modal peternak terbatas, ketika besar dan kecil sama-sama keluar di situ terjadi ketidaksesuaian harga,” katanya.

Ketua Koperasi Peternak Milenial Jawa Barat ini mencoba menawarkan solusi berupa skema bisnis dari bawah ke tengah. Yaitu dengan menyiapkan dulu pasarnya. Bisnis broiler adalah bisnis rantai pasok. Untuk mengurai permasalahan peternak ayam pedaging, maka peternak harus mampu menguasai rantai pasok.

Perusahaan besar sangat kuat secara finansial dan bisnisnya, karena sudah sempurna rantai pasoknya. Peternak sebelum menambah populasi seharusnya menyiapkan dulu pasarnya, jangan sampai menambah produksi per periode tapi pasarnya itu-itu saja.

Jika menguasai rantai pasok meskipun dalam skala kecil, penundaan panen bisa dihindari. Peternak bisa bergabung menjadi beberapa kelompok untuk membangun rantai pasok. Integrasinya bisa secara vertikal jika bergabung di perusahaan yang sama. Atau secara horizontal, contohnya ada peternak yang khusus pembibitan GPS, khusus pembibitan FS, khusus RPA, khusus olahan dan seterusnya, sehingga semua mendapatkan profit.

Skala integrasi tidak harus besar, farming integration secara mikro akan sangat membantu peternak. Karena itu lanjut Iwang, penting bagi peternak memiliki jaringan pertemanan dengan visi yang sama. Membangun jaringan tersebut tidak terlepas dari membangun kepercayaan, konsepnya adalah jujur, saling mendukung dan saling terbuka.

Prospek Konsumen yang Menguntungkan
“Pendapat saya ritel, hotel dan semacamnya akan bisa terganggu cash flow-nya. Saya lebih menyukai menguasai kawasan pemukiman konsumen ibu rumah tangga dan mereka tidak akan berhutang,” jelas dia.

Disarankan agar peternak membangun hilirnya dahulu meskipun dalam skala kecil. Paling tidak hilir atau end user dibentuk selama setahun, memang cukup lama merintisnya tetapi lebih aman secara cash flow bagi peternak. End user yang terbaik bagi peternak adalah yang membayar kontan tanpa tempo, contohnya ibu-ibu rumah tangga.

“Kalau bisa memotong sendiri, punya mini RPA, bisa dijadikan add value di situ. Misalnya harga ayam parting lebih mahal dari ayam utuh, harga ayam marinasi lebih mahal dari yang parting,” lanjut dia.

Jika customer ritel, peternak harus siap dengan pembayaran tempo dan akan melalui rantai pasok yang panjang. Peternak bisa berada pada putaran uang yang besar namun sebagiannya dihutang sehingga cash flow menjadi merah. Jika menjual selapis di atas end user, yaitu pengepul pun selain tempo juga bisa terjadi terlambat bayar atau bahkan gagal bayar.

Dengan memiliki mini RPA peternak sangat mungkin bisa menjual karkas eceran pada ibu-ibu rumah tangga di daerahnya. Karena harganya akan lebih murah dibanding pasar karena memotong rantai pasok. Dari sisi konsumen pun merasa lebih aman karena bisa melihat sendiri RPA tempat ayam dipotong.

“Seharusnya peternak ke arah sana. Cuma mungkin sudah terlanjur dengan pola yang lama dengan putaran-putaran cash flow merah terpaksa muter daripada ‘mati’. Mau tidak mau harus bertransformasi menjadi peternak yang memiliki visi ke depan, serta membuat role model bisnis dengan menyesuaikan pada kebutuhan konsumen plus penyesuaian dengan aturan yang ada,” tambah Iwang.

Lebih lanjut Iwang mengatakan, peternak bisa mendapatkan keuntungan lebih jika bisa menambah variasi dan nilai pada karkas yang dijualnya. Bisa dijual dalam bentuk fresh, frozen, berbumbu, bahkan dengan konsep farm to table, dimana peternak menjual produk yang langsung bisa dikonsumsi.

“Kita bisa menjiplak role model bisnis yang bagus, misalnya dari perusahaan besar tapi kita adaptasi dengan model yang mini. Jangan memperbanyak populasi tapi jualan live bird itu sudah ketinggalan zaman. Jangan lupa juga buka pasar ekspor, konsepnya mudah tapi pelaksanaannya sulit, tapi bukan tidak mungkin untuk dilakukan,” pungkasnya. (NDV)

HERBAL BERKHASIAT, KAYA MANFAAT

Beberapa jenis tanaman obat yang telah banyak digunakan pada hewan. (Foto: Istimewa)

Sediaan herbal dan minyak esensial digadang-gadang sebagai sediaan alternatif pengobatan alami, aman dan berkhasiat. Namun begitu, perlu ditelusuri seberapa jauh sediaan tersebut dapat memberikan khasiat dan manfaat.

Banyak Khasiat, Minim Efek Samping
Sebagaimana sudah diketahui bahwa terdapat kurang lebih 9.000-an spesies tanaman memiliki khasiat sebagai obat yang dapat dimanfaatkan untuk ternak, khususnya unggas. Dari berbagai macam khasiat yang ada, sederhananya saja penggunaan sediaan herbal berupa jamu berkhasiat menambah nafsu makan, menurunkan angka kematian dan lain sebagainya.

Namun sebenarnya dalam level yang lebih mikro alias ditingkat molekular banyak manfaat yang didapat dari penggunaan sediaan herbal dan minyak esensial. Misalnya sebagai antiinflamasi, memperbaiki performa saluran pencernaan, memenuhi kebutuhan nutrisi, antibakteri, antivirus, anti-parasitik dan lainnya.

Kusno Waluyo, merupakan satu dari banyak peternak yang merasakan khasiat herbal pada ayam petelur. Dirinya mengaku sudah 13 tahun menambahkan suplementasi herbal di dalam ransum ayam petelurnya. Selama itu pula dirinya mengaku mendapat… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2023. (CR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer