Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini COVID-19 | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PERUNGGASAN PASCA PANDEMI

Ternak unggas. (Sumber: Agrarindo.com)

Dunia sedang menghadapi ancaman pandemi COVID-19 yang telah membunuh lebih dari 1 juta orang di dunia. Sampai saat ini semua orang disarankan untuk tetap menjaga jarak, rajin mencuci tangan dan menggunakan masker lantaran vaksin belum ditemukan. Konon, ketiga hal itu akan terus dilakukan meskipun vaksin sudah ditemukan. Dampak dari pandemi ini sangat luar biasa, makhluk yang tak kelihatan ini juga telah memporak-porandakan ekonomi di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Kira-kira pertanyaan banyak orang sama, apa dan bagaimana setelah pandemi ini berakhir khususnya di sub sektor perunggasan?

Pandemi COVID-19 telah mengubah banyak hal terutama di sektor peternakan, khususnya perunggasan. Hari ini banyak orang lebih waspada dalam mengonsumsi makanan. Apalagi ada rumor bahwa COVID-19 bisa menular lewat makanan. Di sisi lain, ada tantangan dalam teknis perunggasan yaitu produksi, kekebalan dan kesehatan pada ternak unggas. Ketiga hal tersebut tentu menjadi pembahasan yang berkelanjutan. Lantas kita bertanya bagaimana para pelaku usaha menyikapi dampak pandemi ini dan bagaimana itu jika dikaitkan dengan kepastian keamanan pangan bagi konsumen? Muara dari semua produksi peternakan adalah pangan.

Kita harus akui bahwa masih banyak kelemahan terkait soal kesehatan ternak atau pengendalian penyakit yang terjadi, baik itu dalam kandang hingga kualitas daging pada makanan yang tersedia di meja makan. Dalam banyak praktik di kandang, tak sedikit pelaku usaha masih tetap menggunakan antibiotik dalam melancarkan pembesaran ternak unggas. Masih banyak pula rumah pemotongan ayam (RPA) yang belum menerapkan standar pemotongan yang memenuhi syarat higienis dan sanitasi untuk menjamin kualitas daging. Pandemi COVID-19 ini seharusnya menjadi momentum bagi industri peternakan di Indonesia dalam meningkatkan keamanan pangan asal hewan.

Penggunaan Antibiotik
Penggunaan antibotik pada pakan unggas masih menjadi diskusi yang berkelanjutan sampai hari ini. Meskipun antibiotic growth promoter (AGP) pada pakan sudah dilarang di Indonesia, tapi penggunaannya masih dilakukan oleh sejumlah praktisi peternakan khususnya pada ternak broiler. Dilema dari AGP adalah satu sisi mendorong pertumbuhan bagi ternak, di sisi lain berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Resisten antibiotik menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat secara global baik langsung maupun tidak langsung.

Resisten antibiotik dapat menular ke manusia secara langsung adalah dengan mengonsumi unggas, sedangkan yang tidak langsung bisa terjadi lewat kotoran unggas yang mencemari lingkungan (air dan tanah). Diperlukan upaya secara cepat dan berkelanjutan dalam menemukan alternatif antibiotik misalnya prebiotik, probiotik dan senyawa antimikroba. Bahan kimia nabati menunjukkan bahwa dalam suplementasi pakan asam kaprilat, rantai asam lemak secara konsisten mengurangi kolonisasi Campylobacter pada ayam broiler (Solis de los Santos, dkk., 2008; 2009; 2010). Kemampuan in vitro dari thymol dan carvacrol untuk menghambat Campylobacter jejuni dan Salmonella Enteritidis dalam isi sekal ayam (Kollanoor Johny, dkk., 2010). Probiotik dan prebiotik dalam studi Arsi et al. (2015 b) menunjukkan bahwa prebiotik tidak secara konsisten mengurangi Campylobacter. Namun, prebiotik secara signifikan menurunkan beban Campylobacter bila digunakan dalam kombinasi dengan probiotik spp. (Arsi dkk., 2015).

Keamanan Pangan
Bahan pangan asal ternak nomor dua paling besar dikonsumsi di dunia adalah unggas, setelah daging babi. Tapi konsumsi daging nomor wahid di Indonesia adalah daging unggas. Oleh sebab itu, perhatian semua pihak pada unggas tak boleh disepelekan. Namun berapa banyak rumah potong atau tempat pemotongan hewan unggas yang ada telah memenuhi syarat higiene dan sanitasi? Dengan mudah kita menemukan tempat pemotongan yang tidak layak di pasar atau di sekitar rumah.

Tempat pemotongan yang tidak layak ini ditandai dengan ciri-ciri kotor, sistem penangan limbah yang tidak memadai, darah atau limbah berceceran di tanah, bangunan yang terbuat dari kayu, kandang penampungan ayam hanya berjarak 2-5 meter, pekerja yang tidak mengenakan perlengkapan yang standar (tidak bersih) dan sebagainya. Kondisi tempat pemotongan seperti ini amat berpotensi membahayakan kesehatan manusia karena kontaminasi bakteri patogen.

Penyakit yang ditimbulkan jika produk pangan terkontaminasi bakteri patogen adalah infeksi dan keracunan. Infeksi yang dimaksud akibat tertelannya mikroba dan berkembang biak di dalam alat pencernaan. Gejala yang timbul dari sini diketahui adalah sakit perut, pusing, muntah dan diare (Bruckle, dkk., 1987). Sekitar 60-70% penyakit diare disebabkan makanan yang mengandung mikroba patogen (Winarno, 2004). Sedangkan keracunan agak berbeda dengan infeksi, yaitu mikroba terlebih dahulu bertumbuh dalam bahan pangan kemudian tertelan oleh manusia. WHO mendata secara global bahwa 1 dari 10 orang di dunia sakit akibat keracunan makanan dan 420.000 orang meninggal dunia akibat keracunan makanan.

Dalam upaya menjaga agar produk pangan asal hewan terjamin higien dan sanitasinya, pemerintah telah membuat peraturan yang cukup jelas. Bahwa untuk produk mentah pangan (karkas) yang dikomersialkan wajib memiliki sertifikat kontrol veteriner. Tapi sayangnya, hal ini masih langka di Indonesia. Kita dengan mudah menemukan tempat pemotongan yang tidak memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Beberapa waktu lalu, salah satu pejabat di lingkungan Kementerian Pertanian mengungkapkan hanya sedikit sekali RPA di Indonesia yang memiliki NKV. Padahal, berdasarkan Undang-Undang No. 18/2009 juncto No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pasal 60 menyebutkan bahwa “Setiap orang yang mempunyai unit usaha produk hewan wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh nomor kontrol veteriner…”

Tantangan COVID-19 terhadap Unggas
Meskipun kesamaan dalam susunan genetik manusia dan ayam adalah sekitar 60%, sistem kekebalan manusia dan spesies unggas sangat berbeda, sehingga protokol, jenis dan aplikasi vaksinasi berbeda (Hafez dan Attia, 2020). Beberapa studi terbaru tampaknya menujukkan COVID-19 tidak menular pada ternak unggas. Kendati demikian, penerapan biosekuriti yang ketat di lokasi kandang harus dipertahankan untuk membatasi penyebaran COVID-19 ke peternakan. Karena kemungkinan terjadinya mutasi bisa terjadi (Montse dan Bender, 2020).

Meskipun saat ini belum ada bukti bahwa makanan dapat menyebarkan COVID-19, masyarakat global dihadapkan pada pertimbangan dalam pembelian makanan. Bakteri dan virus bisa tumbuh di suhu 5-60° C. Sebaiknya jika masyarakat hendak memesan daging unggas bawalah kotak pendingin dan es untuk menjaga makanan pada suhu yang dingin selama diperjalanan. Jangan biarkan daging unggas berada pada suhu ruang selama lebih dari 2 jam. Setelah sampai di rumah, daging unggas dimasukkan ke dalam kulkas atau freezer untuk penyimpanan yang aman.

Pandemi ini sebetulnya momentum yang tepat dalam rangka membenahi kualitas produk perunggasan nasional. Ini merupakan tanggung jawab bersama baik dari pemerintah, pelaku usaha, perguruan tinggi dan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan perlu menindak tegas pelaku usaha yang tidak memiliki NKV, karena ini berkaitan dengan nyawa manusia. Masyarakat memiliki peran yang cukup penting dalam memilih produk unggas yang sudah terjamin mutunya. Bagi pelaku usaha, sudah saatnya lebih peduli pada lingkungan dan masyarakat, tidak semata-mata mengejar profit belaka (People, Planet, Profit). Perguruan tinggi menjadi ujung tombak dalam mengedukasi masyarakat dan juga dalam melakukan riset/inovasi yang menjawab kebutuhan masyarakat. Semoga pandemi ini cepat berlalu. Usaha perunggasan Indonesia semakin maju. ***

Oleh: Febroni Purba (Praktisi Peternakan Unggas Lokal)

WEBINAR NASIONAL ASOHI, DAMPAK PANDEMI PADA BISNIS PETERNAKAN

Webinar Nasional ASOHI Outlook Bisnis Peternakan 2020 “Dampak Pandemi COVID-19 pada Bisnis Peternakan”. (Foto: Dok. Infovet)

Selasa, 24 November 2020. Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) kembali mengadakan agenda rutin tahunannya yakni Webinar Nasional Outlook Bisnis Peternakan 2020 bertemakan “Dampak Pandemi COVID-19 pada Bisnis Peternakan”.

Kegiatan kali ini diadakan secara virtual mengingat kondisi pandemi yang urung usai. “Indonesia menghadapi pandemi COVID-19 yang terjadi di luar prediksi. Usaha peternakan menghadapi tantangan penurunan daya beli, namun di sisi lain terjadi perubahan pola belanja masyarakat dimana transaksi online mengalami peningkatan. Begitu juga pada kegiatan-kegiatan tatap muka yang kini bergeser pada kegiatan online/daring,” ujar Ketua Panitia, Drh Yana Ariana.

Namun begitu diharapkan webinar kali ini tetap bisa memberikan referensi bagi para pelaku industri peternakan dalam menyusun rencana dan melakukan evaluasi bisnis. Hal itu ditambahkan Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari dalam sambutannya.

“Kegiatan ini selalu mengikuti perkembangan situasi aktual. Pada 2020 diprediksi terjadi pelemahan ekonomi global, sehingga dunia usaha harus berhati-hati. Kini dengan adanya pandemi COVID-19, semua hal terjadi di luar prediksi. Sehingga diharapkan melalui webinar ini peserta mendapat informasi yang bermanfaat mengenai situasi peternakan saat ini dan prediksinya 2021 mendatang,” ungkap Irawati.

Khusus membahas penanganan COVID-19 dan dampak COVID-19 terhadap perekonomian Indonesia, ASOHI menghadirkan pembicara tamu Koordinator Tim Pakar Satgas Penanganan COVID-19, Prof Wiku Adisasmito, dan ekonom Dr Faisal Basri.

Menurut paparan Faisal, kondisi ekonomi Indonesia saat ini shock akibat pandemi yang merajalela. “Saat ini situsinya masih memburuk, perekonomian kita menurun. Ini juga pengaruh dari perekonomian dan perdagangan dunia yang berantakan,” ujar Faisal.

Lebih lanjut, kondisi tersebut juga mempengaruhi pendapatan masyarakat yang semakin melemah, yang turut berdampak pada berkurangnya konsumsi protein hewani (daging) Indonesia.

“Pemerintah juga enggak serius menangani COVID-19 ini, karena bukannya membuat aturan darurat memerangi pandemi, malah membuat aturan antisipasi dampak pandemi. Sehingga efeknya Indonesia banyak mengalami penurunan ekonomi,” ucap dia. Dari prediksinya, tahun depan penurunan ekonomi juga masih terjadi.

Untuk keluar dari kemerosotan, Faisal mengimbau pemerintah fokus pada peningkatan konsumsi rumah tangga.

Sementara menurut Prof Wiku, untuk meminimalisir gelombang pandemi, pengontrolan penyakit melalui masyarakat menjadi kunci, selain menjaga keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati.

“Ekosistem dan keanekaragaman hayati adalah penopang dan penentu keberlangsungan hidup manusia. Bersikap eksploitatif terhadap alam adalah investasi untuk bencana di masa mendatang,” kata Prof Wiku.

Hal itu juga yang menjadi perhatian untuk meminimalisir adanya ancaman penyakit baru di Indonesia. “Kita harus waspada terhadap ancaman penyakit baru. Dalam 16 tahun terakhir ada empat penyakit baru muncul, diantaranya H1N1, H7N9, Mers-Cov dan COVID-19. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan alam menjadi hal yang harus dilakukan,” tukasnya.

Selain mereka berdua, turut pula dihadirkan narasumber dari para ketua asosiasi bidang peternakan, diantaranya Achmad Dawami (Ketua GPPU), Desianto B. Utomo (Ketua GPMT), Eddy Wahyudin dan Samhadi (Pinsar Indonesia), Yudi Guntara Noor (Ketua HPDKI), Teguh Boediyana (Ketua PPSKI), Sauland Sinaga (Ketua AMI) dan Irawati Fari (Ketua ASOHI), yang masing-masing memberikan pemaparan mengenai situasi bisnis di 2020 dan proyeksinya pada 2021 mendatang. (RBS)

MILAD KE-41: ASOHI SERENTAK BAGIKAN 5.000 MAKANAN BAGI WARGA TERDAMPAK COVID-19

Pengurus ASOHI Nasional membagikan paket makanan berupa daging ayam dan telur bagi warga terdampak COVID-19. (Foto: Dok. Infovet)

Pengurus Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) Nasional maupun Daerah pada Minggu (25/10), serentak menggelar kegiatan bagi-bagi makanan dengan menu daging ayam dan telur sebanyak 5.000 paket kepada warga terdampak COVID-19 di beberapa daerah di Indonesia.

Kegiatan ASOHI Peduli bertajuk “Ayo Makan Daging Ayam dan Telur” di 17 daerah diselenggarakan dalam rangka memperingati Milad ke-41 tahun ASOHI yang menghimpun pelaku industri obat hewan di Indonesia.

Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari, menyampaikan apresiasinya kepada seluruh anggota yang telah ikut melaksanakan kegiatan ASOHI Peduli bagi warga terdampak COVID-19.

“Terima kasih kepada seluruh jajaran pengurus ASOHI Nasional dan Daerah yang telah meluangkan waktu, tenaga, sumber daya lainnya untuk menyukseskan acara ulang tahun ASOHI ke-41 dalam bentuk kegiatan CSR/ASOHI Peduli. Alhamdulillah acara berjalan lancar, sukses dan aman,” ujar Irawati dalam keterangannya.

Menurutnya, kegiatan ini menjadi bagian kontribusi ASOHI dalam mengedukasi masyarakat dan meningkatkan konsumsi protein hewani.

“Sebab mengonsumsi daging ayam dan telur itu menyehatkan dan mencerdaskan masyarakat, sekaligus kita membantu meningkatkan industri peternakan,” ucapnya.

Ia pun berharap kegiatan yang baik ini mendapat berkah dari Sang Pencipta “Semoga amalan yang dilakukan dengan mulia ini dibalas oleh Allah SWT dengan berkah dan rahmat yang berlipat ganda. Semoga ASOHI makin jaya, salam sehat,” pungkas Ira.

Kegiatan di Daerah
ASOHI Cabang Jawa Tengah ikut membagikan ratusan menu makanan daging ayam dan telur yang langsung dimasak besama warga di dapur darurat di Nayu Timur, RT 01 RW 08, Kelurahan Nusukan, Kecamatan Banjarsari.

Ketua ASOHI Jawa Tengah, Agus Eko Sulistiyo, menyatakan total sebanyak 409 paket makanan dibagikan kepada warga yang membutuhkan. “Serentak ini dilaksanakan di berbagai wilayah di Indonesia dengan total keseluruhan 5.000 paket. Kebetulan Solo menjadi kota penyelenggara khusus wilayah Jawa Tengah,” kata Agus dikutip dari Radar Solo.

Dengan dibantu warga sekitar, kegiatan amal tersebut pun berjalan lancar. “Kami libatkan masyarakat untuk meningkatkan semangat gotong royong di tengah pandemi COVID-19. Tentu selama kegiatan kami menerapkan protokol kesehatan ketat,” ucapnya.

Sementara kegiatan yang sama di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dilakukan secara maraton mulai 23-25 Oktober 2020, yang difokuskan disejumlah panti asuhan di Kota Makassar dan Maros.

Kegiatan ASOHI Peduli di daerah. (Foto: Istimewa)

Dilansir dari Otomakassar.com, Ketua ASOHI Sulsel, Drh Djatmiko, mengungkapkan bahwa pemberian asupan gizi protein hewani penting untuk menjaga kesehatan tubuh dari serangan COVID-19.

“Kita pilih panti asuhan karena komunitas masyarakatnya terbilang daya belinya cukup rendah, sekaligus ASOHI memberi perhatian untuk kelangsungan generasi muda,” kata Djatmiko.

ASOHI Sulsel sendiri menyediakan 400 boks makanan dengan menu daging ayam dan telur. Pada hari pertama diberikan ke panti Yakartuni di Kota Makassar dan sekolah Tahfidz Qur’an Rabbani di Kabupaten Maros. Hari kedua dilaksanakan di panti asuhan Al Ma’arifah dan panti asuhan Al Abrar, serta kelompok ojek online di Kota Makassar. Pada hari terakhir dipusatkan kampanye makan daging ayam dan telur di pantai Losari dan tempat pembuangan akhir sampah (TPA) di Kota Makassar. (RBS)

COVID-19 MELANDA, USAHA “MINI LAYER URBAN FARMING” BOLEH DICOBA

Mini Layer Urban Farming, budi daya ayam petelur yang bisa dilakukan oleh semua lapisan masyarakat. (Foto: Dok. Handris)

Awal 2020 ini dunia sedang dilanda pandemi COVID-19 yang melanda hampir seluruh negara-negara di dunia. Roda perekonomian pun turun drastis pada titik terendah, yang mengakibatkan banyak sekali perusahaan dan usaha kecil menengah tidak bisa bertahan oleh terpaan krisis ekonomi yang kencang ini.

Banyak cara dilakukan berbagai perusahaan agar tetap bisa bertahan menghadapi gelombang krisis ini. Mulai dari mengurangi skala produksi serta mengatur jadwal masuk kerja dari karyawan aktifnya. Dampak ini sungguh terasa pada perusahaan yang bergerak dalam bidang transportasi, hiburan, perhotelan, wisata kuliner dan terutama pariwisata.

Dalam kondisi sulit dan kritis seperti ini perlu mengasah insting bisnis dan mengembangkan ide-ide kreatif dalam rangka menghadapi badai krisis yang belum diketahui sampai kapan akan berakhir dan seberapa parah dampaknya.

Salah satu ide kreatif dan imajinatif adalah diciptakannya model beternak ayam petelur mini atau skala kecil yang dinamakan “Mini Layer Urban Farming” oleh Koperasi Makmur Sidoarjo,  Jawa Timur. Selama ini masyarakat hanya tahu bahwa telur ayam ras yang dikonsumsi setiap hari adalah dari hasil produksi peternakan ayam petelur (layer) intensif berskala besar. Padahal model, bentuk dan cara beternak ayam petelur itu sendiri masyarakat awam masih banyak yang belum tahu.

Kendati demikian, dengan adanya Mini Layer Urban Farming ini masyarakat jadi bisa mengetahui bagaimana model, bentuk dan cara melakukan budi daya ayam petelur dalam skala kecil. Masyarakat bisa mempraktikkan sendiri bagaimana cara beternak ayam petelur yang baik dan benar. Hal yang dulu mungkin hanya sebuah impian, sekarang bisa direalisasikan menjadi kenyataan yang bisa setiap hari mereka kerjakan di rumah atau disela-sela waktu luang sebelum dan setelah jam kerja utama.

Seperti namanya, Mini Layer Urban Farming adalah kegiatan beternak ayam petelur skala kecil yang bisa dilakukan oleh masyarakat urban, yaitu masyarakat perkotaan yang tidak mempunyai lahan yang luas. Kegiatan usaha ini termasuk kategori kegiatan yang multi-purpose, yang mempunyai banyak fungsi sebagai kegiatan usaha beternak, sekaligus mengisi waktu luang, refreshing, maupun edukasi dan pelatihan bisnis pada anak-anak maupun lembaga pendidikan.

Mini Layer Urban Farming adalah konsep beternak ayam petelur dalam kandang baterai yang hanya berjumlah delapan ekor. Paket ternak ini terdiri dari kandang dan ayam dara siap bertelur. Namun, paket kandang dan ayam baru bisa direalisasi untuk wilayah Jawa Timur saja, untuk wilayah di luar Jawa timur hanya berlaku penjualan kandang saja karena terkendala pengiriman ayamnya. Kendati begitu, kandang bisa diisi tak hanya untuk ayam petelur, melainkan ayam kampung ataupun ayam arab.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada budi daya Mini Layer Urban Farming ini adalah sebagai berikut: 
• Siapkan tempat dengan luas tanah 2 x 3 meter.
• Pastikan tempat tersebut mendapat sirkulasi udara yang baik dan cukup, serta teduh.
• Buatlah lantai semen di bawahnya agar tidak becek dan mudah dibersihkan.
• Tempatkan kandang mini di atas lantai semen tersebut.
• Bersihkan tempat minum dan isi penuh dengan air bersih setiap pagi (air minum harus selalu tersedia).
• Pemberian pakan layer komplit (pakan jadi) bisa dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pagi dan sore. Pakan bisa dibeli di poultry shop wilayah masing-masing atau dengan mencampur sendiri (konsentrat layer : jagung : katul = 35% : 50% : 15%).
• Jatah pakan adalah 120 gram/ekor/hari. Pagi hari diberikan 60 gram dikalikan jumlah ayam, begitu juga pada pemberian pakan sore harinya. 
• Bersihkan kotoran setiap hari agar tidak menumpuk dan menimbulkan bau. Hal ini juga sebagai pencegah penyebaran penyakit pada ayam.
• Lakukan penyemprotan dengan disinfektan sesuai dosis pada label setiap hari untuk membunuh bakteri dan virus yang ada di kandang.
• Berikan penerangan lampu mulai pada pukul 18:00-22:00, setelah itu lampu dimatikan sampai pagi hari.
• Setelah itu baru bisa dilakukan pemungutan telur.
• Untuk mencegah bau kotoran, bisa diberikan probiotik melalui pakan.

Melihat aktivitas kegiatan dan cara budi daya Mini Layer Urban Farming, sangat memungkinkan usaha ini bisa dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat, baik di perdesaan maupun perkotaan dengan lahan terbatas. Lahan yang sempit serta modal yang besar sudah bukan manjadi masalah lagi. Dari memulai berbisnis mini layer ini, nantinya bisa dikembangkan menjadi usaha peternakan ayam petelur yang lebih besar lagi. Untuk itu perlu belajar, praktek, mendalami, mencermati, serta mengevaluasi agar usaha budi daya bisa menjadi berkembang dan membawa manfaat bagi banyak orang, khususnya di era pandemi COVID-19 ini.

Konseptor Mini Layer Urban Farming, Drh Handris Nugraha (kiri) dan Drh Andy Siswanto. (Foto: Dok. Handris)

Diharapkan dengan hadirnya budi daya mini layer ini masyarakat masih bisa beraktivitas serta melakukan kegiatan usaha dengan konsep urban farming yang tentunya sangat bermanfaat. Konsep Mini Layer Urban Farming juga sangat cocok sebagai salah satu pilihan program bina lingkungan, desa dan kampung tangguh, kemandirian gizi dan ekonomi, serta program CSR (Corporate Social Responsibility) oleh perusahaan-perusahaan yang mudah dilakukan dengan biaya yang murah, serta mudah dikontrol dan dievaluasi keberhasilan maupun kendalanya.

Untuk masyarakat yang kurang beruntung, dengan mendapatkan project mini layer farm ini, mereka bisa mempunyai tambahan lapangan kerja baru, kemandirian gizi dan ekonominya.  Hasil produksi telur selain bisa dikonsumsi sendiri, juga bisa untuk dijual kepada masyarakat.

Analisis usaha Mini Layer Urban Farming

 

Investasi

Biaya

Pendapatan

Perbulan

Kandang

1.200.000

5.000

Ayam pullet

800.000

18.333

Pakan

158.400

Penjualan telur (Rp/bulan)

278.400

Total

2.000.000

181.733

278.400

 

 

 

 

Keuntungan bersih (Rp/bulan)

95.000

ROI (bulan)

21


Catatan:
• Jumlah ayam/pullet (ekor) : 8 (delapan)
• Asumsi produksi (80-90%) : 0.80
• Memproduksi telur         : 7 (tujuh) butir/hari (90% x 8 ekor)
• Produksi satu bulan (butir) : 192
• Harga pakan (Rp/kg)         : 5.500
Feed konsumsi (120 gram/ekor/hari) : 0.12
• Biaya pakan (Rp/bulan) : 158.400
Life time kandang (tahun) : 20
• Beban biaya kandang (Rp/perbulan) : 5.000 
• Beban biaya pullet (Rp/perbulan) : 18.333
• Asumsi pemeliharaan         : s/d 24 bulan
• Asumsi harga telur (Rp/butir) : 1.450
• Asumsi harga ayam afkir 8 ekor (Rp) : 360.000 
• Harga sapronak tergantung wilayah dan bisa berubah setiap saat. ***

Ditulis oleh:
Drh Handris Nugraha (Praktisi perunggasan)

KETIKA KONSUMSI TAK SETARA PRODUKSI


Oleh: Heri Setiawan

Sepenggal kalimat yang di-posting di salah satu WhatsApp Group (WAG), 21 Agustus 2020, pukul 20:03 itu, kesannya bak pisau bermata dua. Maklum, pengirimnya adalah pejabat Eselon II Kementerian Pertanian. Salah satu pejabat kunci yang memiliki otoritas tinggi dalam penerbitan rekomendasi.

Mungkin saja, maksud sang Pejabat mengirimkan pesan singkat itu sekedar berbasa-basi. Sekedar menjalin komunikasi dengan para anggota WAG, atau bisa jadi bersifat “intimidasi” yang tersembunyi.

Pada tanggal yang sama pukul 14:50, Beliau mem-posting pesan panjang. Isinya mengimbau kepada bapak/ibu pimpinan perusahaan pembibitan dan pakan ayam ras agar dapat menaikkan serta melaksanakan penyerapan live bird (LB) berdasarkan alokasi penyerapan masing-masing perusahaan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab bersama, sehingga stabilisasi perunggasan dapat tercapai dengan lebih baik.

Landasan yang dipergunakan adalah Surat Himbauan No. B-22007/PK.230/F2.5/07/2020 tanggal 22 Juli 2020 tentang penyerapan LB peternak UMKM. Selain itu, juga Surat Himbauan No. B-12005/TU.020/F2.5/08/2020 tanggal 12 Agustus 2020 tentang penyerapan LB internal dan eksternal perusahaan pembibit ayam ras pedaging.

Tunggu punya tunggu, lebih dari 5 jam sejak pesan panjang itu tayang, (mungkin) membuat sang Pejabat penasaran dan bertanya-tanya. Eksekusinya adalah, tayangan sepenggal kalimat ambigu di WAG itu: “Wa saya tdk di respon trima kasih. Gmna hp sy nt rusak tidak bisa klik rekomendasi impor GPS.

Ajaib, dalam hitungan menit, malam itu juga muncul respon positif: Siap. Keesokan paginya, respon pertama pukul 04:25. Selanjutnya, berurutan muncul respon-respon positif lainnya hingga sore pukul 17:38.

Konsumsi Daging Ayam

Badan Pusat Statistik (BPS) pada 7 November 2019, merilis data “Demand Daging dan Telur Ayam Ras 2020.” BPS mengestimasikan bahwa demand daging ayam ras tahun 2020 sebesar 3.442.558 ton. Bila dikonversikan dengan jumlah penduduk Indonesia, berarti konsumsi daging ayam ras pada 2020 tersebut mencapai 12,79 kg/kapita/tahun.

Pandemi COVID-19 mengubah segalanya. Tak terkecuali tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap daging ayam ras. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) pada 14 Juli 2020, menerbitkan skenario baru konsumsi daging ayam menjadi 9,08 kg/kapita/tahun. Berdasarkan revisi itu, demand-nya menjadi 2.447.691 ton. Surplus sekitar 1 juta ton.

Bila ditarik ke arah hulu, berarti juga terjadi kelebihan produksi DOC broiler. Semula diprediksi bahwa produksi DOC broiler pada 2020 sekitar 3,6 miliar ekor. Situasi dan kondisi pandemi COVID-19 tersebut menjadikan produksi DOC broiler berlebihan.

Dampak akhir dari semuanya itu adalah terpuruknya harga LB, khususnya di pulau Jawa. Kegaduhan pun timbul di mana-mana, apalagi di media sosial. Beraneka macam komen bermunculan di berbagai WAG perunggasan. Seperti halnya kejadian-kejadian terdahulu, Ditjen PKH pun turun tangan. Ujung-ujungnya adalah terbitnya suatu kebijakan. Kali ini bukan lagi berbentuk Surat Edaran (SE), tapi Surat Himbauan (SH).

Manfaatkan Momentum

Alih-alih memanfaatkan momentum perlunya pemenuhan gizi guna meningkatkan daya tahan tubuh dalam menghadapi pandemi COVID-19, Kementerian Pertanian (Kementan) justru me-launching kalung Anti Virus Corona Eucalyptus pada 8 Mei 2020. Promosinya luar biasa. Melibatkan berbagai media massa. Tayang di mana-mana. Bahkan, promosi lintas departemental dan institusional.

Tak ayal lagi, klaim sebagai “anti-virus” memantik polemik dan kontroversi. Masing-masing pihak berargumentasi berdasarkan sudut pandang dan latar belakang keilmuannya. Belakangan, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), Fadjry Djufry, dalam konferensi virtual pada 6 Juli 2020 melunak. Disebutkannya “Kalaupun tidak punya khasiat membunuh virus corona (COVID-19), paling tidak melegakan pernapasan.”

Sejatinya, Kementan juga melakukan kampanye peningkatan konsumsi daging ayam guna menguatkan daya tahan tubuh. Sayangnya, video promosi itu hanya tayang dalam akun Instagram Kementan @kementerianpertanian. Tidak dipublikasikan secara massif. Tak ada penayangan oleh media mainstream.

Dalam video berdurasi satu menit tersebut Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, mengajak masyarakat untuk mengonsumsi daging ayam sebagai salah satu cara menjaga daya tahan tubuh dari infeksi virus corona (COVID-19).

Memang, momentum selalu ada. Kapan saja dan di mana saja. Tapi uniknya, momentum bisa lewat begitu saja. Dibutuhkan kejelian dan kecerdasan untuk menangkap dan memanfaatkan momentum itu secara pas sehingga menghasilkan manfaat bagi kebanyakan masyarakat.

Dalam situasi pandemi COVID-19, konsumsi daging ayam menurun. Di sisi lain, masyarakat membutuhkan daya tahan tubuh kuat dan sehat guna mengatasi ancaman infeksi virus corona. Tentu saja ini merupakan peluang sekaligus momentum.

Sekiranya Kementan bisa menangkap peluang dan memanfaatkan momentum tersebut secara optimal, maka secara bertahap dan pasti, konsumsi daging ayam bisa setara dengan produksinya. Tak ada lagi pesan singkat pejabat dalam WAG yang bersifat ambigu. Pesan intimidasi berbungkus basa-basi komunikasi. ***

Penulis adalah,

Dewan Pakar Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia

ASOHI ADAKAN WEBINAR NASIONAL KESEHATAN UNGGAS DI MASA PANDEMI COVID-19

Webinar Nasional Kesehatan Unggas yang dilaksanakan ASOHI. (Foto: Dok. Infovet)

Rabu, 9 September 2020. Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) sukses menyelenggarakan Webinar Nasional Kesehatan Unggas dengan tema “Perkembangan Penyakit Unggas di Masa Pandemi COVID-19” yang dihadiri sekitar 160 orang peserta.

“Ini menjadi seminar luar biasa yang membahas mengenai penyakit unggas. Sebab informasi mengenai perkembangan penyakit unggas di lapangan terkendala pandemi COVID-19 yang tentunya menyulitkan banyak pihak,” ujar Drh Andi Wijanarko, selaku moderator webinar.

Hal itu juga seperti yang disampaikan Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari, dalam sambutannya. 

“Pandemi COVID-19 ini banyak mengubah pola kerja kita. Walau di industri obat hewan masih memberikan kontribusi dan pelayanan kepada peternak maupun pabrik pakan, namun tenaga technical kita agak terbatas di lapangan,” kata Ira.

Oleh karena itu, melalui webinar kali ini Ira berharap ada update informasi terbaru seputar penyakit unggas di lapangan.

“Informasi penyakit tepat sekali kita bahas, kami harapkan ada update informasi penyakit di industri unggas di tengah pandemi kali ini. Agar kita dapat menentukan langkah-langkah dan memberikan layanan terbaik kepada masyarakat peternakan dengan kondisi yang serba keterbatasan ini,” ucapnya.

Senada dengan hal tersebut, Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan), Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, yang turut hadir mengimbau kepada masyarakat peternakan untuk tetap waspada terhadap kehadiran penyakit khususnya di sektor perunggasan.

“Kemarin kita baru terima informasi mengenai outbreak Avian influenza (AI) yang terjadi di Australia dan Taiwan, kita harus tetap waspada. Sebab di era pandemi ini informasi mengenai penyakit kurang terekspos. Padahal teknologi salah satunya di industri obat hewan sudah semakin maju guna mendukung keamanan pangan, seperti berkembangnya pengganti antibiotic growth promoter (AGP),” kata Fadjar.

Dr Drh NLP. Indi Dharmayanti dan Prof Dr Drh Michael Haryadi Wibowo saat mempersentasikan materinya. (Foto: Dok. Infovet)

Webinar yang dimulai pada pukul 13:00 WIB turut menghadirkan narasumber yang andal di bidangnya, yakni Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner (BBLitvet), Dr Drh NLP. Indi Dharmayanti MSi, yang membahas materi “Perkembangan Penyakit Viral pada Unggas di Masa Pandemi COVID-19” dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Drh Michael Haryadi Wibowo MP, yang menyajikan materi mengenai “Pengendalian Penyakit Unggas di Masa Pandemi COVID-19”. (RBS)

KEHIDUPAN SETELAH PANDEMI BERAKHIR

Ilustrasi belajar secara daring. (Sumber: Detikcom)

Oleh: M. Chairul Arifin

Tidak ada seorangpun yang bisa meramalkan kapan pandemi COVID-19 ini akan berakhir, entah bulan depan, tahun ini, atau bahkan tahun berikutnya. Bahkan para ahli epidemiologi sekalipun belum dapat meramalkan kapan pandemi ini akan berhenti agar kembali bisa menjalani kehidupan normal. Mereka hanya mampu membuat berbagai skenario berdasarkan tindakan mitigasi dan penanggulangan yang dilakukan, yaitu bila tidak ada tindakan, tindakan sedang dan tindakan sesuai aturan.

Kurva penularan COVID-19 masih terus meroket dan upaya flatten the curve terus dilakukan secara bersamaan dengan seluruh elemen masyarakat dan pemerintah dalam bentuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), social distancing, physical distancing, bekerja dari rumah (work from home/WFH), hingga larangan mudik. Tindakan inipun masih terkendala sifat masyarakat yang belum memenuhi aturan, dan di sisi lain para tenaga medis kerap kekurangan alat pelindung diri (APD) yang sesuai standar.

Apakah Kembali Normal?

Dengan segala bentuk pembatasan tersebut apakah kehidupan manusia akan kembali normal jikalau pandemi ini berakhir? Apakah seseorang, karyawan, aparatur sipil negara (ASN), siswa dan mahasiswa, cara bertani dan beternak kita akan kembali seperti sediakala? Normal yang dimaksud adalah kembali pada kebiasaan lama, mengerjakan pekerjaan kantoran yang sudah engage itu. Membentuk tim kerja  yang sudah solid bertahun-tahun sambil menunggu disposisi dari "sang bos", melaporkan, menghadiri rapat atau sesekali dinas luar (DL) seperti yang telah disampaikan oleh kawan penulis, Djajadi Gunawan, dalam artikelnya berjudul “Kapan DL Lagi”.

Dari pengalaman bekerja dari rumah yang sekian lama dialami hampir lima bulanan, kemungkinan cara kerja kita dikantor akan  berubah  secara bertahap. Dari pengalaman WFH telah memberi pelajaran suatu best practice bahwa sebagian besar pekerjaan kantoran dapat dikerjakan dirumah. Analoginya adalah pekerjaan kantor dapat dikerjakan di luaran, entah di hotel, kafe atau tempat lainnya yang memungkinkan bekerja secara daring dan luring. 

Bahkan berbagai rapat atau meeting juga tidak perlu dihadiri secara fisik. Dengan teknologi telekonferensi kita dapat hadir secara virtual dan moderator maupun pimpinan sidang sudah dapat menyimpulkan hasil rapat virtual tersebut. Jadi di luar ruangan kantorpun ternyata dapat diambil keputusan strategis dan tepat waktu. Pekerjaan macam jurnalis yang selalu dikejar deadline dapat dikerjakan secara daring dimanapun kita suka.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menjadi pelopor untuk “merumahkan” para ASN-nya jauh sebelum terjadinya pandemi. Diberitakan bahwa 1.000-an ASN Bappenas diujicobakan kerja di lain tempat mulai Januari 2020, jauh sebelum pandemi melanda Indonesia pertengahan Maret 2020.

Untuk industri pertanian contoh yang sangat baik seperti peternakan ayam ras. Mereka ini telah sepenuhnya menggunakan sistem digital dari sejak di hulu, on farm sampai pengolahan dan pemasarannya. Didukung oleh kelembagaan dan sumber daya manusia yang kuat menjadikan bisnis ayam ras suatu contoh atau model sistem agribisnis modern.

Dalam dunia pendidikan apalagi (di luar pendidikan profesi yang menuntut praktik laboratorium dan pasien), maka sistem online dapat diperlakukan termasuk pembelajaran jarak jauh, ujian tengah semester maupun akhir semester. Sudah banyak aplikasi online semisal Ruang Guru yang memungkinkan siswa belajar mandiri serta mampu mengerjakan soal-soal yang diberikan. Perhatian khusus penekanan pada pendidikan karakter yang perlu dikemas menjadi hal yang lebih menarik.

Dalam tata niaga pun sudah lama dipraktikkan belanja online. Bukan itu saja, mata rantai pasok dari produsen sampai kepada konsumen sudah semakin efisien dengan aplikasi perdagangan elektronik (e-commerce) sehingga konsumen atau produsen dimudahkan dalam memilih dan membeli barang.

Jadi, baik dikalangan pemerintahan maupun dunia swasta dan yang lainnya, sebenarnya sudah dapat terhubung satu sama lain menjadi sistem terpadu sebagai embrio big data.

Akhir Pandemi

Diakhir pandemi kelak akan terlihat beberapa perubahan mendasar dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat dan bernegara. Pemakaian gawai dan internet akan menjadi bagian dari kehidupan kita tanpa kita sadari. Membangun perkantoran yang megah sudah bukan zamannya lagi, akan tergantikan dengan ruang kerja baru yang berwujud coworking space, tempat orang bekerja sharing entah darimana orang itu.

Tapi satu hal yang perlu diingat yaitu turunnya pertumbuhan ekonomi yang diramalkan menurun sampai 3% bahkan skenario terburuk pertumbuhannya minus 0,4%. Keadaan ini membutuhkan waktu pemulihan yang cukup lama. Menurut para analis sekitar 1-2 tahun. Ingatan kita masih segar bahwa pada krisis multi dimensi tahun 1997/1998 sesuatu yang berbasiskan sumber daya lokal menjadi kunci dari cepat atau tidaknya kita pulih dari suatu bencana.

Kendati demikian pandemi ini sedikit banyak memberikan pelajaran berharga, lesson learned bagi kita semua bahwa sesuatu kehidupan itu dapat berubah, bahkan diubah oleh makhluk mikroorganisme kecil yaitu COVID-19. ***


Penulis adalah:

Pegawai Kementan (1979-2006),

Staf Perencanaan (1983-2005),

Tenaga Ahli PSDS (2005-2009)

MEMPERSIAPKAN MASA DEPAN BISNIS ITIK PASCA PANDEMI

Webinar ILC #edisi10 yang membahas mengenai industri itik Indonesia. (Foto: Istimewa)

Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia yang sangat membutuhkan asupan protein hewani. Saat ini pemenuhannya masih didominasi oleh ayam ras. Namun dalam beberapa tahun ini, permintaan pasar terhadap produk unggas air yakni itik (daging dan telur) kian meningkat. Hal itu tak lepas dari tren kuliner berbahan daging itik yang sedang melanda masyarakat Indonesia, sehingga kini banyak tersaji berbagai kuliner berbahan dasar itik.

Hal itu dibahas dalam Indonesia Livestock Club (ILC) #Edisi10, Sabtu (29/8/2020), yang diselenggarakan Badan Pengembangan Peternakan Indonesia (BPPI), Indonesia Livestock Alliance (ILA) dan Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI) dengan mengangkat tema “Masa Depan Bisnis Itik Pasca Pandemi COVID-19”.

Tren tinggi permintaan produk itik seharusnya bisa dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis itik di Indonesia, sehingga peternak itik dapat terus mengembangkan usahanya dalam rangka memenuhi permintaan pasar.

Fakta tersebut sekaligus memberi tantangan dan peluang bagi pemangku kepentingan di industri itik untuk dapat mengembangkan itik baik dari segi penelitian dan pengembangannya, pembibitan, pembudidayaan, hingga ke pasca panen itik, sehingga dapat memanfaatkan peluang pasar peternakan itik.  

Pembudidayaan itik di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan masyarakat sejak berabad-abad yang lalu, baik untuk memproduksi telur maupun produksi daging. Namun tren yang terjadi saat ini adalah masyarakat cenderung menggemari daging itik daripada telurnya. Hal itu seperti dikemukakan Ketua Waterfowl Working Group, WPSA Asia Pasifik, Dr L. Hardi Prasetyo dalam presentasinya berjudul “Pembibitan dan Produksi Itik dalam Memenuhi Permintaan Pasar”.

“Permintaan tinggi daging itik yang tidak diimbangi dengan sistem pembibitan yang baik, akan berisiko terjadinya kesenjangan antara permintaan dan kebutuhan, bahkan lebih riskan lagi terjadi pengurasan sumber daya genetik ternak itik Indonesia,” kata Hardi.

Hal senada juga disampaikan oleh Duck Farm Manager PT Satwa Primaindo, Agus Prayitno, melalui materi “Prospek Budi Daya dan Bisnis Itik Pasca Pandemi COVID-19”.

“Tidak hanya sistem pembibitan yang perlu dibenahi, sistem budi daya, tata niaga dan pasca panen itik dari hulu hingga ke hilir juga harus dibenahi. Terlebih pada masa pandemi COVID-19 ini, tidak hanya terjadi pergeseran pola konsumsi masyarakat akan produk hasil unggas air ini, namun juga perubahan dalam pola pembelian daging, tata niaga, serta sistem rantai pasokan bahan bakunya,” ucap Agus.

Para pelaku usaha, terutama dalam hal tata niaga dan pasca panen sangat diperlukan dalam hal ini, terlebih daging itik adalah termasuk bahan baku pangan yang bersifat mudah rusak, sehingga cara penanganannya harus menggunakan sistem rantai dingin yang disiplin dan tertata. Pemerintah dalam hal ini sangat dibutuhkan untuk mengharmonisasikannya sejak dari hingga hilir, sehingga pasca pandemi COVID-19 prospek bisnis itik makin cerah. (IN)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer