Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini daging | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

KEMENTAN JANJI PEMENUHAN DAGING JELANG RAMADAN & LEBARAN AMAN

Mentan Syahrul (tengah) dan Dirjen PKH Nasrullah (kiri) saat meninjau Toko Daging Nusantara di Depok, Senin (5/4/2021). (Foto: Humas PKH)

Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo, menjamin ketersediaan daging jelang Ramadan dan Idul Fitri 2021 dalam kondisi cukup dan aman.

Dalam keterangan tertulisnya, Selasa (6/4/2021), ia menyebut untuk memenuhi kebutuhan daging nasional, pihaknya tidak hanya mengandalkan mekanisme impor, tetapi juga memaksimalkan produksi daging dalam negeri.

“Selama Ramadan biasanya daging menjadi salah satu kebutuhan pangan cukup tinggi permintaannya, kami lakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan itu, baik dalam bentuk daging segar maupun beku, kami akan maksimalkan dari berbagai tempat termasuk produksi dalam negeri,” kata Mentan Syahrul saat meninjau Toko Daging Nusantara GDC, Depok.

Syahrul mengatakan, kunjungannya ke Toko Daging Nusantara ini menjadi salah satu upayanya memastikan pangan masyarakat khususnya daging. Ia mengaku akan meningkatkan sinergi dengan pihak terkait untuk mengamankan ketersediaan maupun distribusi pangan secara umum.

“Pangan itu sangat terkait dengan supply and demand, maka untuk menjaga ini saya akan bekerja sama dengan para pihak terkait, salah satunya Menteri Perdagangan untuk mendekatkan produksi dengan pasar, jika masih terjadi lonjakan tentu kami akan lakukan operasi pasar, hari ini saya juga mengecek ketersediaan daging bersama Ketua Asosiasi Pedagang Daging Skala UKM dan Rumah Tangga (ASPEDATA) ini juga menjadi bagian kami memperkuat upaya pemenuhan pangan,” ungkap dia.

Terkait stok daging, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Dirjen PKH Kementan), Nasrullah, mengatakan meski pada April 2021 umat muslim di dunia akan menjalankan ibadah puasa, tetapi kondisi permintaan daging masih dalam batas normal, hal ini disebabkan Indonesia masih dalam kondisi pandemi dan aktivitas perekenomian belum sepenuhnya pulih.

“Hasil prognosa kita dengan memperhitungkan kebutuhan normal di April itu sekitar 26.000 ton, kemudian di Mei bertepatan puasa dan lebaran kurang lebih butuh 76.000 ton, ini masih dalam posisi kebutuhan normal. Dengan adanya COVID-19, daya beli turun, serta hotel, restoran dan katering (Horeka) juga belum sepenuhnya normal, tentu angka ini bisa terkoreksi, tapi terus kami update setiap akhir bulan” jelas Nasrullah.

Ia merinci stok daging di Februari dan Maret 2021 dalam kondisi surplus dan angka itu akan memperkuat ketersediaan daging nasional di periode April dan Mei 2021. Jika ditotalkan, stok daging di Maret 2021 ditambah kekuatan produksi dalam negeri, dapat dipastikan pemenuhan daging masyarakat selama Ramadan dan Lebaran dalam posisi aman.

“Di Maret kebutuhan kita 37.000 ton dan ada surplus sekitar 27.000 ton, untuk periode berikutnya stok juga dipenuhi dari sapi bangkalan dan sapi lokal, angkanya kurang lebih 188.000 ekor yang siap dipotong, ini untuk periode April dan Mei, dan stok daging beku yang ada di gudang-gudang pada Maret 2021 ada 24.000 ton, angka suprlus ini untuk memperkuat stok di April, jika di total di Mei nanti InsyaAllah stok daging sapi atau kerbau cukup untuk memenuhi kebutuhan daging masyarakat selama Ramadan dan Idul Fitri,” pungkasnya. (INF)

PENGUATAN HULU-HILIR HASILKAN PRODUK DAGING BERKUALITAS

Proses produksi yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak terutama terjadi pada tempat pemotongan daging. (Foto: iStock)

Dalam mendapatkan produk daging yang aman dan higienis, dapat dilakukan tidak hanya dengan melihat saat pasca produksi, tetapi juga dari pra produksi dan proses produksinya. Hal itu disebabkan adanya berbagai cemaran berbahaya bahan baku pakan seperti mikotoksin, pestisida, logam berat dan berbagai zat berbahaya lain, yang walaupun berjumlah sedikit dan tidak menimbulkan efek langsung, tetapi cemaran itu dapat terus berada di dalam tubuh seseorang yang mengonsumsi produk hasil ternak. 

Hal itu disampaikan Dosen Fakultas Industri Halal, UNU Yogyakarta, Meita Puspa Dewi SPt MSc dalam Indonesia Livestock Club (ILC) #Edisi07: Penguatan Hulu-Hilir dalam Menghasilkan Produk Berkualitas, pada Sabtu (1/8/2020), melalui sebuah aplikasi daring.

Acara diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Peternakan Indonesia (BPPI), Indonesia Livestock Alliance (ILA), Universitas Tidar, Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.

Meita mengatakan, proses produksi yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak terutama terjadi pada tempat pemotongan, yaitu di rumah pemotongan hewan untuk daging.

“Adanya rumah pemotongan hewan (RPH) atau rumah pemotongan unggas (RPU) merupakan salah satu upaya implementasi keamanan pangan seperti yang dimaksud dalam UU Pangan,” kata Meita.

Dalam hal kualitas daging yang baik, salah satu indikatornya adalah adanya marbling pada daging yang dipilih. Marbling merupakan serat-serat lemak intraseluler yang terdapat pada daging, yakni merupakan guratan berwarna putih yang berada diantara merahnya daging, tampak seperti pola pada batu marmer (marble). 

Banyaknya serat akan meningkatkan rasa juicy dari daging saat dikonsumsi, utamanya bila dihidangkan sebagai steak atau yakiniku. Marbling juga merupakan indikasi dari baik tidaknya kualitas pakan dan perawatan dari ternak tersebut.

“Semakin buruk kualitas pakan, marbling akan semakin sedikit dan mengakibatkan grade daging akan semakin rendah dan harga jual daging juga akan jadi semakin murah,” pungkasnya. (IN)

MANAJEMEN RANTAI PASOK DAN KEAMANAN PANGAN DI SAAT PANDEMI COVID-19

Daging, produk pangan hasil ternak. (Foto: Istimewa)

Rantai pasok merupakan rangkaian aliran barang, informasi dan proses yang digunakan untuk mengirim produk atau jasa dari lokasi sumber pemasok ke lokasi tujuan pelanggan.

Dimulai dari titik produsen ini bahan pangan akan bergerak menuju berbagai metode pengolahan. Pergerakan bahan pangan ini difasilitasi unit usaha logistik dan transportasi, yang akan menjamin bahwa produk pangan akan sampai kepada konsumen dengan tepat waktu dan berkualitas. 

Hal itu dijelaskan oleh Pengajar Fakultas Peternakan IPB, Dr Epi Taufik, dalam Pelatihan Online "Logistik Rantai Dingin pada Produk Hasil Ternak" yang diselenggarakan Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) dan Fakultas Peternakan IPB. Acara berlangsung pada 20-21 Mei 2020 juga menghadirkan narasumber dari kalangan praktisi atau swasta, yakni Direktur Operasional PT Adib Logistics, Irene Natasha. 

Dijelaskan Epi, perbedaan mendasar antara rantai pasok pangan dengan rantai pasok lainnya adalah perubahan yang terus-menerus dan signifikan terhadap kualitas produk pangan di seluruh rantai pasok hingga pada titik akhir produk tersebut dikonsumsi. Adapun berdasarkan jenis proses produksi dan distribusi dari produk nabati dan hewani, rantai pasok pangan dibedakan atas dua tipe, yakni rantai pasok produk pangan segar dan rantai pasok produk pangan olahan.

Rantai pasok produk pangan segar seperti daging, sayuran, bunga, buah-buahan, secara umum rantai pasoknya meliputi peternak atau petani, pengumpul, grosir, importir, eksportir, pengecer dan toko-toko khusus. Pada dasarnya seluruh tahapan rantai pasok tersebut memiliki karakteristik khusus, produk yang dibudidayakan atau diproduksi dari sebuah farm atau pedesaan. Proses utamanya adalah penanganan, penyimpanan, pengemasan, pengangkutan dan perdagangan produk.

Adapun rantai pasok produk pangan olahan seperti makanan ringan, makanan sajian, atau produk makanan kaleng.

"Pada rantai pasok ini, produk pertanian dan perikanan digunakan sebagai bahan baku dalam menghasilkan produk-produk pangan yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Dalam banyak hal, proses pengawetan dan pendinginan melalui sistem rantai pendingin akan memperpanjang masa guna (shelf life) dari produk pangan yang dihasilkan," ujar Epi.

Kesuksesan rantai pasok pangan, lanjut dia, sangat tergantung pada interaksi yang kuat dan efektif antara pemasok bahan ramuan, penyedia bahan kemas utama (contact packaging providers), pengemas ulang (re-packers), pabrik maklon (co-manufacturers), pedagang perantara dan pemasok lainnya. (IN)

PASOKAN SUMBER PROTEIN HEWANI DUKUNG WUJUDKAN INDONESIA EMAS 2045

Daging sebagai sumber protein hewani. (Foto: Istimewa)

Bonus demografi berupa angka tenaga kerja produktif di usia muda merupakan karunia tak ternilai yang harus dikelola dengan baik, terutama melalui investasi pendidikan dan pembekalan keterampilan siap kerja yang efektif. Jika hal itu bisa dilakukan, maka Indonesia bakal menuai keuntungan dari berbagai bidang, yakni ekonomi, sosial dan kualitas sumber daya manusianya.

Produktivitas negara dan pertumbuhan ekonomi pun akan meningkat dengan limpahan sumber daya manusia yang terserap di berbagai sektor, termasuk sektor peternakan. Di sisi lain, kesejahteraan masyarakat pun membaik karena melimpahnya penduduk usia kerja yang produktif.

Hal itu mengemuka dalam diskusi online dengan tema “Menyiapkan sumber daya manusia (SDM) Peternakan Unggul dalam Menyongsong Indonesia Emas 2045" pada Sabtu (9/5/2020). Acara diselenggarakan oleh Yayasan CBC Indonesia (YCI) dan Indonesia Livestock Alliance (ILA), berkolaborasi dengan Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian, Kadin Indonesia dan Pisagro.

Acara dibuka secara resmi oleh Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Kadin Indonesia Anton J. Supit, dengan menghadirkan narasumber Kepala BPPSDMP Prof Dr Ir Dedi Nursyamsi MAgr, Dekan Sekolah Vokasi IPB Dr Arif Daryanto MEc, Kepala Pusat Pendidikan Polbangtan Dr Idha Widi Arsanti SP MP, Sampoerna Entrepreneur Training Center Sri Hastuti Widowati, serta Direktur Nutricell Pacific Suaedi Sunanto. Adapun pembahas diskusi adalah Dekan Fakultas Peternakan UGM Prof Ali Agus dan Wakil Ketua Komtap Pelatihan dan Ketenagakerjaan Kadin Indonesia Dasril Rangkuti.

Bonus demografi akan menjadi berkah jika semua pihak secara strategis dapat menyiapkan pembekalan pada para generasi muda milenial. Pembekalan pendidikan, ketrampilan dan tata kerama yang berkualitas baik, merata dan terjangkau oleh para generasi muda, akan menghasilkan SDM Indonesia yang terampil, kompeten, berkualitas dan mampu memanfaatkan peluang di depan mata dengan baik.

Namun sebaliknya, jika Indonesia dengan setengah hati mempersiapkannya, justru akan terjadi musibah dari bonus demografi, yakni SDM yang berlimpah dengan kompetensi rendah justru menambah angka pengangguran, sehingga menimbulkan problem sosial tersendiri.

Peningkatan kualitas SDM diyakini menjadi kunci untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Dengan pertumbuhan ekonomi pada periode 2016-2045 rata-rata 5,7% per tahun, diperkirakan pada 2036, Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi. Melalui pertumbuhan ekonomi yang terjaga cukup tinggi, Indonesia dapat meningkatkan jumlah penduduk kelas menengah hingga 70% pada 2045. Pada paruh periode pencapaian itu, ada puncak bonus demografi yang diperkirakan terjadi mulai tahun ini hingga 2035.

Untuk mewujudkan hal itu, diperlukan pasokan sumber protein hewani sebagai zat gizi utama pembentuk SDM mumpuni, sebagai langkah awal untuk meningkatkan kualitas kesehatan. Untuk menjamin pasokan sumber protein hewani lokal tetap terjaga, SDM unggul di bidang peternakan harus dibenahi sejak dini, agar menjadi SDM unggul yang siap berkompetisi di tingkat global di era serba digital. (IN)

ATASI BAU TAK SEDAP PADA DAGING SAPI

Penjual daging sapi di pasar tradisional. (Sumber: Istimewa)

Kelompok yang paling rentan terhadap bakteri penyebab daging bau busuk ini adalah pasien kanker, orang tua dan wanita hamil.

Suasana di Blok B Pasar Depok Jaya, Jawa Barat, pagi itu mendadak ramai. Bukan sedang ada kunjungan pejabat yang melakukan operasi pasar atau adanya bazar murah, melainkan keributan antara pedang daging dan seorang pembelinya. Rahayu, salah seorang pembeli, mengaku merasa dirugikan, karena daging sapi yang dibeli pada pedagang tersebut baunya tak sedap.

Merasa tak terima dengan komplain pembeli, pedagang pun ngotot bahwa daging yang ia jual masih segar dan baru dipasok dari rumah potong hewan. Cekcok antara pedagang dan pembeli itu usai, setelah seorang pedagang lain berusaha meredam keributan.

Jual daging sapi bau tak sedap, bisa jadi juga terjadi di banyak pasar di tempat lain. Perkara ini memang hal yang kerap terjadi. Namun terkadang, pembeli juga memaklumi aroma daging tak sedap yang dibeli atau malah tidak bisa membedakan mana daging yang bau dan tidak bau.

Ada Apa dengan Daging Sapi yang Bau?
Daging busuk dapat mengganggu kesehatan konsumen karena menyebabkan gangguan saluran pencernaan. Menurut salah seorang Medik Veteriner Pertama, Ditkesmavet PP, Drh Fety Nurrachmawati, seperti yang ditulis pada laman Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, hal tersebut disebabkan karena kelainan.

Menurut dia, daging sapi harus merupakan hasil pemotongan ternak sapi yang dilakukan secara halal dan baik, harus memenuhi persyaratan higiene-sanitasi dengan hasil produksinya berupa karkas sapi utuh atau potongan karkas sapi yang memenuhi persyaratan ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal).

“Daging sapi ASUH adalah aman tidak mengandung bibit penyakit (bakteri, kapang, kamir, virus, cacing, parasit), racun (toksin), residu obat dan hormon, cemaran logam berat, cemaran pestisida, cemaran zat berbahaya serta bahan/unsur lain yang dapat menyebabkan penyakit dan akan mengganggu kesehatan manusia,” paparnya.

Menurut US Food and Drug Administration (FDA), bakteri pada daging busuk mungkin tidak menunjukkan gejala pada orang yang sehat. Kelompok yang paling rentan terhadap bakteri penyebab daging bau busuk ini adalah pasien kanker, orang tua dan wanita hamil. Tingkat kematian akibat penyakit Listeria monocytogenes adalah sekitar 70% dengan kurang dari 500 kematian per tahun di Amerika Serikat.

Ada beberapa faktor penyebab daging berbau tidak sedap sesudah dipotong.
Pertama, sebelum pemotongan hewan sudah sakit terutama menderita radang akut pada organ dalam yang akan menghasilkan daging berbau tak sedap. 

Kedua, hewan dalam pengobatan terutama dengan pengobatan antibiotik akan menghasilkan daging yang berbau obat-obatan. Ketiga, warna daging tidak normal tidak selalu membahayakan kesehatan, namun akan mengurangi selera bagi konsumen.

Keempat, konsistensi daging tidak normal yang ditandai kekenyalan daging rendah (jika ditekan terasa lunak) dapat mengindikasikan daging tidak sehat, apabila disertai dengan perubahan warna yang tidak normal, sehingga tidak layak konsumsi. 

Kelima, pembusukan dapat terjadi karena penanganan yang kurang baik pada waktu pendinginan, sehingga aktivitas bakteri pembusuk meningkat, atau karena terlalu lama dibiarkan di tempat terbuka dalam waktu relatif lama pada suhu kamar, sehingga terjadi proses pemecahan protein oleh enzim-enzim dalam daging yang menghasilkan amonia dan asam sulfide.

Agar Daging Tak Bau
Daging sapi berbau ternyata tak melulu disebabkan oleh sapi yang tak sehat, tetapi juga karena penangannya yang tidak baik. Jika disebabkan oleh penyebab kedua, maka tidak terlalu sulit untuk mengatasinya. Banyak resep yang mengulas tentang cara menangani daging sapi agar tidak berbau, khusunya bau amis.

Cuka dan tomat dipercaya mampu hilangkan bau anyir atau amis pada daging sapi. Selain dapat menghilangkan amis, cuka dan tomat memiliki kandungan asam yang bisa mengempukkan daging. Setelah daging dicuci bersih, usapi daging dengan cuka. Cukup setengah sendok teh cuka untuk satu potongan daging. Karena bila terlalu banyak maka bisa menghilangkan cita rasa dari daging tersebut.

Kemudian, jeruk nipis juga kerap digunakan oleh juru masak di berbagai restoran maupun rumah makan. Jeruk nipis memiliki manfaat untuk melunakkan dan mengurangi bau amis pada daging. Selain itu, daging yang telah dilumuri jeruk nipis akan lebih awet, karena cairan jeruk nipis dapat menumbuh bakteri. Sebelum dimasak daging dilumuri dengan air perasan jeruk nipis lalu tunggu hingga 30 menit agar air perasan jeruk meresap.

Adapun parutan nanas yang juga sering menjadi andalan para ibu rumah tangga untuk menaklukkan bau tak sedap pada daging sapi. Nanas mengandung enzim nabati yang akan mudah larut dalam protein daging, serta mampu memecah jaringan ikatnya. Aroma asam nanas juga membantu meredam aroma amis pada daging. Parut atau belender nanas terlebih dahulu lalu lumuri daging sapi dengan parutan nanas agar cepat empuk. Lalu diamkan dan simpan selama sejam. Sesuaikan jumlah parutan nanas jangan terlalu banyak karena daging bisa hancur saat dimasak.

Parutan jahe juga menjadi bahan yang tak kalah jitu untuk meredam bau tak sedap pada daging sapi. Jahe merupakan rempah alami dengan aroma khas yang sering digunakan sebagai campuran penghilang bau amis pada daging ketika direbus. Enzim preteolitik pada jahe dapat memecah protein sehingga daging cepat empuk. Caranya parut jahe terlebih dahulu, lalu parutan tersebut dioleskan pada daging, diamkan sekitar 30 menit, barulah bisa dimasak sesuai selera.

Satu lagi bahan yang lazim digunakan para pengolah daging adalah daun pepaya. Cara ini lebih cocok digunakan untuk mengatasi bau tidak sedap pada daging kambing. Daun pepaya juga bisa diaplikasikan pada jenis daging yang lain. Caranya yaitu dengan membungkus daging dengan daun pepaya. Jika kesulitan mencari daun pepaya, serbuk papain yang berasal dari getah pepaya dapat dipakai untuk menghilangkan bau tidak sedap pada daging dan bahkan bisa membuat daging menjadi empuk.

Itulah beberapa tips sederhana yang bisa dipraktikan untuk meredam bau tak sedap pada daging sapi. Semoga bermanfaat. (Abdul Kholis)

PERAN MYCOTOXIN BINDER UNTUK PAKAN UNGGAS SEHAT PRODUKTIF

Mikotoksin dapat menyebabkan penurunan produksi yang cukup signifikan. (Foto: Dok. Infovet)

Pakan memiliki peranan penting dan strategis dalam bisnis peternakan termasuk dalam usaha peternakan unggas, sebab menyangkut kebutuhannya sebagai penunjang hidup pokok, pengganti sel dan pembentuk produk akhir (daging dan telur). Kebutuhan biaya pakan dalam budidaya unggas pun adalah yang paling besar, yakni mencapai 70%. Oleh karena itu diperlukan kualitas dan kuantitas pakan yang sangat baik, agar meraih hasil produksi yang optimal dan menguntungkan. Apabila pakan yang diberikan buruk, seperti tercemar jamur dan toksinnya, sudah pasti mengancam kualitasnya dan merugikan ternak serta peternaknya.

Seperti halnya Mikotoksikosis, penyakit keracunan yang disebabkan oleh mikotoksin, yaitu metabolit sekunder hasil metabolisme jamur yang tumbuh pada pakan unggas. Ada 300 jenis mikotoksin, namun yang banyak menyerang unggas dan berbahaya adalah aflatoksin, T-2 toksin, DON, zearalenon, fumonisin dan okratoksin, dimana bermacam jenis mikotoksin tersebut biasa ditemukan dalam bahan baku pakan (jagung, bekatul, kedelai) dengan jumlah/konsentrasi yang bervariasi. Di wilayah ASEAN, Indonesia yang beriklim tropis menduduki peringkat tertinggi dalam hal pencemaran mikotoksin pada biji-bijian.

Jamur mudah tumbuh dimana saja, misal di tanah, materi organik yang membusuk dan jenis biji-bijian. Pada tanaman biji-bijian, kontaminasi jamur dapat terjadi selama penanaman, saat panen, selama tranportasi dan saat penyimpanan, dimana bahan baku pakan dengan kadar air lebih dari 14% yang disimpan pada suhu 10-42°C dengan kelembaban lebih dari 70% akan akan sangat mudah terkontaminasi jamur yang memicu produksi mikotoksin. Mikotoksin merupakan bahan kimia yang bersifat stabil dan mampu bertahan dalam jangka waktu lama, walaupun media yang menghasilkannya telah mati. Umumnya dijumpai dua atau lebih jenis mikotoksin pada satu jenis biji-bijian yang dipakai sebagai bahan baku pakan unggas dan menimbulkan efek toksik yang sangat berat.

Serangan mikotoksin pada unggas dipengaruhi berbagai faktor, antara lain jenis kelamin, umur, kondisi fisik, status nutrisi, kadar dan jenis mikotoksin, konsumsi pakan, lama serangan, manajemen peternakan dan infeksi penyakit lainnya. Pada ayam biasanya menderita penyakit ringan dan tidak spesifik, namun mikotoksikosis bersifat imunosupresif, disamping dapat memicu terjadinya berbagai penyakit.

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, mikotoksikosis dibedakan menjadi dua,  mikotoksikosis akut dan mikotoksikosis kronis. Mikotoksikosis akut dimana kejadiannya cepat, fatal dan menimbulkan kerugian ekonomi besar yang akan mengganggu metabolisme lemak, sehingga terjadi timbunan lemak di hati (fatty liver syndrome). Sedangkan mikotoksikosis kronis, kejadiannya berlangsung lama dengan tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) rendah. Serangan mikotoksin dapat menurunkan ketersediaan... (SA)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2019.

FLPI GELAR PELATIHAN LOGISTIK RANTAI DINGIN PRODUK DAGING

Peserta pelatihan logistik rantai dingin yang dilaksanakan FLPI di Bogor. (Foto: Infovet/Sadarman)

Rantai dingin merupakan bagian dari rantai pasok (supply chain) yang bertujuan untuk menjaga suhu agar suatu produk tetap terjaga selama proses pengumpulan, pengolahan, dan pendistribusiannya hingga ke tangan konsumen. Penerapan rantai dingin untuk produk peternakan biasanya berupa daging sangat diperlukan, sebab mengingat produk ternak tersebut rentan rusak.

Penerapan rantai dingin perlu di-manage dengan baik, sehingga kegiatannya dapat dianalisis, diukur, dikontrol, didokumentasikan dan divalidasi agar berjalan efektif dan efisien, baik secara teknis maupun ekonomis.

Mengingat pentingnya rantai dingin untuk produk ternak tersebut, Forum Logistik dan Peternakan Indonesia (FLPI) bekerjasama dengan Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia (ARPI) menyelenggarakan pelatihan pada 21-22 Februari 2019, bertajuk “Logistik Rantai Dingin pada Produk Daging” sekaligus kunjungan cold storage. Pelatihan dilaksanakan di Ruang Sidang Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dramaga Bogor.

Kegiatan dihadiri dan dibuka langsung oleh Dr Rudi Afnan, Wakil Dekan Bidang Sumberdaya, Kerjasama dan Pengembangan Fakultas Peternakan IPB. Pelatihan ini juga menghadirkan narasumber kompeten, diantaranya Prof Dr Irma Isnafia Arief (Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan), Sudarno (PT Sierad Produce, Tbk), Irene Natasha (PT Adib Cold Logistics Indonesia) dan Dr Raden Didiet Rachmat Hidayat (Dosen Logistik Institut Transportasi dan Logistik Trisakti).

Dalam sambutannya, Rudi, menyebut FLPI merupakan wadah baru yang memfasilitasi, melatih dan membina pelaku usaha terkait perdagingan. “Kegiatan pelatihan yang diinisiasi FLPI penting dilaksanakan, mengingat fungsinya dapat memberikan masukkan terkait bagaimana cara logistik rantai dingin produk-produk peternakan ke depannya,” kata Rudi.

Menurutnya, produk ternak terutama daging, adalah bahan pangan yang sangat mudah rusak. “Daging itu sangat mudah rusak, sehingga perlu dikaji bagaimana logistiknya dan supply chain management-nya, sehingga produk tersebut diterima dengan aman dan tidak menimbulkan efek negatif pada konsumen yang mengonsumsinya,” pungkasnya. (Sadarman)

Pembentukan Sapi Indonesian Commercial Cross Mulai Digagas

Direncanakan pengembangan sapi Indonesian Commercial Cross untuk akselarasi produksi daging dan susu nasional. (Sumber: Istimewa)

“Perlunya dibentuk bangsa sapi potong dan perah komersial asli Indonesia yang mempunyai produktivitas mumpuni, namun juga mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropis di Indonesia.”

Keresahan kaum intelektual di perguruan tinggi dan lembaga penelitian terhadap ketiadaan brand sapi komersial asli Indonesia, sedikit mulai menemukan jawaban. Pertemuan ilmiah antara akademisi, peneliti dan praktisi peternakan ruminansia dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digagas Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Fapet UGM), yang dibuka oleh Prof Dr Ir Ali Agus, selaku Dekan Fapet UGM telah terlaksana dengan baik dan menghasilkan secercah harapan untuk masa depan sapi potong dan perah di Indonesia.

Bertempat di Ruang Sidang Besar, Gedung H-1, Fapet UGM Yogyakarta pada Jumat, (21/12), para akademisi dan peneliti dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian, serta praktisi dan pengusaha ternak ruminansia berkumpul, untuk menyamakan persepsi terhadap tujuan, arah dan model kombinasi untuk mendapatkan bangsa sapi komersial Indonesia (beef dan dairy) yang mampu menjawab kebutuhan daging dan susu di Indonesia.

Peserta akademisi berasal dari Fapet UGM, Unpad Bandung, UNS Surakarta, Unlam Kalimantan Selatan, Udayana Bali dan Kanjuruhan Malang. Sedangkan peneliti yang dihadirkan berasal dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong, BPTBA LIPI Yogyakarta, dan Loka Penelitian Sapi Potong Grati. Turut hadir pula perwakilan dari Koperasi Susu Warga Mulya Sleman dan PT Widodo Makmur Perkasa Klaten.

FGD diawali dengan pemaparan oleh Prof Dr Ir Sumadi, tentang definisi dan karakter yang dibutuhkan dalam pembentukan sapi Indonesian Beef Commercial Cross (IBCC) dan sapi Indonesian Dairy Commercial Cross (IDCC), serta potensi dan output yang diharapkan.

“Indonesia defisit satu juta ekor sapi potong yang saat ini diwujudkan dalam bentuk impor sapi sebanyak 700 ribu ekor dan impor daging setara 300 ribu ekor. Sedangkan untuk sapi perah, kita defisit dua juta induk, jika mengacu pada kebutuhan susu sapi nasional. Kurang lebih 70% kebutuhan susu nasional, kita dapatkan dari impor,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, perlu dibentuk bangsa sapi potong dan perah komersial asli Indonesia yang mempunyai produktivitas mumpuni, namun juga mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropis di Indonesia.

Bentuk Bangsa Sapi IBCC dan IDCC
Pembentukan bangsa sapi IBCC dan IDCC dapat ditempuh mulai dari nol (bisa mengacu pada pembentukan bangsa Kuda Pacu Indonesia), atau dengan cara pemetaan dari bangsa sapi yang ada saat ini.

Alternative crossing yang dapat dilakukan diantaranya dengan memaksimalkan heterosis (prestasi rata-rata anak di atas rata-rata induknya), grading up (mengubah bangsa satu ke bangsa yang lain), ataupun melalui pembentukan bangsa baru (komposit). Pemetaan bangsa sapi yang ada saat ini, menurut Prof Ir I Gede Suparta Budisatria, dapat mengacu pada hasil-hasil riset perguruan tinggi dan lembaga penelitian yang mengarah ke akselerasi produksi daging dan susu nasional. Hasil-hasil riset itu perlu disinkronisasikan, dirakit, hingga didapatkan komposit terbaik yang bisa diambil sebagai solusi untuk hasil yang lebih singkat, mengingat pekerjaan breeding beresiko menghabiskan waktu puluhan tahun hingga dihasilkan generasi sapi yang diharapkan.

Terkait dengan ketersediaan bangsa sapi lokal pure yang siap dijadikan sumber indukan, menurut Prof Dr Ir Sri Bandiati, telah tersedia bangsa sapi Pasundan hasil penelitian di Jawa Barat. Di lain pihak, Dr Syahruddin Said, menambahkan bahwa telah teridentifikasi genetik sebanyak 13 ekor sapi Sumba Ongole (SO) murni hasil kolaborasi dengan Puslit Bioteknologi LIPI di kandang milik PT Karya Anugerah Rumpin (KAR) Bogor. Sapi SO tersebut telah tersertifikasi SNI dan siap digunakan sebagai sumber indukan.

Sementara, dosen jurusan peternakan UNS, Nuzul Widyas, ikut menegaskan perlu juga dipertimbangkan bahwa tidak serta-merta persilangan antara Bos indicus (bangsa sapi tropis) dengan Bos taurus (bangsa sapi subtropis) selalu menghasilkan keuntungan. Sebagai contoh pada bangsa sapi Belgian blue di Belgia yang merupakan hasil persilangan berbagai bangsa sapi hingga didapatkan sapi dengan double muscling, yang ternyata mempunyai kekurangan berupa mengecilnya saluran reproduksi akibat pertumbuhan otot yang super, sehingga diperlukan operasi sesar dalam setiap penanganan kelahirannya. Tentu ini menambah biaya dan tenaga.

Saat ini diketahui bahwa sapi-sapi yang dipelihara di Indonesia tidak mudah lagi untuk dideteksi berapa persen darah suatu bangsa ada dalam ternak tersebut. Lemahnya recording system di tingkat peternak menjadi salah satu faktor, di samping sosiokultural sebagian masyarakat yang semakin senang jika ternak mereka semakin berwarna “merah” (darah Bos taurus semakin tinggi), tanpa mereka sadari bahwa akan semakin tinggi pula biaya yang di keluarkan untuk pemenuhan nutrien pakan dan pemeliharaan jika diinginkan produktivitasnya optimal.

Sementara terkait dengan pembentukan IDCC, Prof Dr Ir Tridjoko Wisnu Murti, menegaskan bahwa akselerasi yang dibutuhkan saat ini bukan hanya dalam pemenuhan jumlah tonase susu yang dihasilkan, tetapi juga pada kualitas susu itu sendiri.
Saat ini di lapangan, dengan 600 ribu ekor sapi perah yang dimiliki Indonesia, hampir seluruhnya merupakan sapi Friesian Holstein (FH) dan peranakannya (PFH) yang identik dengan warna hitam dan putih. Padahal, lanjut dia, terdapat sapi FH berwarna merah dan putih yang lebih adaptif terhadap kondisi tropis, serta bangsa sapi Jersey yang juga merupakan bangsa sapi perah dengan kemampuan adaptasi iklim tropis yang lebih baik, sehingga perlunya pemikiran untuk melakukan akselerasi dengan pendekatan breeding yang lebih terkonsep dengan baik.

Hal ini diamini oleh peternak sapi perah yang tergabung dalam Koperasi Susu Warga Mulya Sleman. Jenis sapi yang diinginkan peternak adalah sapi perah yang low cost, yaitu sapi yang dengan postur dan kemampuan produksi yang tidak superior, namun dapat dikelola sesuai dengan kemampuan peternak.

Sebab yang terjadi selama ini adalah, peternak “dipaksa” memelihara sapi perah FH/PFH dengan tuntutan biaya pakan tinggi, karena memang secara genetik sapi tersebut membutuhkan pakan dengan kuantitas dan kualitas tinggi. Ketika hal ini tidak dapat dipenuhi secara kontinu, maka produksi susu akan turun jauh di bawah performa yang diharapkan, bahkan rentan terjadi metabolic diseases dengan ditemukannya sapi perah produksi tinggi yang ambruk.

Menutupi kekurangan margin usaha sapi perah, para peternak menyilangkan induk perah mereka dengan straw sapi potong seperti Limousin dan Simmental, yang akan menghasilkan anakan dengan harga jual lebih tinggi. Ini pasti menimbulkan masalah, baik pada reproduksi maupun untuk replacement stock. Oleh karena itu, keluhan peternak ini harus segera dicarikan solusinya. Bisa jadi IDCC sebagai salah satu solusinya.

Dengan adanya bangsa sapi perah yang lebih adaptif terhadap iklim tropis, akan memudahkan peternak dalam mengelola pakan tanpa kekhawatiran menimbulkan kekurangan nutrien, sehingga produksi susu secara optimal dapat diraih. Satu hal yang pasti, meskipun bukan jumlah produksi susu yang superior, namun biaya yang dikeluarkan masih terjangkau peternak.

Dari kegiatan FGD tersebut, diharapkan menjadi awal inisiasi pemikiran seluruh stakeholder bidang sapi potong dan perah, untuk turut serta mengatasi permasalahan industri persapian. Pertemuan selanjutnya akan dilakukan pada awal 2019 di Bogor, dengan agenda pembentukan konsorsium sapi potong dan perah komersial Indonesia, serta penentuan langkah teknis, hingga diharapkan launching IBCC dan IDCC bisa terwujud pada 2022 mendatang.

Pengembangan bangsa sapi komersial ini membutuhkan dukungan dan kerja-keras semua pihak, mulai dari pihak swasta, asosiasi/organisasi, pemerintah sebagai regulator, perguruan tinggi dan lembaga penelitian. ***


Awistaros Angger Sakti, M.Sc.
Peneliti di BPTBA LIPI Yogyakarta

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer