Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini One Health | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

HARUS TAHU LEBIH TENTANG RESISTENSI ANTIMIKROBA

Mencegah AMR dengan bijak menggunakan antibiotik (Foto : CR)

Dalam dunia medis dan peternakan isu resistensi antimikroba merupakan isu yang sangat seksi untuk dibicarakan. Namun begitu, masyarakat luas kurang mengetahui akan pentingnya isu ini. Padahal ancaman resistensi antimikroba setingkat dengan bio terorisme. Atas inisiatif inilah ReAct bersama Yayasan Orangtua Peduli dan FAO menggelar seminar resistensi antimikroba di Jakarta, 14 November lalu.

Narasumber dalam acara tersebut adalah drh Wayan Wiryawan dan dr Purnamawati Sp.A(K). Wayan Wiryawan dari Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia mengatakan, penggunaan antimikroba yang serampangan dalam dunia peternakan ridak hanya akan merugikan usahanya sendiri tetapi juga konsumen yang mengkonsumsi produknya. “Tentunya ini akan berbahaya bagi semuanya, bukan hanya yang beternak saja”, katanya.

Wayan juga menyampaikan bahwa pemakaian antibiotik yang tidak bijak menjadi tantangan dalam beberapa tahun belakangan karena banyak mikroorganisme yang sudah resisten terhadap antimikroba tertentu.

“Saya selalu bilang pada peternak pemakaian antibiotik bukan untuk pencegahan tapi untuk mengobati. Jadi tidak baik untuk kesehatan hewan itu sendiri. Selain itu saya juga selalu mengingatkan peternak agar menerapkan biosekuriti yang baik serta penerapan Good Farming Practices”, ujarnya.

Senada dengan Wayan, Purnamawati juga menekankan bahwa penggunaan antimikroba untuk penyakit - penyakit yang ringan seperti flu, radang tengorokan dan diare tanpa lendir atau darah sebaiknya tidak dilakukan.

"Kami sudah bekerjasama bahkan sudah sampai ke KEMENKES isu ini, sejak beberapa tahun lalu. Namun memang sangat sulit ya mengubah mindset masyarakat kita tentang antibiotik ini. Mereka masih menganggap antibiotik ini sebagai obat dewa, tetapi mengkonsumsinya seperti "dewa mabuk"," tukas Purnamawati.

Maksudnya adalah ketika memang dibutuhkan antibiotik dalam medikasi, masyarakat tidak bijak dan disiplin dalam mengonsumsinya (tidak sampai tuntas), sehingga timbul resistensi antimikroba. Selain itu fakta lain yang mengejutkan yang dipaparkan oleh Purnamawati adalah bahwa sejak tahun 1980-an tidak lagi ditemukan antimikroba jenis baru, sehingga ini mempersempit drug of choice terhadap infeksi bakterial atau parasitik.

Guna mencegah "bencana" yang lebih besar akibat resistensi antimikroba, baik Wayan maupun Purnamawati mengajak serta masyarakat Indonesia agar menggunakan antimikroba dengan bijak dan cerdas. Karena jika hal ini kerap berlanjut, bukan tidak mungkin akan jatuh lebih banyak korban akibat resistensi antimikroba.

Perlu juga peran dari media sebagai penyambung kepada masyarakat agar mengamplifikasi pengetahuan kepada masyarakat awam akan pentingnya isu ini, karena menurut Purnamawati dan Wayan di masa kini, apa yang muncul dari media lebih dipercaya oleh masyarakat ketimbang pendapat para ahli (CR).


 

OPTIMALISASI KONSEP ONE HEALTH DALAM PENCEGAHAN FOOD BORNE DISEASE

Pembicara seminar pada kegiatan RAP 2019 yang dilaksanakan di Bogor. (Foto: Infovet/Sadarman)

Himpunan Profesi (Himpro) Ruminansia, Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor (IPB), menyelenggarakan kegiatan Ruminant Action Project (RAP), pada Minggu (13/10/2019), di salah satu pusat perbelanjaan di Bogor, bertajuk “Optimalisasi Konsep One Health dalam Pencegahan Food Borne Disease”.

Ketua Panitia Pelaksana RAP, Sri Wahyuni, menyebutkan bahwa pelaksanaan RAP 2019 sengaja dilakukan di pusat perbelanjaan karena diakhir kegiatan diadakan kegiatan lomba memasak. “Ada lomba memasak dan pesertanya kebanyakan dari pengunjung dan dari kelompok-kelompok mahasiswa,” ujar Yuni kepada Infovet ditemui disela-sela acara.

Sementara Ketua Himpro Ruminansia FKH IPB, Agung Nulhakim, menyatakan acara tahunan ini menjadi mega program kerja (mega proker) dari Himpro Ruminansia. “Tahun lalu kita sukses mengedukasi masyarakat pedesaan, tahun ini kita kembali mengedukasi masyarakat perkotaan. Tentunya tema acara disesuaikan dengan kebutuhan mereka,” kata Agung.

Terkait tema acara, Dekan FKH IPB yang diwakili oleh Dr Drh Sri Rahmatul Laila, menyebut bahwa konsep OH sejatinya adalah mencegah penyakit hewan menular, ternak ke manusia dan sebaliknya, yang melibatkan semua stakeholders, baik pemerintah, akademisi dan pihak lainnya yang berkaitan dengan Kesmavet. 

Ia pun turut memberi apresiasi terhadap kegiatan tersebut. “Salut dan bangga dengan mereka dalam mendesain acara ini dan perlu dicontoh oleh Himpro lainnya,” kata Sri Rahmatul Laila yang juga dosen FKH IPB.

Kegiatan menghadirkan narasumber diantaranya Ketua Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner Indonesia (Askesmaveti), Drh Sri Hartati dan dosen Kesmavet FKH IPB, Dr Drh Herwin Pisestyani.

Tampil sebagai pembicara pertama, Sri Hartati memaparkan materi food borne disease, bahaya dan cara pencegahannya. Menurutnya, produk ternak seperti daging, susu dan telur merupakan bahan pangan tinggi protein, sehingga mudah terpapar mikroba. “Bahan pangan asal hewan harus Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH), sehingga fungsinya bukan hanya mengenyangkan, namun juga dapat menyehatkan,” jelasnya.

Agar produk ternak yang dihasilkan menyehatkan bagi konsumen, kata dia, diawali dengan manajemen pemeliharaan yang baik hingga manajemen pemotongan yang higienis, untuk menjamin produk ternak tidak terpapar mikroba maupun bahan cemaran lainnya.

Sementara pembicara kedua, Herwin Pisestyani, menjelaskan mengenai bahaya penyakit bawaan pangan asal hewan. Ia menyebut, resiko food borne disease sejalan dengan peningkatan kebutuhan pangan asal ternak, sehingga dapat dikatakan bahwa setiap orang berisiko terpapar penyakit tersebut. “Penyakit asal bahan pangan cukup banyak, pada 2018 tercatat ada sekitar 61 kasus fatal akibat food borne disease,” kata Herwin. Rata-rata awal mula kasus dari kebiasaan buruk individu yang terlibat dalam menangani dan memproses produk ternak itu sendiri.

Ia mengimbau, konsumen tetap mewaspadai kondisi bahan pangan yang akan atau sudah dibeli, terutama terkait dengan penanganan dan penyimpanannya. (Sadarman)

KOLABORASI KEMENTAN, FAO DAN AFKHI HASILKAN BUKU BARU


Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) bersama Badan Pangan dan Pertanian Persatuan Bangsa-Bangsa (FAO) Indonesia, dan Asosiasi Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia (AFKHI) menuntaskan buku bertajuk Pengayaan Materi Perkuliahaan One Health, Resistensi dan Penggunaan Antimikroba, dan Rantai Pasar Unggas.

Buku tersebut menjelaskan isu-isu kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat terkait strategi pencegahan serta pengendalian Emerging Infectious Disease (penyakit infeksi baru/berulang-PIB) dengan pendekatan One Health, masalah kesehatan unggas, termasuk rantai produksi dengan potensi terjadinya zoonosis seperti penyakit Avian Influenza (AI) serta isu penting dan perkembangan resistensi antimikroba (AMR).

Menurut Dirjen PKH, I Ketut Diarmita dalam acara peluncuran buku tersebut, Kementerian Pertanian sangat serius dalam penanggulangan zoonosis atau penyakit hewan yang dapat ditularkan ke manusia atau sebaliknya.Ketut menganggap langkah Kementan menuangkan pengalaman penanggulangan zoonosis dan AMR serta penanganan kesehatan unggas sangat penting dilakukan, hal ini merupakan kontribusi Kementan untuk kemajuan pendidikan masyarakat luas, dan sumber daya manusia, khususnya di dunia kedokteran hewan di Indonesia.

“Kegiatan di lapangan yang telah dilakukan oleh Kementan dan kementerian terkait lain banyak memberi masukan dan pembelajaran tentang praktik terbaik dalam pencegahan, deteksi, dan respon terhadap ancaman zoonosis, PIB, dan AMR,” ujar Ketut. Lanjut Ketut menambahkan bahwa penyusunan Buku Pengayaan Materi Perkuliahaan One Health, Resistensi dan Penggunaan Antimikroba, dan Rantai Pasar Unggas ini merupakan dukungan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian dalam pengembangan kapasitas SDM sejak sebelum masuk dunia profesional dan upaya keberlanjutan dari hasil kerjasama Kementan dengan FAO dan sebelas lembaga perguruan tinggi di Indonesia.

Sementara itu, perwakilan FAO ECTAD, James McGrane mengatakan bahwa materi-materi pengayaan ini adalah hasil intisari pengalaman dan studi lapangan jangka panjang bersama Kementan di bidang pengendalian penyakit AI atau FB serta kerjasama kuat di sektor perunggasan sejak tahun 2006 yang turut didukung oleh Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika (USAID)."FAO mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan Ditjen PKH, terutama dalam pengendalian AI/FB yang bersifat zoonosis. Keberhasilan Indonesia mengendalikan AI berdampak positif bagi perkembangan perunggasan," tambahnya. 

Dirjen PKH dan Dekan FKH IPB saat peluncuran buku (Foto : FAO)


Sedangkan, Ketua AFKHI, Srihadi Agungpriyono menyambut gembira selesainya pengayaan materi perkuliahan untuk mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan ini.“Topik-topik terkait One Health, kesehatan unggas, dan AMR telah menjadi rekomendasi Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) untuk dijadikan materi ajar di Fakultas Kedokteran Hewan. Ini membuktikan hadirnya peran Pemerintah, akademisi, pakar kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat, serta dunia Internasional yang diwakili oleh FAO dan USAID untuk mewujudkan materi kurikulum kedokteran hewan yang komprehensif dan mutakhir," ungkapnya. 

Menurut Srihadi kerjasama seperti ini merupakan yang pertama di dunia, dimana peran pemerintah, khususnya sektor pertanian dan organisasi internasional seperti FAO langsung terjun mendukung upaya-upaya peningkatan kualitas lulusan perguruan tinggi. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk upaya dalam mencapai konsep Day 1 Competency yang disarankan oleh OIE.

Buku yang terdiri dari 5 (lima) bab utama, setebal 73 halaman, masing-masing membahas tentang Implementasi One Health dalam Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis dan Penyakit Infeksi Baru; Pengendalian Resistensi Antimikroba dan Penggunaan Antimikroba.Serta Implementasi Kesehatan Unggas dan Rantai Pasar Unggas ini kemudian diserahterimakan secara simbolis oleh Dirjen PKH, Dr. Drh. I Ketut Diarmita, M.P., dan Team Leader FAO ECTAD, Dr. James McGrane kepada ketua AFKHI, Prof. Srihadi Agungpriyono untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan ajar. (FAO)



KOMITMEN ONE HEALTH BUKA PELUANG EKSPOR PRODUK PETERNAKAN KE JEPANG

Dirkeswan saat menyampaikan presentasinya di Tokyo AMR One Health Conference. (Foto: Istimewa)

Tokyo AMR One Health Conference yang dihelat Jumat (8/3/2019), Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan) Kementerian Pertanian (Kementan) Fadjar Sumping Tjatur Rasa hadir mewakili Indonesia. Acara ini juga turut dihadiri delegasi dari 17 negara Asia Pasifik.

Indonesia saat ini terus menyiapkan diri menuju pertanian modern. Pernyataan itu disampaikan oleh Dirkeswan.

"Kami siapkan secara terpadu dari hulu sampai ke hilir, kemudian menyiapkan sistem pengawasan obat-obatan hewan, prasarana dan sarana kesehatan serta pengkajian efek samping," kata Fadjar dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (9/3/2019).

Selain itu, persiapan lain yang juga terus digencarkan adalah pengaturan penggunaan antibiotik serta populasi dan distribusi ternak. Di sisi lain, ada juga pematangan legislasi dan pengawasan pakan ternak maupun kompetensi sumber daya manusia medik dan paramedik veteriner.

"Langkah ini sudah kami rintis sejak tahun 2015 yang bekerja sama dengan Pemerintah Belanda dan FAO dalam mengembangkan peta jalan dan pengembangan pengendalian AMR di Kementerian Pertanian," katanya.

Menurut Fadjar, semua upaya itu sudah membuahkan hasil yang cukup bagus, juga sangat strategis. Di antaranya telah menghasilkan produk olahan hasil peternak yang didukung dengan izin ekspor ke Jepang.

"Indonesia akan menjadi satu-satunya eksportir SFM untuk bahan baku pupuk dan pakan ternak pertama untuk Jepang. Karena itu, kami kawal dengan baik rencana dan prosedur ekspor ini," ungkapnya.

Fadjar menambahkan, permintaan impor juga terjadi pada tepung bulu, bahkan sudah memperoleh permintaan impor sosis daging sapi bersetifikat halal dari Sugitomo Co Ltd Jepang. Selanjutnya, ada juga produk lain yang akan menyusul memperoleh permintaan impor dari Jepang.

"Dua perusahaan Jepang, Saiwa Shaji Co Ltd dan Kyushu Koeki Co Ltd akan menjadi importir steamed feather meal (SFM) atau tepung bulu dari Indonesia. SFM ini akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk dan pakan ternak di Jepang," lanjutnya.

Kendati demikian, kata dia, pengakuan sertifikasi halal Indonesia yang dilabeli MUI jauh lebih tinggi ketimbang sertifikasi halal yang berlaku di Jepang. Posisi ini sangat membantu karena produk hasil peternakan asal Indonesia tidak perlu mengajukan sertifikasi di Jepang.

"Keunggulan ini harus kita jaga bersama dengan cara menjamin kualitas produk. Apalagi pasar produk halal akan semakin meningkat karena wisata salju dan sakura di Jepang semakin diminati. Lebih dari itu, wisatawan yang sebagian besar muslim akan semakin mudah menemukan produk halal," tandasnya.

Fadjar menambahkan, pertemuan ini juga telah membawa dampak positif, utamanya pada sektor peternakan Indonesia. Dampak positif itu ditandai dengan munculnya berbagai industri pabrik pakan ternak yang bebas antibiotik.

"Ada juga pabrik pemacu pertumbuhan dan peningkatan biosekuriti di farm atau produk unggas olahan bebas residu antibiotik serta kompartemen farm yang bebas penyakit unggas. Inilah yang akan mendorong peningkatan permintaan pemasukan produk unggas olahan dari Indonesia ke Jepang," katanya.

Pertemuan ini juga turut dihadiri para perwakilan FAO, WHO, OIE, NIID, dan SEARO. Indonesia sendiri dalam presentasinya mengambil judul ”National Action Plan on AMR Indonesia”.

"Jadi, supaya One-health ini bisa optimal sesuai Rencana Aksi Nasional, maka perlu lebih mengadvokasi kembali K/L dan berbagai pihak terkait untuk ikut berkolaborasi dalam survei yang disebut Tri-cycle Surveillance AMR One-Health untuk memonitor dalam mencegah terjadinya kuman resisten," tutup Fadjar. (NDV)


Atasi AMR, Dokter Hewan jadi Garda Terdepan

Panitia penyelenggara bersama para peserta seminar CIVAS, Sabtu (1/12). (Foto: Istimewa)

Antimicrobial Resistance (AMR) masih menjadi isu global yang terus mendapat perhatian banyak pihak. Fenomena ini tidak hanya terjadi di manusia, tetapi juga pada hewan dan lingkungan. Hal ini terjadi akibat penggunaan antibiotik yang berlebihan, tidak bijak dan tidak bertanggung jawab pada sektor kesehatan manusia dan hewan.

Hal tersebut mendasari Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) melaksanakan seminar dan dialog bertema “Pendekatan One Health dalam Upaya Mengatasi Meningkatnya Ancaman Resistensi Antimikroba (AMR)” pada Sabtu (1/12).

Seminar tersebut dihadiri peserta dokter hewan dari beragam institusi, baik dari pemerintah, swasta dan dokter hewan praktisi. Ketua Pelaksana, Drh Sunandar, menyebut, saat ini peran dokter hewan telah menjadi dasar penting untuk keberhasilan penerapan strategi, tindakan, dan metode untuk memajukan, melindungi, serta mengembalikan kesehatan hewan dan populasi penduduk guna melindungi kesehatan manusia.

“Kita butuh inisiatif dari beberapa kelompok masyarakat yang peduli, yang bersedia untuk berpartisipasi secara proaktif dan ingin menyumbangkan kemampuannya di bidang kedokteran hewan untuk memastikan peningkatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat melalui kesehatan hewan,” ujar Sunandar.

Sementara, Ketua Badan Pengurus CIVAS, Drh Tri Satya Putri Naipospos, mengungkapkan, edukasi mengenai AMR menjadi sesuatu hal penting untuk dokter hewan di mana pun mereka bekerja. Menurutnya, saat ini Indonesia telah memiliki lebih dari 20 ribu dokter hewan, rata-rata mereka memberikan pelayanan teknis di pemerintahan atau swasta, sehingga mereka harus paham dan mengerti AMR. Ke depannya diharapkan mereka dapat menjadi agen yang dapat mengubah cara pandang masyarakat dalam penggunaan antibiotik yang baik dan benar.

“Para dokter hewan, mereka adalah garis terdepan yang dalam praktek sehari-harinya melakukan pemberian antibiotik kepada hewan, baik melalui suntikan, pakan atau air minum. Mereka kurang tersentuh dengan kampanye sosialisasi tentang masalah AMR, ini tidak benar, kalau mau menurunkan kasus AMR itu sendiri pada manusia sebagai konsumen produk ternak, maka yang perlu dilakukan adalah edukasi dokter hewannya yang secara langsung bersentuhan dengan pemicu terjadinya AMR,” tutur wanita yang akrab disapa Tata.

Tata menambahkan, profesi dokter hewan harus turut berpartisipasi aktif dalam menghadapi masalah AMR dengan pendekatan terpadu One Health. “Untuk memitigasi risiko AMR, dokter hewan harus mengubah dengan cara-cara pemberian antibiotik lama yang dianggap berlebihan (overuse) dan menyimpang (misuse) menuju penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggung jawab,” imbuhnya. 

Senada dengan hal itu, Dr Joanna McKenzie, salah satu pembicara dari Massey University, New Zealand, menyatakan AMR merupakan ancaman nyata yang dapat menyebabkan kematian lebih dari 10 juta orang pada tahun 2050 mendatang jika tidak bergerak dari sekarang. “Ini akan menjadi kenyataan yang terjadi pada generasi kita. Saat ketika kita telah meninggalkan mereka dengan musibah besar, yakni AMR,” kata Dr Joanna.

AMR sendiri, lanjut dia, merupakan masalah komplek dan multisektorial yang membutuhkan pendekatan One Health, serta peran semua pihak terutama dokter hewan. Profesi kesehatan hewan sangat penting dalam penggunaan antimikroba dengan bijak, sebab 80-99% penggunaan antimikroba terdapat di industri peternakan. 

Ditambahkan oleh Dr Tikiri Wijayathilaka, spesialis AMR dari Sri Lanka, mengungkapkan bahwa Benua Asia merupakan salah satu epicenter terjadinya AMR di dunia, hal ini disebabkan masih lemahnya penegakkan peraturan dan pengawasan penggunaan antibiotika untuk kesehatan manusia dan ternak. Selain ancaman juga datang dari antibiotik palsu yang 78% diproduksi di negara-negara Asia, 44% diantaranya digunakan di kawasan ini. “Sudah saatnya pemerintah bersama-sama dengan profesi kesehatan melakukan hal yang progresif untuk mengatasi AMR,” katanya. (Sadarman)

Kesehatan Hewan dan Keamanan Pangan Kunci Tembus Pasar Global

Dirjen PKH dalam Rapat Koordinasi Teknis Nasional di Lombok (Foto: Dok. Kementan)


"Dalam rangka peningkatan nilai tambah dan daya saing produk ekspor, Kementan terus mendorong komitmen semua pihak dalam mewujudkan konsep One Health dalam penanganan penyakit Zoonosis," tutur Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) I Ketut Diarmita dalam Rapat Koordinasi Teknis Nasional (Rakonteknas) di Hotel Lombok Raya, Nusa Tenggara Barat, Rabu (5/12/2018).

Saat ini masalah kesehatan hewan dan keamanan produk hewan menjadi isu penting dalam perdagangan internasional. Bahkan menjadi hambatan dalam menembus pasar global.

Sebagai upaya memanfaatkan peluang ekspor, diperlukan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan sektor peternakan, terutama dalam penerapan standar-standar internasional mulai dari hulu ke hilir.

Ditjen PKH sendiri terus membangun kompartemen-kompartemen Avian Influenza (AI) dengan penerapan sistem biosekuriti. Kini, kompartemen tersebut sudah berkembang menjadi 141 titik dan ditambah 40 titik yang masih dalam proses untuk sertifikasi, padahal awalnya hanya 49 titik.

“Kita terus mendesain kegiatan ini agar peternak lokal dapat menerapkan dengan baik dan kompartemen-kompartemen yang dibangun diakui oleh negara lain,” terang I Ketut.

Untuk penjaminan keamanan pangan, saat ini sudah ada 2.132 unit usaha ber-NKV (nomor kontrol veteriner). Nomor ini merupakan bukti tertulis yang sah bagi terpenuhinya persyaratan sanitasi higienis sebagai jaminan keamanan produk hewan pada unit usaha produk hewan.

Peluang perluasan pasar untuk komoditas peternakan di pasar global, menurut I Ketut, masih sangat terbuka luas. Adanya permintaan dari negara di daerah Timur Tengah dan negara lain di kawasan Asia sangat berpotensi untuk dilakukan penjajakan karena keunggulan Indonesia salah satunya adalah produk halal.

"Jaminan kehalalan juga dapat menjadi daya tarik tersendiri untuk ekspor produk peternakan ke wilayah Timur Tengah dan negara dengan penduduk mayoritas muslim lainnya dan ini harus kita manfaatkan,” ungkap Ketut.

Ekspor Peternakan 2018 Meningkat

Dalam kesempatan tersebut, I Ketut Diarmita juga menyatakan, ekspor sub sektor peternakan terus meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal itu sejalan dengan kebijakan Kementerian Pertanian (Kementan) dalam meningkatkan daya saing dan mempermudah perizinan ekspor.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementan, volume ekspor sub sektor peternakan pada 2018 sejak Januari hingga September sebesar 183.414 ton dengan nilai 474.193.507 dolar AS. Dengan demikian terhitung volume ekspor naik sebesar 52,99 persen dan sementara nilai ekspor meningkat sebesar 194 persen, jika dibandingkan dengan volume dan nilai ekspor Januari-September 2017 yaitu sebesar 119.885 ton dan 161.171.933 dolar AS.

“Kita harapkan volume dan nilai ekspor sub sektor peternakan di triwulan akhir 2018 terus mengalami peningkatan,” katanya.

Ketut menjelaskan, data realisasi rekomendasi ekspor Ditjen PKH, capaian ekspor peternakan dan kesehatan hewan pada 3,5 tahun terakhir (2015-2018 semester I) mencapai Rp 32,13 triliun.

Kontribusi ekspor terbesar pada kelompok obat hewan yang mencapai Rp 21,58 triliun menembus ke 87 negara tujuan. Selain itu, ekspor babi ke Singapura sebesar Rp 3,05 triliun.

Produk susu dan olahannya juga menghasilkan sebesar Rp 2,99 triliun menembus pasar di 31 negara. Kelompok pakan ternak asal tumbuhan menyumbang Rp 3,34 triliun masuk ke 14 negara.

Beberapa produk lain seperti produk hewan non pangan, telur ayam tetas, daging dan produk olahannya, pakan ternak, kambing/domba, (DOC), dan semen beku juga menyumbang devisa cukup besar tahun ini.

“Langkah dan kebijakan Kementan dalam mewujudkan visi Indonesia menjadi Lumbung Pangan Dunia pada 2045 terus diupayakan bersama para pemangku kepentingan,” ujar I Ketut. (Sumber: Siaran Pers Kementan)

Komunikasi Tingkat ASEAN Bahas Ancaman AMR

Pertemuan ACGL di Yogyakarta. (Foto: Istimewa)
Resistensi Antimikrobia (AMR) menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan kesehatan masyarakat, hewan dan lingkungan. Hal itu menjadi bahasan dalam pertemuan ASEAN Communication Group on Livestock (ACGL) di Yogyakarta, 7-10 Agustus 2018. 

Pertemuan yang keenam kali ini bertujuan merumuskan langkah-langkah komunikasi tepat dalam menyampaikan bahaya AMR dan peran masyarakat dalam pencegahannya. Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Fadjar Sumping Tjatur Rasa menyampaikan, AMR menjadi masalah lintas sektor yang memerlukan pendekatan multi-sektoral. Menurutnya, saat ini sudah terlihat ada peningkatan kesadaran masyarakat dan peningkatan kapasitas teknis di kesehatan masyarakat untuk pencegahan dan pengandalian AMR.

“Risiko AMR tercatat lebih tinggi di negara-negara dimana peraturan perundang-undangan, pengawasan regulasi dan sistem pemantauan mengenai penggunaan antimikroba hampir tidak ada. Pencegahan dan pengendalian AMR yang tidak memadai dan lemah di beberapa negara akan meningkatkan risiko penyebarannya,” ujar Fadjar.

Dalam pertemuan ini dirumuskan kegiatan komunikasi dan pesan kunci AMR kepada seluruh pemangku kepentingan khususnya masyarakat. “Strategi komunikasi dan advokasi resistensi antimikroba tingkat regional yang telah sepakati oleh para Menteri Pertanian se-Asia Tenggara merupakan pedoman bagi negara anggota ASEAN dalam pelaksanaan kerangka kerja, serta menyempurnakan dan mengembangkan kesadaran AMR” tambah Delegasi Indonesia, Pebi Purwo Suseno.

Pada kesempatan itu, Indonesia juga berbagi pengalaman dalam mengimplementasi pencegahan dan pengendalian AMR, serta implementasi One Health dalam mencegah dan mengendalikan penyakit infeksi baru dan zoonosis. “Bentuk kegiatan edukasi yang sudah dilakukan seperti kuliah umum di perguruan tinggi, kampanye di CFD, perlombaan essay, pembuatan video pendek terkait AMR,  penyabaran informasi melalui media,” sambung Delegasi Indonesia lainnya, Imron Suandi.

Kendati begitu, masih ada tantangan yang dihadapi Indonesia dalam pemahaman AMR, yakni koordinasi lintas sektor, keterbatasan anggaran dan prioritas kegiatan AMR, pengembangan pesan kunci, Komunikasi, Informasi dan Edukasi bagi peternak dan motivasi sektor swasta untuk ikut berperan terhadap pengendalian AMR. “Diharapkan ke depan ada peningkatan pemahaman masyarakat dalam penggunaan antimikroba yang cerdas dan bijak,” pungkasnya. (INF)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer