-->

Bahan Baku Pakan Berkualitas, Produktivitas Ternak Optimal (Bag. I)

Bahan baku pakan ternak. (Foto: Infovet/Wawan)

Tidak dapat dipungkiri bahwa produksi ternak optimal harus sejalan dengan ketersediaan pakan yang cukup dan berkualitas. Bicara soal kecukupan pakan, sudah dimaklumi bersama bahwa ada perbedaan pemberiannya berdasarkan umur pemeliharaan ternak per ekor per hari. Hal ini berarti bahwa pemberian pakan harus didasarkan pada kondisi fisiologi ternak yang disesuaikan dengan umurnya masing-masing.

Pakan tidak hanya dimaknai dengan cukup jumlahnya saja, namun kualitas pakan juga harus diperhatikan. Pentingnya pemberian pakan yang cukup jumlah dan bagus kualitasnya, menurut Apriadi Pasaribu, Supervisor Farm PT Peternakan Ayam Manggis Farm 4 Cianjur, Jawa Barat, ayam yang diberi pakan berkualitas dapat berproduksi optimal dengan bobot telur sesuai standar yang diharapkan. Hal serupa juga dikatakan Reski Susanto, Supervisor Hatchery di perusahaan yang sama. “Jika bobot rata-rata telur sesuai standar, dipastikan persentase telur menetas juga optimal.”

Pakan sendiri diartikan sebagai suatu bahan atau campuran dari berbagai macam bahan yang diformulasikan berdasarkan ISO protein dan ISO energi, sumber nutrien, seperti air, energi, protein, lemak, serat kasar, vitamin dan mineral.

Menurut Dr Roni Ridwan, Peneliti Madya Nutrisi Ternak dan Mikrobiologi Terapan di Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI), Cibinong, kualitas pakan yang diberikan pada ternak harus mengikuti aturan, seperti bahan baku pakan tersedia sepanjang waktu, memiliki kandungan nutrien mencukupi, murah harganya dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia.

Selain itu, kata dia, bahan baku pakan juga harus bebas dari toksin, sehingga tidak membahayakan, baik bagi ternak maupun konsumen yang mengonsumsi produk ternak tersebut. Tidak hanya itu, ia juga mengingatkan bahwa ada persyaratan lain yang diperlukan, yakni kadar air dan kecernaan masing-masing bahan baku pakan.

“Kadar airnya perlu diketahui dan diperhatikan, karena terkait dengan penggudangan, soal kecernaan juga sangat penting. Artinya, jika punya bahan pakan melimpah, tapi kecernaan dari bahan pakan itu rendah, percuma karena tidak dapat dimanfaatkan ternak sesuai fungsinya, ternak mengonsumsi pakan namun tidak tumbuh dengan baik, peternak rugi,” ujar Dr Roni kepada Infovet.

Kebaikan bahan baku pakan sampai saat ini masih menjadi perdebatan, terutama terkait dengan bahan baku yang ketersediaannya minim di pasaran, seperti bahan baku pakan sumber protein, energi dan mineral yang masih harus diimpor. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sudirman, Dewan Pembina Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), bahwa sekitar 35% bahan baku pakan ternak masih impor. “Benar bahwa Indonesia masih importasi bahan baku pakan ternak sumber protein, yakni bungkil kedelai dan nilai impor tertinggi itu ada di bahan baku pakan tepung daging dan tulang (Meat Bone Meal/MBM),” kata Sudirman, seperti dikutip detik.com.

Mengacu pada pernyataan Sudirman, nilai impor yang 35% dipandang cukup besar jika dikalkulasikan dalam bentuk rupiah. Namun, kebijakan impor tetaplah dilakukan, hal ini mengingat bahwa kebutuhan kedua bahan baku pakan tersebut cukup tinggi, apalagi adanya efek domino penggunaannya, terutama kedelai yang juga harus memenuhi kebutuhan manusia.

“Ketersediaan kedelai dan/atau bungkil kedelai itu sendiri untuk bahan baku pakan jelas tidak memungkinkan, mengingat adanya kompetisi dengan manusia yang mengonsumsi dalam bentuk pangan olahan, seperti tahu, tempe dan kecap,” kata Sudirman.

Terkait itu, ada baiknya mengingat kembali jenis dan fungsi bahan baku pakan ternak itu sendiri. Hal ini sedikit memberikan edukasi kepada peternak, terutama self mixing.

Jenis dan Fungsi Bahan Baku Pakan 
Pengelompokan bahan baku pakan ternak setidaknya didasarkan atas empat kelompok. Hal ini karena untuk menspesifikasi bahan pakan ternak dimaksud agar dalam penggunaan tidak menimbulkan over penggunaan atau hal lain yang tidak diinginkan. Dalam buku Principles of Animal Nutrition karya Guoyao Wu (2018), menyebutkan jika didasarkan atas asalnya, maka bahan baku pakan itu sendiri ada yang nabati dan hewani.

Bahan baku pakan asal nabati merupakan bahan baku pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Bahan pakan ini biasanya memiliki serat kasar tinggi. “Benar, jika tumbuh-tumbuhan dijadikan bahan pakan ternak, khususnya untuk ruminansia, maka itu sudah tepat. Bahan pakan asal tumbuhan, seperti rumput dan lainnya, mengadung serat kasar tinggi, di atas 18-20%, ini cocok untuk ruminansia, mereka punya mikroba rumen yang cukup untuk mengolah serat kasar untuk pertumbuhan dan fungsi tubuh lainnya,” kata Dosen Prodi Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan IPB, Dr Ir Muhammad Ridla kepada awak Infovet.

Bahan baku pakan seperti itu tidak hanya didominasi oleh jenis rumput-rumputan saja, namun juga dedaunan, dedak halus, bahkan pelepah daun sawit dapat dikelompokkan ke dalam bahan baku asal nabati.

Di samping itu, bahan baku pakan nabati sebagian juga ada yang mengandung protein tinggi, seperti bungkil kelapa, bungkil kedelai dan bahan asal kacang-kacangan atau leguminosa, sedangkan untuk jagung, disebut sebagai bahan pakan asal nabati tinggi energi.

Selanjutnya bahan baku pakan asal hewani, yakni bahan pakan yang umumnya berasal dari limbah industri, sehingga penggolongannya dapat disebut sebagai bahan baku pakan yang memanfaatkan limbah atau produk samping industri pengolahan pangan asal hewan. Menurut Dr Ridla, bahan baku pakan ini mengandung protein cukup tinggi, sehingga disebut juga sebagai bahan pakan tunggal atau untuk penyusun konsentrat.

“Bahan pakan dari produk samping industri pengolahan ikan, sapi, kambing, domba dan ayam, serta jenis ternak lainnya, biasanya dikelompokkan ke dalam bahan pakan tinggi protein, dengan kandungan protein di atas 20%,” ucap dia.

Namun demikian, dalam memformulasikannya ke dalam pakan ternak, bahan pakan ini memiliki keterbatasan, karena adanya batas maksimum protein di dalam pakan, misalnya untuk ruminansia sekitar 16,20% dan unggas kisaran 18-23%, baik broiler maupun layer. “Batasan ini diperlukan mengingat nilai ekonomi dari pakan itu sendiri, artinya ketika pakan tinggi protein, maka kaitannya dengan biaya yang dikeluarkan untuk pakan itu sendiri juga tinggi,” kata Dr Ridla.

Selanjutnya, jenis bahan baku pakan jika dikelompokkan berdasarkan bentuk, dibedakan atas empat golongan. Pertama, bentuk butiran, disukai oleh unggas dengan nilai ekonomis sampai 25%. Bahan baku pakan ini adalah jagung, gandum, sorgum, kedelai dan lainnya. Kedua, bentuk tepung, biasanya digunakan untuk unggas fase awal pemeliharaan. Bentuk bahan baku pakan ini memiliki nilai ekonomis 25-35%. Ketiga, bentuk pilih, tidak jauh berbeda dengan bentuk butiran, hanya saja nilai ekonomis mencapai 10-25%. Keempat, bentuk cairan, berupa minyak ikan, minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil/VCO) dan minyak kedelai, dengan nilai ekonomis 0,5% yang berfungsi untuk pembentukkan asam lemak bebas.

Sementara itu, jika dilihat dari sumbernya, bahan baku pakan dimasukkan ke dalam tiga kelompok. Pertama, bahan baku pakan sumber energi, yakni semua bahan baku pakan ternak yang kandungan protein kasarnya tidak lebih dari 20% dan kandungan serat kasar di bawah 18%. Bahan pakan ini pun dibedakan lagi atas empat golongan, yakni kelompok serealia atau biji-bijian, kelompok produk samping dari penggilingan biji-bijian, kelompok umbi-umbian dan kelompok hijauan.

“Bahan baku pakan sumber energi secara umum dapat digunakan untuk semua ternak, namun perlu dibatasi penggunaannya terutama untuk unggas, ini terkait dengan efeknya, misalnya pada pakan ayam broiler, biasanya pakan sumber energi yang berlebihan dapat dimobilisasi untuk pembentukkan lemak abdomen,” kata Randi Mulianda, Mahasiswa Program Doktoral di Prodi Ilmu Nutrisi dan Pakan Fapet IPB.

Kedua, bahan baku pakan sumber protein, biasanya dari bahan pakan yang kandungan proteinnya di atas 20%, dapat berasal dari hewan maupun tumbuhan. Menurut Randi, bahan baku pakan sumber protein dapat berasal dari kelompok hijauan, produk samping industri pertanian dan perkebunan, serta kelompok bahan yang diproduksi dari hewan (peternakan dan perikanan) berupa MBM, tepung darah, tepung ikan dan lainnya, baik yang didapat dari RPH, RPU maupun produk samping industri pangan berbahan dasar produk perikanan dan peternakan.

Ketiga, bahan baku pakan sumber vitamin dan mineral, keberadaan dua jenis nutrien ini sangat umum, dapat dijumpai dihampir seluruh bahan baku pakan, baik dari tumbuhan maupun hewan. Perlu diingat, bahwa bahan baku pakan yang diperuntukkan sebagai sumber vitamin dan mineral perlu diperhatikan dalam pemanenan, umur panen, pengolahan dan penyimpanan, serta jenis dan bagian-bagiannya yang akan diberikan kepada ternak, seperti yang ditulis McDonald et al. (2011), dalam bukunya Animal Nutrition, perlakuan apapun yang diberikan kepada bahan baku pakan dapat berpengaruh terhadap nilai nutrien yang dikandungnya, terutama vitamin dan mineral.

Selanjutnya, jenis bahan baku pakan jika kelompokkan menurut kelaziman penggunaannya dibedakan atas bahan baku pakan konvensional dan non-konvensional. Menurut Guoyao Wu (2018), bahan baku pakan konvensional adalah bahan pakan umum dan sering digunakan untuk ternak. Bahan baku pakan ini memiliki kandungan nutrien lengkap, terutama protein dan energi sebagai dasar formulasi pakan.

Sedangkan bahan baku pakan non-konvensional disebut belum umum dipakai untuk bahan pakan tunggal atau dijadikan bahan pakan dalam formulasi pakan. Biasanya bahan pakan non-konvensional lebih banyak digunakan untuk unggas, karena nilai nutriennya mumpuni untuk kebutuhan unggas selama periode pemeliharaan.

“Pakan non-konvensional lebih disarankan penggunaannya karena tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, namun perlu kajian-kajian spesifik, misalnya kandungan nutrien atau non-nutriennya yang dapat dieksplorasi untuk bahan pakan kaya nutrien dimasa depan,” kata Ketua Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia, Prof Nahrowi.

Terkait dengan fungsi dari bahan-bahan baku pakan, banyak informasi yang dipublikasikan, yakni secara umum, fungsi bahan pakan dan pakan untuk semua makluk hidup adalah untuk pemeliharaan tubuh, pertumbuhan, produksi dan perkembangbiakkan atau reproduksi. Namun perlu diingat, pemberian pakan yang tidak sesuai dengan tujuan pemeliharaan, umur dan kondisi fisiologi ternak, dampaknya dapat berupa ternak rentan terhadap penyakit, sehingga dengan sendirinya dapat menurunkan produktivitas ternak, bobot badan panen menurun dan akhirnya keuntungan yang didapat juga ikut menurun. Bersambung... (Sadarman)

Peternak Diminta Bentuk Koperasi Agar Berdaya Saing

Ternak petelur merupakan salah satu penghasil protein hewani yang harus terus diperjuangkan. (Foto: Infovet/Bams)

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), I Ketut Diarmita, mengimbau peternak membentuk kelompok ekonomi agar lebih berdaya saing dan memiliki posisi tawar dalam mengembangkan usahanya.

Menurut Ketut, hal tersebut dinilai penting untuk mengatasi penurunan harga telur ayam ras di tingkat peternak karena oversupply dan keluhan biaya produksi yang membengkak akibat harga DOC dan pakan tinggi.

Untuk meminimalisir itu, Ketut bersama jajarannya turun langsung ke sentra produsen ayam petelur terbesar di Jawa Timur, yakni Kabupaten Blitar untuk berdialog dengan peternak pada Senin (1/10). Dalam dialog yang berlangsung di Pendopo Kabupaten Blitar, sekitar 140 peternak mengeluhkan penurunan harga telur ditingkat peternak.

“Kami sarankan agar peternak bersatu dalam wadah koperasi. Hal ini untuk memudahkan kami dalam memfasilitasi peternak untuk mendapatkan DOC secara langsung dari perusahaan pembibit, sehingga harganya normal,” kata Ketut Diarmita dalam keterangan persnya, Sabtu (6/10).

Ketut membantah bahwa harga DOC mahal karena kelangkaan. Menurutnya, berdasarkan data yang ada, produksi DOC FS layer Januari-Agustus 2018 rata-rata per bulan sebanyak 14.831.383 ekor dan DOC FS broiler sebanyak 243.250.971 ekor atau per minggu sebanyak 57.916.898 ekor. Pasokan justru sangat berlebih dan karenanya dilakukan eskpor.

Ia mengemukakan, ada kemungkinan peternak mengorder DOC secara individu dan dengan jumlah sedikit, sehingga sulit untuk dilayani dan akhirnya mendapat DOC dengan harga tinggi dari pihak ketiga. Apalagi setelah dilakukan pengecekan harga DOC ditingkat pembibit masih normal.

Kendati demikian, peternakan ayam petelur sudah menjadi urat nadi bagi perekonomian Kabupaten Blitar, karena itu nasib peternak layer harus diperjuangkan. “Kita akan ambil sikap bersama agar peternak tidak rugi. Apa yang menjadi keluhan peternak soal kesulitan mendapatkan DOC kita carikan jalan keluar, agar biaya produksi turun dan peternak bisa bersaing,” tegas Ketut.

Soal adanya kelebihan pasokan, ia mengungkapkan, semestinya ditanggapi dengan positif. Sebab, lebih baik kelebihan daripada kekurangan. Solusinya adalah terus mendorong pelaku usaha meningkatkan ekspor, selain mendorong kerjasama pemasaran antara produsen telur seperti Blitar dengan daerah lain.

Sementara, terkait pemenuhan kebutuhan jagung untuk pakan ternak, Ketut meminta Pemerintah Kabupaten Blitar memanfaatkan lahan milik pemerintah yang belum produktif untuk penanaman jagung. “Penanaman ini bisa juga dilakukan oleh BUMD, sehingga dapat menambah Pendapatan Asli Daerah yang akhirnya juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat Blitar,” pungkasnya. (RBS)

Trik Membebaskan Bahan Baku dan Pakan dari Ancaman Toksin

Jagung yang merupakan salah satu pakan ternak unggas. (Foto: Infovet/Ridwan)

Indonesia yang terletak di iklim tropis memiliki dua musim, yaitu musim penghujan dan kemarau. Musim hujan yang biasanya mulai datang pada bulan Oktober, dalam beberapa tahun terakhir seringkali meleset. Begitu pula pada musim kemarau, tidak jarang hujan tiba sewaktu-waktu. Namun secara umum, pada Oktober-Maret sering digolongkan ke dalam musim penghujan dan sebaliknya pada bulan April-September dianggap musim kemarau.

Pada saat pergantian musim banyak dijumpai berbagai kasus penyakit yang menyerang peternakan ayam pedaging (broiler) dan ayam petelur (layer), salah satunya penyakit yang disebabkan cendawan/jamur dan toksin/racun cendawan antara lain Aspergillosis, Candidiasis, Favus, Aflatoxicosis, Ochratoxicosis dan Fusarium T-2 Mycotoxicosis. Hal ini terjadi disebabkan adanya perubahan temperatur dan kelembaban, dimana saat itu memicu berkembang-biaknya cendawan, kapang dan berbagai kuman di lapangan atau kandang.

Memasuki musim penghujan, intensitas cahaya matahari menurun dan curah hujan meninggi, yang akan menyebabkan kelembaban meningkat dan temperatur rendah, disamping angin bertiup kencang dengan arah yang berubah-rubah, fluktasi suhu dan kelembaban yang tajam, serta perbedaan suhu yang menyolok antara siang dan malam dengan perbedaan lebih dari 4°C. Kondisi ini memicu peningkatan jumlah cendawan, kapang dan berbagai bakteri dan virus yang berbuntut pada rentannya ayam terhadap penyakit, lambatnya pertumbuhan, rendahnya keseragaman (uniformity) dan kegagalan vaksinasi.

Pembebasan Bahan Baku dan Pakan Ayam
Kondisi Indonesia yang beriklim tropis terbukti mendukung pertumbuhan cendawan/jamur/kapang, terlebih lagi jika kadar air bahan pakan melebihi standar (≥ 14%). Oleh karena itu, harus diusahakan penyimpanan bahan baku pakan harus di tempat/gudang yang kering/bebas dari kebocoran atap dan lembabnya dinding dan lantai, disamping pemberian anti jamur/mold inhibitor pada bahan pakan tersebut yaitu Asam propionat.

Saat jamur telah mengontaminasi maka dipastikan bahan pakan akan tercemar toksin/racun yang dihasilkan cendawan. Cendawan/jamur yang mengontaminasi tersebut dapat dengan mudah diatasi, namun tidak demikian dengan toksinnya, yang akan sangat sulit dihilangkan baik secara fisik, kimia maupun biologi. Oleh karena itu, suplementasi (imbuhan) mold inhibitor pada bahan pakan dan toxin binder pada pakan merupakan strategi yang banyak dilakukan untuk mencegah dan mengatasi kontaminasi mikotoksin. Prinsip kerja toxin binder adalah mengikat toksin yang masuk ke dalam pencernaan, sehingga tidak terserap ke dalam aliran darah, lalu mengeluarkannya bersama kotoran. Beberapa jenis toxin absorben dapat dilihat pada Tabel 1 berikut... (SA)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Oktober 2018.

Berlomba Memacu Performa Genetik di Era Non Antibiotik

Kandang closed house.

Bicara perkara pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promoter) pada pakan unggas seakan tidak ada habisnya. Pasalnya, setiap peternak banyak mengeluh mengenai performa yang kian anjlok. Apakah benar begitu adanya? Bagaimana agar performa stabil di era non-AGP?

Sejarah mencatat bahwa Indonesia melakukan impor ayam broiler secara komersil pada tahun 1967. Sejak saat itu usaha budidaya ayam broiler, baik skala kecil maupun besar terus berkembang hingga saat ini. Pada era tersebut, ayam broiler perkembangannya belum secepat ayam broiler zaman now. Namun kini, seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi, ayam broiler dapat dipanen kurang dari 30 hari dengan bobot badan lebih dari 1.000 gram. Sejalan dengan ayam broiler, ayam petelur atau biasa disebut layer juga mengalami hal serupa. Produksi ayam petelur zaman old versus zaman now tentunya sangat berbeda.

Bahkan karena cepatnya kedua jenis unggas tersebut berkembang, tidak jarang kalangan peternakan mendengar isu-isu miring mengenai hal tersebut. Mulai dari ayam disuntik hormon, obat kuat, sampai yang agak aneh mengenai telur palsu (plastik). Tentunya isu-isu miring seperti ini kian membuat gerah kalangan peternakan di Tanah Air.

Kemajuan Genetik
Jika masyarakat rajin membaca apalagi mengunjungi laman web para "provider" bibit-bibit ayam di luar negeri, mereka akan paham bahwa ayam modern dapat berkembang begitu cepat karena teknologi di bidang genetika. Bukan dari modifikasi genetik, melainkan pemuliaan demi pemuliaan yang dilakukan oleh para provider di laboratorium mereka masing-masing.

Hasilnya? Setelah lebih dari 100 tahun penelitian lahir lah ayam-ayam zaman sekarang yang perkembangannya sangatcepat. Menurut Prof Burhanudin Sundu, Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Tadulako, ayam-ayam modern adalah “monster” yang sebenarnya.

“Bukan monster yang suka makan orang ya, tapi dari segi pertumbuhannya. Coba bayangkan, seekor DOC yang awalnya bobot badannya kurang lebih 40 gram, dalam 30 hari menjadi 1,5 kilogram bahkan ada yang hampir 2 kilogram. Itu kan artinya mereka menjadi besar sebanyak 150 kali lipat hanya dalam sebulan,” ujar Prof Burhanudin.

Begitu pula dengan ayam petelur, potensi bertelurnya setiap tahun akan terus meningkat seiring perkembangan di bidang genetika. “Kalau tidak percaya coba cari dan bandingkan misalnya performance ayam-ayam Cobb sebelum tahun 2000 sampai sekarang tahun 2018 ini, pasti berbeda,” tuturnya.

Namun begitu, lanjut Prof Burhanudin, tidak ada mahluk yang superior di dunia ini. “Ayam zaman now memang sangat superior dalam bidang performa produksi, namun sebagai kompensasinya gen-gen kekebalan terhadap penyakit yang ada pada tubuh mereka tidak se-superior performance-nya, sehingg aayam zaman now mudah sekali terserang stres dan penyakit,” jelasnya... (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi September 2018.

Tangani Problem Gangguan Produksi dan Pencernaan pada Layer

Kasus penurunan produksi telur disebabkan beberapa faktor penting,
diantaranya pakan dan penerapan biosekuriti. (Foto: Aktual.com)
Problem/kasus gangguan produksi dengan pola 90/40, menyebabkan terjadinya penurunan produksi secara drastis, bahkan diawal produksi yang lebih dari 90% bisa turun dalam hitungan waktu yang sangat singkat menjadi sekitar 30%. Fenomena ini belakangan terjadi pada ayam petelur yang mendasarkan pada pengamatan dan analisa di beberapa peternakan/lokasi peternakan yang bermasalah dengan problem tersebut.

Penulis menyimpulkan ada beberapa faktor utama yang disinyalir menjadi akar masalah dan faktor pemicu kasus itu bisa terjadi, yakni 1) Berkenaan dengan kualitas pakan (dugaan mikotoksikosis yang menyebabkan terjadinya immunosupresi). 2) Lemahnya praktek biosekuriti yang diterapkan di lapangan sebelum terjadinya kasus. 3) Problem wet droping (kotoran cenderung basah) berkepanjangan dialami kelompok ayam yang bermasalah tersebut sebelum terjadinya kasus infeksi virus ditambah infeksi sekunder oleh bakteri.

Berkaitan dengan kualitas pakan yang disinyalir sebagai salah satu pemicu problem tersebut, dari analisa dan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan, ditemukan adanya cemaran beberapa jenis mikotoksin (aflatoksin, fumonisin, zearalenon, ochratoksin dan T-2 toksin) yang ada dalam sediaan pakan yang dibuat/diberikan pada ayam yang bermasalah dengan problem kasus 90/40. Adanya polikontaminasi mikotoksin dalam level rendah dari masing-masing jenis mikotoksin yang mencemari pakan tersebut dan diberikan dalam jangka waktu cukup panjang pada ayam, menyebabkan terjadinya gangguan stuktur dinding saluran pencernaan, gizzard erotion (lesi pada gizzard), gangguan fungsi hati dan juga gangguan fungsi organ penghasil zat kebal tubuh (limpa, timus dan sumsum tulang), sehingga menyebabkan terjadinya immunosupresi. Terjadinya immunosupresi karena mikotoksikosis menyebabkan ayam menjadi peka terhadap infeksi berbagai agen penyakit.

Faktor pemicu lainnya terjadi karena ayam mengalami gangguan pencernaan berkepanjangan, di mana ayam mengalami wet droping (kotoran basah), amoniak tinggi dalam lingkungan kandang dan populasi lalat yang tidak terkontrol sebagai vektor penyebaran agen penyakit, termasuk juga vektor dari cacing pita.

Lemahnya praktek biosekuriti yang semestinya secara konsisten harus dilakukan menyebabkan tingginya tingkat tantangan (challenge) agen penyakit yang ada di lingkungan peternakan, menyebabkan tingkat patogenitas dan virulensi virus penyebab infeksi penyakit menjadi meningkat, sehingga menyebabkan infeksi dan gangguan produksi pada ayam.

Dari adanya faktor pemicu tersebut di atas, membuat terjadinya penurunan status kekebalan tubuh ayam (immunosupresi), sehingga ayam menjadi sangat peka terhadap infeksi agen penyakit, baik yang disebabkan oleh infeksi virus maupun bakteri dan atau infeksi campuran oleh virus dan bakteri.

Penyebab sendiri dari agen infeksius yang menyebabkan gangguan produksi di mana produksinya turun secara signifikan mulai dari 90% menjadi 40% persen bahkan sampai turun menjadi 30%, diantaranya ada yang disebabkan oleh infeksi virus AI (H9N2 maupun H5N1), atau oleh infeksi virus IB, ND, EDS dan juga IBH, serta infeksi kuman Salmonella dan E. colli (Kolibasilosis) dan Coryza.

Penanganan dan Pencegahan
Solusi penanganan sekaligus mencegah problem tersebut di atas agar tak terulang bisa dilakukan dengan beberapa tindakan yang disarankan, diantaranya:

1. Jalankan praktek biosekuriti, yakni lakukan secara konsisten sanitasi agar terjaganya kebersihan lingkungan peternakan, membatasi pihak luar (manusia) untuk keluar masuk lokasi peternakan dan lakukan juga program disinfeksi secara rutin pada lingkungan sekitar peternakan untuk tujuan mengurangi cemaran kuman/virus yang ada di dalam kandang atau lingkungan peternakan, baik pada saat periode istirahat kandang maupun fase pemeliharaan.

2. Gunakan bahan baku pakan yang berkualitas baik untuk membuat ransum/pakan lengkap untuk ayam, seperti memilih dedak, MBM, Jagung dan bungkil kedelai yang berkualitas baik, agar meminimalisir cemaran toksinnya (seperti mikotoksin).

3. Tambahkan anti-mikotoksin/toxin absorbent yang punya kemampuan mengikat secara optimal semua jenis mikotoksin/toksin dalam campuran pakan untuk mencegah ayam dari efek mikotoksin/toksin yang menyebabkan immunosupresi (melemahnya sistem kekebalan tubuh ayam).

4. Untuk mengatasi dan mencegah wet droping (kotoran ayam yang keluar dari kloaka seperti diare/fesesnya pecah dan basah), melalui pakan (dicampurkan dalam sediaan pakan) disarankan pemakaian obat anti diare dan yang mampu menyerap racun dibarengi dengan pemberian zat yang mengandung sodium butyrate double buffer yang didesain khusus untuk pemakaian unggas dan hewan kecil, yang berfungsi  memperbaiki kondisi vili-vili usus yang rusak akibat keracunan atau pemberian antibiotik (AGP) secara terus menerus sebelumnya, serta dikombinasi dengan pemberian zat yang mengandung minyak esensial dan asam organik yang berfungsi sebagai pengganti AGP untuk menekan populasi kuman entero-patogen pada saluran pencernaan bagian bawah (illium dan colon).

5. Bila terjadi kasus 90/40 tersebut kuat dugaan-nya karena infeksi virus, maka untuk mempercepat proses kesembuhan ayam dari serangan virus IB tersebut, melalui air minum dapat diberikan produk minyak esensial sebagai antivirus dan sediaan antimikrobial untuk mencegah pembentukan eksudat pada saluran pernafasan, sehingga ayam mudah bernafas (untuk menghirup sebanyak mungkin oksigen).

6. Lakukan vaksinasi dengan menggunakan vaksin apapun yang berkualitas baik dan waktu vaksinasi yang sesuai anjuran.

7. Pastikan selalu memberikan air minum yang telah disterilisasi dengan cara klorinasi untuk mencegah penularan agen penyakit yang mencemari sumber air minum. Pastikan kadar aktif klorin tetap tersedia dalam air minum pada level minimum 0.5 ppm dan maksimum 1 ppm.

8. Bila penyebab gangguan produksi 90/40 karena infeksi bakteri, akan sangat dianjurkan melakukan pengobatan secara tuntas menggunakan antibiotik dengan kualitas terbaik dan disertai pemberian minyak esensial, yang membantu mencegah infeksi virus dan juga bakteri lain yang dapat memperparah problem pencernaan maupun pernafasan.

Demikian solusi komprehensif yang dapat penulis sampaikan, semoga dapat membantu mengatasi, sekaligus mencegah problem kesehatan dan gangguan produksi yang dihadapi pengusaha peternakan ayam petelur di lapangan. ***

Drh Wayan Wiryawan
PT Farma Sevaka Nusantara,
Pengurus/anggota ADHPI
(Asosiasi Dokter Hewan
Perunggasan Indonesia)

Teknik Pemberian Pakan pada Layer Daerah Tropis

Pemberian satu kali pakan pada ternak layer memberi banyak manfaat.

Pemberian pakan pada layer di daerah tropis yang paling tepat adalah satu kali, yaitu pada pukul 15:00 waktu setempat. Dalam artikel ini penulis ingin mengulasnya agar para peternak layer benar-benar jelas dan tidak terjadi simpang siur pengertiannya tentang teknik pemberian pakan pada ayam di daerah tropis yang bisa diterapkan.

Secara alami, dorongan ayam untuk makan adalah untuk mencukupi kebutuhan akan energi/kalori, karena ayam memiliki suhu tubuh tinggi, 40oC (manusia 37oC). Sedangkan komponen pakan yg lain, hanya sebagai pelengkap kecukupan gizinya. Secara alami pula, nafsu makan ayam terbanyak (70-80%) adalah pada sore hari, tiga jam sebelum matahari tenggelam dan ayam lebih suka makan saat cuaca bersuhu dingin, <27oC.

Menurut pengalaman penulis, pada malam sampai dini hari, pukul 18:00-01:00 waktu setempat (7 jam), tanpa lampu tambahan, biarkan ayam tidur. Makhluk hidup perlu istirahat yang cukup 7-8 jam. Justru penyerapan gizi pakan terutama kalsium akan lebih sempurna saat makhluk hidup tidur. Jika lampu dinyalakan pada pukul 18:00-22:00 waktu setempat, sisa cuaca panas sore hari masih ada, belum benar-benar dingin. Cukup berikan sinar tambahan pada pukul 01:00-06:00 waktu setempat (5 jam) dengan dosis 20-40 lux, bila pakai lampu neon SL, dayanya 0,8-1,0 Watt/m-2 luas dalam kandang atau lampu pijar 3,0-3,5 Wat/m-2.

Jarak terjauh dari titik lampu ke mata ayam dua meter, agar memudahkan pengaturan menyala dan mati otomatis, instalasi listrik penerangan di dalam kandang harus dipasangi “timer” untuk mengatur nyala lampu secara terprogram. Keuntungannya, bisa dipastikan pada dini hari cuacanya dingin, begitu lampu menyala pada pukul 01:00 waktu setempat, ayam akan bangun kemudian minum dan makan. Saat cuaca dingin lah, ayam akan lebih suka makan tanpa resiko heat stress.

Hal itu pun dapat dilakukan dengan, pagi hari antara pukul 06:00-07:00 waktu setempat, sisa pakan diratakan, seharusnya masih tersisa -/+ 1,5 cm, kemudian pada pukul 09:00 waktu setempat, pakan diratakan kembali, yang tebal dipindah ke bagian yang tipis dan standarnya pakan yang tersisa -/+ 0,5 cm, bila pada pukul 09:00 waktu setempat pakan tipis atau habis, langsung ditambah 2-3 gram/ekor, dibagi secara merata. Sebagai catatan, jatah pakan yang akan diberikan pada sore hari pukul 15:00 waktu setempat perlu ditambah 2-3 gram/ekor agar pakan habis di hari berikutnya pukul 12:00 waktu setempat. Sebab pada waktu itulah yang digunakan sebagai patokan feed intake harian sesuai dengan kebutuhan ayam layer (ad libitum) dan bisa berubah setiap harinya.

Puasakan pakan selama tiga jam mulai pukul 12:00-15:00 waktu setempat, setiap hari, dengan tetap memberikan air minum (ad libitum). Bila pada pukul 12:00 waktu setempat pakan belum habis, sisa pakan harus dikuras. Hasil kurasan pakan ditimbang, bisa diberikan kembali pada pukul 15:00 waktu setempat. Karena ada pakan sisa, maka jatah pakan sore hari dikurangi sebanyak dua kali sisa pakan, agar jatah pakan hari berikutnya tepat habis pada pukul 12:00 waktu setempat.

Dengan program pengosongan pakan tiga jam pada siang hari memberi manfaat:
• Mengurangi resiko stress akibat panas (heat stress).
• Tempat pakan selalu bersih terhindar dari jamur.
• Dalam siklus sehari (24 jam), supaya ayam memakan semua komponen pakan, baik yang berbentuk butiran mau pun yang berbentuk tepung (mash).
• Karena itu perlu didukung pemotongan paruh ayam yang kedua pada umur 9-10 minggu. Selain untuk mengurangi sifat kanibalisme, manfaat lain agar ayam bisa makan dengan baik walau pakannya berbentuk tepung.
• Penghematan pakan 1 gram/ekor/hari dibanding tidak dipuasakan.

Sebenarnya, ayam itu sendiri yang menentukan berapa jatah pakannya (feed intake) yang dibutuhkan, tugas peternak hanya menyediakan pakan yang jumlahnya cukup dengan kualitas baik dan benar, serta seimbang komponen penyusunnya. Ibarat bahan bakar, berikan pakan dengan kualitas yang setara dengan Pertamax Plus Ron-95 atau Pertamax Turbo Ron-98, agar irit.

Sebisa mungkin gunakan Digestible Booster untuk pakan, yaitu probiotika khusus untuk ayam, yang bermanfaat untuk membantu meningkatkan daya cerna pakan di saluran pencernaan.

Dari metode pemberian pakan satu kali ini, bila dicatat dengan baik dan benar, maka peternak bisa mengevaluasi dan tahu korelasi antara kualitas pakan dengan:
a. Feed intake (asupan pakan) yang tepat sesuai kebutuhan ayam layer.
b. Bobot badan ayam layer harus ditimbang setiap bulan dengan pengambilan sampel secara diagonal random sampling.
c. HD % diharapkan bisa sesuai standar strain, yaitu antara 82-84%.
d. Bobot telur (egg weight) per butir diharapkan bisa minimum 63 gram/butir.
e. Bobot kg telur per 1.000 ekor (egg mass) diharapkan bisa 51-52 kg.
f. FCR diharapkan bisa rata-rata 2,05-2,09.

Manfaat
Kombinasi pencahayaan pada dini hari (01:00-06:00 waktu setempat) dan pemberian pakan satu kali dalam sehari pada pukul 15:00 waktu setempat, memberikan keuntungan diantaranya:
1. Sampai dengan pukul 12:00 waktu setempat, keluarnya telur sudah 80-85%. Misal, jumlah layer 1.000 ekor, saat HD 90% (900 butir), maka telur yang keluar sudah 720-765 butir. Sisanya, 20-15% keluar siang sampai sore.
2. Beban kerja operator kandang terbagi merata. Pagi panen telur tanpa memberi pakan, sebaliknya sore hari sedikit panen telur, sembari memberi pakan.
3. Ada sisa waktu longgar pada pagi sampai siang untuk urusan membersihkan tempat pakan, tempat minum dan lain-lain.
4. Ada kepastian jumlah feed intake berdasarkan kemauan dan kemampuan ayam untuk makan sesuai cuaca yang sedang dirasakan oleh ayam. Saat musim panas feed intake sedikit, namun saat musim dingin feed intake tinggi.

Bila peternak ingin merubah kebiasaan pemberian pakan dari 2-3 kali sehari menjadi satu kali sehari, harus dilakukan secara bertahap selama dua minggu. Perlu diingat, jangan pernah melakukan perubahaan kebiasaan secara mendadak, sebab hal itu akan menimbulkan behavior stress (stress akibat perubahan kebiasaan). (Djarot Winarno)

Instalasi dan Distribusi Pas, Ayam pun Puas

Sumber: Cobb-vantress.com
Penyediaan air bersih dan segar, lengkap dengan laju alir memadai adalah salah satu hal mendasar dalam produksi ayam yang baik. Instalasi dan manajemen distribusi sangat diperlukan.

Selain ketersediaan air itu sendiri, faktor tak kalah penting dalam manajemen beternak ayam adalah pendistribusian air hingga siap dikonsumsi. Apalagi, semakin banyak jumlah populasi ayam yang diternakkan, semakin banyak pula tenaga, waktu dan otomatis biaya untuk mendistribusikan air ke penjuru kandang. Semakin besar populasi ayam, keberadaan instalasi pendistribusian air yang efektif dan efisien semakin penting.

Dalam dunia peternakan ayam pedaging (broiler) atau pun (layer) di Indonesia saat ini, setidaknya dikenal dua sistem pendistribusian air minum, yaitu sistem terbuka (open system) dan tertutup (closed system). Perbedaan diantara keduanya sangat sederhana dan mudah dilihat. Pada open system, air disajikan dalam wadah terbuka. Sementara pada closed system, air disajikan tertutup, yang akan keluar dengan mekanisme tertentu.

Alat Minum Model Terbuka (Open System)
Pada sistem terbuka terdapat tiga model wadah penyajian. Ketiga model tersebut yaitu cup drinker, model galon dan automatic bell drinker.

Di masyarakat, penggunaan model cup drinker digunakan untuk ayam klangenan yang diletakkan dalam sangkar. Cara manual ini jelas sangat boros tenaga dan waktu jika diterapkan pada peternakan dengan skala yang lebih besar, hingga ribuan ekor. Untuk memenuhi kebutuhan peternak skala besar, cup drinker dibuat dengan mekanisme otomatis dengan menempatkan semacam tuas pada cup. Jika ayam mematuk atau menekan tuas, air akan mengalir dari dalam penampung air. Cup drinker otomatis ini bisa diinstalasi pada wadah penampung seperti ember atau bentuk penampung lainnya, bisa juga dipasang pada pipa air yang terhubung langsung ke sumber atau tandon air.

Model galon adalah jenis alat minum yang banyak digunakan para peternak saat ini, terutama peternak yang menggunakan sistem open house. Dibuat dalam ukuran volume galon yang bervariasi, alat ini bisa digunakan bersama oleh beberapa ekor ayam sekaligus. Pengisian model galon dilakukan secara manual.


TMAO
(Sumber: ayambroiler.com)
Seperti namanya, automatic bell drinker bekerja secara otomatis atau disebut juga dengan Tempat Minum Otomatis (TMO). Alat minum ini memiliki struktur kerja mekanis, yang akan menghentikan aliran air pada ketinggian permukaan level air tertentu. TMO dihubungkan oleh selang air dengan pipa penyalur air.

Keuntungan yang diperoleh dari sistem alat minum terbuka yaitu biaya pemasangan yang lebih murah. Namun, masalah yang umumnya muncul terkait dengan kualitas serasah (litter) dan kebersihan air minum. Pada sistem terbuka, kualitas air minum sulit dikontrol dari kemungkinan masuknya kontaminan, misalnya serasah bahkan feses ayam. Akibatnya, tempat air perlu dibersihkan setiap hari. Ini pemborosan air yang pertama. Pemborosan air yang kedua yaitu tumpahnya air minum akibat tersenggol ayam. Otomatis, kontrol ketersediaan air dan pengisian perlu lebih sering dilakukan.

Cara termudah untuk memantau konsumsi air minum yaitu dengan melihat kondisi litter di bawah tempat air minum. Litter basah di bawah tempat minum menunjukkan posisi alat minum terlalu rendah. Selain itu, pemberat (ballast) air minum kurang memadai untuk memertahankan posisi alat dari gucangan.

Dalam Panduan Manajemen Broiler Cobb, dijelaskan soal rekomendasi instalasi dan manajemen penggunaan tempat air minum sistem terbuka ini. Cobb menyarankan agar tersedia ruang cukup untuk paruh ayam dalam setiap tempat minum, yaitu 0,6 cm per ayam. Artinya, jika keliling lingkaran tempat minum 26 cm, ayam yang bisa ditampung sebanyak 40 ekor. Jika populasi ayam 10.000 ekor, butuh tempat minum dengan keliling 24 cm sebanyak 250 buah.

Semakin besar diameter atau keliling, daya tampung terhadap ayam semakin besar dan jumlah tempat minum yang dibutuhkan semakin sedikit. Meskipun begitu, peternak perlu mempertimbangkan sebaran tempat air minum agar lebih mudah dijangkau ayam. Meskipun mampu menampung banyak ayam, jangan sampai ayam terlalu jauh menjangkaunya. Sesuaikan jumlah dan penempatan tempat minum dengan kepadatan ayam.

Agar air tidak mudah tumpah, tempat minum terutama model bell drinker dan galon manual yang digantung diberi pemberat (ballast). Pemberat ini berfungsi agar tempat minum stabil dan tidak mudah bergoyang saat tertabrak ayam.

Ketinggian level bibir cup atau bell drinker harus dipastikan sejajar dengan punggung ayam saat berdiri normal. Ketinggian tempat minum juga harus disesuaikan dengan tinggi ayam selama dalam pertumbuhannya untuk meminimalkan kontaminasi kotoran. Pada hari pertama (day old), level air minum berjarak 0,5 cm dari bibir tempat minum. Setelah tujuh hari, permukaan air diturunkan hingga kedalaman. Pada praktiknya, peternak bisa menyesuaikan jarak ketinggian level air minum ini sesuai ukuran tempat air minum pabrikan yang bervariasi. 

Alat Minum Model Tertutup (Closed System)
Alat minum dengan sistem tertutup adalah nipple drinker. Jika dibandingkan dengan sistem terbuka, sistem nipple drinker cenderung tidak mudah terkontaminasi. Setidaknya, terdapat dua macam nipple drinker, yaitu high flow nipple drinker dan low flow nipple drinker. Pembedaan ini didasarkan pada perbedaan laju air minum per menit.


High flow nipple drinker (Sumber: roxell.com)
High flow nipple drinker beroperasi pada laju 80-90 ml/menit. Pada ujung nipple terlihat adanya manik-manik air yang dapat dilihat dengan mudah oleh ayam. Sementara di bagian bawah nipple terdapat cawan plastik untuk menangkap adanya kelebihan atau kebocoran air yang menetes ke bawah. Pada model ini, Cobb merekomendasikan satu nipple untuk 12 ekor ayam.

Low flow nipple drinker (Sumber: choretime.com)
Adapun low flow nipple drinker beroperasi pada laju aliran 50-60 ml/menit. Secara mudah, model ini dapat dilihat dari ketiadaan cangkir penampung di bawah nipple. Hal ini juga menandakan bahwa tekanan telah disesuaikan agar aliran air memenuhi kebutuhan broiler. Pada model ini, Cobb merekomendasikan satu nipple untuk 10 ekor ayam.

Nipple drinker membutuhkan tekanan air. Dengan begitu, dibutuhkan pompa atau pemasangan tandon dengan ketinggian tertentu agar diperoleh tekanan yang pas. Jarak antar-nipple perlu dipertimbangkan agar ayam tidak terlalu jauh menjangkaunya. Menurut Cobb, ayam diusahakan agar tidak menempuh perjalanan sejauh 3 meter.

Ketinggian pemasangan nipple harus disesuaikan dengan tekanan air dan tinggi badan ayam. Secara umum, ketinggian ujung nipple hanya cukup untuk dijangkau paruh ayam dalam posisi berdiri dengan telapak kaki rata di lantai. Jangan sampai nipple dipasang terlalu rendah hingga ayam membungkuk.

Pilih Mana?
Selain potensi kontaminasi yang lebih sedikit dibandingkan sistem terbuka, sistem tertutup juga meminimalkan terbuangnya air karena beragam hal. Di samping itu, banyak tenaga dan waktu yang dihemat karena tidak perlu membersihkan tempat minum setiap hari.

Meskipun begitu, biaya investasi di awal untuk sistem tertutup lebih besar dibandingkan sistem terbuka. Perawatannya pun memiliki kerumitan yang lebih, meskipun jarang dilakukan, contohnya flushing pipa.

Dari sisi ekonomis, Agus Yohani dari Tembalang Poultry, menyebutkan dalam websitenya, bahwa biaya pengadaan nipple untuk sistem tertutup bisa ditutupi oleh penghematan pakan di sistem terbuka. Bagaimana bisa?

Menurut Agus, pada sistem terbuka, sering ditemukan sebagian pakan yang terpindahkan secara tidak sengaja ke tempat minum. Ia melihat fenomena ini berpotensi mengakibatkan pemborosan.


Setting nipple (Sumber: weiku.com)
Dalam kalkulasinya, jika diasumsikan setiap hari setiap ekor ayam memindahkan 1 gram pakan dan populasi ayam sebanyak 30.000 ekor, dalam satu hari terdapat 30.000 gram atau 30 kilogram pakan yang terbuang. Jika harga asumsi pakan Rp 5.000 per kilogram, nilainya sama dengan Rp 150.000 per hari atau Rp 80.850.000, dengan asumsi 539 hari per periode. Cukup fantastis, meskipun asumsi ini harus dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut.

Jika menggunakan nipple, diperlukan 15.000 nipple (asumsi: satu nipple untuk dua ekor ayam) atau senilai dengan  Rp 97.500.000. Artinya, hanya dalam satu periode, kerugian pakan yang hilang bisa digunakan untuk menutupi biaya pembelian nipple.

Nah, pilih yang mana? Apapun pilihannya, pastikan niat beternak Anda tetap bisa berjalan dan terus dikembangkan dari waktu ke waktu. (RCH)

Masa Awal Penentu Kesuksesan Ternak Layer

Masa awal ternak layer menjadi penentu kesuksesan produksi, agar tercapai keuntungan yang diharapkan.
Karena itu diperlukan kewaspadaan, ketelitian dan perhatian dari peternak itu sendiri.
Seringkali mendengar keluhan para peternak ayam petelur atau layer disebabkan produksi telurnya tidak mencapai target yang diharapkan, sehingga profit (keuntungan) yang diperoleh tidak maksimal. Padahal, peternak layer yang bersangkutan sudah memberi pakan berkualitas dan jumlah yang cukup, menerapakan biosekuriti ketat, serta manajemen pemeliharaan yang baik.

Hal tersebut bisa terjadi disebabkan kelalaian peternak sendiri yang mengabaikan atau tidak memberikan perhatian penuh masa awal ayam, yakni masa starter (DOC) dan grower (remaja), sehingga berdampak pada masa produksi. Sebaiknya peternak bisa memperhatikan hal-hal tersebut.

Periode Starter (0-5 Minggu)                                                                         
Tujuan dan target pada periode starter adalah mencapai kerangka dan struktur bobot tubuh yang sesuai standar, serta memperoleh bobot badan 380 gram pada umur lima minggu.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:

1. Temperatur dan Kepadatan, karena DOC bulum memiliki bulu yang sempurna untuk melindungi dirinya dari cuaca dingin dan perlu leluasa mengkonsumsi pakan setiap saat (lihat Tabel 1).
2. Pemberian Pakan, sebaiknya bentuk pakan crumble diberikan sejak umur 0-35 hari sedikit demi sedikit sesering mungkin dan diprediksi membutuhkan pakan 900 gram.
3. Pemberian air minum, pada dua hari pertama sebaiknya diberikan air hangat dengan suhu 20-25oC, larutkan 50 gram gula merah dan 2 gram vitamin C per liter air minum dan harus diberikan tiga kali sehari, setelah itu air dibersihkan dua hari sekali.
4. Patong paruh (debeaking), bertujuan untuk mencegah kanibalisme (saling patuk antara ayam) dan menghindari pemborosan pakan. Yang perlu diperhatikan: 
a. Sebelum potong paruh. Periksa DOC berada dalam kondisi sehat, jangan lakukan potong paruh ketika DOC menunjukkan reaksi vaksinasi, tambahkan vitamin K dan C ke dalam air minum untuk mencegah hemoraghi dan kontrol panas pisau potong debeaker pada suhu yang ideal untuk mencegah hemoraghi.
b. Potong paruh umur 8-10 hari. Pegang ayam dalam satu tangan dengan ibu jari di belakang kepala, memegang kepala dengan erat dalam posisi istirahat di atas ibu jari, pilih diameter lubang debeaker yang benar yaitu ± 2 mm dari lubang hidung DOC, lakukan pemotongan paruh bagian atas lebih panjang dari bagian bawah dengan kemiringan 15 derajat.
c. Sesudah potong paruh. Kontrol apakah DOC mengalami pendarahan (blooding) dan apakah DOC dapat minum dengan bebas, setiap hari tempat pakan diisi lebih tebal sehingga DOC dapat makan dengan aman setelah potong paruh.

Tabel 1: Temperatur dan Kepadatan Ideal untuk Ayam Layer
Umur ayam (hari)
Temperatur kandang
Temperatur kandang (oC)
Kelembaban relatif (%)
Kepadatan (ekor/m2) **)
Di pinggir brooder (oC)
2/3 m dari brooder (oC)
0-3
35
29-30
33-31
55-60
60
4-7
34
28
32-31
55-60
40
8-14
32
27
30-28
55-60
30
15-21
29
26-25
28-26
55-60
20
22-24
-
25-23
25-23
55-65
10
25-28
-
23-21
23-21
55-65
-
29-35
-
21-19
21-19
60-70
-
sesudah 35
-
19-17
19-17
60-70
-
Sumber: Manual Manajemen Layer-CPI (2010).

Periode Grower (6-16 Minggu)
Tujuan dan target pada periode grower, ialah mencapai standar bobot badan dan keseragaman (uniformity), serta mengembangkan sistem pencernaan pullet agar dapat meningkatkan konsumsi pakan pada saat awal periode layer.

Hal-hal yang perlu dilakukan diantaranya, kosongkan tempat pakan di tengah hari dan pemberian cahaya di tengah malam (midnight lighting) pada musim panas, berikan air minum yang cukup, peralatan harus cukup dan distribusikan pakan secara merata, mulai umur lima minggu timbang berat ayam setiap minggu, hingga ayam berumur 35 hari dengan target bobot badan 10 minggu (830-870 gram), 13 minggu (1.100-1.140 gram) dan 15 minggu (1.270-1.320 gram), usahakan keseragaman 85%, kemudian selalu kontrol kesehatan dari gangguan internal dan eksternal parasit secara priodik, lakukan grading dan pengelompokan bobot badan bila keseragaman di bawah 85% dan program pemberian pakan harus lebih intensif, lakukan transfer dari kandang postal ke kandang baterai pada umur 13-16 hari, dua hari setelah transfer berikan cahaya 24 jam untuk meminimalisasi bobot badan yang hilang akibat stress. Ada berbagai penyebab pertumbuhan pullet (ayam remaja) lambat dan bobot badan tidak tercapai, seperti pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2: Berbagai Penyebab Pertumbuhan Lambat Grower dan Koreksinya
No.
Penyebab
Koreksi
1
Tempat pakan kurang
Brooding: Min. 12 baki feeder/600 DOC
Growing: Min. 5 tube feeder/100 ekor
2
Tempat air minum kurang
Brooding: 6-8 gallon/600 DOC
Growing: 2 PS-Mark II/100 ekor
3
Brooding temperatur salah
Segera dikoreksi sesuai temperatur standar
4
Waktu dan manajemen
Berikan pakan sedikit demi sedikit sesering mungkin
5
Gangguan parasit internal dan eksternal
Berikan obat-obatan anti-parasit
6
Gangguan ventilasi
Usahakan penambahan kipas angin dan lakukan manajemen litter yang baik
7
Penyakit
Sanitasi/biosekuriti dan program vaksinasi
8
Kesalahan monitoring berat badan
Penimbangan ayam setiap minggu
9
Bentuk dan kualitas pakan
Gunakan bentuk crumble atau pellet berkualitas tinggi
10
Gangguan kompetisi antara ayam
Lakukan grading dan pengelompokan ayam berdasarkan bobot badan yang sama
Sumber: Manual Manajemen Layer-CPI (2010).

Periode Layer (17-24 Minggu)
Ayam petelur yang baik akan mulai berproduksi umur 17-18 minggu, bila masa starter dan grower-nya mendapat perhatian sesuai persyaratan tersebut di atas. Namun perlakuan itu harus dilanjutkan dengan perhatian dan perlakuan teknis lain di masa layer (produksi), agar target yang diharapkan tercapai.

Tujuan  pada periode layer ialah untuk tetap memperhatikan bobot badan selama pertumbuhan, peningkatan pertumbuhan selama transfer dari kandang postal ke baterai sampai umur 24 minggu dan melakukan perubahan konsumsi pakan sesuai kebutuhan hidup pokok dan produksi telur.

Diantara yang perlu dilakukan ialah pemberian pakan, berikan pakan dengan ukuran/tekstur yang disukai ayam, pengosongan tempat pakan di tengah hari saat suhu lingkungan meningkat (akan menaikkan konsumsi pakan/feed intake), berikan pakan dua kali per hari yaitu 1/3 dari jatah pakan pada pagi hari dan 2/3 jatah pakan pada sore hari. Kemudian pencahayaan, di mana 15 jam pencahayaan saat produksi HD 50% akan menambah nafsu makan, lakukan perubahan/penambahan pencahayaan 1,5-2 jam pada tengah malam pada awal produksi (umur 17-18 minggu).

Ayam petelur atau layer sangat sensitif terhadap perubahan cahaya dan sangat berpengaruh pada umur kematangan seksual, hal ini disebabkan cahaya memberi stimulus melalui mata yang akan dikirimkan ke sistem hormonal dan syaraf (neuro hormona system) yang memicu perkembangan organ reproduksi ayam betina, sehingga cepat dewasa kelamin (sexual maturity). Pada Tabel 3 berikut disajikan program pencahayaan pada layer.

Tabel 3: Program Pencahayaan pada Ayam Petelur
Umur ayam (hari)
Lama pencahayaan (jam)
Intensitas cahaya (lux)
1-3
23-24
40
4-7
22
40
8-14
20
40
15-21
19
40
22-35
18,5
40
36-49
17
40
50-63
16
40
64-77
15
40
78-91
14
40
92-98
13
40
99-105
13
40
106-112
pencahayaan alami
40
113-126
pencahayaan alami
40
sesudah 127
pencahayaan alami
40
5% HD produksi
14 (+2)
40
sesudah 35% HD produksi
15 (+2)
40
sesudah 60% HD produksi
16 (+2)
40
Sumber: Manual Manajemen Layer-CPI (2010).

Catatan: Penambahan dua jam diberikan saat tengah malam untuk meningkatkan konsumsi pakan. Untuk penerangan/pencahayaan dapat digunakan lampu pijar 5 Watt.

Demikianlah sekilas tentang pentingnya masa awal penanganan ternak layer untuk mencapai sukses produksi telur, sehingga target profit secara ekonomi yang diharapkan tercapai. Jadi diperlukan kewaspadaan, ketelitian dan perhatian dari para peternak layer. (SA)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer