-->

YEAMOS, PROFESSIONAL ENHANCED TOXIN BINDER INGREDIENT

Mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang terdapat pada pakan dan bahan baku pakan. Saat ini, terdapat sekitar 100 jenis mikotoksin yang diketahui mengontaminasi pakan, terutama berbagai mikotoksin yang dihasilkan oleh Penicillium, Aspergillus dan Fusarium, dimana bahaya utama bagi ternak dan unggas adalah aflatoksin, okratoksin, toksin fumigatus, mikotoksin trichothecene dan zearalenone. Setidaknya 25 persen biji-bijian di dunia terkontaminasi mikotoksin, sehingga menyebabkan kerugian serius bagi industri pakan, peternakan, dan kesehatan manusia.



SLUDGE BIOGAS, NILAI TAMBAH USAHA PETERNAKAN AYAM

Jamur tiram putih merupakan salah satu jenis jamur kayu yang biasa dikonsumsi masyarakat Indonesia. (Foto: Istimewa)

Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis jamur kayu yang biasa dikonsumsi masyarakat Indonesia. Nutrisi utama yang terkandung di dalam jamur ini beragam, di antaranya karbohidrat (selulosa, hemiselulosa dan lignin), protein, lemak, mineral, dan vitamin.

Jamur tiram putih termasuk dalam komoditas pangan, dengan kandungan protein tinggi yang aman untuk dikonsumsi dan tidak beracun. Selain aman, jelasnya jamur tiram merupakan salah satu bahan makanan yang bernutrisi tinggi. Komposisi dan kandungan nutrisi lainnya antara lain bahan organik, lemak, dan serat kasar.

Di laman resmi Fakultas Peternakan (Fapet) Universitas Gadjah Mada (UGM), mengungkap hasil penelitian Suwito (2006), menyatakan bahwa manfaat yang dimiliki jamur tiram putih adalah sebagai antibakteri dan antitumor. Itu sebabnya jamur tiram putih banyak dimanfaatkan untuk pengobatan berbagai macam penyakit, mulai dari diabetes, lever, dan lainnya.

Proses tanam jamur tiram putih selama ini umumnya para petani hanya menggunakan media tanam berupa serbuk kayu dan serbuk kulit kelapa yang dicampur dengan pupuk. Ada juga petani jamur yang memanfaatkan pupuk kandang sebagai campuran.

Kotoran unggas, terutama ayam, kini bukan sekadar menjadi pupuk tambahan. Setelah melalui proses tertentu, limbah unggas bisa dimanfaatkan sebagai media tanam jamur tiram putih. Limbah unggas ini menjadi alternatif media tanam bagi jamur tiram. Hasilnya, jamur tiram putih tumbuh jauh lebih berkualitas dibanding menggunakan media tanam biasanya berupa serbuk kayu.

Pengolahan kotoran unggas sebagai media tanam ini sudah dilakukan melalui penelitian di Fakultas Peternakan UGM beberapa tahun lalu. Para peneliti kampus ini melakukan terobosan mengubah limbah unggas atau sludge biogas dari kotoran ayam menjadi media tanam bagi jamur tiram putih berkualitas.

Adalah Prof Dr Ambar Pertiwiningrum dari Departemen Teknologi Hasil Ternak Fapet UGM yang melakukan penelitian ini. “Kami sudah lama melakukan penelitian tentang pengolahan lain dari limbah untuk dapat menghasilkan nilai tambah bagi para petani, khusunya petani jamur,” ujarnya kepada Infovet.

Tinggi Protein
Jamur tiram putih menjadi pilihan dalam penelitian ini, mengingat tingkat konsumsi jamur di dalam negeri jumlahnya cukup besar. Hasil olahan jamur tiram putih tergolong jenis sayuran yang digemari masyarakat. Kini hasil olahannya juga makin bervariasi, bukan hanya dijadikan sayur untuk lauk, tetapi juga diolah menjadi olahan kering sebagai camilan.

Menurut Ambar, kandungan gizi jamur tiram putih cukup tinggi. Berdasarkan penelitian sebelumnya, protein pada jamur tiram setiap 100 gram kandungan sebesar 27% atau lebih tinggi dibanding protein pada kedelai tempe sebesar 18,3% setiap 100 gram. “Serat jamur sangat baik untuk pencernaan, kandungan seratnya mencapai 7,4-24,6% sehingga cocok untuk tubuh,” ungkapnya.

Maka itu, perlu memperoleh komposisi yang baik untuk dapat menggantikan bahan penyusun media jamur, yang selama ini digunakan para petani yakni bekatul. Menurut Ambar, limbah kandang ayam ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan penyusun media jamur, pengganti dedak yang harganya cukup mahal dan berkompetisi untuk pakan ternak.

Temuan lain dari hasil penelitian yang dilakukan Ambar, kualitas media jamur tiram putih dengan penggunaan sludge biogas 100% bisa menjadikan hasil yang terbaik. Sebab meningkatkan kadar C-organik, kadar Nitrogen (N), kadar P (P2O5), dan kadar K (K2O). Artinya, limbah unggas kini tidak lagi menjadi sampah, tetapi justru dapat meningkatkan kesehatan dan perekonomian masyarakat.

Perlu Perlakuan Khusus 
Untuk memanfaatkan limbah ternak unggas menjadi media tanam jamur tiram putih, tidak serta merta digunakan layaknya para petani menggunakannya sebagai pupuk kandang selama ini. Ada perlakuan khusus atau proses yang dilalui agar menghasilkan media tanam dan hasil panen jamur yang bagus.

Peneliti senior ini menjelaskan, sludge ekskreta ayam yang keluar dari bak penampungan dikeringkan terlebih dahulu selama 2-3 hari hingga teksturnya menyerupai tanah dengan kadar air sekitar 10%.

Saat penelitian dilakukan, sludge ekskreta ayam yang telah kering diambil sekitar 4.000 g, kemudian dihaluskan dengan menggunakan mesin grinder. Sludge ekskreta ayam yang telah halus dibungkus dengan kertas koran lalu dioven dalam suhu 55° C selama 3-5 hari, kemudian dipindahkan ke tempat untuk selanjutnya disterilisasi pada suhu 121° C dengan tekanan 15 psi.

Selain membuat media jamur sebagai substitusi dedak oleh limbah biogas kotoran ayam, Ambar juga menggunakan limbah cangkang telur yang dapat digunakan sebagai pengganti kapur yang lebih ramah lingkungan.

Dalam penggunaannya pada media tanam, menurut Ambar, komposisi limbah unggas dapat dilakukan tanpa penambahan dedak maupun dilakukan dengan penambahan bahan lain. “Keduanya memang berperan sebagai sumber protein pada jamur tiram pada media tanam jamur,” jelasnya.

Ia menambahkan, selama ini sludge sebagai luaran dari hasil proses pembuatan biogas masih sangat minim pemanfaatannya. Bahkan hanya menjadi tumpukan limbah buangan biogas di dekat digester, tanpa makna dan bernilai.

“Umumnya sludge digunakan sebagai pupuk organik untuk tanaman di lahan pekarangan atau area pertanian skala kecil. Kini, dengan pemanfaatan sludge biogas sebagai bahan substitusi dedak pada media jamur tiram putih, dapat meningkatkan nilai guna dari sludge yang dihasilkan dan nilai tambah bagi pengembangan produk jamur tiram putih. Artinya, sludge biogas kini punya value added,” kata Ambar.

Indonesia memiliki potensi sludge biogas melimpah yang dapat diolah optimal dan lebih bermanfaat dalam meningkatkan kesehatan, perekonomian masyarakat, serta pelestarian lingkungan.

Peternakan merupakan salah satu subsektor pertanian yang sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, terutama kecukupan gizi protein hewani dan juga sumber pendapatan masyarakat pedesaan. Inilah terobosan mengubah limbah menjadi bermanfaat dan bernilai.

Murah Biaya Tanam
Penggunaan sludge biogas sebagai media tanam jamur tiram putih ini memiliki nilai ekonomi yang lebih menguntungkan, jika diterapkan oleh para petani jamur. Nilai ekonomi yang dapat dihitung jika hanya dengan memanfaatkan limbah unggas ini hanya mampu mensubstitusi peran dedak sebesar 15% pada setiap media.

Jika diasumsikan harga dedak Rp 8.000/kg, maka hanya dapat dimanfaatkan hanya dalam 6-7 media dan dalam satu kali produksi, biasanya para petani jamur akan memproduksi minimalnya 500 baglog (media tanam jamur).

Menurut Ambar, jika dihitung nilai ekonominya, total biaya yang dapat dihemat jika menggunakan limbah unggas untuk pengganti dedak, maka 500 baglog dapat menghemat biaya dedak sebesar Rp 600 ribuan. “Dengan catatan 1 kilogram dedak dapat digunakan pada 6 baglog dalam berat 1 kg pada masing-masing baglog,” ujarnya.

Sedikit membedah faedah limbah unggas. Selama ini, publik umumnya mengenal kotoran ayam merupakan bahan baku penting dalam pembuatan kompos jamur dan komposter karena merupakan sumber nitrogen terbesar. Oleh karena itu, penting untuk menjaga kualitas tetap konsisten dan setinggi mungkin. Namun kualitas kotoran ayam tidak begitu penting bagi peternak, baginya hanya merupakan limbah.

Mayoritas komposter menggunakan kotoran ayam kering. Jenis yang paling cocok adalah pupuk kandang dari ayam pedaging. Ini mengandung persentase kotoran yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan lain seperti serbuk gergaji.

Kandungan kalsiumnya yang tinggi dalam kotoran ayam dapat meningkatkan kesehatan tanaman secara keseluruhan. Hal itu juga sangat dapat mengurangi pembusukan ujung bunga selama musim tanam. Selain itu, kotoran ayam juga dapat mengusir banyak binatang yang menganggu tanaman seperti tupai, tikus, dan lainnya.

Dengan sebegitu banyak kandungan di limbah unggas, yang menjadi salah satu penggugah Ambar melakukan penelitian untuk dijadikan media tanam jamur tiram putih. Hasil penelitian yang dilakukan oleh pakar Animal Products Technology UGM ini sudah beberapa tahun lalu dilakukan.

Sekarang, ilmu terapannya sudah dimanfaatkan oleh para petani jamur di beberapa wilayah Jawa Tengah. Meski untuk menerapkan hasil temuan ini lumayan rigit, namun untuk mencapai hasil yang maksimal dari budi daya jamur tiram putih para petani kini sudah banyak yang menikmati hasilnya. ***


Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet daerah Depok,
Konsultan media dan penulis buku,
Writing Coach Griya Menulis (Bimbingan Menulis Buku & Jurnalistik),
Juara I Lomba Jurnalistik Tingkat Nasional (Unsoed, 2021) & Juara I Kompetisi Menulis Artikel Tingkat Nasional dalam rangka HATN, 2022

MELACAK GERAK-GERIK TOKSIN T-2

Jagung berjamur. (Sumber: Istimewa)

Mikotoksin adalah metabolit sekunder yang dihasilkan oleh beberapa kapang beracun dari tiga genus utama, yaitu Aspergillus, Fusarium dan Penicilium. Bersifat “ubiquitous” alias mudah ditemukan di alam bebas, sangat tahan pada suhu tinggi dan cenderung mempunyai karakter lipofilik serta sangat beracun bagi manusia ataupun hewan. Spektrum toksikologisnya sangat luas, sehingga bentuk manifestasi klinis dan patologi-anatomisnya sangat variatif, baik pada hewan secara umum, maupun pada unggas khususnya. Toksisitasnya bisa bersifat akut atau kronis, dengan bentuk gangguan bersifat karsinogenik, genotoksisitas, imunotoksisitas, mutagenisitas, maupun teratogenisitas. Selain itu, dampak sinergistik antar beberapa jenis mikotoksin sudah dibuktikan secara in-vitro maupun in-vivo oleh para ahli toksikologi. Tulisan singkat ini mencoba meneropong mikotoksin dari kelompok Trikotesen, khususnya toksin T-2 yang juga jamak ditemukan pada ayam modern.

Sekilas Mikotoksin
Di atas telah disebutkan secara biologis mikotoksin adalah senyawa toksik yang merupakan metabolit sekunder kapang Aspergillus, Fusarium dan Penicilium yang menginvasi biji-bijian ketika masih dalam fase pertumbuhan di ladang dan/atau bahan baku/pakan selama penyimpanan, terutama jika suhu dan kelembapan sangat ideal untuk pertumbuhan kapang tersebut (Shamsudeen et al., 2013).

Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2012, memperkirakan kurang lebih 25% dari makanan manusia dan hewan terkontaminasi satu atau beberapa jenis mikotoksin. Usaha-usaha untuk membuat dekontaminasi secara fisik maupun dengan adsorben kimiawi sejauh ini masih terbatas (Huwig et al., 2001; Shetty dan Jesperson, 2006).

Gambar 1: Toksisitas relatif beberapa jenis mikotoksin terhadap hewan ternak (food producing animals). Di lapangan kasus keracunan Aflatoksin-B1 (AFB1), toksin T-2 dan Okratoksin-A pada ayam modern mempunyai prevalensi cukup tinggi sepanjang tahun, baik pada level ayam bibit (parent stock) maupun ayam komersil (final stock).

Hampir sama dengan polutan lingkungan lainnya, mikotoksin sangat mengganggu kesehatan dan produktivitas hewan, unggas khususnya (Zain, 2011; Katole et al., 2013). Lebih dari 350 jenis mikotoksin sudah diidentifikasi di alam, misalnya kelompok Aflatoksin (AF), Okratoksin (OT), Fumonisin (F) dan kelompok Trikotesen (Patil, 2014).

Gambar 2: Dampak metabolik pada kasus keracunan mikotoksin umumnya sudah dimulai dari saluran cerna (gastrointestinal tract) yang ujung-ujungnya akan mengakibatkan gangguan asupan nutrisi bagi induk semang, baik makro-nutrisi maupun mikro-nutrisi. Selanjutnya, mikotoksin yang terabsorpsi dapat mengganggu atau bahkan merusak kedua organ yang berfungsi untuk detoksikasi bagi induk semang, yaitu hati dan ginjal. Bagan ini menunjukkan patogenesis dampak metabolik mikotoksin pada umumnya terhadap ayam modern tipe petelur, baik ayam bibit (grand parent ataupun parent stock) atau ayam petelur komersil, yaitu gangguan produksi telur (% hen day) serta kualitas kerabang telur.

Mengenal Kelompok Trikotesen
Trikotesen (TCT) adalah sekelompok mikotoksin yang dihasilkan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2022. (toe)

Ditulis Oleh:
Tony Unandar (Anggota Dewan Pakar ASOHI)

KESIAGAAN HADAPI MIKOTOKSIN DI MUSIM PENGHUJAN


Saat ini mikotoksin semakin mendapat perhatian serius dan harus diwaspadai karena mikotoksin hampir selalu ditemukan di setiap bahan baku pakan. Mikotoksin meski dalam jumlah rendah namun terus-menerus ada dalam bahan baku pakan, akan menyebabkan penurunan efisiensi produksi dan meningkatkan kepekaan ayam terhadap berbagai jenis infeksi penyakit yang disebabkan melemahnya sistem pertahanan tubuh.

Mikotoksikosis merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh mikotoksin dan penyakit tersebut timbul jika unggas mengonsumsi pakan atau bahan yang mengandung mikotoksin. Berdasarkan tempat proses tumbuhnya jamur yang memproduksi toksin dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:

1. Field Fungi. Jamur yang tumbuh pada masa tanam di ladang/lahan pertanian (contoh: Fusarium).

2. Storage Fungi. Jamur yang tumbuh pada masa penyimpanan di gudang (contoh: Aspergillus sp. dan Penicillium sp.). Pada masa tanam tanaman jagung, kandungan jamur semakin meningkat seiring pertumbuhan tanaman tersebut. Toksin yang dihasilkan jamur semakin meningkat. Pada masa penyimpanan, kandungan jamur meningkat seiring masa penyimpanan dan kondisi yang ideal bagi pertumbuhannya.

Gejala klinis mikotoksikosis biasanya tergantung dari jenis dan kadar mikotoksin. Variasi gejala klinis tersebut dapat berupa gangguan pertumbuhan, gangguan produksi telur, gangguan daya tetas telur, gangguan pencernaan, perdarahan pada kulit, kerusakan jaringan pada paruh, rongga mulut dan gangguan akibat efek imunosupresi.

Mikotoksin akan menyebabkan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2022.

Ditulis oleh: Drh Yuni
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
Jl. DR Saharjo No. 264, Jakarta
Telp: 021-8300300

SEKILAS TENTANG MIKOTOKSIN

Mikotoksin tumbuh pada berbagai komoditas terutama produk pertanian seperti jagung untuk pakan ternak. (Foto: Thinkstock)

Mikotoksin adalah metabolit sekunder produk dari kapang berfilamen, dimana dalam beberapa situasi dapat berkembang pada makanan yang berasal dari tumbuhan maupun dari hewan. Fusarium sp, Aspergillus sp dan Penicillium sp merupakan jenis kapang paling umum menghasilkan racun mikotoksin dan sering mencemari pakan ternak. Kapang tersebut tumbuh pada bahan pangan atau pakan, baik sebelum dan selama panen atau saat penyimpanan yang tidak tepat (Binder 2007; Zinedine & Manes 2009).

Kata mikotoksin berasal dari dua kata, mukes yang berarti kapang (Yunani) dan toxicum yang mengacu pada racun (Latin). Mikotoksin tidak terlihat, tidak berbau dan tidak dapat dideteksi oleh penciuman atau rasa, tetapi dapat mengurangi kinerja produksi ternak secara signifikan (Binder 2007).

Sebagai produk metabolisme jamur atau kapang, mikotoksin tumbuh pada berbagai komoditas terutama produk pertanian seperti kacang tanah, jagung dan sebagainya. Beberapa toksin/racun jamur ini diproduksi pada kelembapan lebih dari 75% dan temperatur di atas 20° C, dengan kadar air bahan baku pakan di atas 16%.

Beberapa jamur/fungi yang diketahui dapat menghasilkan mikotoksin yang sangat berbahaya di peternakan adalah Aspergillus flavus (Aflatoksin B1) dan A. Ochraceus (Okratoksin), Fusarium (Zearalenone/F2, Fumonisin, DON/Dioksinivalenol/Vomitoksin, T2/Trichothecenes dan Penicillium viridicatum atau P. palitans (Okratoksin).

Beberapa jenis kapang dapat memproduksi lebih dari satu jenis mikotoksin dan beberapa mikotoksin diproduksi oleh lebih dari satu spesies kapang (Zain, 2011).  Kapang merupakan bagian normal dari mikroflora.

Ternak dapat terpapar mikotoksin setelah... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2022. (AHD-MAS)

MEMBEBASKAN PAKAN DARI ANCAMAN TOKSIN

Baku pakan harus diperhatikan kualitasnya. (Foto: Istimewa)

Toksin atau lazim disebut dengan mikotoksin dalam dunia peternakan. Permasalahan klasik ini kerap kali mengintai semua unit usaha yang bergerak di bidang perunggasan dari hulu maupun hilir.

Toksin dapat diartikan sebagai senyawa beracun yang diproduksi di dalam sel atau organisme hidup, dalam dunia veteriner disepakati terminologi biotoksin dalam menyebut mikotoksin maupun toksin lainnya, karena toksin diproduksi secara biologis oleh mahluk hidup memalui metabolisme bukan artificial (buatan).

Dalam industri pakan ternak seringkali didengar istilah mikotoksin (racun yang dihasilkan oleh cendawan/kapang/jamur). Sampai saat ini cemaran dan kontaminasi mikotoksin dalam pakan ternak masih membayangi tiap unit usaha peternakan, tidak hanya di Negeri ini tetapi juga seluruh dunia.

Mikotoksin Selalu Menjadi Momok
Dalam dunia peternakan setidaknya ada tujuh jenis mikotoksin yang menjadi tokoh “protagonis”, ketujuhnya seringkali mengontaminasi pakan dan menyebabkan masalah pada ternak. Terkadang dalam satu kasus, tidak hanya satu mikotoksin yang terdapat dalam sebuah sampel. Peternak pun dibuat kerepotan oleh ulah mereka. Jenis toksin yang penting untuk diketahui dijabarkan pada Tabel 1 berikut: 

Tabel 1.  Ragam Jenis Mikotoksin

Jenis Toksin

Organisme Penghasil Toksin

Efek Terhadap Ternak & Manusia

Aflatoksin

Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus

Penurunan produksi, imunosupresi, bersifat karsinogen, hepatotoksik

Ochratoksin

Aspergillus ochraceus

Penurunan produksi, kerusakan saraf dan hati

Fumonisin

Fusarium spp.

Penurunan produksi, kerusakan ginjal dan hati, gangguan pernapasan

Zearalenon

Fusarium graminearum, Fusarium tricinctum, Fusarium moniliforme

Mengikat reseptor estrogen (feminisasi), menurunkan fertilitas

Ergot Alkaloid

Claviseps purpurea

Penurunan produksi pertumbuhan, penurunan produksi susu, penurunan fertilitas

Deoxynivalenol (DON)/Vomitoksin

Fusarium spp.

Penurunan produksi, kerusakan kulit

T-2 Toksin

Fusarium spp.

Penurunan produksi, gastroenteritis hebat

Sumber: Mulyana, 2013.


Menurut Drh Asri Rizky, dari PT Charoen Pokphand Indonesia, masalah mikotoksin merupakan masalah klasik yang terus berulang dan sangat sulit diberantas.

“Banyak faktor yang mempengaruhi kenapa mikotoksin sangat sulit diberantas, misalnya saja dari cara pengolahan jagung yang salah,” tutur pria alumnus FKH Universitas Syiah Kuala.

Maksudnya adalah, di Indonesia kebanyakan petani jagung hanya mengandalkan iklim dalam mengeringkan jagungnya, dengan bantuan sinar matahari/manual biasanya petani menjemur jagung hasil panennya. Mungkin ketika musim panas hasil pengeringan akan baik, namun pada musim basah (penghujan), sinar matahari tentu tidak bisa diandalkan.

“Jika pengeringan tidak sempurna, kadar air dalam jagung akan tinggi, sehingga disukai oleh kapang. Lalu kapang akan berkembang di situ dan menghasilkan toksin,” jelas dia.

Masih masalah iklim menurut Asri, Indonesia yang beriklim tropis merupakan wadah alamiah bagi mikroba termasuk kapang dalam berkembang biak.

“Penyimpanan juga harus diperhatikan, salah dalam menyimpan jagung artinya membiarkan kapang berkembang dan meracuni bahan baku kita,” ucapnya.

Menurut data FAO 2017, sekitar 25% tanaman biji-bijian di seluruh dunia tercemar oleh mikotoksin setiap tahunnya. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tercemarnya bahan baku pakan dan pangan oleh mikotoksin berupa penurunan produksi daging dan telur unggas, penurunan produksi bahan pakan dan pangan, penurunan performa ternak, serta meningkatnya biaya kesehatan akibat mikotoksikosis pada hewan dan manusia.

Commercial Lead PT Cargill Indonesia, Drh Sudarno Wiryasentika, mengatakan bahwa bukan Indonesia saja, seluruh dunia kini dihadapkan pada problem mikotoksin yang semakin parah.

“Di Amerika dan Kanada saja kerugian akibat tercemarnya mikotoksin mencapai USD 225 miliar, bayangkan betapa merugikannya mikotoksin ini, oleh karenanya kita harus selalu waspada,” tutur Sudarno.

Tak lupa ia mengingatkan kembali bahwa sifat alamiah mikotoksin adalah tahan terhadap suhu tinggi, sehingga “awet” pada kondisi pelleting pada proses pembuatan pakan dan sangat sulit untuk dieradikasi.

Sudarno juga menilai bahwa pemerintah harus serius dalam menangani hal ini, karena tidak hanya berbahaya bagi hewan, tetapi juga bagi manusia.

“Saya ingin mengingatkan pemerintah, stakeholder, serta pihak terkait mengenai masalah ini, please jangan dianggap remeh, efeknya seperti gunung es dan berkesinambungan pada kesehatan hewan maupun manusia,” tutur pria yang pernah menjadi manajer formulasi tersebut.

Waspada Toksin Bakteri
Mikroorganisme yang dapat menghasilkan toksin bukan hanya jamur atau cendawan, beberapa... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2021 (CR)

MEMINIMALISIR SERANGAN MIKOTOKSIN

Pada masa tanam, kandungan jamur semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan tanaman jagung. (Foto: Infovet/Ridwan)

Mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan jamur pada kondisi lingkungan yang ideal pada hampir semua jenis komoditi hasil pertanian di seluruh dunia. Pada saat ini, lebih dari 300 jenis toksin telah teridentifikasi yang berasal lebih dari 100.000 spesies jamur.


Berbagai jenis mikotoksin antara lain Aflatoksin (berasal dari Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus), Okratoksin (berasal dari Aspergillus ochraceus), Fumonisin (berasal dari Fusarium spp.), Zearalenon (berasal dari Fusarium graminearum, Fusarium tricinctum, Fusarium moniliforme), Ergot Alkaloid (berasal dari Claviseps purpurea), Deoxynivalenol (DON)/Vomitoksin (berasal dari Fusarium spp.) dan T-2 toksin (berasal dari Fusarium spp.)

Gambar 1. Berbagai jenis jamur penghasil mikotoksin.

Gambar 2. Struktur kimia beberapa mikotoksin.

Jamur yang memproduksi toksin dapat dikategorikan menjadi dua berdasarkan tempat proses tumbuhnya jamur, yaitu Field Fungi (contoh: Fusarium sp.) dan Storage fungi (contoh: Aspergillus sp. dan Penicillium sp.).

Pada masa tanam, kandungan jamur semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan tanaman jagung. Mikotoksin yang dihasilkan jamur pun semakin meningkat, hal ini didukung oleh kondisi iklim, manifestasi serangga, variasi kualitas bibit dan tingkat kepadatan tanaman.

Pada proses panen, pembentukan mikotoksin antara lain karena tingkat kematangan tanaman, kadar air biji tanaman dan praktek manajemen pertanian. Kemudian pada saat penyimpanan pembentukan mikotoksin dipengaruhi oleh kandungan air, serangga, penambahan bahan pengawet. Selain itu distribusi bahan baku pakan juga berpengaruh terhadap... (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2020)

Drh Yuni
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

ARTIKEL POPULER BULAN INI

ARTIKEL POPULER TAHUN INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer