Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Bebas AGP | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PT CARGILL INDONESIA LUNCURKAN PAKAN BEBAS ANTIBIOTIK

Ivan Hindarko saat memaparkan produk terbaru Cargill, Selasa (20/8/2019). (Foto: Infovet/Ridwan)

PT Cargill Indonesia resmi meluncurkan produk pakan untuk ayam petelur terbarunya yang menawarkan nutrisi tepat sesuai kebutuhan ayam dan bebas dari antibiotik.

Country Director PT Cargill Indonesia, Ivan Hindarko, mengatakan, peluncuran pakan ayam petelur ini merupakan seri tertinggi atau platinum yang digadang-gadang mampu menjadi solusi pakan secara menyeluruh.

“Kami meluncurkan Qmax Series yang merupakan seri tertinggi untuk solusi kebutuhan pakan. Kami hadirkan nutrisi dan teknologi terbaik untuk peternak, agar produk yang dihasilkan berkualitas dan tentunya efisien bagi peternak,” kata Ivan dalam konferensi pers yang digelar PT Cargill Indonesia, Selasa (20/8/2019), di Jakarta.

Selain memiliki benefit bagi peternak, lanjut Ivan, produk terbarunya ini bebas dari penggunaan antibiotik pemacu pertumbuhan/AGP yang saat ini sudah dilarang oleh pemerintah, namun masih dapat membantu mengurangi permasalahan kesehatan ayam.

“Kami mematuhi aturan dari pemerintah, inilah yang mendorong kami mengembangkan pakan ternak tanpa antibiotik yang masih dapat mengatasi masalah kesehatan ayam sekaligus meningkatkan produktivitas untuk membantu peternak mencapai hasil optimal,” ungkapnya.

Sebab setelah AGP dilarang, peternak dihadapkan dengan persoalan penyakit dan cost pemeliharaan yang meningkat. “Disini kami memberikan efisiensi bagi peternak sekaligus memberikan kualitas telur yang baik bagi konsumen. Itu sesuai dengan spirit kami, yaitu nutrisi lebih baik untuk hidup lebih baik,” ucapnya.

Sementara, Business Development Manager PT Cargill Indonesia, Adi Widyatmoko, menjelaskan secara detail keunggulan Qmax Series, diantaranya seri Rearing meliputi fase starter, grower dan developer, serta seri Laying untuk fase bertelur.

Dijelaskan, untuk rearing merupakan fase penentu penting dalam menghasilkan pullet berkualitas. Disini program pemberian pakan sesuai genetik ayam akan membantu membentuk fungsi organ pencernaan yang bekerja secara optimal dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit, serta mengantarkan pullet siap mencapai target produksi. Sementara seri laying diperuntukan bagi ayam yang siap menginjak fase produksi.

“kami percaya akan nutrisi yang lebih baik untuk kehidupan yang lebih baik. Inilah cara kami membantu peternak meningkatkan produktivitas, keberlanjutan dan kesehatan, serta kesejahteraan hewan,” pungkasnya. (RBS)

SIASAT PAMUNGKAS PASCA NON-AGP (BAG. I: GUT INTEGRITY)

Pasca non-AGP banyak pilihan produk suplementasi yang dapat digunakan untuk membantu pertumbuhan ataupun merawat integritas saluran cerna ayam. (Sumber: Istimewa)

Oleh:
Tony Unandar (Konsultan Perunggasan & Anggota Dewan Pakar ASOHI)

“Semua penyakit dimulai dari usus” demikian postulat cemerlang yang dicanangkan oleh Hippocrates, bapa kedokteran universal dalam kurun waktu 400 tahun sebelum Masehi.  Mencermati gegap gembita situasi lapangan pasca non-AGP dan tingginya tuntutan pada proses pencernaan pakan yang cepat serta efisien dalam saluran cerna ayam modern, tampaknya kolega praktisi lapangan mesti melakukan refleksi mendalam atas postulat tersebut. Tulisan ini juga merupakan “oleh-oleh” dari IHSIG Symposium 6 di Roma awal April silam dan dilengkapi dengan beberapa data terkait hasil penelusuran jurnal ilmiah. Semoga membawa secercah pencerahan ataupun harapan buat kolega lapangan bagaimana membentuk dan merawat kesehatan saluran cerna suatu flok ayam modern, agar fungsi fisiologisnya prima dan ekspresi fenotifnya signifikan.

Kesehatan Saluran Cerna (Usus)
Pasca non AGP (antibiotic growth promoter), para ahli perunggasan global tidak bisa secara utuh memberikan definisi yang komprehensif dengan apa yang dimaksud “kesehatan saluran cerna”, khususnya usus. Terminologi “sehat” tidak selalu dimaknai dengan absennya penyakit, baik yang disebabkan oleh agen infeksius ataupun non infeksius, tetapi lebih merupakan suatu interaksi yang kompleks dan terintegral antara kondisi saluran cerna dengan mileu yang sangat dinamis dari isi lumen saluran cerna itu sendiri sehingga terjadi kondisi homeostasis yang dapat memberikan dampak produktivitas yang optimal sesuai dengan potensi genetik ayam yang ada. Disamping sebagai tempat proses pencernaan pakan, saluran cerna juga bertanggungjawab untuk penyerapan unsur-unsur nutrisi serta menjadi barrier selektif bagi patogen ataupun toksin yang mungkin dapat masuk ke dalam jaringan tubuh induk semang via usus (Dibner JJ et al., 2004).

Terkait kesehatan saluran cerna, keberadaan mikroba dalam saluran cerna ayam (microbiome) juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Selain lingkungan hidup ayam umumnya “kaya” dengan mikroba (litter, udara, air minum bahkan pakan), juga karakter ayam yang “doyan” mengkonsumsi kotoran alias fesesnya sendiri (coprophagic animals) menjadi penyebab kenapa kandungan mikroba saluran cerna ayam sangat tinggi dan dinamis (Apajalahti J et al., 2004). Perubahan kondisi fisiologis ayam akibat adanya faktor stres internal ataupun eksternal, selain mempengaruhi kondisi umum (sistem imunitas) ayam juga akan mengubah pola interaksi antara ayam dan mikroba (microbiome) yang ada dalam lumen usus (Oakley B dan Kogut MH, 2014). Tegasnya, dalam konteks diskusi kesehatan saluran cerna berarti meliputi sejumlah dinamika proses fisiologis, mikrobiologis dan fisik yang secara bersama-sama menjaga homeostasis saluran cerna secara berkesinambungan agar proses pencernaan dan penyerapan unsur nutrisi dapat berlangsung optimal (Dibner JJ et al., 2004; Polansky O et al., 2016). Cermati gambar 1 dan 2.


Oleh sebab itu, kondisi homeostasis alias optimal tidaknya fungsi saluran cerna (gut health = kesehatan saluran cerna) ditentukan oleh tiga komponen penting yang saling tergantung satu sama lainnya (inter-dependent), yaitu: (1) sistem imunitas lokal saluran cerna, khususnya pada tataran lapisan lendir dan sel-sel epitelium; (2) kondisi mikrobiota (microbiome) dalam lumen saluran cerna, khususnya usus; dan (3) asupan nutrisi (nutrient intake), yang selanjutnya akan mempengaruhi fisiologi dan metabolisme induk semang (ayam) secara keseluruhan. Mengingat keterbatasan halaman yang tersedia, maka tulisan pertama ini hanya akan membahas sekitar poin (1) saja, sedangkan poin (2) dan (3) akan dibahas pada tulisan berikutnya.


Sistem Imunitas Lokal Saluran Cerna
Terdiri dari dua buah komponen yang saling ada ketergantungan, yaitu lapisan lendir (mukus) dan sel-sel epitelium.

Suatu lapisan lendir (mucin; tepatnya mucin-2 atau MUC2) yang dihasilkan oleh sel-sel mangkok (Goblet cells) merupakan lapisan terdepan dari sistem imunitas lokal saluran cerna (first line of defence). Tujuannya adalah melindungi sel-sel epitelium usus dari material isi lumen yang tidak diharapkan seperti bahan-bahan yang bersifat iritan atau toksik, perlekatan (attachment) dan atau invasi suatu patogen yang merugikan induk semang (Kim J dan Khan W, 2013). Selain lendir, sel-sel mangkok juga menghasilkan senyawa terlarut protein sinyal (signaling protein) berupa Trefoil Factor (TFF) dan Resistin-Like Molecule-β (RELM-β) yang mempunyai peran penting dalam innate immune response (Sharma et al., 2010).

Sebenarnya, menurut Johansson dkk. (2011) komponen lendir pada permukaan saluran cerna, khususnya usus, terdiri atas dua buah lapisan, yaitu: (lihat juga gambar 3 dan 4)


(a) Lapisan lendir luar (outer mucous layer) dimana terdapat kolonisasi probiont (bakteri baik/good bacteria), Imunoglobulin-A (IgA), ion-ion tertentu seperti Cu+2, dan antimicrobial peptides (AMPs) yaitu sejenis peptida terlarut yang dihasilkan oleh sel-sel Paneth, sel-sel enterosit (enterocytes) dan beberapa jenis probiont (bakteri baik). Pada tingkat lumen usus, beberapa AMPs bersama dengan ion-ion tertentu (Cu+2) dapat membatasi replikasi patogen (patobiont) dalam lapisan lendir (bacteriocin effect), sehingga peluang sel-sel epitelium usus terserang patogen jauh lebih kecil dan reaksi radang pun sangat minim (Kim J dan Khan W, 2013).

(b) Lapisan lendir dalam (inner mucous layer) merupakan lapisan yang menempel langsung pada bagian apikal sel-sel epitelium dan selain lebih steril dibandingkan dengan lapisan lendir luar, juga lebih “kaya” akan AMPs, signaling proteins dan IgA. Pada kondisi tertentu, misalnya stres yang subkronis sampai kronis dimana sekresi lendir oleh sel mangkok sangat menurun, maka keberadaan mucus-associated microbiota (probiont) menjadi tumpuan untuk melindungi sel-sel epitelium agar terjaga integritasnya (Johansson MEV et al., 2008).


Selain lapisan lendir, sistem imunitas lokal saluran cerna juga ditentukan oleh adanya lapisan deretan sel-sel epitelium yang tebalnya kurang lebih 20 μm. Lapisan epitelium inilah yang menjadi barrier atau pembatas penting yang sifatnya masif tapi selektif antara isi lumen usus dengan jaringan tubuh induk semang dibawahnya yaitu jaringan ikat sub-epitelium (Ismail dan Hooper, 2005). Umumnya, sel-sel epitelium saluran cerna (usus) mempunyai dua kutub utama yaitu bagian apikal yang biasanya mempunyai mikrovilli dan berhadapan langsung dengan isi lumen usus serta bagian basolateral yang bersinggungan dengan sel tetangganya dan jaringan lain dibawahnya yaitu lamina propria dimana terdapat jaringan ikat, pembuluh darah dan sel-sel imunitas (kembali cermati gambar 3 dan 4).

Karena perannya sebagai barrier kompleks yang selektif, maka lapisan epitelium saluran cerna tidak hanya terdiri dari sel-sel epitelium usus (enterocytes), tetapi juga ada beberapa sel lain yang mempunyai tanggung jawab khusus misalnya sel-sel mangkok (Goblet cells) seperti yang sudah diterangkan diatas, sel-sel Paneth serta sel-sel M (Flier LG dan Clevers H, 2009).

Sel-sel Paneth umumnya banyak ditemukan pada usus halus dan bentuknya mirip seperti sebuah piramida. Dalam kripta usus halus, sel-sel Paneth merupakan bagian dari sistem pertahanan sel (innate immune system). Di dalam sitoplasma selnya banyak ditemukan granul-granul yang kaya akan enzim lisosim, alfa-defensin, dan “antimicrobial peptides” (AMPs). Senyawa AMPs inilah sangat penting dalam mempertahankan homeostasis sepanjang usus yakni untuk mengurangi reaksi peradangan akibat induksi pelbagai molekul ataupun mikroba yang ada dalam lumen usus. Disamping itu, sel-sel Paneth juga mampu menghasilkan beberapa sitokin (signaling proteins) yang sangat penting dalam komunikasi antara lapisan epitelium dan perangkat sistem imunitas yang ada di bawahnya, yaitu innate immune system yang selanjutnya dapat juga menggertak adaptive immune system (Porter EM et al., 2002).

Selain sel Paneth, juga sel-sel M bisa ditemukan diantara sel-sel epitelium usus (enterocytes), baik pada lapisan epitelium usus halus maupun usus besar. Keberadaannya biasanya tepat di atas dari jaringan GALT (gut-associated lymphoid tissues), terutama Peyer’s Patches. Secara histomorfologis, sel-sel M sebenarnya bagian dari GALT.  Bentuknya seperti kantung kecil yang kaya akan sel-sel limfosit di dalamnya.  Beberapa literatur menyebut sel M sebagai “intra-epitelial lymphocytes”. Material yang bersifat antigenik (misalnya: MAMPs = microbe-associated molecular patterns) yang ada di dalam lumen usus difasilitasi oleh sel M menuju sel-sel imunitas seperti makrofag dan atau sel dendritik yang berlokasi dalam jaringan sub-epitelial usus yang selanjutnya akan menginduksi sel limfosit-B untuk memproduksi IgA. Itulah sebabnya fungsi sel M sangat krusial bagi komunikasi antara keadaan dalam lumen usus dengan sistem imunitas lokal di tingkat jaringan usus (Kindt TJ et al., 2007; Miller H et al., 2007). Dalam satu dekade terakhir, penelitian produk-produk yang bersifat imunomodulator, selain melibatkan sel makrofag atau sel dendritik, juga mulai “dilirik” peran sel M dalam konteks “innate immune response” usus.

Selanjutnya, karena lapisan epitelium usus disamping fungsinya sebagai barrier yang selektif tetapi juga berperanan dalam absorpsi bahan-bahan nutrisi, maka peranan lapisan epitelium usus selain ditentukan oleh kualitas sel-sel epitelium itu sendiri, juga sangat ditentukan oleh adanya protein hubungan khusus yang kompleks (selanjutnya disebut junctional complex atau JC) antar sel epitelium yang bersebelahan dalam rupa tight junction, adherens junction, desmosome dan gap junction (gambar 5). Jadi tegasnya, sel epitelium beserta kinerja kombinasi protein-protein hubungan khusus yang kompleks (junctional complex) tersebut, khususnya yang terpenting adalah “tight junction” inilah yang menentukan peran lapisan sel-sel epitelium sebagai barrier sekaligus juga peran absorpsi bagi unsur-unsur gizi dari dalam lumen usus (Dabrowski S et al.,2015).


Jika hubungan khusus yang kompleks ini terganggu, maka fungsi terutamanya sebagai barrier yang selektif pun mengalami kemunduran alias terjadi kebocoran (leakage). Kondisi inilah yang disebut gangguan integritas usus (gut integrity problem). Jika terjadi kebocoran, maka semua material dalam bentuk molekul terlarut ataupun cairan yang ada dalam lumen usus (patogen/patobiont, toksin ataupun iritan) dapat bebas masuk ke dalam jaringan dinding usus yang selanjutnya dapat terjadi secara sistemik via sistem sirkulasi darah.  Sebaliknya, dalam kondisi bocor semua komponen penting yang ada dalam jaringan dinding usus (cairan tubuh, bahan nutrisi, ion-ion tertentu) bisa keluar kembali ke dalam lumen usus (Tellez G Jr et al., 2017).

Karena keberadaan lendir sangat krusial dalam melindungi sel-sel epitelium dan keberadaan lapisan sel-sel epitelium itu sendiri selain sebagai barrier selektif juga peran absorpsi nutrisi pada permukaan saluran usus, maka ada beberapa tindakan lapangan yang bisa dilakukan agar secara imuno-fisiologis saluran cerna ayam tetap optimal, yaitu: 

1) Yang utama dan pertama adalah pastikan pertumbuhan awal yaitu pertumbuhan hiperplasia sel-sel dari sistem pencernaan ayam optimal (khususnya sampai dengan minggu kedua), karena sangat menentukan pertumbuhan anatomis saluran cerna, termasuk jumlah dan kualitas sel-sel epitelium maupun sel-sel mangkok, sel Paneth serta sel M sepanjang saluran cerna. Disamping itu, banyak penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa pemberian preparat probiotika tertentu (Abudabos AM et al., 2015; Salehimanesh A et al., 2015) ataupun prebiotika tertentu (Benites V et al., 2008; Shao et al., 2013) sejak awal DOC dapat meningkatkan pertumbuhan awal saluran cerna, baik itu dari aspek kuantitas (jumlah sel) maupun dari aspek kualitas (ukuran sel).

2) Yakinkan ayam selalu mendapatkan asupan nutrisi yang cukup, tidak hanya makronutrisi (sebagai sumber energi), tetapi juga mikronutrisi untuk menjaga integritas permukaan saluran cerna ayam agar tetap prima seperti vitamin tertentu (terutama vitamin A dan E) serta beberapa trace element tertentu misalnya Zn, Cu, Mn, Se dan Fe untuk mengurangi dampak stres oksidatif akibat proses pencernaan yang cepat dan “hidden heat-stress“ (Surai P et al., 2012; Panda AK dan Cherian G, 2014).

3) Minimkan faktor-faktor stres eksternal akibat lingkungan ayam yang tidak nyaman ataupun perlakuan yang tidak “lege artis”. Pada kondisi stres akut, maka sekresi lendir oleh sel mangkok akan berlebihan, sehingga pertumbuhan “mucolytic bacteria” seperti Clostridium perfringens akan meningkat tajam dan kasus NE (necrotic enteritis) pun mudah merebak. Sebaliknya pada kondisi stres subkronis sampai kronis, maka sekresi lendir oleh sel-sel mangkok akan menurun, dampaknya adalah kesehatan saluran cerna (gut integrity) akan terancam (Atuma C et el., 2001; Johansson MEV et al., 2008).

4) Karena protein tight junction sangat berperanan dalam menentukan permeabilitas lapisan epitelium usus, maka kualitas dan kinerjanya harus tetap prima. Secara in-vitro, kualitas dan kinerja protein tight junction dapat uji dengan “trans-epithelial electrical resistance”. Di lapangan, beberapa produk suplementasi seperti probiotika, asam lemah (acidifier), essential oils tertentu atau bahkan mineral dan trace elements (Ca+2, P dan Zn+2) dapat menjaga atau merawat kualitas serta kinerja tight junction (Menningen R et al., 2009; Amar J et al., 2011; Shen L et al., 2011; Su Li et al., 2011).

Kesimpulan
Keberadaan sel-sel epitelium permukaan saluran cerna beserta sel-sel pelengkap lainnya (sel Goblet, sel Paneth dan sel M), baik dari sudut kuantitas maupun kualitas, sangatlah menentukan kesehatan saluran cerna (usus) alias integritasnya prima. Jika integritas saluran cerna prima, maka perannya disamping sebagai barrier yang masif tapi selektif dan perannya dalam absorpsi unsur-unsur gizi akan berlangsung secara optimal. Lapisan lendir dan asesorinya serta tanggap kebal sistem imunitas lokal saluran cerna sangat ditentukan oleh kinerja dan produk yang dihasilkan sel-sel pada lapisan epitelium tersebut.

Pada faktanya, tergantung kondisi teknis yang ada di lapangan serta “kerelaan” peternak dalam merogoh kocek, pasca non-AGP banyak pilihan produk suplementasi yang dapat digunakan untuk membantu pertumbuhan ataupun merawat integritas saluran cerna ayam modern agar performans akhir tetap “tokcer”. (toe)

El Nino & Pelarangan AGP, Ujian Berat Bagi Peternakan Indonesia

Usaha peternakan broiler yang masih menggunakan kandang tradisional. (Sumber: rri.co.id)

Tahun 2018 lalu menjadi salah satu ujian berat bagi sektor peternakan Indonesia. Selain karena cuaca yang tak menentu akibat El Nino, para peternak juga “diuji” ketahanannya dengan pakan tanpa AGP, bagaimana mereka menghadapinya?

“Untuk menjadi pelaut yang andal, harus mengetahui cuaca”. Kutipan tersebut juga berlaku di dunia peternakan. Karena untuk menjadi peternak yang andal, juga harus bisa bersahabat dengan alam. Selain faktor internal, kesuksesan dalam usaha peternakan juga didukung faktor eksternal, salah satunya iklim dan cuaca. Khususnya bagi peternak yang menerapkan sistem kandang terbuka, mereka benar-benar harus bisa bersahabat dengan alam agar performa ternaknya terjaga.

Fenomena El Nino
El Nino merupakan fenomena penurunan curah hujan di wilayah Indonesia terutama di selatan khatulistiwa. Penyebabnya adalah menghangatnya suhu muka laut di Samudra Pasifik area khatulistiwa, akibatnya musim kemarau lebih panjang daripada musim hujan. Fenomena ini juga melanda negara-negara lain di dunia. Lahan pertanian menjadi yang paling berisiko terdampak kekeringan akibat El Nino.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi bahwa Indonesia bakal mengalami El Nino pada akhir September hingga awal Oktober 2018. Prediksi tersebut ternyata benar adanya, peternak merasakan bahkan sampai bisa dibilang “merindukan” datangnya hujan.

Dampak dari musim kemarau yang panjang bagi sektor peternakan tentunya tidak main-main, suhu tinggi pada siang hari dapat menyebabkan ternak stres, yang juga lebih penting adalah ketersediaan bahan baku pakan misalnya jagung.

Musim kemarau panjang tentunya menyebabkan suhu tinggi pada siang hari, terkadang suhu naik sangat ekstrem, sehingga menyebabkan cekaman pada ternak. Menurut Prof Agik Suprayogi, guru besar Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB), iklim memegang peranan besar bagi produktivitas ternak dan kadang peternak sering acuh terhadap hal ini.

“Selain manajemen peternakan, jangan sekali-kali melupakan hal ini (iklim) apalagi ketika musim-musim yang sulit ditebak seperti itu, salah-salah nanti peforma ternak kita turun,” tutur Prof Agik.

Salah satu contoh iklim dapat memengaruhi maksud Prof Agik, yakni terhadap spesies hewan, misalnya sapi perah. “Sapi perah kan cocoknya di iklim dengan suhu sejuk dan dingin misalnya pegunungan, gimana coba kalau dipindahkan ke tengah kota? Produksinya turun toh,” ucapnya.

Ia melanjutkan, bahwa cekaman akibat suhu yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah, selain dapat menyebabkan stres dan penurunan performa ternak, juga merupakan pelanggaran terhadap animal welfare.

“Bebas dari rasa ketidaknyamanan juga masuk dalam five freedom of animal welfare, oleh karenanya kalau peternak santai-santai saja menghadapi iklim ekstrem dan ternaknya dirawat “biasa-biasa saja” ruginya dua kali, sudah performa turun, dosa pula,” pungkasnya sambil berkelakar.

Mengapa rasa tidak nyaman pada ternak dapat menurunkan performa?, menurut penelitian yang dilakukan oleh Kamel (2016) pada ayam broiler, cekaman suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan... (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Januari 2019.

Pasca Bebas AGP Tetapi Belum Bebas Kutu Frangky

Dampak kerugian kehadiran kutu franky. (Sumber: Tony Unandar)
Permasalahan  kutu kandang (frangky) sebagai hama penggangu peternakan ayam faktanya dijumpai disemua kalangan peternak. Baik pada budidaya dengan kandang open house ataupun closed house, bahkan pada area budidaya di pegunungan maupun daerah pantai. Samar-samar kerugian usaha pun tergerogoti hama pengganggu itu. Bebas AGP dan biosekuriti ketat belum membebaskan kandang dari hama kutu frangky.

Budidaya ayam tanpa AGP (Antibiotic Growth Promoter) telah efektif berlaku sejak 1 Januari 2018, implementasi nyata dari regulasi pemerintah seputar pelarangan penggunaan AGP yang di campur dalam pakan, secara formal sudah termaktub secara lengkap dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Kriteria obat hewan yang dilarang tercantum dalam pasal 15 ayat 1. Kebijakan tersebut sesuai dengan amanat UU No. 18/2009 juncto UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Seiring dengan adanya regulasi tersebut, maka semua peternak berbenah diri. Tidak hanya sekedar mencari alternatif pengganti AGP seperti probiotik, prebiotik, acidifier, penggunaan tambahan enzim, penggunaan berbagai macam penggunaan sediaan herbal/produk fitogenik (essensial oil) dicampur dengan beberapa asam organik, bahkan pelaksanaan tingkat biosekuriti di farm pun harus semakin ekstra ketat (bahkan sejak awal kosong kandang sampai pencucian kandang, hingga masa budidaya ayam berakhir).

Tidak hanya itu, bagi peternak yang sudah bisa menutup kerugian usahanya dengan harga daging ayam berada di atas HPP (Harga Pokok Produksi) dan mempunyai tabungan lebih, tidak jarang mereka berbondong-bondong memodifikasi kandangnya.

Bagi kalangan peternak yang memiliki kandang terbuka yang terbatas keuntungan usahanya, mereka malakukan berbagai macam upaya untuk memodifikasi kandangnya, yakni dari penggunaan tambahan kipas, plafonisasi atap, penggunaan waring untuk meminimalisir kepadatan semu, serta dampak buruk adanya cekaman cuaca ekstrim panas, bahkan penggunaan misting (partikel air kabut yang dihasilkan oleh spuyer lembut dengan pompa bertekanan). Di sisi lain para peternak yang mempunyai anggaran yang cukup, tidak tanggung-tanggung langsung menyulap kandangnya dari open house menjadi semi closed house (tunel), bahkan langsung ke full closed house dengan evaporative cooling system.

Hama Pengganggu 
Namun di sisi lain, ada aspek pencetus penyakit terselubung yang banyak dilupakan oleh para peternak. Apakah itu? Permasalahan  kutu kandang (frangky) sebagai hama penggangu peternakan ayam.

Di peternakan ayam, hama pengganggu berasal dari kelompok Arthropoda. Hama ini sering disebut dengan istilah ektoparasit. Secara umum berdasarkan sifatnya, ada dua jenis ektoparasit:

1. Obligat, adalah hama yang selalu berada bersama inangnya. Menghabiskan seluruh siklus hidup pada bulu dan rambut inangnya. Contohnya kutu penghisap (Anoplura).
2. Fakultatif, adalah hama yang sebagian besar hidupnya berada di luar inangnya. Ektoparasit yang bersifat fakultatif akan datang dan mengganggu inangnya pada saat makan atau menghisap darah ketika diperlukan. Contohnya kutu busuk, kutu frangky. 

Kutu kandang frangky (dark beetle) termasuk dalam kelas insekta (serangga), yang masih tergolong kumbang, namun masyarakat mengenalnya sebagai kutu frangky. Karakter hidupnya berkelompok dalam jumlah yang banyak terutama di tempat-tempat yang lembab dalam area kandang ayam. Tempat hidup favoritnya ada di litter/manur (di sekam yang terdapat pakan ayam dan kotoran ayam), gudang pakan dan sering bersembunyi pada lantai kandang yang berlubang ataupun tiang kandang yang keropos...


Drh Eko Prasetio
Private Commercial Broiler Farm Consultant


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi juli 2018.

Pelarangan AGP dan Penguatan Profesi Dokter Hewan



Dalam sebuah  pertemuan dengan pengurus ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia), Rabu 31 januari 2018, Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan) Drh. Fadjar Sumping Tjatur Rasa, PhD  yang didampingi Kasubdit Pengawasan Obat Hewan (POH) Drh. Ni Made Ria Isriyanthi PhD, menyatakan, bahwa dengan resep dokter hewan, antikoksidia golongan ionophore dapat dipakai lebih dari tujuh hari. Pernyataan ini sangat penting bagi dunia peternakan dan kesehatan hewan, karena sejak berlakunya pelarangan AGP awal Januari 2018 ini, banyak informasi simpang-siur di lapangan mengenai bagaimana teknis penggunaan antikoksidia golongan ionophore maupun non-ionophore.

Mengambil referensi peraturan di dunia kesehatan manusia, Dirkeswan  mengatakan, antibiotik untuk pengobatan manusia  aturannya hanya boleh dipakai  selama lima hari. Namun seorang dokter dengan tanggung jawab profesinya bisa membuat resep penggunaan antibiotik sampai sebulan bahkan bisa sampai setahun, misalnya untuk pasien yang terserang TBC.

Begitupun dengan peraturan yang berlaku di dunia kesehatan hewan. Permentan No. 14/2017 pasal 17 menyebutkan bahwa dalam hal untuk keperluan terapi, antibiotik dapat dicampur dalam pakan dengan dosis terapi dan lama pemakaiannya paling lama tujuh hari.  “Dalam hal ini seorang dokter hewan, dengan kewenangan dan tanggung jawabnya, dapat menulis resep penggunaan antikosidia golongan ionophore lebih dari tujuh hari dan golongan non-ionophore lebih dari 21 hari,” ujarnya.

Pernyataan ini menegaskan, lahirnya Permentan No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan, sekaligus merupakan salah satu upaya penguatan profesi dokter hewan. Hal ini mestinya didukung oleh semua pihak. Permentan 14/2017 tersebut melarang penggunaan antibiotika sebagai imbuhan pakan, namun penggunaan antibiotika sebagai terapi, termasuk terapi melalui pakan, diperbolehkan dengan beberapa syarat, antara lain harus dengan resep dokter hewan.

Siapa dokter hewan yang boleh menulis resep? Dirkeswan mengatakan, semua dokter hewan prinsipnya boleh membuat resep karena mereka telah disumpah sebagai dokter hewan. Namun ia menyatakan dalam waktu dekat akan ada pengaturan lebih lanjut mengenai bagaimana mekanismenya. Misalkan apakah satu resep itu ditulis untuk satu flok kandang, satu kawasan area peternakan atau bagaimana. Akan diatur juga apakah nantinya dokter hewan tersebut harus memiliki izin praktek khusus. Sambil menunggu peraturan lebih lanjut itu, maka dokter hewan manapun boleh menulis resep mengenai penggunaan antibiotik untuk terapi.

Diakui oleh Dirkeswan, sebagai sebuah peraturan baru, Permentan No. 14/2017 belum mengatur semua aspek yang terkait pelarangan AGP. Namun pada prinsipnya pemerintah sama sekali tidak bermaksud untuk mempersulit dunia usaha peternakan dan kesehatan hewan. Peraturan ini dibuat dengan niat baik untuk meningkatkan kualitas peternakan nasional. Pelarangan AGP pada tahap awal tentu tampak seperti merugikan, namun dalam jangka panjang akan membuat usaha menjadi lebih sehat. Hal ini karena jika AGP digunakan terus-menerus maka akan terjadi resistensi antibiotika, sehingga dalam jangka panjang biaya pengobatan akan justru menjadi lebih mahal.

Dirkeswan menyadari banyak informasi yang berkembang di media umum yang membuat masyarakat resah. Sebuah media online memberitakan bahwa akibat pelarangan AGP produksi telur di Jawa Timur turun hingga 60%.

Hal ini sama sekali tidak benar. AGP selama ini digunakan sebagai pemacu pertumbuhan, yang dapat membantu meningkatkan produksi unggas sekitar 3-5%. Dengan dilarangnya penggunaan AGP maka kemungkinan penurunan produksi unggas hanya sekitar 3-5%. “AGP bukanlah obat untuk pengobatan penyakit, sehingga tidak ada hubungannya pelarangan AGP dengan peningkatan kejadian penyakit di peternakan,” kata Dirkeswan.

Melihat kasus tersebut, Dirkeswan mengatakan, sosialisasi mengenai pelarangan AGP dan implementasinya, akan terus dilakukan dan ditingkatkan oleh pemerintah. Ia mengharapkan agar ASOHI, Majalah Infovet, serta kalangan profesi dokter hewan ikut membantu sosialisasi ini agar peternak mendapatkan informasi yang tepat.

Selama Januari 2018 ada beberapa pertanyaan yang masuk ke Redaksi Majalah Infovet, antara lain bagaimana mekanisme pembuatan resep untuk peternak oleh dokter hewan? Apakah pakan yang mengandung antibiotika sebagai terapi harus didaftarkan dengan NPP (Nomor Pendaftaran Pakan) yang berbeda dengan pakan yang tanpa antibiotika? Bagaimana jika penambahan antibiotika itu berupa produk customized yang berdasarkan pesanan peternak atau perusahaan tertentu, apakah juga perlu didaftarkan? bagaimana dengan pelabelan pakan setelah berlakunya Permentan No. 14/2017? Pertanyaan yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana teknis pengawasannya, baik oleh pengawas obat hewan maupun pengawas mutu pakan (wastukan)?

Pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan, sebenarnya pelaku usaha memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pelaksanaan Permentan No. 14/2017. Diharapkan pemerintah dapat menjelaskan lebih gamblang beberapa pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Langkah ASOHI bersama Ditkeswan menyelenggarakan Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan (PJTOH) bulan Desember 2017 dan dilanjutkan angkatan berikutnya pada Februari 2018 merupakan salah satu upaya ASOHI untuk membantu pemerintah dalam melakukan sosialisasi tentang Permentan No. 14/2017 beserta dampaknya. Banyaknya animo dokter hewan di perusahaan obat hewan dan perusahaan pakan untuk ikut pelatihan, juga menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap pelaksanaan permentan tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa Permentan No. 14/2017 juga membuat peran dokter hewan sebagai penanggung jawab teknis obat hewan, baik di perusahaan obat hewan maupun pakan juga semakin penting. Dokter hewan yang menjadi penanggung jawab teknis obat hewan harus paham betul tugas dan tanggung jawab mereka, serta memahami masalah-masalah peraturan perundang-undangan, masalah teknis dan penguatan profesi. ***

Editorial Majalah Infovet Edisi 283 Februari 2018

Kiat Pamungkas Hadapi Badai Non-AGP

Ada tiga faktor mendasar yang menentukan daya tahan suatu populasi ayam (imunitas flok) terhadap kejadian infeksius yang harus diperhatikandiantaranya faktor status umum, faktor status imunitas dan faktor kepadatan patogen lapangan.

Carl Gustav Jung, seorang psikoanalis masa, mengatakan bahwa “dunia manusia” alias kondisi sekelompok manusia yang sedang berkembang pesat selalu ditandai adanya dinamika alias “gonjang-ganjing” yang sangat intensif, signifikan dan kadang terkesan liar. Walaupun dibaliknya penuh dengan motivasi serta harapan tertentu yang kadangkala tidak selalu kasat mata, namun situasi yang dinamis tersebut umumnya sarat dengan pendapat, ide atau bahkan pandangan-pandangan yang mungkin saja tidak selalu selaras satu sama lainnya, tergantung dari “paradigma” masing-masing. Inilah kondisi sebenarnya yang sedang menerpa industri perunggasan di Indonesia, termasuk bagaimana menemukan jurus jitu di lapangan dalam menghadapi dampak implementasi pelarangan penggunaan preparat antibiotika dalam pakan (AGP = Antibiotic Growth Promotor) yang seolah-olah terkesan panik. Ditengah gonjang-ganjing yang ada, tulisan yang dibuat ditengah keheningan alam lereng gunung Pangrango ini berusaha merefleksikan situasi terakhir di lapangan dalam larutnya kebimbangan persiapan pakan non-AGP di Indonesia dari sudut pandang seorang praktisi lapangan secara pragmatis.
Mencermati sejarah dan penerapan pakan non-AGP secara global memang tidaklah mudah. Argumentasi teknis, ekonomis bahkan politis sekalipun sudah banyak berseliweran dan tentu saja masing-masing pihak mempunyai kepentingan dan latar belakang tertentu yang sangat berpengaruh dalam argumentasi yang dilontarkan.  Hasilnya? Perfomans hewan ternak serta situasi lapangan pasca penerapan pakan non-AGP di beberapa negara pun masih mempunyai celah untuk diperdebatkan. Sangat variatif dan tampaknya ada kehilangan “roh” awal, di mana penggunaan preparat antibiotika dalam industri peternakan yang sejatinya berkurang, justru dibanyak negara dengan pakan non-AGP penggunaan antibiotika untuk tindakan pengobatan (treatment alias kuratif) cenderung meningkat. Dari fakta informasi seperti inilah penulis mengajak para peternak yang budiman untuk melirik kembali dimensi-dimensi tatalaksana peternakan yang mendasar agar kasus-kasus yang perlu ditangani dengan melibatkan preparat antibiotika bisa direduksi serendah mungkin.
Ada beberapa dimensi penting dalam tatalaksana lapangan yang terkait dengan sukses tidaknya kontrol kasus penyakit infeksius dalam suatu peternakan, khususnya peternakan ayam. Di lapangan, seorang praktisi perunggasan berhadapan dengan suatu populasi ayam tertentu, bukanlah secara individu ayam. Oleh sebab itu, faktor-faktor yang digunakan dalam mendeteksi, menganalisa serta pengambilan keputusan tindakan yang akan diambil (terutama tindakan pencegahan) tentu juga berada dalam koridor kecenderungan (trend) dari faktor-faktor yang ada dalam populasi ayam tersebut. Terkait dengan ini, ada tiga faktor sangat mendasar yang menentukan daya tahan suatu populasi ayam (imunitas flok) terhadap kejadian infeksius yang harus diperhatikan, yaitu:

a)   Bagaimana status umum populasi ayam tersebut.
b)   Bagaimana status imunitas populasi ayam terhadap patogen tertentu.
c)    Bagaimana kepadatan patogen lapangan beberapa saat sebelum terjadi ledakan kasus. (toe)

Tony Unandar
(Anggota Dewan Pakar ASOHI)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi 282 Januari 2018.

Prinsip-Prinsip Biosekuritas Dalam Situasi Non-AGP


Tak dapat dipungkiri lagi, telah lebih dari tiga perempat abad industri peternakan global sudah sangat tergantung dengan AGP (Antibiotic Growth Promotor) sebagai suatu pendekatan untuk memperbaiki performans hewan ternak (efisiensi) dan meningkatkan daya tahan tubuh ternak terhadap terpaan bibit penyakit di lapangan. Namun sejak adanya “Schwann Report” pada tahun 1989, gerakan untuk membebaskan penggunaan AGP pada “food producing animals” terus bergelora, pelan tapi pasti dan terus menjalar dari suatu negara ke negara lain. Indonesia, mulai Januari 2018 akan menerapkan strategi yang sama, yaitu pakan ternak yang bebas AGP. Para pelaku industri peternakan, khususnya unggas, seolah baru terbangun dari tidur-kaget dan bimbang-karena kurang persiapan. Tulisan ini bisa menjadi sumbang-saran di dalam kebingungan tersebut. Dan lagi, pemahaman atas tulisan ini tentu saja akan mempermudah peternak untuk melakukan tindakan pencegahan penyakit dalam lingkungan peternakannya secara efektif dan strategis, dengan demikian ketergantungan pada preparat antibiotika bisa dikurangi.

Ayam dan Bibit Penyakit (BP)
Ayam dan BP, termasuk juga makhluk hidup lainnya, secara universal mempunyai karakter ego. Tegasnya, dalam menjaga kelestarian kehidupannya (baca: eksistensinya di atas muka bumi), sifat ini menjadi sangat penting sekali. Sebab kalau tidak, makhluk hidup yang bersangkutan dalam tempo cepat atau lambat pasti akan lenyap dari permukaan bumi alias punah.
Pada BP, manifestasi dari sifat ego ini adalah kemampuannya untuk menerobos mekanisme pertahanan tubuh ayam (kemampuan melakukan invasi alias invasiveness), termasuk kemampuannya untuk menggagalkan kinerja suatu preparat antibiotika (kemampuan membentuk reaksi resisten). Di lain pihak, sifat ego pada ayam dimanifestasikan dengan keberadaan mekanisme pertahanan tubuhnya yang berlapis-lapis, mulai dari mekanisme pertahanan fisiko-kimiawi, pertahanan seluler via sel darah putih (mekanisme fagositosis) ataupun melalui sel limfosit yang terkait dengan sistem kekebalan (respon kekebalan).
Kemampuan melakukan invasi (invasiveness) dari suatu BP dapat mengalami perubahan, tergantung kondisi lingkungannya. Di lapangan, jika suatu BP tidak mendapatkan induk semang atau lingkungan yang sesuai, maka lama kelamaan BP tersebut akan mati atau setidaknya kemampuan untuk melakukan invasinya akan melemah. Ini berarti kemampuannya untuk merusak, apalagi untuk menimbulkan penyakit pada ayam sangatlah kecil. Kondisi inilah yang sesungguhnya terkandung dalam makna “istirahat kandang” (down-time). Dengan kata lain, jika peternak melakukan istirahat kandang yang cukup, tidak hanya kemampuan invasi suatu BP saja yang berkurang (aspek kualitas: patogenisitas), tetapi variasi jenis, serta jumlah BP di sekitar ayam juga akan  berkurang (aspek kuantitas: total inokulum).
Sebaliknya, tanpa istirahat kandang atau juga pada peternakan yang “multi-age” (dalam satu lokasi peternakan terdapat beberapa flok ayam dengan umur yang sangat bervariasi), berarti BP selalu mendapatkan induk semang (ayam) yang sesuai. Karena adanya sifat ego, kondisi ini tentu saja akan mendorong BP untuk meningkatkan kemampuan invasinya dari waktu ke waktu. Suatu ketika, daya invasi BP yang bersangkutan sudah berbeda sama sekali dengan aslinya alias sudah terbentuk BP dengan strain atau tipe baru yang tentu saja lebih ganas atau virulen. Jadi, peternakan multi-age atau peternak yang mengabaikan istirahat kandang, secara tidak sengaja selain akan mendorong terciptanya BP dengan keganasan yang lebih hebat, juga menyebabkan variasi jenis dari BP yang ada akan meningkat.
Sebenarnya ada tiga pendekatan yang secara bersamaan dapat dilaksanakan di lapangan dalam usaha mencegah terjadinya kasus penyakit pada ternak ayam yang dipelihara. Ketiga pendekatan tersebut kelak menjadi prinsip dasar dalam bentuk implementasi biosekuritas di lapangan, yaitu:.... (toe)

Tony Unandar
(Anggota Dewan Pakar ASOHI)



Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi 282 Januari 2018. Selamat membaca.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer