Tak dapat dipungkiri lagi, telah lebih
dari tiga perempat
abad industri peternakan global sudah sangat tergantung dengan AGP (Antibiotic Growth Promotor) sebagai
suatu pendekatan untuk memperbaiki performans hewan ternak (efisiensi) dan
meningkatkan daya tahan tubuh ternak terhadap terpaan bibit penyakit di
lapangan. Namun
sejak adanya “Schwann Report” pada
tahun 1989, gerakan untuk membebaskan penggunaan AGP pada “food producing animals” terus bergelora, pelan tapi pasti dan terus
menjalar dari suatu negara ke negara lain. Indonesia, mulai Januari
2018 akan menerapkan strategi yang sama, yaitu pakan ternak yang bebas AGP. Para pelaku industri
peternakan, khususnya unggas, seolah baru terbangun dari tidur-kaget dan bimbang-karena kurang persiapan.
Tulisan ini bisa menjadi sumbang-saran di dalam kebingungan tersebut. Dan lagi, pemahaman
atas tulisan ini tentu saja akan mempermudah peternak untuk melakukan tindakan
pencegahan penyakit dalam lingkungan peternakannya secara efektif dan
strategis, dengan demikian ketergantungan pada preparat antibiotika bisa
dikurangi.
Ayam
dan
Bibit Penyakit (BP)
Ayam dan BP, termasuk
juga makhluk hidup lainnya, secara universal mempunyai karakter ego. Tegasnya,
dalam menjaga kelestarian kehidupannya (baca: eksistensinya di atas muka bumi), sifat ini menjadi sangat penting sekali. Sebab kalau tidak, makhluk hidup yang bersangkutan dalam
tempo cepat atau lambat pasti akan lenyap dari permukaan bumi alias punah.
Pada BP,
manifestasi dari sifat ego ini adalah kemampuannya untuk menerobos mekanisme
pertahanan tubuh ayam (kemampuan melakukan invasi alias invasiveness), termasuk kemampuannya untuk menggagalkan kinerja
suatu preparat antibiotika (kemampuan membentuk reaksi resisten). Di lain pihak, sifat ego pada ayam dimanifestasikan dengan
keberadaan mekanisme pertahanan tubuhnya yang berlapis-lapis, mulai dari
mekanisme pertahanan fisiko-kimiawi, pertahanan seluler via sel darah putih
(mekanisme fagositosis) ataupun melalui sel limfosit yang terkait dengan sistem
kekebalan (respon kekebalan).
Kemampuan melakukan
invasi (invasiveness) dari suatu BP
dapat mengalami perubahan, tergantung kondisi lingkungannya. Di lapangan, jika suatu BP tidak mendapatkan induk semang
atau lingkungan yang sesuai, maka lama kelamaan BP tersebut akan mati atau
setidaknya kemampuan untuk melakukan invasinya akan melemah. Ini berarti kemampuannya
untuk merusak, apalagi untuk menimbulkan penyakit pada ayam sangatlah kecil. Kondisi inilah yang sesungguhnya terkandung dalam makna
“istirahat kandang” (down-time). Dengan kata lain, jika peternak melakukan
istirahat kandang yang cukup, tidak hanya kemampuan invasi suatu BP saja yang
berkurang (aspek kualitas: patogenisitas), tetapi variasi jenis, serta jumlah BP di sekitar ayam juga akan berkurang (aspek kuantitas: total inokulum).
Sebaliknya, tanpa
istirahat kandang atau juga pada peternakan yang “multi-age” (dalam satu lokasi peternakan terdapat beberapa flok ayam
dengan umur yang sangat bervariasi), berarti BP selalu mendapatkan induk semang
(ayam) yang sesuai. Karena
adanya sifat ego, kondisi ini tentu saja akan mendorong BP untuk meningkatkan
kemampuan invasinya dari waktu ke waktu. Suatu ketika, daya invasi BP yang bersangkutan sudah
berbeda sama sekali dengan aslinya alias sudah terbentuk BP dengan strain atau tipe baru yang tentu saja
lebih ganas atau virulen. Jadi,
peternakan multi-age atau peternak
yang mengabaikan istirahat kandang, secara tidak sengaja selain akan mendorong
terciptanya BP dengan keganasan yang lebih hebat, juga menyebabkan variasi jenis dari BP yang ada akan meningkat.
Sebenarnya ada tiga
pendekatan yang secara bersamaan dapat dilaksanakan di lapangan dalam usaha mencegah terjadinya kasus penyakit
pada ternak ayam yang dipelihara. Ketiga pendekatan tersebut kelak menjadi prinsip dasar
dalam bentuk implementasi biosekuritas di lapangan, yaitu:.... (toe)
Tony
Unandar
(Anggota
Dewan Pakar ASOHI)
Selengkapnya baca di Majalah
Infovet edisi 282 Januari 2018. Selamat membaca.
0 Comments:
Posting Komentar