Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini daging | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PERAN MYCOTOXIN BINDER UNTUK PAKAN UNGGAS SEHAT PRODUKTIF

Mikotoksin dapat menyebabkan penurunan produksi yang cukup signifikan. (Foto: Dok. Infovet)

Pakan memiliki peranan penting dan strategis dalam bisnis peternakan termasuk dalam usaha peternakan unggas, sebab menyangkut kebutuhannya sebagai penunjang hidup pokok, pengganti sel dan pembentuk produk akhir (daging dan telur). Kebutuhan biaya pakan dalam budidaya unggas pun adalah yang paling besar, yakni mencapai 70%. Oleh karena itu diperlukan kualitas dan kuantitas pakan yang sangat baik, agar meraih hasil produksi yang optimal dan menguntungkan. Apabila pakan yang diberikan buruk, seperti tercemar jamur dan toksinnya, sudah pasti mengancam kualitasnya dan merugikan ternak serta peternaknya.

Seperti halnya Mikotoksikosis, penyakit keracunan yang disebabkan oleh mikotoksin, yaitu metabolit sekunder hasil metabolisme jamur yang tumbuh pada pakan unggas. Ada 300 jenis mikotoksin, namun yang banyak menyerang unggas dan berbahaya adalah aflatoksin, T-2 toksin, DON, zearalenon, fumonisin dan okratoksin, dimana bermacam jenis mikotoksin tersebut biasa ditemukan dalam bahan baku pakan (jagung, bekatul, kedelai) dengan jumlah/konsentrasi yang bervariasi. Di wilayah ASEAN, Indonesia yang beriklim tropis menduduki peringkat tertinggi dalam hal pencemaran mikotoksin pada biji-bijian.

Jamur mudah tumbuh dimana saja, misal di tanah, materi organik yang membusuk dan jenis biji-bijian. Pada tanaman biji-bijian, kontaminasi jamur dapat terjadi selama penanaman, saat panen, selama tranportasi dan saat penyimpanan, dimana bahan baku pakan dengan kadar air lebih dari 14% yang disimpan pada suhu 10-42°C dengan kelembaban lebih dari 70% akan akan sangat mudah terkontaminasi jamur yang memicu produksi mikotoksin. Mikotoksin merupakan bahan kimia yang bersifat stabil dan mampu bertahan dalam jangka waktu lama, walaupun media yang menghasilkannya telah mati. Umumnya dijumpai dua atau lebih jenis mikotoksin pada satu jenis biji-bijian yang dipakai sebagai bahan baku pakan unggas dan menimbulkan efek toksik yang sangat berat.

Serangan mikotoksin pada unggas dipengaruhi berbagai faktor, antara lain jenis kelamin, umur, kondisi fisik, status nutrisi, kadar dan jenis mikotoksin, konsumsi pakan, lama serangan, manajemen peternakan dan infeksi penyakit lainnya. Pada ayam biasanya menderita penyakit ringan dan tidak spesifik, namun mikotoksikosis bersifat imunosupresif, disamping dapat memicu terjadinya berbagai penyakit.

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, mikotoksikosis dibedakan menjadi dua,  mikotoksikosis akut dan mikotoksikosis kronis. Mikotoksikosis akut dimana kejadiannya cepat, fatal dan menimbulkan kerugian ekonomi besar yang akan mengganggu metabolisme lemak, sehingga terjadi timbunan lemak di hati (fatty liver syndrome). Sedangkan mikotoksikosis kronis, kejadiannya berlangsung lama dengan tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) rendah. Serangan mikotoksin dapat menurunkan ketersediaan... (SA)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2019.

FLPI GELAR PELATIHAN LOGISTIK RANTAI DINGIN PRODUK DAGING

Peserta pelatihan logistik rantai dingin yang dilaksanakan FLPI di Bogor. (Foto: Infovet/Sadarman)

Rantai dingin merupakan bagian dari rantai pasok (supply chain) yang bertujuan untuk menjaga suhu agar suatu produk tetap terjaga selama proses pengumpulan, pengolahan, dan pendistribusiannya hingga ke tangan konsumen. Penerapan rantai dingin untuk produk peternakan biasanya berupa daging sangat diperlukan, sebab mengingat produk ternak tersebut rentan rusak.

Penerapan rantai dingin perlu di-manage dengan baik, sehingga kegiatannya dapat dianalisis, diukur, dikontrol, didokumentasikan dan divalidasi agar berjalan efektif dan efisien, baik secara teknis maupun ekonomis.

Mengingat pentingnya rantai dingin untuk produk ternak tersebut, Forum Logistik dan Peternakan Indonesia (FLPI) bekerjasama dengan Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia (ARPI) menyelenggarakan pelatihan pada 21-22 Februari 2019, bertajuk “Logistik Rantai Dingin pada Produk Daging” sekaligus kunjungan cold storage. Pelatihan dilaksanakan di Ruang Sidang Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dramaga Bogor.

Kegiatan dihadiri dan dibuka langsung oleh Dr Rudi Afnan, Wakil Dekan Bidang Sumberdaya, Kerjasama dan Pengembangan Fakultas Peternakan IPB. Pelatihan ini juga menghadirkan narasumber kompeten, diantaranya Prof Dr Irma Isnafia Arief (Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan), Sudarno (PT Sierad Produce, Tbk), Irene Natasha (PT Adib Cold Logistics Indonesia) dan Dr Raden Didiet Rachmat Hidayat (Dosen Logistik Institut Transportasi dan Logistik Trisakti).

Dalam sambutannya, Rudi, menyebut FLPI merupakan wadah baru yang memfasilitasi, melatih dan membina pelaku usaha terkait perdagingan. “Kegiatan pelatihan yang diinisiasi FLPI penting dilaksanakan, mengingat fungsinya dapat memberikan masukkan terkait bagaimana cara logistik rantai dingin produk-produk peternakan ke depannya,” kata Rudi.

Menurutnya, produk ternak terutama daging, adalah bahan pangan yang sangat mudah rusak. “Daging itu sangat mudah rusak, sehingga perlu dikaji bagaimana logistiknya dan supply chain management-nya, sehingga produk tersebut diterima dengan aman dan tidak menimbulkan efek negatif pada konsumen yang mengonsumsinya,” pungkasnya. (Sadarman)

Pembentukan Sapi Indonesian Commercial Cross Mulai Digagas

Direncanakan pengembangan sapi Indonesian Commercial Cross untuk akselarasi produksi daging dan susu nasional. (Sumber: Istimewa)

“Perlunya dibentuk bangsa sapi potong dan perah komersial asli Indonesia yang mempunyai produktivitas mumpuni, namun juga mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropis di Indonesia.”

Keresahan kaum intelektual di perguruan tinggi dan lembaga penelitian terhadap ketiadaan brand sapi komersial asli Indonesia, sedikit mulai menemukan jawaban. Pertemuan ilmiah antara akademisi, peneliti dan praktisi peternakan ruminansia dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digagas Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Fapet UGM), yang dibuka oleh Prof Dr Ir Ali Agus, selaku Dekan Fapet UGM telah terlaksana dengan baik dan menghasilkan secercah harapan untuk masa depan sapi potong dan perah di Indonesia.

Bertempat di Ruang Sidang Besar, Gedung H-1, Fapet UGM Yogyakarta pada Jumat, (21/12), para akademisi dan peneliti dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian, serta praktisi dan pengusaha ternak ruminansia berkumpul, untuk menyamakan persepsi terhadap tujuan, arah dan model kombinasi untuk mendapatkan bangsa sapi komersial Indonesia (beef dan dairy) yang mampu menjawab kebutuhan daging dan susu di Indonesia.

Peserta akademisi berasal dari Fapet UGM, Unpad Bandung, UNS Surakarta, Unlam Kalimantan Selatan, Udayana Bali dan Kanjuruhan Malang. Sedangkan peneliti yang dihadirkan berasal dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong, BPTBA LIPI Yogyakarta, dan Loka Penelitian Sapi Potong Grati. Turut hadir pula perwakilan dari Koperasi Susu Warga Mulya Sleman dan PT Widodo Makmur Perkasa Klaten.

FGD diawali dengan pemaparan oleh Prof Dr Ir Sumadi, tentang definisi dan karakter yang dibutuhkan dalam pembentukan sapi Indonesian Beef Commercial Cross (IBCC) dan sapi Indonesian Dairy Commercial Cross (IDCC), serta potensi dan output yang diharapkan.

“Indonesia defisit satu juta ekor sapi potong yang saat ini diwujudkan dalam bentuk impor sapi sebanyak 700 ribu ekor dan impor daging setara 300 ribu ekor. Sedangkan untuk sapi perah, kita defisit dua juta induk, jika mengacu pada kebutuhan susu sapi nasional. Kurang lebih 70% kebutuhan susu nasional, kita dapatkan dari impor,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, perlu dibentuk bangsa sapi potong dan perah komersial asli Indonesia yang mempunyai produktivitas mumpuni, namun juga mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropis di Indonesia.

Bentuk Bangsa Sapi IBCC dan IDCC
Pembentukan bangsa sapi IBCC dan IDCC dapat ditempuh mulai dari nol (bisa mengacu pada pembentukan bangsa Kuda Pacu Indonesia), atau dengan cara pemetaan dari bangsa sapi yang ada saat ini.

Alternative crossing yang dapat dilakukan diantaranya dengan memaksimalkan heterosis (prestasi rata-rata anak di atas rata-rata induknya), grading up (mengubah bangsa satu ke bangsa yang lain), ataupun melalui pembentukan bangsa baru (komposit). Pemetaan bangsa sapi yang ada saat ini, menurut Prof Ir I Gede Suparta Budisatria, dapat mengacu pada hasil-hasil riset perguruan tinggi dan lembaga penelitian yang mengarah ke akselerasi produksi daging dan susu nasional. Hasil-hasil riset itu perlu disinkronisasikan, dirakit, hingga didapatkan komposit terbaik yang bisa diambil sebagai solusi untuk hasil yang lebih singkat, mengingat pekerjaan breeding beresiko menghabiskan waktu puluhan tahun hingga dihasilkan generasi sapi yang diharapkan.

Terkait dengan ketersediaan bangsa sapi lokal pure yang siap dijadikan sumber indukan, menurut Prof Dr Ir Sri Bandiati, telah tersedia bangsa sapi Pasundan hasil penelitian di Jawa Barat. Di lain pihak, Dr Syahruddin Said, menambahkan bahwa telah teridentifikasi genetik sebanyak 13 ekor sapi Sumba Ongole (SO) murni hasil kolaborasi dengan Puslit Bioteknologi LIPI di kandang milik PT Karya Anugerah Rumpin (KAR) Bogor. Sapi SO tersebut telah tersertifikasi SNI dan siap digunakan sebagai sumber indukan.

Sementara, dosen jurusan peternakan UNS, Nuzul Widyas, ikut menegaskan perlu juga dipertimbangkan bahwa tidak serta-merta persilangan antara Bos indicus (bangsa sapi tropis) dengan Bos taurus (bangsa sapi subtropis) selalu menghasilkan keuntungan. Sebagai contoh pada bangsa sapi Belgian blue di Belgia yang merupakan hasil persilangan berbagai bangsa sapi hingga didapatkan sapi dengan double muscling, yang ternyata mempunyai kekurangan berupa mengecilnya saluran reproduksi akibat pertumbuhan otot yang super, sehingga diperlukan operasi sesar dalam setiap penanganan kelahirannya. Tentu ini menambah biaya dan tenaga.

Saat ini diketahui bahwa sapi-sapi yang dipelihara di Indonesia tidak mudah lagi untuk dideteksi berapa persen darah suatu bangsa ada dalam ternak tersebut. Lemahnya recording system di tingkat peternak menjadi salah satu faktor, di samping sosiokultural sebagian masyarakat yang semakin senang jika ternak mereka semakin berwarna “merah” (darah Bos taurus semakin tinggi), tanpa mereka sadari bahwa akan semakin tinggi pula biaya yang di keluarkan untuk pemenuhan nutrien pakan dan pemeliharaan jika diinginkan produktivitasnya optimal.

Sementara terkait dengan pembentukan IDCC, Prof Dr Ir Tridjoko Wisnu Murti, menegaskan bahwa akselerasi yang dibutuhkan saat ini bukan hanya dalam pemenuhan jumlah tonase susu yang dihasilkan, tetapi juga pada kualitas susu itu sendiri.
Saat ini di lapangan, dengan 600 ribu ekor sapi perah yang dimiliki Indonesia, hampir seluruhnya merupakan sapi Friesian Holstein (FH) dan peranakannya (PFH) yang identik dengan warna hitam dan putih. Padahal, lanjut dia, terdapat sapi FH berwarna merah dan putih yang lebih adaptif terhadap kondisi tropis, serta bangsa sapi Jersey yang juga merupakan bangsa sapi perah dengan kemampuan adaptasi iklim tropis yang lebih baik, sehingga perlunya pemikiran untuk melakukan akselerasi dengan pendekatan breeding yang lebih terkonsep dengan baik.

Hal ini diamini oleh peternak sapi perah yang tergabung dalam Koperasi Susu Warga Mulya Sleman. Jenis sapi yang diinginkan peternak adalah sapi perah yang low cost, yaitu sapi yang dengan postur dan kemampuan produksi yang tidak superior, namun dapat dikelola sesuai dengan kemampuan peternak.

Sebab yang terjadi selama ini adalah, peternak “dipaksa” memelihara sapi perah FH/PFH dengan tuntutan biaya pakan tinggi, karena memang secara genetik sapi tersebut membutuhkan pakan dengan kuantitas dan kualitas tinggi. Ketika hal ini tidak dapat dipenuhi secara kontinu, maka produksi susu akan turun jauh di bawah performa yang diharapkan, bahkan rentan terjadi metabolic diseases dengan ditemukannya sapi perah produksi tinggi yang ambruk.

Menutupi kekurangan margin usaha sapi perah, para peternak menyilangkan induk perah mereka dengan straw sapi potong seperti Limousin dan Simmental, yang akan menghasilkan anakan dengan harga jual lebih tinggi. Ini pasti menimbulkan masalah, baik pada reproduksi maupun untuk replacement stock. Oleh karena itu, keluhan peternak ini harus segera dicarikan solusinya. Bisa jadi IDCC sebagai salah satu solusinya.

Dengan adanya bangsa sapi perah yang lebih adaptif terhadap iklim tropis, akan memudahkan peternak dalam mengelola pakan tanpa kekhawatiran menimbulkan kekurangan nutrien, sehingga produksi susu secara optimal dapat diraih. Satu hal yang pasti, meskipun bukan jumlah produksi susu yang superior, namun biaya yang dikeluarkan masih terjangkau peternak.

Dari kegiatan FGD tersebut, diharapkan menjadi awal inisiasi pemikiran seluruh stakeholder bidang sapi potong dan perah, untuk turut serta mengatasi permasalahan industri persapian. Pertemuan selanjutnya akan dilakukan pada awal 2019 di Bogor, dengan agenda pembentukan konsorsium sapi potong dan perah komersial Indonesia, serta penentuan langkah teknis, hingga diharapkan launching IBCC dan IDCC bisa terwujud pada 2022 mendatang.

Pengembangan bangsa sapi komersial ini membutuhkan dukungan dan kerja-keras semua pihak, mulai dari pihak swasta, asosiasi/organisasi, pemerintah sebagai regulator, perguruan tinggi dan lembaga penelitian. ***


Awistaros Angger Sakti, M.Sc.
Peneliti di BPTBA LIPI Yogyakarta

Stok Pangan Aman Jelang Puasa dan Lebaran

Dirjen PKH, I Ketut Diarmita. (Foto: Ridwan)

Melalui Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), I Ketut Diarmita, pemerintah menegaskan ketersediaan telur dan daging ayam cukup menjelang Puasa dan Idul Fitri 2018. Hal tersebut ia sampaikan saat konferensi pers di kantornya, Jumat (11/5).

Ia menyampaikan, berdasarkan prognosa ketersediaan, produksi daging ayam 2018 sebesar 3.565.495 ton, sedangkan kebutuhan konsumsi sebesar 3.047.676 ton, sehingga terjadi surplus sebanyak 517.819 ton. “Khusus untuk bulan Puasa dan Lebaran yang jatuh pada Mei dan Juni 2018, diperoleh ketersediaan daging ayam sebanyak 626.085 ton dengan kebutuhan konsumsi sebanyak 535.159 ton, sehingga terjadi surplus sebanyak 90.926 ton,” kata Ketut.

Ia melanjutkan, sama halnya dengan ketersediaan telur ayam yang juga kelebihan pasokan nasional sebesar 202.195 ton, karena produksi 2018 sebanyak 2.968.954 ton dengan jumlah kebutuhan konsumsi 2.766.760 ton. Khusus untuk ketersediaan telur selama bulan Puasa dan Lebaran terdapat produksi sebesar 521.335 ton dan jumlah kebutuhan sebanyak 485.831 ton. “Sehingga ada kelebihan stok sebanyak 35.504 ton. Dan kita harapkan harganya stabil terjangkau, jika naik pun diharapkan tidak terlalu tinggi,” tambahnya.

Dalam konferensi yang dihadiri oleh beberapa pelaku usaha ini, Ketut meminta kerjasama untuk menjaga kestabilan harga, agar tercipta iklim usaha yang sehat dan suasana tenang. Para pelaku usaha juga meyakinkan pemerintah tidak ada kenaikan harga DOC FS dan kenaikan harga ayam, daging ayam, maupun telur selama bulan Puasa dan Lebaran. Adapun Isu kelangkaan dan kenaikan harga DOC FS karena ulah oknum yang memanfaatkan situasi.

Menurut Ketua Peternak Layer Nasional (PLN), Musbar, pelaku usaha siap mendukung dan ikut menjaga harga daging dan telur ayam tetap stabil menjelang hari besar keagamaan. “Ketersediaan telur cukup untuk memenuhi kebutuhan selama Puasa dan Lebaran,” katanya.

Sementara, Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak, Sugiono, mengimbau untuk bisa bersinergi bersama-sama dalam memajukan industri perunggasan. “Para pelaku usaha dan asosiasi perunggasan bisa berperan aktif menjaga stabilitas harga dan ketersediaan, sehingga masyarakat dapat beribadah dengan tenang dan khusyuk,” ucapnya. Pihaknya juga sudah mempersiapkan beberapa titik operasi pasar yang dapat dimanfaatkan pelaku usaha untuk ikut memperlancar distribusi dan mendukung stabilisasi harga.

Selain daging dan telur ayam, sebelumnya Kementan juga memastikan pasokan daging sapi menjelang Puasa dan Idul Fitri aman terkendali. Pasokan daging dipenuhi dari sapi bakalan siap potong yang tersedia sebanyak 165.228 ekor atau setara 31.491 ton daging. Kemudian impor daging sapi dari Australia, New Zaeland, Amerika Serikat dan Spanyol sudah tersedia 12.531 ton, lalu stok daging kerbau India sebanyak 3.948 ton di Bulog. “Jadi setelah di total (Mei-Juni) kita surplus ketersediaan daging sebesar 7.034 ton,” kata Ketut, Selasa (8/5).

Ia menambahkan, “Selain itu, kita juga sudah merekomendasikan Bulog untuk impor daging kerbau sebanyak 50 ribu ton, tinggal menunggu implementasinya. Dan dengan hadirnya impor itu kita sudah sangat aman (Puasa dan Lebaran)”.

Soal keamanannya, lanjut ketut, pihaknya bekerjasama dengan Satgas Pangan Mabes Polri untuk menjaga situasi hari besar keagamaan. “Agar umat muslim bisa menjalankan ibadah dengan tenang dan nyaman,” pungkasnya. (RBS)

Mewaspadai Beredarnya Daging Oplosan Jelang Ramadhan



Dalam hitungan hari, Bulan Suci Ramadhan akan segera tiba. Momentum yang penuh hikmah ini membawa keberkahan hampir di setiap lini bisnis, mulai dari bisnis makanan, busana dan lainnya. Pada bulan ini, lazimnya, banyak pedagang dadakan yang membuka usaha menu berbuka puasa (takjil) hingga beragam lauk-pauk. Keuntungan berlipat sudah terbayang oleh para pelaku usaha setahun sekali itu.

Namun, kali ini ada rasa khawatir yang menyergap Rindha Wardani. Seorang ibu rumah tangga di Depok, Jawa Barat, ini punya kisah tak mengenakkan saat akan berjualan daging rendang untuk menu berbuka puasa, tahun lalu. Tak kurang dari 5 kg daging yang ia beli di pasar tak jauh dari tempat tinggalnya harus dibuang sia-sia.

Daging yang ia beli itu ternyata daging oplosan antara daging sapi dengan daging babi hutan (celeng). Rindha mengetahui daging yang ia beli ternyata oplosan, setelah diinformasikan seorang temannya yang berprofesi sebagai dosen dan ahli gizi.

“Saat beli di pasar, tidak kelihatan beda warnanya karena dicampur. Baru kelihatan beda warna dagingnya setelah mau diolah di rumah. Pantas saja waktu itu harganya jauh lebih murah dibanding biasanya,” tutur Rindha kepada Infovet.

Ia bisa jadi, hanya salah satu korban saja dari kasus daging oplosan yang hampir setiap tahun terjadi. Di beberapa kota lain, cukup banyak orang yang juga terkena imbas dari bisnis licik ini. Banyak ragam modus yang dilakukan oleh para pelaku untuk mengoplos daging sapi dan daging babi hutan. Dari pemberitaan yang ada selama ini, pihak kepolisian menemukan sedikitnya dua modus yang bisa dilakukan pelaku. Modus pertama, dengan mengoplos daging sapi dengan daging celeng ke dalam satu kotak, lalu dimasukan ke dalam tempat pendingin. Untuk mengelabuhi petugas, bagian luar dari kontak penyimpanan itu diberi label daging impor.

Modus kedua, menyamarkan daging babi hutan sebagai daging sapi dengan cara menyiram daging celeng dengan darah sapi. Dengan begitu, sekilas daging celeng itu menjadi mirip daging sapi. Untuk menghindari ini, biasanya aparat kepolisian akan mengimbau masyarakat sebaiknya membeli daging sapi pada pedagang yang biasa berjualan daging sehari-hari. Hindari membeli daging pada pedagang daging dadakan yang berjualan di pinggir jalan.

Rugi Jasmani dan Rohani
Berulangnya kasus daging oplosan yang terjadi di berbagai daerah mengundang keprihatinan dari banyak kalangan, termasuk para ahli gizi. Menurut Dosen Laboratorium Ilmu dan Teknologi Daging, Departemen Teknologi Hasil ternak, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Ir Edi Suryanto, MSc., Ph.D., IPU, peristiwa pencampuran daging sapi dengan daging babi hutan yang berulang-ulang merupakan tindakan kriminal.

Edi Suryanto
“Peristiwa ini harus dilakukan tindakan pencegahan dengan mendasarkan pada UU PK No. 8 tahun 1999, UU Pangan No. 18 tahun 2012 dan UURI No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH),” ujarnya.

UU JPH menyatakan, bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. 

Menurut pakar gizi ini, dari sisi Agama Islam, pencampuran atau pengoplosan akan menimbulkan kerugian kerohanian yang besar, karena masuknya barang atau zat yang haram ke dalam tubuh seorang Muslim, sehingga amal ibadahnya dapat tidak diterima atau tidak berpahala.

Bahkan, kerugian juga datang dari sisi jasmani atau tubuh orang yang mengkonsumsi barang haram tersebut. Dari sisi gizi dan kesehatan barang yang haram mengandung berbagai kotoran yang dapat minimbulkan gangguan kesehatan tubuh (fisik) dan gangguan kejiwaan (psikis).

“Kotoran yang ada dalam barang yang haram antara lain seperti racun-racun, mikrobia perusak, mikrobia penyebab penyakit, parasit, virus dan sampah-sampah metabolit lainnya,” tegasnya. 

Perbedaan Kasat Mata
Untuk menghindari keraguan masyarakat dalam membeli daging, Edi menjabarkan tips penting untuk membedakan antara daging sapi dan daging babi hutan. Tidak terlalu sulit untuk membedakan antara daging sapi dengan daging babi hutan yang masih mentah, secara kasat mata.

Cara membedakan jenis daging dapat dilakukan secara sensoris atau organoleptis dan secara laboratorium (fisis, kemis dan biokemis). “Pembedaan secara kasat mata daging sapi dengan daging babi dapat dilakukan menggunakan indera manusia atau secara inderawi,” kata Edi.

Menurut dia, daging mempunyai ciri-ciri atau karakteristik sendiri-sendiri. Misalnya, daging sapi berbeda dengan daging babi, daging unggas berbeda dengan daging sapi atau pun daging babi. Perbedaan ini dapat disebabkan antara lain oleh genetik, pakan, umur dan manajemen. 

Berikut adalah perbedaan kandungan kimia atau sering disebut kandungan gizi daging-daging tersebut secara kasat mata.

Daging sapi
Daging babi hutan (celeng)
Warna merah tua
Warna merah muda
Bau: khas daging sapi dan lebih kuat aromanya
Bau: khas daging babi agak apek
Serat daging lebih kasar
Serat daging lebih halus
Perlemakan lebih rendah
Perlemakan lebih banyak
Lemak punggung tipis
Lemak punggung tebal
Kulit dilepas dari karkas
Kulit tetap menempel pada karkas

Pemahaman lain yang perlu diperhatikan konsumen dalam mencermati perbedaan antara daging sapi dan daging babi hutan, adalah saat kedua daging sudah diolah atau matang. Menurut Edi, daging sapi dan daging babi hutan yang sudah matang juga masih dapat dibedakan dari sensorisnya. “Warna daging sapi matang coklat gelap, sedangkan warna daging babi matang coklat pucat,” ujarnya.

Jika olahan berkuah, maka kuah daging sapi memberikan aroma yang khas daging sapi, sedangkan kuah daging babi aromanya berbeda dari daging sapi. Sementara itu, lemak daging sapi akan menggumpal saat dingin, sedangkan lemak daging babi tetap cair saat dingin.

“Namun jika telah dilakukan pengolahan lebih lanjut, misalnya sosis, maka pembedaan secara sensoris ini tidak mudah dilakukan. “Perlu didukung dengan analisis laboratorium menggunakan metode yang lebih canggih yaitu penentuan DNA (metode PCR),” jelas Edi.

Tips Pilih Daging Berkualitas 
Selain kasus daging oplosan, di beberapa daerah juga masih terjadi kasus penjualan daging sapi yang sudah busuk yang diberi perlakuan khusus, sehingga terlihat seperti daging sapi segar. Karena itu, ahli gizi dari UGM ini memberikan tips sederhana dalam memilih daging sapi segar, agar kandungan gizinya sempurna.

Menurutnya, belilah daging yang berasal dari sapi sehat dan yang disembelih secara halal. Daging sapi sehat berwarna merah segar. Memiliki bau atau aroma khas daging sapi, yaitu lebih amis atau anyir. Serat daging lebih kasar dan tampak jelas. Selain itu, tidak ada memar atau pembuluh darah yang pecah karena jatuh, terhimpit, tertanduk, serta memiliki tekstur padat, solid dan kaku. “Jika ditanya, antara daging beku dan daging segar, lebih baik mana untuk dipilih? Itu sangat tergantung dari tujuan pengolahan berikutnya,” ujarnya.

Untuk produksi bakso, misalnya, kata Edi, maka daging segar adalah daging yang lebih baik dipilih, karena akan menghasilkan bakso yang kenyal, padat dan kompak. Sehingga tidak perlu menambahkan banyak bahan pengenyal, terkadang tidak perlu ditambahkan.

Sementara untuk daging beku, sebelum diolah harus disegarkan kembali atau thawing. Thawing ini akan menyebabkan cairan daging yang berwarna merah (drip) keluar. Drip ini membawa sebagian nutrien atau zat gizi daging, sehingga terjadi penurunan zat gizi daging. (Abdul Kholis)

POLA PERDAGANGAN DAGING PERLU DITATA KEMBALI

Para pembicara pada diskusi Pataka di Jakarta, Kamis (2/11).
“Menata Pasar Daging yang Tersegmentasi” menjadi bahasan dalam program Bincang-Bincang Agribisnis (BBA), yang dilaksanakan Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Kebijakan (Pataka) bekerjasama dengan Direktorat Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian Institut Pertanian Bogor, di Jakarta, Kamis (2/11).
Acara yang dihadiri lebih dari 50 peserta dari berbagai kalangan bisnis ini menghadirkan narasumber diantaranya, Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI), Asnawi, pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian Institut Pertanian Bogor (KSKP IPB), Prof Dodik R. Nurrochmat, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan (P2HP) Kementerian Pertanian, Ir Fini Murfiani, Guru Besar IPB, Prof Muladno dan Manejer Pemasaran Pasar Jaya, Gatra Vaganza.
Menurut Ketua Pataka, Yeka Hendra Fatika, pemerintah ingin menciptakan stabilitas harga daging dengan menetapkan beberapa kebijakan, salah satunya kebijakan importasi daging kerbau beku asal India. Daging kerbau yang dinilai pemerintah menjadi optional daging sapi justru malah menimbulkan perubahan tata kelola perdagangan daging.
Mengutip penelitian yang dilakukan APDI, Gapuspindo dan Komunitas Sapi Indonesia, kebijakan impor tersebut memunculkan praktek dagang yang tidak berkeadilan, dimana pedagang banyak yang mengoplos daging sapi segar dengan daging kerbau, adanya penurunan volume pemotongan di RPH/TPH hingga 47%, sampai menurunnya skala usaha feedloter sekitar 70%.
“Jika kita bandingkan data penurunan pemotongan sapi, data impor daging kerbau dan data perkembangan harga daging sapi di pasar tradisional yang didukung rilis BPS, menyatakan harga daging sapi stabil tinggi. Maka kebijakan stabilisasi harga daging sapi melalui instrumen yang ada ternyata tidak berhasil,” kata Yeka.
Ia melanjutkan, “Bahkan hal itu turut menurunkan kegiatan perekonomian di industri feedloter maupun peternakan sapi potong yang dikelola peternak kecil. Dengan dalih ingin menciptakan tatanan pasar yang jujur, kebijakan (impor daging kerbau) justru mendistorsi pasar karena munculnya praktek penjualan daging oplosan yang merugikan konsumen dan berdampak pada masih tingginya harga daging sapi,” tambahnya.
Sementara itu menurut Asnawi, gelontoran daging kerbau beku dengan harga rendah ke pasar dinilai kurang tepat, hal itu disebabkan karena permintaan daging sapi segar sangat tinggi di pasar tradisional. Selain menimbulkan persoalan pedagang daging oplosan, ia menekankan pemerintah bisa lebih fokus terhadap peningkatan populasi sapi potong di dalam negeri. “Daging murah belum tentu murah, daging mahal belum tentu mahal, tetapi daging mahal sudah pasti berkualitas,” kata Asnawi.
Hal senada juga disampaikan oleh Guru Besar IPB, Prof Muladno, kebijakan impor daging kerbau beku untuk menutup permintaan daging segar di dalam negeri dinilai salah sasaran. Masyarakat cenderung lebih memilih daging segar, bukan daging beku. “Saya lihat kebijakan impor daging beku ini untuk mengisi pasar daging segar, dan menjual daging beku ke pasar itu adalah kesalahan,” ujarnya.
Ia menilai, pemerintah seyogyanya mengimpor sapi bakalan ketimbang daging beku guna memenuhi permintaan daging segar di pasar. “Impor daging beku lebih baik hanya untuk industri pengolahan saja,” ucap dia.

Asnawi saat menunjukkan kepada peserta sulitnya
membedakan antara daging sapi dan daging kerbau impor.
Tata Kembali Segmentasi Daging
Sementara, Prof Dodik menyatakan, dengan masuknya daging kerbau beku asal India, segmentasi pasar daging harus dibuat sebagai dasar nilai tambah produk pertanian. Segmentasi bisa dari pola konsumsi, selecting and grading dan processing. “Di pasar daging itu perlu di awasi karena banyak blantik atau importir. Harusnya daging dijual secara spesifik dengan harga bersaing, karena itu segmentasi sangat penting,” ucapnya.
Untuk memperbaiki situasi pasar daging, ia pun merekomendasikan beberapa kebijakan, diantaranya optimalisasi peran Bulog dalam tataniaga daging, kombinasi kebijakan tarif dan kuota untuk pengaturan impor daging sapi dan kerbau guna memastikan daging impor yang masuk aman untuk konsumsi dan tidak menyalahi aturan yang berlaku.
Hal serupa juga dikatakan Prof Muladno. Dengan adanya segmentasi daging pemerintah akan lebih mudah mengawasi, terutama daging beku. Sebab, pemerintah hanya mengeluarkan ijin impor daging beku untuk kebutuhan saja.
Diungkapkan pula oleh Asnawi, mengenai segmentasi pasar itu adalah bagaimana bisa membentuk pola perdagangan daging dengan baik. “Pasar di Indonesia ini sebenarnya sudah terbentuk polanya, namun karena kepentingan politik seperti importasi daging kerbau beku, jadi merubah keadaan,” terang dia.
Pengurus YLKI, Sudaryatmo, mengatakan dari sisi konsumen, harga memang menjadi perdebatan, namun konsumen tidak terlalu mempermasalahkan jika daging yang diberikan sesuai. “Harga tidak menjadi masalah kalau kualitas daginya terjamin,” kata Sudaryatmo.
Terkait maraknya oknum pedagang yang mengoplos daging sapi dan kerbau, ia meminta pemerintah harus sigap dengan selalu memberikan informasi kepada konsumen. “Ini harus terus dilakukan inspeksi, atau paling tidak ada penjelasan yang menyatakan bahwa itu merupakan daging sapi, kerbau ataupun oplosan,” jelasnya.
Dari sisi pemerintah, Direktur P2HP, Fini Murfiani, menanggapi, untuk meningkatkan populasi sapi pemerintah terus menggenjot program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab), yang pada tahun ini sudah mencapai 3 juta ekor sapi yang di Inseminasi Buatan (IB) dari target 4 juta akseptor, dan dari jumlah tersebut yang mencapai kebuntingan sekitar 40%.
Sementara untuk segi pasar, ia mengungkapkan, pemerintah berjanji memperbaiki infrastruktur, terutama pasar di Jakarta yang menjadi tolak ukur pasar di Indonesia. “Kepada pelaku usaha, di balik bisnis ingat ada bisnis peternak juga, sehingga dibutuhkan kerjasama. Pengawasan terus kita optimalkan, mengingat sekarang sudah dibentuk satgas pangan,” pungkasnya.
Satgas pangan sendiri yang dibentuk berdasarkan Rapat Koordinasi Terbatas memiliki peran yang signifikan dalam membangun iklim usaha yang kondusif dan mensejahterkan, serta menstabilkan harga pangan. Kendati demikian, menurut Pataka dalam diskusi tersebut, jika pemerintah memutuskan importasi daging kerbau beku, sebaiknya di pasarkan dengan kaidah penjualan yang jujur. Agar kegiatan perekonomian yang dikelola pihak swasta maupun peternak kecil tidak mengalami penurunan. Karena itu, instrumen pasar harus ditata kembali, agar pedagang dan konsumen teredukasi. (RBS)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer