-->

MENCEGAH INFEKSI DINI SAAT INKUBASI TELUR TETAS

Ilustrasi anak ayam menetas. (Foto: Pixabay)

Tindakan mencegah adalah lebih baik daripada menyembuhkan infeksi. Pencegahan merupakan salah satu langkah dalam melakukan mitigasi risiko jangan sampai ada kerugian besar yang terjadi di belakang hari.

Antisipasi sebelum terjadi infeksi yang menyebabkan kerugian adalah tindakan yang jauh lebih baik, menghilangkan kontaminasi yang kemungkinan terjadi saat melakukan inkubasi telur tetas. Agen penyebab penyakit bisa terbawa masuk ke dalam mesin tetas melalui telur tetas terkontaminasi dari sumber vertikal maupun horizontal, saat telur keluar dari induk maupun pada proses handling dari kandang ke mesin tetas.

Breeding farm maupun perusahaan pembibitan unggas dalam proses produksinya tidak terlepas dalam satu rangkaian siklus produksi yang disebut penetasan, melakukan inkubasi telur tetas terpilih dengan mesin tetas atau inkubator. Peternak kecil yang sekarang berkembang sudah banyak yang menggunakan mesin inkubator untuk menyediakan atau menjual bibit unggas. Sering kali  terlupakan bahwa pada proses produksi bibit yaitu saat inkubasi, ternyata tidak hanya bakal embrio dalam telur tetas yang berkembang menjadi DOC/DOD, namun kuman, virus, dan fungi juga terinkubasi.

Saat DOC/DOD muncul dalam mesin tetas, jutaan mikroorganisme juga ada dalam mesin tetas. Mikroorganisme ada yang bersifat patogen ikut terbawa DOC/DOD ke dalam kandang pembesaran yang bisa mengancam perkembangan DOC/DOD saat dalam brooder atau kandang pembesaran.

Dalam siklus produksi bibit, DOC/DOD keluar dari kerabang telur, telur tetas baru masuk dalam mesin tetas. Proses penetasan berlanjut dan berulang. Jeda waktu sebenarnya diperlukan untuk membersihkan dan mendisinfeksi mesin tetas sebelum dipakai kembali untuk menetaskan telur tetas. Sebab daya tetas bisa turun karena banyak tumpukan koloni mikroorganisme di berbagai bagian mesin tetas. Mikroorganis ini bisa masuk melalui pori kerabang telur dan menginfeksi calon embrio. Embrio bisa mati sejak dini sebelum berubah dan berkembang menjadi DOC/DOD. Daya tetas yang diharapkan tinggi bisa... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2025.

Ditulis oleh: 
Ratna Loventa Sulaxono
Medik Veteriner Ahli Pertama
Balai Veteriner Jayapura

PENYAKIT AVIAN INFLUENZA PADA UNGGAS DI INDONESIA

Potensi virus mudah mengalami mutasi. (Foto: Damian Dovarganes-Associated Press)

Avian influenza (AI) disebabkan oleh virus ssRNA yang tergolong famili Orthomyxoviridae. Virus ini dikenal mudah mengalami mutasi karena tidak memiliki mekanisme proof reading (kemampuan untuk memperbaiki kesalahan cetak materi genetik saat perbanyakan di dalam sel tubuh unggas) sehingga kesalahan cetak dapat terjadi.

Kesalahan cetak dapat berupa substitusi, delesi, dan insersi asam amino dalam materi genetik. Secara kompleks proses ini sering dikenal dengan antigenic shifting atau antigenic drifting. Perubahan materi genetik dapat berbahaya jika terjadi pada protein yang berperan penting dalam proses infeksi (protein Hemagglutinin dan Neuraminidase).

Selain potensi virus yang mudah mengalami mutasi, kontrol lalu lintas yang kurang ketat antar daerah juga sering kali berperan dalam introduksi masuknya virus baru di Indonesia. Kedua hal inilah yang berpengaruh besar dalam variasi virus AI yang beredar di Indonesia.

Secara umum AI dibagi menjadi subtipe berdasarkan protein Hemagglutinin (H) dan Neuraminidase (N). Walaupun demikian karena begitu banyaknya variasi yang terjadi, kini pengklasifikasian diperkecil lagi menjadi clade dan subclade. Pada 2003, AI yang merebak di Indonesia termasuk dalam subtipe H5N1 clade 2.1. Virus ini menyebabkan mortalitas yang sangat tinggi pada ayam dan kerugian yang besar bagi peternak. Namun, virus ini belum terdeteksi lagi sejak 2019 hingga sekarang.

Pada 2012, terjadi kasus AI yang ditandai dengan infeksi pada bebek. Dimana bebek merupakan unggas yang dianggap lebih kuat daripada unggas komersil justru menjadi hospes pertama yang terinfeksi sebelum kemudian menyebar pada unggas komersil. Virus yang teridentifikasi pada tahun tersebut adalah AI subtipe H5N1 clade 2.3.2. Virus ini diduga masuk melalui introduksi dari luar Indonesia dan termasuk dalam patotipe high pathogenic avian influenza (HPAI). Sejak saat itu hingga kini, variasi dalam tingkat subclade terus terjadi.

Selanjutnya pada 2016, dunia peternakan Indonesia kembali dihebohkan dengan penyakit yang menyebabkan turunnya produksi telur dari 90% menjadi 30% hingga sering disebut sebagai penyakit 90-30. Kasus ini kemudian teridentifikasi disebabkan oleh virus AI subtipe H9N2 lineage Y280 yang merupakan virus AI low pathogenic (LPAI) dan tidak menyebabkan kematian tinggi pada ayam. Virus AI H9N2 ini menginfeksi ke dalam sel telur sehingga sel telur akan dihancurkan oleh sel kebal yang ada dalam tubuh ayam itu sendiri, hal inilah yang menyebabkan pembentukan telur terganggu yang pada akhirnya menyebabkan penurunan produksi.

Tidak berhenti sampai di situ, pada 2022 ditemukan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2025. (SANBIO)

MENCERMATI LAGI PERKEMBANGAN AI

Virus AI telah berulang kali mengalami mutasi, menjadi tantangan bagi sektor peternakan. (Sumber: finddx)

Tahun kemarin kasus AmPV dan CRD banyak dilaporkan yang kemungkinan besar masih banyak dialami oleh para peternak sampai saat ini. Kendati demikian, peternak tetap perlu waspada dengan adanya berita outbreak Avian influenza (AI) di Selandia Baru pada Desember 2024, yang diindikasikan HPAI dengan varian H7N6.

Migrasi burung dari daerah setempat yang terjadi outbreak AI saat memasuki musim dingin dan bermigrasi ke tempat yang hangat menjadi salah satu pemicu daerah yang disinggahi akan terdampak penyakit AI. Dimana penyakit ini merupakan salah satu penyakit infeksius pada unggas yang bersifat zoonotik dan menyebabkan kerugian ekonomi yang tinggi.

Penyakit AI disebabkan oleh virus yang tergolong dalam family Orthomyxoviridae tipe A, virus influenza A diklasifikasikan berdasarkan antigenitas dari glikoprotein hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA) yang diekspresikan pada permukaan partikel virus. Virus AI mempunyai 18 subtipe HA dan 11 subtipe NA (Tong et al., 2012; Tong et al., 2013; Wu et al., 2014; Heider et al., 2015).

Berdasarkan patogenisitasnya, virus AI dibedakan menjadi highly pathogenic avian influenza (HPAI) menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan sering menimbulkan wabah dan low pathogenic avian influenza (LPAI) menyebabkan gejala ringan atau tidak memiliki gejala pada unggas yang terinfeksi.

Unggas dapat menunjukkan gejala klinis maupun tidak menunjukkan gejala (subklinis). Gejala-gejala seperti penurunan produksi telur, hemoragis pada permukaan serosa dan mukosa organ visceral, terutama hemoragis pada jaringan lemak koroner dan otot jantung (epikardium) dapat mengarahkan diagnosis disebabkan oleh virus AI (Swayne, 2008).

Gejala penyakit berupa penurunan produksi telur yang tidak menimbulkan kematian besar sering kali diabaikan peternak karena tidak menimbulkan kerugian ekonomis yang berarti. Meskipun demikian keberadaan peternakan tersebut dapat membahayakan bagi unggas di daerah sekitarnya karena dapat merupakan sumber penularan infeksi AI bagi ayam lainnya dan kemungkinan juga pada manusia terutama petugas kandang yang bekerja di peternakan tersebut.

Team Veterinary Representatif PT Romindo dalam tiga bulan terakhir telah menangani kasus AI sebanyak sembilan kasus. Kasus yang dilaporkan menunjukkan penurunan produksi telur tidak drastis, tetapi diikuti kematian yang terus-menerus dengan presentasi tidak besar dalam 1.000 ekor ayam terdapat kematian lima ekor. Melalui pemeriksaan di BBVet Maros dari 30 sampel yang diperiksa menunjukkan 96,6% hasil positif terhadap AI H5 clade 2.3.2.

Bagaimana mencermati kondisi di lapangan terhadap perkembangan AI sehingga peternak bisa terhindar oleh kerugian-kerugian yang diakibatkannya? Seperti diketahui bersama bahwa virus AI telah berulang kali mengalami mutasi. Hal ini tentu menjadi tantangan bersama bagi pihak yang intens berkecimpung di dunia peternakan, terutama dalam pengendalian penyakit, baik pada penerapan biosekuriti maupun program vaksinasi.

Menurut WOAH (2018), melakukan kegiatan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2025.

Ditulis oleh:
Drh Damar
Technical Departement Manager
PT Romindo Primavetcom
0812-8644-9471

PAKAN AMAN DARI ANCAMAN TOKSIN

Mikotoksin sangat merugikan jika sudah mengontaminasi bahan baku pakan maupun pakan jadi. (Sumber: poultrynews.co.uk)

Mikotoksin sangat berbahaya bagi kelangsungan performa di peternakan unggas. Kontaminasi mikotoksin pada unit usaha unggas dapat menyebabkan kerugian sangat besar.

Mengancam Dalam Senyap
Jamur, cendawan, atau kapang tumbuh di mana dan kapan saja, terutama ketika kondisi lingkungan menguntungkan bagi mereka. Yang lebih berbahaya lagi, kebanyakan jamur biasanya tumbuh pada tumbuhan yang digunakan sebagai bahan baku pakan, jagung dan kacang kedelai.

Kedua jenis tanaman tersebut merupakan unsur penting dalam formulasi ransum. Jagung digunakan sebagai sumber energi utama dalam ransum, sedangkan kedelai sebagai sumber protein. Persentase jagung dan kacang kedelai dalam suatu formulasi ransum unggas di Indonesia sangat tinggi. Jagung digunakan 50-60%, sedangkan kedelai bisa sampai 20%. Bayangkan ketika keduanya terkontaminasi mikotoksin, tentu sangat mengkhawatirkan.

Kontaminasi mikotoksin dalam bahan baku pakan ternak pun bisa dibilang tinggi. Data dari Biomin pada 2017, menunjukkan bahwa 74% sampel jagung dari Amerika Serikat (AS) terkontaminasi deoksinivalenol/DON (vomitoksin) pada tingkat rata-rata (untuk sampel positif) sebesar 893 ppb. Sedangkan 65% dari sampel jagung yang sama terkontaminasi FUM pada tingkat rata-rata 2.563 ppb. Selain itu, ditemukan 83% sampel kacang kedelai AS terkontaminasi DON pada tingkat rata-rata 1.258 ppb. Kesemua angka tersebut di atas sudah melewati ambang batas pada standar yang telah ditentukan.

Jika sudah mengontaminasi bahan baku pakan apalagi pakan jadi, tentu sangat merugikan produsen pakan maupun peternak. Menurut Tony Unandar, selaku konsultan perunggasan yang juga anggota dewan pakar ASOHI, mikotoksikosis klinis bukanlah kejadian umum di lapangan.

Kasus mikotoksikosis subklinis yang justru sering ditemukan. Gejalanya klinisnya sama dengan penyakit lain misalnya imunosupresi yang mengarah pada penurunan efikasi vaksin, hati berlemak, gangguan usus akibat kerusakan fisik pada epitel usus, produksi bulu yang buruk, dan pertumbuhan yang tidak merata, juga kesuburan dan daya tetas telur yang menurun.

“Kita harus berpikir begitu dalam dunia perunggasan, soalnya memang kadang gejalanya mirip-mirip dan kadang kita enggak kepikiran begitu,” ujarnya.

Dirinya juga mengimbau agar jika bisa setiap ada kejadian penyakit di lapangan, sebaiknya diambil sampel berupa jaringan dari hewan yang mati, sampel pakan, dan lain sebagainya.

“Ancaman penyakit unggas kebanyakan tak terlihat alias kasat mata, dokternya juga harus lebih cerdas, periksakan sampel, cek ada apa di dalam jaringan, di dalam pakan, bisa saja penyakit bermulai dari situ, makanya kita harus waspada,” jelasnya.

Manajemen Risiko Wajib Hukumnya
Beragam alasan mendasari mengapa mikotoksin harus dan wajib diwaspadai. Menurut Global Technical/Commercial Manager Mycotoxin Risk Management Program, Selko, Dr Swamy Haladi, bahwa mikotoksin dapat... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2025. (CR)

MIKOTOKSIN DAN ANCAMANNYA TERHADAP KESEHATAN AYAM

Aflatoksikosis akan menyebabkan memar di daerah paha (kiri), kerusakan hati (tengah), dan penurunan kualitas kerabang telur (kanan). (Foto-foto: Dok. Mensana, 2024)

Mikotoksin adalah senyawa toksik yang dihasilkan oleh jamur, seperti Aspergillus, Fusarium, dan Penicillium. Jamur ini sering mengontaminasi bahan pakan seperti jagung, gandum, kedelai, dan bungkil. Dalam budi daya ayam pedaging dan petelur, cemaran mikotoksin dalam pakan menjadi perhatian serius karena dapat mengganggu kesehatan ayam dan menurunkan produktivitas.

Mikotoksin yang Sering Mengontaminasi
1. Aflatoksin 
Aflatoksin diproduksi oleh Aspergillus flavus, Aspergillus nomius, dan Aspergillus parasiticus. Di antara jenis mikotoksin, aflatoksin bersifat sangat beracun, karsinogenik, dan menyebabkan kontaminasi yang parah (Manafi, 2012).

Aflatoksikosis adalah penyakit yang terjadi ketika kadar aflatoksin dalam bahan baku pakan berada dalam level tinggi. Kondisi ini akan menyebabkan keracunan akut pada ayam dan mengancam kesehatan ayam karena kerusakan hati yang ditimbulkan.

Aflatoksikosis pada ayam pedaging ditandai dengan memar terutama di daerah paha dan kondisi ini sangat rentan terhadap ayam muda. Dari laporan penelitian juga dijelaskan bahwa ayam petelur yang berproduksi tinggi akan sangat rentan terhadap aflatoksikosis. Hal ini dikarenakan hati yang bertanggung jawab atas sintesis prekursor lipid kuning dan putih telur yang terkandung dalam telur menjadi lebih berat kerjanya. Dalam jangka pendek, pengaruh aflatoksin dengan kadar rendah hingga sedang terhadap produksi telur adalah penurunan berat telur, tetapi untuk produksi masih bisa dipertahankan.

Aflatoksikosis kronis dapat memengaruhi kekuatan kerabang telur karena laju konversi vitamin D3 (cholecalciferol) dari pakan ke bentuk metabolik aktif berkurang. Hal ini menurunkan efisiensi penyerapan kalsium karena aktivitas protein pengikat kalsium di usus berkurang. Penyerapan karbohidrat dan nutrisi lipid juga terganggu karena berkurangnya produksi amilase pankreas dan lipase. Selain itu, efek merugikan dari aflatoksin antara lain: 
 
• Performan yang buruk (penurunan produksi dan berat telur)
• Penurunan daya tetas
• Imunosupresif (peningkatan kerentanan terhadap infeksi penyakit) yang bermanifestasi sebagai septikemia dan peritonitis
• Peningkatan lemak hati dan penurunan aktivitas beberapa enzim hati
• Perubahan bobot organ
• Penurunan kadar protein serum
• Memar pada karkas dan pigmentasi yang buruk (Manafi et al., 2018)

2. T-2 Toksin
T-2 toksin termasuk dalam golongan mikotoksin tricothechenes yang paling beracun. Tricothechenes merupakan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2025.

Ditulis oleh:
Nurhadi Baskoro Murdonugroho SPt & 
Drh Bayu Sulistya 
Technical Support-Research and Development
PT Mensana Aneka Satwa

MUSIM BERGANTI, TOKSIN MENGINTAI

Jagung bahan baku pakan yang rentan tercemar mikotoksin. (Foto: Pixabay)

Musim penghujan tiba, kekhwatiran insan perunggasan tetap sama, mikotoksin. Senyawa tak kasat mata yang bisa mencemari bahan baku dan pakan jadi tersebut, masih menjadi ancaman dalam industri pakan.

Sebagai negara tropis dengan curah hujan cukup tinggi, berkisar di antara 2.000-3.000 mm/tahun, Indonesia merupakan negara yang cukup "nyaman" sebagai tempat hidup kapang atau jamur.

Masalahnya, jamur tersebut dapat tumbuh pada tanaman bebijian seperti jagung dan kedelai yang merupakan bahan baku pakan. Tak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar bebijian yang digunakan sebagai bahan pakan sangat rentan terhadap kontaminasi toksin yang dihasilkan jamur tersebut.

Faktor iklim yang dimiliki Indonesia serta kualitas manajemen dan handling di lapangan, membuat mikotoksin tidak bisa dielakkan, sehingga mengakibatkan potensi kerugian yang besar.

Sejatinya, toksin dapat diartikan sebagai senyawa beracun yang diproduksi di dalam sel atau organisme hidup, dalam dunia veteriner disepakati terminologi biotoksin dalam menyebut mikotoksin maupun toksin lainnya, karena toksin diproduksi secara biologis oleh mahluk hidup memalui metabolisme bukan artificial (buatan).

Dalam industri pakan ternak sering didengar istilah mikotoksin (racun yang dihasilkan oleh kapang/jamur). Sampai saat ini cemaran dan kontaminasi mikotoksin dalam pakan ternak masih membayangi tiap unit usaha peternakan, tidak hanya di negeri ini tetapi juga di seluruh dunia.

Berbeda Macam Tetap Sama Bahayanya
Dalam industri pakan setidaknya ada tujuh jenis mikotoksin yang sangat ditakuti mencemari bahan baku maupun pakan jadi, ketujuhnya kerap mengontaminasi dan menyebabkan masalah pada ternak. Terkadang dalam satu kasus, tidak hanya satu mikotoksin yang terdapat dalam sebuah sampel.

Menurut Nutrisionis BEC Feed Solution, Mega Pratiwi Saragi, masalah mikotoksin merupakan masalah... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2025. (CR)

SALMONELOSIS DAN BIJAK MENGGUNAKAN ANTIBIOTIKA

Infeksi salmonela pada unggas menyebabkan kerugian. (Foto: Istimewa)

Dalam budi daya peternakan unggas tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya infeksi, baik itu viral, bakterial, maupun parasit. Salah satu infeksi pada unggas yang bisa muncul adalah salmonelosis.

Salmonelosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri, yang bisa terjadi pada ternak dan manusia. Ditandai dengan terjadinya peradangan pada usus dengan gejala berupa diare, kelemahan fisik, dan bisa mengakibatkan terjadinya kematian pada ternak ataupun manusia bila tidak segera dilakukan pengobatan yang tepat.

Salmonelosis bisa terjadi pada ternak ayam dan dikenal dengan nama populer berak kapur karena gejala klinisnya pada ayam yang terserang, tinjanya berwarna putih seperti kapur. Tinja umumnya lembek dan mengeras seperti kapur saat sudah mengering dan lengket pada lantai kandang.

Kemudian bulu ayam di bawah ekor di seputar kloaka sering ditemukan basah dan kotor berwarna putih akibat lengketnya tinja yang agak encer seperti pasta. Ayam yang sakit mudah teramati dari bawah ekornya yang kotor dan bulu di bawah ekornya kerap melengket. Tinja juga mudah teramati menempel pada pilar-pilar kandang ayam. Pilar kandang tampak menjadi tebal dan berwarna putih.

Agen Penyebab
Salmonelosis pada unggas disebabkan oleh bakteri Salmonella enteritica subs enterica serovar Typhimurium atau dikenal dengan nama Salmonella typhimurium. Bakteri ini juga banyak sekali serovarnya dan merupakan salah satu penyebab food borne disease, penyakit infeksius yang menular ke manusia dari makanan bersumber produk hewan. Tidak kurang dari 15% kasus salmonelosis pada manusia disebabkan oleh Salmonella typhimurium (Scallan E, 2011).

Kasus salmonelosis di Amerika Serikat pada manusia yang pernah tercatat dari 1 juta orang alami diare ada sebanyak 20.000 orang dan 400 orang meninggal setiap tahunnya akibat salmonelosis. Kerugian akibat salmonelosis mencapai angka USD 3,3-4,4 juta.

Permasalahan dalam global health untuk salmonelosis adalah kecenderungan timbulnya resistansi Salmonella spp. terhadap antibiotika pada hewan maupun manusia. Pemakaian antibiotika yang sembarangan mengakibatkan semakin banyak serovar baru ditemukan untuk Salmonella spp. Telah timbul resistansi yang menyebabkan semakin sulitnya pengobatan infeksi salmonelosis dan diperlukan upaya mencari antibiotika yang sesuai untuk pengobatan infeksi Salmonella spp pada manusia akibat salmonelosis.

Pullorum dan Epidemiologisnya
Berak kapur atau pullorum menyerang semua jenis unggas. Infeksi bisa terjadi pada saat ayam mulai... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Januari 2025.

Ditulis oleh:
Ratna Loventa Sulaxono
Medik Veteriner Ahli Pertama
Balai Veteriner Jayapura
&
Sulaxono Hadi
Medik Veteriner Ahli Madya
Purna Tugas di Kota Banjarbaru

MENCEGAH KONDISI STRES TIDAK SEMAKIN FATAL

Closed house bisa jadi salah satu solusi mencegah heat stress. (Foto: Istimewa)

Ketika heat stress menyerang, berbagai solusi diupayakan agar ayam nyaman dan produksi tetap aman. Yang jadi pertanyaan, apakah budi daya dengan sistem open house masih relate?

Pada hakikatnya stres panas adalah efek gabungan dari suhu dan kelembapan relatif udara pada ayam yang dikenal sebagai suhu efektif. Meningkatkan kelembapan udara pada suhu berapapun akan meningkatkan ketidaknyamanan ayam dan stres panas.

Peternak harus hati-hati memantau suhu dan kelembapan di lokasi mereka. Umumnya, pada siang hari, suhu meningkat, dan kelembapan relatif menurun. Metode pendinginan terbaik selama periode kelembapan rendah adalah pendinginan evaporatif (fogger, mister-pembuat kabut atau cool pad).

Sedangkan pada malam hari ketika suhu turun dan kelembapan biasanya meningkat, kelembapan tambahan yang disediakan oleh pengabut dapat meningkatkan tekanan panas. Saat kelembapan tinggi, peningkatan pergerakan udara dengan menggunakan kipas saja akan mengurangi tekanan panas di kandang terbuka.

Pergerakan udara menghasilkan efek wind chill yaitu penurunan suhu udara yang dirasakan oleh tubuh akibat adanya aliran udara. Tabel indeks tekanan panas untuk ayam petelur komersial telah dikembangkan (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Indeks heat stress ayam petelur diadaptasi dari indeks stres suhu dan kelembapan untuk ayam petelur. Xin, Hongwei dan Harmon, Jay D., “Livestock Industry Facilities and Environment: Heat Stress Indices for Livestock” (1998) Agriculture and Environment Extension Publications. Book 163, Iowa State University.

Mengetahui Aspek yang Wajib Dibenahi
Technical Education & Consultation Manager PT Medion, Drh Christina Lilis, menyatakan bahwa penyebab heat stress memang ada pengaruh dari... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Januari 2025.

Ditulis oleh
Drh Cholillurahman
Redaksi Majalah Infovet

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer