-->

DUKUNG BUDI DAYA UNGGAS PENUHI KESRAWAN, REGULASI SEGERA DISAHKAN

Pemeliharaan cage-free pada ayam petelur. (Foto: Istimewa)

Pemerintah Indonesia menunjukkan dukungan nyata terhadap sistem budi daya unggas yang memenuhi kaidah kesejahteraan hewan (Kesrawan), termasuk di antaranya sistem budi daya ayam petelur bebas sangkar (cage-free).

Melalui regulasi baru tentang penyelenggaraan kesejahteraan hewan yang saat ini tengah difinalisasi, pemerintah memberi sinyal kuat bahwa masa depan peternakan, termasuk ayam petelur akan semakin berorientasi pada praktik pemeliharaan yang lebih ramah terhadap hewan dan berkelanjutan.

Ketua Tim Kerja Advokasi Kesejahteraan Hewan, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner (Ditkesmavet), Kementerian Pertanian, Drh Puguh Wahyudi MSi, menegaskan bahwa pemerintah serius mendorong penerapan praktik Kesrawan di Indonesia, termasuk pada peternakan ayam petelur seperti sistem budi daya cage-free.

Ia juga menambahkan, saat ini pemerintah tengah menyiapkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Hewan yang telah masuk tahap harmonisasi. Regulasi ini nantinya akan menjadi payung hukum terkait norma kesejahteraan hewan di Indonesia.

“Regulasi terkait penyelenggaraan kesejahteraan hewan saat ini sedang difinalisasi dan siap disahkan. Aturan ini akan menjadi landasan hukum standar kesejahteraan hewan di Indonesia, yang meliputi hewan ternak, hewan kesayangan, hewan jasa, hingga hewan laboratorium,” kata Puguh.

“Selain itu, juga terdapat poin sertifikasi kesejahteraan hewan dalam regulasi ini yang dapat menjadi acuan bagi peternak dalam mengembangkan sistem pemeliharaan yang lebih berorientasi pada kesejahteraan hewan. Termasuk di dalamnya, pada peternakan ayam petelur.”

Lebih lanjut disampaikan, pemerintah juga memberikan dukungan kepada peternak yang mulai menerapkan sistem cage-free. Menurutnya, tren global saat ini mengarah ke sana. Karena itu, penerapan prinsip Kesrawan, termasuk melalui sistem cage-free diperkirakan akan berkembang secara bertahap di Indonesia. Apalagi, jika di masa mendatang produk Indonesia menghadapi tantangan ekspor dan tuntutan cage-free, pemerintah tegaskan akan menyiapkan produk yang sesuai dengan permintaan konsumen.

“Di Uni Eropa, regulasi sudah mengatur dan mereka telah 100% beralih ke cage-free. Kita melihat hal ini pasti berdampak pada perekonomian dunia, sehingga kita juga harus siap. Jika Uni Eropa sudah begitu, biasanya negara lain akan ikut. Bahkan bisa menjadi yurisprudensi, karena WTO pernah memutuskan bahwa isu kesejahteraan hewan dapat dijadikan dasar hambatan perdagangan apabila dianggap mengganggu moral publik,” tambahnya.

Sejalan dengan arah cage-free, Sustainable Poultry Program Manager Indonesia Lever Foundation, Sandi Dwiyanto, mengungkapkan bahwa Kesrawan kini menjadi perhatian publik global sekaligus tuntutan persaingan perdagangan internasional yang tidak bisa dihindari. Menurutnya, sejak 2015 tren produksi telur dari ayam cage-free mulai mendapat perhatian masyarakat luas.

“Banyak perusahaan internasional ternama telah membuat komitmen global untuk beralih ke sistem cage-free pada 2025. Hingga akhir 2021, lebih dari 2.000 perusahaan di seluruh dunia, termasuk restoran, penyedia layanan makanan, ritel, dan hotel telah berkomitmen untuk menggunakan telur cage-free. Termasuk di antaranya sekitar 100 perusahaan di Indonesia yang telah mengomunikasikan terkait telur cage-free. Sebagian besar menargetkan implementasi penuh pada 2025, dan jumlah komitmen dari perusahaan terus bertambah,” jelas Sandi dalam keterangan resminya, Rabu (15/10/2025).

Di Indonesia, sejumlah perusahaan makanan global juga telah membuat komitmen atau sedang dalam proses menerapkan kebijakan telur cage-free, di antaranya KFC, Pizza Hut, Taco Bell, Burger King, dan The Coffee Bean & Tea Leaf. Perusahaan besar seperti Nestlé bahkan menargetkan penggunaan telur cage-free sepenuhnya pada 2025.

Komitmen ini juga mulai diikuti beberapa perusahaan yang mempunyai basis di Indonesia, misalnya Superindo dan beberapa kafe dan restoran ternama seperti Ismaya, Bali Budha, hingga Jiwa Jawi. 

Sementara itu, Owner PT Inti Prima Satwa Sejahtera (IPSS), Roby Tjahya Dharma Gandawijaya, menilai bahwa prospek pasar cage-free akan terus tumbuh di masa depan. “Keberhasilan sistem cage-free di Indonesia membutuhkan dukungan berbagai pihak. Karena itu, peran seluruh pemangku kepentingan perunggasan nasional sangat penting, mulai dari industri pakan, DOC, peralatan, hingga obat-obatan. Dengan kolaborasi, kita dapat mengembangkan peternakan cage-free di Indonesia, sehingga ketika perubahan itu benar-benar tiba, kita sudah siap dan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri,” ujarnya.

Selain isu kesejahteraan hewan dan tren global, European Food Safety Authority (EFSA) dalam laporannya menyebutkan bahwa risiko salmonella lebih tinggi pada sistem kandang baterai dibandingkan pada sistem cage-free. Temuan ini menegaskan bahwa sistem cage-free tidak hanya menguntungkan secara perdagangan, tetapi juga berkontribusi pada keamanan pangan dan kesehatan masyarakat.

Dengan berkembangnya tren global serta rencana pengesahan regulasi penyelenggaraan Kesrawan di Indonesia, semakin membuka peluang besar di sektor peternakan ayam petelur. Kolaborasi antara seluruh pemangku kepentingan diharapkan menjadi kunci terwujudnya praktik budi daya yang berkelanjutan di Indonesia. (INF)

KESEJAHTERAAN HEWAN DAN PENERAPAN GOOD SLAUGHTERING PRACTICE

RPH dikatakan modern ketika menerapkan standar GSP, fasilitas memadai dan memiliki sertifikasi NKV diatas level II. (Foto: Ist)

Penanganan hewan yang baik menciptakan kesejahteraan hewan yang baik pula. Mencakup perhatian kepada ternak hewan, memastikan ia bebas dari rasa lapar dan haus (freedom from hunger and thirst).

Selain itu memperhatikan apakah hewan ternak bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit dan cedera, bebas dari rasa takut dan tertekan serta bebas untuk menampilkan perilaku alaminya.

Animal Welfare and Health Manager PT JJAA, Drh Neny Santy, dalam acara seminar daring yang digelar Mei lalu menguraikan penerapan kesejahteraan hewan ternak meliputi penanganan hewan ternak, transportasi, penanganan di feedlot, rumah pemotongan hewan (RPH) dan penyembelihan dengan pemingsanan.

Lebih lanjut, Neny menerangkan proses penanganan sapi saat di RPH sebelum disembelih. Saat tinggal di rumah penampungan, sapi harus diberikan penerangan yang baik agar operator bisa melakukan penanganan dengan optimal.

“Kami terbiasa ke RPH dan melihat perlunya edukasi dan bantuan penyediaan fasilitas yang memadahi. Penanganan sapi di RPH ini merupakan fase akhir yang tidak kalah penting untuk diperhatikan. Stres pada saat pemotongan akan menyebabkan daging akan berwarna kehitaman, bukan merah,” terang Neny.

Menurutnya, waktu yang dijadwalkan di RPH harus seminimal mungkin, agar sapi tidak mengalami stres. Neny menyarankan supaya ternak harus segera disembelih secara cepat, baik menggunakan metode pembiusan ataupun tidak. “Proses penyembelihan ini akan menentukan kualitas daging yang akan dibeli oleh konsumen,” katanya.

Pada kesempatan yang sama Livestock Service Manager untuk Indonesia di perusahaan Meat and Livestock Australia, Drh Helen Fadma, mengemukakan kesejahteraan hewan ternak yang paling riskan adalah saat proses pemindahan. Proses ini biasa menggunakan transportasi darat dan transportasi laut yang membuat sapi sering stres.

Selain itu, kandang penampungan sementara juga harus disiapkan sesuai standar yang sudah ditetapkan. Paling banyak ditemui adalah lantai yang tidak datar, sehingga sapi merasa tidak nyaman. 

GSP dan Sertifikasi NKV
Pedoman tertulis mengenai tata cara atau prosedur produksi pemotongan ternak yang baik, higienis dan halal tertuang dalam Good Slaughtering Practice (GSP). 

GSP menjadi syarat untuk mendapatkan sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner (NKV), agar keamanan daging yang dihasilkan dapat terjamin.

“Prasyarat paling dasar dan wajib dilaksanakan dalam industri pemotongan hewan ternak (RPH) yakni penerapan GSP,” kata Manager Produksi PT Cianjur Arta Makmur (Widodo Makmur Group), Mukhlas Agung Hidayat SPt.

Dalam Permentan No. 13/2010, izin pendirian usaha RPH akan dicabut jika belum memiliki NKV pada jangka waktu yang ditentukan. RPH dikatakan sebagai RPH modern jika telah menerapkan standar GSP secara menyeluruh dan memiliki fasilitas yang memadai, serta minimal memiliki sertifikasi NKV diatas level 2.

Mukhlas menjelaskan, penerapan GSP di RPH modern diaplikasikan pada proses pra pemotongan, pada saat pemotongan dan pasca pemotongan. Sebelum dipotong, sapi ditempatkan pada kandang istirahat, lakukan pendataan sapi dan pengecekan kesesuaian sapi dengan dokumen, pengaturan sapi pada setiap pen kandang pengistirahatan dan pengelompokan berdasarkan jenis dan waktu pemotongan.

“Alur pemotongan dikategorikan menjadi tiga, yaitu pra pemotongan, pemotongan dan pasca pemotongan. RPH modern menggunakan sedikit tenaga manusia dan lebih banyak menggunakan mesin. Jika pemotongan tradisional sampai melibatkan lima orang untuk menyembelih sapi, RPH modern hanya membutuhkan satu orang operator,” ujar Mukhlas.

Papar Mukhlas, penting juga dilakukan pengecekan kondisi dan kesehatan sapi kemudian penentuan layak tidaknya sapi untuk dipotong dan pemisahan sapi pada hospital pen jika ditemukan syarat-syarat tidak layaknya sapi dipotong.

Adapun pada saat proses pemotongan sapi, dilakukan secara Islami dan berdasarkan syarat-syarat pemotongan halal, yakni penyembelihan dengan memutus saluran makanan (mari’/esophagus), saluran pernapasan (hulqum/trakea) dan dua pembuluh darah (wadajain/vena jugularis dan arteri carotid).

Setelah proses penyembelihan dijalankan, untuk meningkatkan kualitas daging maka dilakukan proses penyimpanan karkas pada suhu 0-4° C selama minimal 18 jam untuk menyempurnakan proses biokimia daging atau rigormortisn ternak.

Lanjutnya, disebutkan ada tiga klasifikasi utama RPH, yaitu kelas I hingga kelas III. RPH dikatakan modern apabila minimal sudah masuk dalam kategori kelas III. 

Perusahaan yang saat ini ditempatinya adalah RPH kelas II yang harus menggunakan fasilitas dan  metode yang terstandar internasional. Namun, untuk melakukan ekspor, RPH harus masuk dalam standar RPH kelas I. Kelas ini jumlahnya sangat sedikit di Indonesia, bahkan bisa dihitung jari. 

“RPH perlu mengetahui dan menerapkan pedoman GSP. Hal ini akan meningkatkan kualitas dari produksi daging di Indonesia,” tandasnya.

Menurut Mukhlas, RPH modern di Indonesia masih belum banyak, padahal potensi bangsa sangat besar di bidang peternakan. (NDV)

MINIMALKAN STRES TERNAK SAAT TRANSPORTASI, TERAPKAN PRINSIP KESRAWAN

Untuk meminimalkan stres pada saat transportasi ternak, maka sangat dibutuhkan penerapan kesejahteraan hewan (Kesrawan/animal welfare). (Foto: Ist)

Proses transportasi ternak menjadi aktivitas yang rentan terhadap tekanan atau stres pada ternak yang diangkut. Faktor-faktor yang berkontribusi pada stres ternak saat transportasi diantaranaya yakni usia ternak, jenis kelamin, jenis ternak, status fisiologi dan adanya pengalaman sebelumnya.

“Stres pada ternak selama transportasi terbagi dalam dua kategori, yakni stres fisiologi dan stres fisik. Stres fisiologi misalnya kekangan, handling atau penanganan dan lingkungan baru. Sedangkan stres fisik antara lain lapar, haus, lelah, cedera dan panas,” kata Muhamad Baihaqi selaku pakar bidang produksi ternak ruminansia kecil, Fakultas Peternakan IPB, dalam Online Training bertema “Logistik Ruminansia Kecil (Domba/Kambing)” pada 19-20 Juni 2020.

Acara yang diselenggarakan oleh Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) dan Fakultas Peternakan IPB tersebut juga menghadirkan narasumber penting lain, yakni Business Owner Mitra Tani Farm, Budi Susilo.

Untuk meminimalkan stres pada saat transportasi ternak, maka sangat dibutuhkan penerapan kesejahteraan hewan (Kesrawan/animal welfare). Baihaqi menjelaskan, yang dimaksud dengan Kesrawan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia.

Ia menandaskan, prinsip kebebasan hewan pada pengangkutan atau transportasi dilaksanakan sesuai dengan regulasi pemerintah, yakni PP No. 95/2012, harus dilakukan dengan cara yang tidak menyakiti, melukai dan/atau mengakibatkan stres, menggunakan alat angkut yang layak, bersih, sesuai dengan kapasitas alat angkut. Kemudian tidak menyakiti, tidak melukai, dan/atau tidak mengakibatkan stres, serta memberikan pakan dan minum yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis ternak. (IN)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI


Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer