Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini FAO | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PROVINCIAL BRIDGING WORKSHOP UNTUK MEMPERKUAT PROGRAM PENGENDALIAN RABIES DI BALI


Provincial Bridging Diharapkan Dapat Membantu Pemerintah Tanggulangi Rabies

Berbagai Organisasi Non Pemerintah (NGO) seperti FAO, WHO, WOAH, GARC, FLI Jerman, dan Tim Kesiapsiagaan Epidemi Jerman mengadakan provincial bridging workshop untuk pengendalian rabies di Bali dari tanggal 12 hingga 14 April 2023. Tujuannya tentu saja untuk  mendukung Pemerintah Indonesia dalam pengendalian penyakit rabies terutama di Bali. 

Pada lokakarya ini, peserta diajak membahas status penyakit rabies di Bali saat ini, strategi pengendaliannya, serta mengidentifikasi kegiatan lintas sektoral untuk mencapai target pemberantasan rabies global "zero by 2030". Metodologi International Health Regulations dan Performance of Veterinary Services (IHR-PVS) diadaptasi untuk memfasilitasi kolaborasi lintas sektor untuk kegiatan strategis dalam pencegahan dan pengendalian rabies di seluruh wilayah di Bali.

Ada beberapa rekomendasi dan tindak lanjut yang dihasilkan dari kegiatan ini, antara lain pembentukan tim koordinasi pencegahan dan pengendalian zoonosis dan penyakit menular baru (emerging infectious diseases) di Bali, menyusun program tematik penganggulangan rabies, serta mengadopsi hasil lokakarya dalam bentuk roadmap bersama untuk pemberantasan rabies sebagai rencana kerja lintas sektoral di Bali. Sebagai catatan, Indonesia merupakan negara kedua yang menjadi percontohan lokakarya ini selain Ghana. (WF)

KEMENTAN BERSAMA FAO LUNCURKAN PETA JALAN NASIONAL UNTUK MEREDUKSI AMR

Suasana Lauching Buku Manual Penyakit Unggas

Kementerian Pertanian (Kementan) bekerja sama dengan Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) telah meluncurkan peta jalan untuk mengurangi penggunaan antimikroba di peternakan.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Layanan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) Kementan, Nasrullah pada forum diskusi berkala dengan pemangku kepentingan unggas yang disebut OBRASS (Obrolan  Ringan Akhir Pekan Seputar Unggas) di Jakarta, Sabtu (04/03). Peta jalan ini bertujuan untuk mengurangi penggunaan antimikroba untuk pencegahan hingga 40% pada tahun 2029.

Dalam kegiatan ini juga diluncurkan tiga publikasi lainnya, yaitu: (1). Manual Penyakit Unggas edisi 2023; (2). Pedoman Umum untuk Penatagunaan Antimikroba di Sektor Peternakan dan Kesehatan Hewan; dan (3). materi komunikasi, informasi, dan edukasi penatagunaan antimikroba.

“Kita juga libatkan Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia (ADHPI) dalam penyusunan peta jalan ini. Publikasi ini ditujukan untuk membantu semua pemangku kepentingan dalam upaya memerangi resistensi antimikroba (AMR), terutama di sektor peternakan,” kata Nasrullah menjelaskan.

Menurut Nasrullah, penyalahgunaan antimikroba baik di sektor kesehatan manusia dan hewan, maupun dalam produksi pangan dapat mempercepat terjadinya AMR. “AMR merupakan salah satu ancaman kesehatan masyarakat global terbesar karena dapat mempersulit pengobatan infeksi dan meningkatkan jumlah kematian, serta menimbulkan kerugian ekonomi,” imbuhnya menerangkan.

Menyadari besarnya dampak kesehatan dan ekonomi ini, Indonesia telah mengembangkan Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba tahun 2020-2024.

“Publikasi yang diluncurkan ini merupakan penjabaran dari Rencana Aksi Nasional yang mendukung strategi pemerintah untuk meningkatkan partisipasi seluruh sektor dalam melaksanakan praktik penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab,” tandasnya.

Rajendra Aryal, perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste, mengapresiasi kerja sama semua pihak dalam mengembangkan pedoman ini. 

“Panduan yang diluncurkan hari ini menjadi titik capaian penting dalam memperkuat pengendalian AMR melalui pendekatan One Health multisektor yang dapat digunakan pada semua tingkatan. Keberlanjutan dari komitmen yang ada saat ini dalam pelaksanaannya pada sektor kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan juga produksi pangan, merupakan hal utama yang diperlukan untuk terus meningkatkan dampak positif yang dihasilkan,” kata Aryal.

Kedepannya , FAO akan terus mendukung pemerintah Indonesia dalam menanggulangi AMR melalui pendekatan One Health dengan pendanaan dari Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID).

Kepala Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia (ADHPI), Dalmi Triyono, menekankan pentingnya menerapkan pedoman-pedoman ini guna mencapai target rencana aksi nasional untuk mengendalikan AMR.

“ADHPI mendorong semua pemangku kepentingan, terutama dokter hewan dan peternak, yang berada di garis terdepan dalam pengendalian AMR, untuk mengimplementasikan manual dan pedoman ini dengan baik agar dapat meningkatkan manajemen kesehatan unggas dan memperlambat laju AMR,” jelas Triyono.

Sebagai informasi, Sejak 2016, FAO telah bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan program pencegahan dan pengendalian AMR dalam produksi ternak dan sektor kesehatan hewan di seluruh Indonesia. Upaya yang berkelanjutan ini dilakukan untuk mengendalikan penggunaan antimikroba di sektor peternakan sekaligus mendorong peternak agar menghasilkan produk ternak yang lebih aman untuk konsumsi publik. (CR)

KEMENTAN DAN FAO DISKUSI ONE HEALTH BERSAMA ANIMATOR MUDA

ANTERO Science Discussion bersama pakar dari Kementerian Pertanian, FAO, dan kanal Akar Ilmiah, 

Dalam upaya meningkatkan kesadaran di kalangan anak muda dan  masyarakat umum mengenai One Health dalam menanggulangi zoonosis dan Penyakit Infeksi Baru (PIB), Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO) dengan dukungan Kementerian Pertanian serta Amerika Serikat melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), menyelenggarakan Diskusi Sains ANTERO di Jakarta yang ditujukan untuk anak muda, bekerja sama dengan Kok Bisa pada (9/1) yang lalu.

Diskusi sains ini merupakan acara penutup dari Program Creators Challenge yang diadakan selama sebulan, yakni sebuah kompetisi video animasi sains yang mengajak para animator muda berusia 18 hingga 25 tahun dari seluruh Indonesia untuk membuat video animasi tentang One Health.  

Pada kesempatan tersebut, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrullah menjelaskan, One Health merupakan solusi pendekatan holistik yang menyatukan kekuatan bersama untuk menjaga kesehatan manusia dan hewan, termasuk lingkungan dengan menggarisbawahi pentingnya kolaborasi multisektoral. 

Sebagian besar penyakit infeksi dan endemik bersifat zoonosis, yang dapat menular ke manusia dari hewan dan sebaliknya. Oleh karena itu, menurut Nasrullah, komitmen dari semua pihak, termasuk kaum muda, sangat penting dalam menanggapi dan mencegah ancaman keamanan kesehatan yang mungkin terjadi. 

“Anak muda memiliki peran penting dalam menguatkan penerapan One Health karena mereka adalah inovator dan pengguna teknologi dan praktik baru, termasuk media digital“, ungkap Nasrullah. “Keterlibatan dan kepemimpinan pemuda secara intrinsik berkaitan dengan banyak aspek dalam mencapai ketangguhan kesehatan global, salah satunya melalui kreativitas pemuda dalam penggunaan media digital dan teknologi baru untuk menyebarluaskan kesadaran tentang mengenai masalah keamanan kesehatan,” imbuhnya. 

“Keterlibatan anak muda sebagai bagian dari garis depan dalam menjaga kesehatan manusia dan hewan merupakan kekuatan besar untuk memastikan komunitas yang lebih sehat dan kuat. Belakangan ini, peran kaum muda dalam kesehatan sangat diperlukan, dan suara mereka sangat penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan ancaman kesehatan yang muncul,” ujar Rajendra Aryal, perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste dalam kata sambutannya.

“Amerika Serikat, melalui USAID, bangga bermitra dengan Kementerian Pertanian Republik Indonesia, FAO, dan Kok Bisa untuk memicu minat generasi muda tentang ilmu kesehatan yang penting dengan cara yang kreatif dan menyenangkan,” kata David Stanton, Wakil Direktur Kantor Kesehatan USAID Indonesia. “Konten kreatif tentang One Health akan membantu anak-anak muda memahami bagaimana penguatan kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan hidup akan membantu Indonesia untuk mencegah, mendeteksi, dan merespons ancaman penyakit menular seperti COVID-19 dengan lebih baik, dan meningkatkan ketahanan dan ketangguhan kesehatan secara keseluruhan dalam jangka panjang.”

Program Creators Challenge mengajak para animator muda yang inovatif untuk membuat video sains yang berkualitas guna meningkatkan kesadaran publik tentang One Health dalam mengatasi zoonosis dan PIB. Program ini terdiri dari tiga hari pelatihan secara daring tentang penelitian, penulisan, dan pembuatan animasi yang mencakup topik One Health untuk tiga puluh kelompok peserta terpilih dari lebih dari 200 pendaftar.  

Pada acara penutupan ini, panitia mengumumkan tiga kelompok pemenang, dan satu kelompok yang menjadi juara favorit. “Selamat kepada seluruh pemenang! Karya Anda akan menginspirasi jutaan pemuda Indonesia untuk berperan aktif sebagai agen perubahan dalam menyebarluaskan kesadaran akan pentingnya menjaga ketahanan kesehatan global di seluruh dimensi sistem pangan dan kesehatan,” kata Rajendra sembari mengapresiasi pencapaian para peserta.

Rangkaian acara ini merupakan bagian dari kegiatan Global Health Security Program (GHSP) yang didanai oleh USAID dalam meningkatkan kesadaran anak muda untuk memperkuat kesehatan global dengan meningkatkan kapasitas nasional untuk mencegah, mendeteksi dan menangani ancaman penyakit, menggunakan pendekatan One Health secara multisektoral. (INF)

INDONESIA JALIN KERJASAMA INTERNASIONAL KENDALIKAN PMK

Petugas Teknis di Lapangan Memeriksa Sapi Terindikasi PMK

Indonesia tengah berupaya mengendalikan penyakit mulut dan kuku (PMK) yang menyerang nusantara. Hingga saat ini, vaksinasi telah diluncurkan di provinsi-provinsi tersebut, bersama dengan upaya nasional lainnya seperti karantina hewan dan peningkatan protokol biosekuriti 

  

Untuk meningkatkan upaya tersebut, Pemerintah Indonesia menjalin kerja sama internasional dengan menggandeng Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO) serta berbagai mitra internasional, seperti Pemerintah Australia. 

 

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (Mentan SYL), mengatakan selain memaksimalkan vaksinasi sebagai agenda temporary dan permanen dalam penanganan PMK, pemerintah juga terus melakukan pengobatan dan penyemprotan kandang dengan disinfektan sebagai upaya penekanan penularan PMK.  Mengenai hal ini, Mentan menyampaikan terima kasih atas perhatian dan kontribusi besar semua pihak dalam menangani PMK.  

 

Terkait dengan kunjungan Menteri Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Australia, Mentan SYL mengatakan banyak hal yang didiskusikan terkait kerjasama antar dua negara dalam sektor pertanian. 

  

“Banyak hal yang kami diskusikan, isu global, tantangan-tantangan climate change, dan kebutuhan dua negara baik dalam pengamanan pertanian di Indonesia dan Australia,” ucap Mentan SYL 

  

Salah satu isu yang dibahas dengan serius dalam perjanjian kerja sama ini adalah masalah PMK. Australia sebagai negara yang memiliki letak geografis yang dekat dengan Indonesia memberikan perhatian khusus dalam masalah ini. 

 

“FAO telah bekerja sama erat dengan Pemerintah Indonesia sejak awal wabah untuk mengendalikan PMK yang mengancam rantai pasokan pangan dan mata pencaharian peternak”, kata Rajendra Aryal, Kepala Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste. 

  

Lebih lanjut, FAO telah memfasilitasi upaya kerjasama internasional, seperti memberikan 10 ribu dosis vaksin PMK dengan dukungan dari Pemerintah Australia melalui proyek bersama FAO-Australia-ASEAN untuk penguatan mekanisme kesehatan hewan di Asia Tenggara (SMART-ASEAN). Ini merupakan salah satu kloter vaksin pertama yang tiba di Indonesia untuk mengawali upaya vaksinasi nasional pada bulan Juni 2022 yang lalu.  

  

FAO juga telah memfasilitasi beberapa pertemuan konsultasi dengan pakar internasional dari berbagai negara untuk bertukar pengetahuan dan praktek terbaik untuk mengendalikan PMK. Baru-baru ini, FAO juga menerjunkan tim ahlinya dalam misi darurat ke beberapa provinsi yang terdampak PMK untuk memberi saran tentang tindakan jangka pendek dan jangka panjang kepada Pemerintah Indonesia. 

  

Selain itu, FAO telah memasok berbagai peralatan laboratorium tambahan untuk meningkatkan kapasitas deteksi PMK oleh balai-balai veteriner. FAO dan Pemerintah Indonesia juga berharap dapat segera meluncurkan program pelatihan virtual bagi sekitar 350 petugas lapangan kesehatan hewan di 34 provinsi untuk mengendalikan PMK secara cepat dengan menggunakan materi pembelajaran yang berstandar internasional. (INF)

 

PENGERTIAN BIOSEKURITI DI PETERNAKAN UNGGAS

Ilustrasi. (Sumber: Dok. IICA)

Apakah Biosekuriti Itu? (Bio = Hidup, Sekuriti = Perlindungan)
Biosekuriti terdiri dari seluruh prosedur kesehatan dan pencegahan yang dilakukan secara rutin di sebuah peternakan, untuk mencegah masuk dan keluarnya kuman yang menyebabkan penyakit unggas.

Biosekuriti yang baik akan berkontribusi pada pemeliharaan unggas yang bersih dan sehat dengan mengunakan sumber-sumber yang ada di peternakan, mengelola ternak unggas secara semestinya, menggunakan obat lebih sedikit, serta mengurangi kontaminasi.

Tujuan biosekuriti yang baik adalah untuk membangun dan mengintegrasikan beberapa usaha perlindungan yang dapat menjaga ternak unggas supaya tetap sehat. Biosekuriti yang baik menghasilkan kematian yang lebih sedikit pada unggas, penghematan yang cukup besar dalam biaya produksi serta pendapatan yang lebih tinggi bagi peternak unggas.

Selain itu penerapan biosekuriti juga untuk mengurangi risiko adanya penyakit di peternakan dengan cara memelihara higiene yang baik, keteraturan dan disiplin, memelihara lingkungan sekitar peternakan, mengendalikan hama, serta tindakan pencegahan lainnya.

Prosedur Biosekuriti Harus Baik
Penyakit unggas berpengaruh negatif terhadap keuntungan peternak dan bahkan kadang membahayakan kesehatan manusia. Peternakan unggas selalu berisiko terserang oleh penyakit yang mengakibatkan berkurangnya produksi daging dan telur, tergantung pada tingkat keparahan penyakit.

Ketika unggas dipaparkan pada kondisi lingkungan yang tidak sehat seperti panas yang berlebihan, kedinginan, kelembapan, amonia, suara bising, kekurangan air dan/atau pakan, tingkat ketahanan mereka terhadap penyakit menjadi berkurang, membuat ayam rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur.

Biosekuriti adalah penerapan yang sangat berguna yang berperan pada perlindungan menyeluruh terhadap industri unggas dari wabah dan penyakit eksotis. Hal yang penting diingat dalam penerapan Biosekuriti adalah:

• Manusia adalah penyebar utama penyakit
• Sebanyak 90% dari kejadian penyakit unggas disebarkan dari satu peternakan ke peternakan lainnya oleh manusia, peralatan dan kendaraan yang telah terkontaminasi.
• Tenaga penjual produk-produk kesehatan hewan, pasokan unggas, pakan, peralatan dan lain sebagainya, berpindah dari satu peternakan ke peternakan lain, berbicara dengan para peternak unggas yang berbeda dan sering kali tidak mengambil tindakan pencegahan dengan membersihkan pakaian, sepatu dan kendaraan.
• Waspadai kehadiran pembeli unggas hidup dan kehadiran pembeli kompos dari kotoran unggas.
• Waspadai para pekerja peternakan unggas komersial yang memiliki unggas di pekarangan rumahnya sendiri.
• Penjaga gerbang atau peternak yang tidak melakukan prosedur sanitasi terhadap pengunjung seperti yang telah ditetapkan oleh peternakan.
• Pemilik peternakan unggas yang mengunjungi peternakan unggas lainnya.
• Penggunaan ulang karung yang sudah kosong, alas kandang dan wadah obat-obatan.
• Tidak melakukan proses pembuangan secara benar untuk unggas yang mati, membiarkan hewan lain memakannya, atau mengizinkan unggas mati untuk dijual.
• Jarak yang berdekatan antara peternakan unggas, khususnya unggas yang berbeda jenis.
• Unggas liar dari daerah berdekatan dan burung liar yang bermigrasi dari daerah yang jauh.
• Pembuangan atau penggunaan yang tidak semestinya dari kotoran unggas, alas kandang bekas pakai, bulu, boks anak ayam, jarum suntik, botol bekas vaksin dan lainnya.
• Sumber air (aliran air, kolam atau sungai) yang digunakan bersama-sama dengan peternakan unggas lain merupakan risiko besar untuk kontaminasi.
• Kehadiran hewan jenis lain di peternakan, seperti anjing, kucing, babi, kelinci, sapi, kuda, ayam-ayam pekarangan, ayam jago, bebek, angsa, burung kakak tua, merpati, kenari, puyuh, kalkun dan sebagainya.

Sebab suatu penyakit dapat menyebar antar kandang melalui manusia yang menjadi penyebar utama penyakit, ataupun melalui bangunan kandang unggas yang terlalu dekat satu sama lain, peralatan yang berpindah dari satu peternakan ke peternakan yang lain dan unggas yang berbeda umur dalam kandang yang sama, serta melalui serangga, kutu, binatang pengerat, burung dan binatang piaraan lainnya.

Pembagian 3 Zona pada Peternakan Terkait Biosekuriti
Adalah penting membagi peternakan menjadi tiga zona, yaitu zona merah, kuning dan hijau. Zona merah adalah zona kotor, batas antara lingkungan luar yang kotor, misalnya lokasi penerimaan dan penyimpanan egg tray/boks bekas telur, lokasi penerimaan tamu seperti pembeli ayam/telur, technical service, maupun pengunjung lain seperti tetangga atau peternak lain. Pada area ini kemungkinan cemaran bibit penyakit sangat banyak.

Penerapan 3 zona merah kuning, hijau untuk memudahkan isolasi dan pengaturan lalu lintas di lingkungan kandang. (Sumber: Dok. FAO)

Zona kuning merupakan zona transisi antara daerah kotor (merah) dan bersih (hijau). Area ini hanya dibatasi untuk kendaraan yang penting seperti truk ransum, DOC/pullet dan telur. Akses hanya diperuntukkan bagi pekerja kandang, lokasi tempat menyimpan egg tray/boks telur yang sudah bersih dan sudah diisi.

Zona hijau adalah zona bersih yang merupakan wilayah yang harus terjaga dari kemungkinan cemaran/penularan penyakit. Area ini merupakan kandang tempat tinggal ternak. Hanya pekerja kandang yang boleh masuk zona hijau. Untuk masuk ke wilayah ini, pekerja harus menggunakan alas kaki khusus zona hijau. Kendaraan tidak boleh masuk ke zona ini. Begitu pula dengan pengunjung, kecuali jika ada kepentingan khusus, misalnya tenaga vaksinasi (vaksinator) atau technical service yang ingin mengontrol kesehatan ayam dengan syarat harus bersedia mengikuti prosedur yang diterapkan di farm tersebut. ***

Dirangkum dari Buku Biosekuriti Peternakan Unggas (Gita Pustaka)

BERSAMA MENCEGAH RESISTENSI ANTIMIKROBA


Dibutuhkan kerjsama lintas sektor dalam mengendalikan AMR

Sebagaimana kita ketahui bahwa pekan kesadaran antimikroba sedunia (World Antimicrobial Awareness Week) diperingati tiap tahunnya pada 18 - 24 November. Peringatan ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran ketahanan antimikroba secara global dan mendorong praktik nyata para pemangku kepentingan, termasuk sektor kesehatan, perikanan, dan peternakan, untuk mencegah bahaya kesehatan pada manusia akibat resistansi antimikroba.Resistensi antimikroba juga sudah menjadi isu global, buktinya dalam pertemuan G20 nanti isu tersebut merupakan salah satu isu yang bakal dibahas. 

Dalam rangka memperingati event tersebut FAO, WHO, USAID, bersama Kementerian Kesehatan, Pertanian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan berkolaborasi melaksanakan media briefing mengenai pentingnya antimikroba kepada awak media (18/11) yang lalu melalui daring zoom meeting.

AMR Kian Mengkhawatirkan

Dalam presentasinya Direktur Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Kalsum Komaryani mengatakan bahwa saat ini kematian akibat resistensi antimikroba mencapai 700 ribu orang per tahun dan diprediksi di tahun 2050 bisa mencapai 10 juta orang per tahun di seluruh dunia.

"Distribusinya diprediksi terbanyak di Asia dan Afrika sekitar 4,7 juta jiwa dan Afrika 4,1 juta jiwa, sisanya di Australia, Eropa, Amerika,” tutur Kalsum.

Kalsum menjelaskan, strategi pengendalian resistensi antimikroba yang sudah dilakukan di Indonesia adalah dengan meningkatkan kesadaran dan pemahaman resistensi antimikroba, melakukan peningkatan pengetahuan, dan bukti ilmiah melalui surveilans. Saat ini, ada 20 rumah sakit yang terpilih untuk melakukan surveilans antimikroba yang terdiri dari rumah sakit umum pemerintah pusat dan RSUD.

Upaya selanjutnya pengurangan infeksi melalui sanitasi hygiene, optimalisasi pengawasan dan penerapan sanksi jika peredaran dan penggunaan antimikroba tidak sesuai standar, serta peningkatan investasi melalui penemuan obat, metode diagnostic, dan vaksin baru.

Dalam rencana aksi global tahun 2015, disusun dengan pendekatan multi sektor atau pendekatan One Health. Di dalamnya ada lima strategi utama bagaimana negara-negara dapat melakukan pengendalian AMR dan memitigasi dampaknya, yakni Peningkatan Kesadaran terhadap AMR, Surveilans, Pencegahan Infeksi, Penatagunaan Antimikroba, serta Riset dan Pengembangan.

Peternakan dan Perikanan Berbenah

Beberapa sektor yang rentan berisiko dan kerap disalahkan ketika terjadi resistensi antimikroba adalah perikanan dan Peternakan. Dalam paparannya, Dirjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan TB Haeru Rahayu mengatakan, untuk bisa memelihara ikan, udang, dan komoditas akuatik lainnya dibutuhkan upaya untuk menjaga kesehatannya.

Sementara dalam program manajemen kesehatannya pembudidaya belum bisa lepas dari penggunaan obat, baik itu yang sifatnya herbal maupun yang sifatnya kimiawi. Salah satunya yakni masih digunakannya sediaan antimikrobial seperti beragam jenis antibiotik.

"Ini yang sedang kita coba kendalikan untuk penggunaannya supaya lebih bijak, supaya tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari,” katanya.

Ia melanjutkan, dampak penggunaan antimikroba yang tidak terkendali kemudian dilepas ke alam atau ke lingkungan maka ini bisa berpengaruh secara tidak langsung.

“Saya beserta jajaran terus memotivasi teman-teman, memotivasi pembudidaya untuk tetap bijak menggunakan antibiotik ketika memang hanya diperlukan saja dan sesuai kebutuhan,” ucap Haeru.

Pengendalian AMR di sektor peternakan juga perlu diperhatikan. Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nuryani Zainuddin mengatakan, Kementan sudah mengeluarkan berbagai regulasi pengendalian di sektor kesehatan hewan.

Secara tegas pada UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 51 ayat 3 menyebutkan setiap orang dilarang menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia. Selain itu, dalam Permentan 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan pada pasal 4 disebutkan obat hewan yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia dilarang digunakan pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia.

Pihaknya juga telah melakukan surveilans pada populasi umum unggas broiler, survei di provinsi sumber produksi unggas broiler, dan pengembangan sistem surveilans AMR pada bakteri patogen unggas petelur.

“Perlu diperkuat pengawasan bersama. Pada rantai distribusi antimikroba dari produsen sampai dengan konsumen harus diperkuat untuk mencegah penyalahgunaan antimikroba,” kata Nuryani.

Memperkuat Kerjasama Dalam Mengendalikan AMR

Berbanding terbalik dengan kecepatan berkembangnya AMR, riset dan penemuan jenis antimikroba baru dalam mengendalikan resistensi antimikroba ini berjalan lambat. Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia Benyamin Sihombing mengatakan, dalam laporan tahun 2020, WHO mengidentifikasi dari 26 kandidat antibiotik yang sedang dalam pengembangan klinis untuk menghadapi 8 patogen prioritas dunia, yang ampuh untuk multidrug-resistant hanya dua.

“Padahal kita mau menargetkan 8 patogen tapi hanya 2 yang berhasil. Ini mengartikan bahwa kecepatan munculnya resistensi antimikroba itu jauh melebihi penemuan antibiotik baru yang ampuh,” ucap Benyamin.

Dr Paranietharan yang juga perwakilan WHO untuk Indonesia menuturkan, resistensi antimikroba adalah salah satu ancaman kesehatan masyarakat yang paling mendesak dan membutuhkan aksi yang dilaksanakan dengan segera. Respons berbasis One Health yang berkelanjutan dan mendorong keterlibatan semua sektor, yakni manusia, hewan, tanaman, dan lingkungan, sangatlah penting untuk mengatasi ancaman ini.

Berbeda dengan pandemi Covid-19, AMR bukanlah krisis yang tidak terduga dan kita sudah tahu bagaimana cara mencegahnya. Kita harus meningkatkan pencegahan dan pengendalian infeksi dan WASH (air, sanitasi, dan hygiene).

“Kita harus mempromosikan penggunaan antimikroba yang bertanggung jawab. Kita harus meningkatkan kapasitas laboratorium untuk surveilans. Dan kita harus memperkuat koordinasi lintas sektor maupun kerangka regulasi,” ujar Perwakilan WHO untuk Indonesia tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) atau FAO senantiasa mendukung pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk mencapai tujuannya dalam mengendalikan AMR, sebagaimana tertuang dalam rencana aksi nasional.

“Kami berharap dapat bekerja sama dengan Anda semua untuk mempromosikan penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab dalam sistem pertanian pangan, melalui kebijakan dan edukasi publik yang efektif,” kata Rajendra Aryal, Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste. (CR)


MEWASPADAI BAHAYA DIBALIK MAKANAN YANG KITA MAKAN

Denny Widaya Lukman berbincang dalam Live stream talkshow 

Memperingati hari pangan sedunia yang jatuh pada 16 Oktober lalu FAO berkolaborasi bersama USAID, dan Kementan mengadakan live streaming talkshow bertajuk "Adakah Bahaya Tersembunyi Dibalik Makanan Kita" melalui kanal youtube kokbisa? pada Minggu (14/11) yang lalu. Tujuannya tentu saja sebagai salah satu wahana dalam mengedukasi masyarakat mengenai food safety, food hygiene, bahkan zoonosis. 

Hadir sebagai narasumber yakni Drh Denny Widaya Lukman Staff Pengajar sekaligus Komisi Ahli Keswan, Kesmavet, dan Karantina Hewan Kementerian Pertanian. Dalam acara yang berlangsung selama kurang lebih dua jam tersebut Dr Denny menjelaskan mengenai foodborne disease dan foodborne zoonosis dengan bahasa yang santai dan mudah dimengerti. Sebagai catatan kanal youtube kokbisa? diikuti (subscribe) oleh 3,2 juta orang yang sebagian besar adalah generasi muda milenial.

Dalam diskusi tersebut Dr Denny juga menjawab berbagai pertanyaan dari para penonton terkait masalah higiene pangan serta serba - serbi, hoax, dan mitos yang beredar di masyarakat tentang pangan terutama pangan asal hewan.

Misalnya saja terkait daging ayam yang mengandung hormon, secara tegas Dr Denny menolak isu tersebut dimana sebenarnya tidak pernah ada daging ayam yang disuntikkan hormon ke dalamnya.

"Ayam negeri (broiler) itu sudah dikondisikan sedemikian rupa oleh para ilmuwan agar cepat tumbuh, jadi memang tumbuhnya cepat, enggak ada pakai - pakai hormon. Kalau tidak percaya ayo sama - sama kita ke peternakan langsung lihat apakah peternak itu pakai hormon atau tidak?," tutur Denny.

Denny juga memberikan beberapa tips terkait membeli, mengonsumsi, dan treatment pada pangan asal hewan sebelum dikonsumsi agar tetap aman bagi konsumennya. Ia juga mengajak kepada para penonton yang memiliki hewan peliharaan baik pet animal maupun exotic animal agar "rajin - rajin" memeriksakan hewannya ke dokter hewan karena hewan peliharaan berpotensi menularkan zoonosis kepada pemiliknya.

Hingga kini kanal acara tersebut sudah ditonton sebanyak 29 ribu kali dan mendapatkan banyak feedback positif oleh penontonnya. Tentunya ini merupakan salah satu media yang efektif sebagai ajang edukasi masyarakat terutam kaum milenial agar lebih cerdas terkait isu - isu di peternakan, kesehatan hewan, dan pangan asal hewan. Untuk mengaksesnya silakan kllik link ini. (CR)



ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer