Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Penyakit Unggas | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

SWOLLEN HEAD SYNDROME DAN CARA PENGENDALIANNYA

I Wayan Teguh Wibawa

PT Intervet Indonesia/MSD Animal Health dan PT SHS International, didukung oleh Majalah Infovet dan GITA EO, menyelenggarakan webinar Mengenal Penyakit Swollen Head Syndrome dan Cara Mengatasinya, pada Rabu 15 September 2021.

Diikuti 300 peserta dari berbagai kalangan usaha perunggasan, dan stakeholder perunggasan, webinar ini dipandu oleh moderator Drh Aulia Reza Pradipta, Technical Support Poultry Business Unit MSD Animal Health Indonesia.

Sebagai narasumber pertama adalah Prof Dr Drh I Wayan Teguh Wibawan, MS, pakar dari FKH IPB, yang membawakan materi Swollen Head Syndrome dan Cara Pengendalian.

Penyebab penyakit swollen head syndrome adalah avian metapneumovirus. Infeksi oleh virus tersebut akan menyebabkan cairan radang yang bersifat cair. “Tujuan cairan ini adalah untuk mengeluarkan material-material virus yang menginfeksi,” kata I Wayan. “Namun cairan radang ini mengakibatkan ketidaknyamanan bagi ayam dan juga merupakan bahan berbiak bagi bakteri penginfeksi sekunder dan hal ini memperparah gejala penyakit.”

Swollen head syndrome menyebabkan pembengkakan di seluruh area kepala. Yaitu di intramandibular, intrakutan, dan intrasinovial.

Swollen head syndrome

Avian metapneumovirus menyerang sel-sel saluran pernapasan dan saluran reproduksi. Hal ini membawa dampak yang serius terhadap integritas saluran pernapasan dan produktivitas ayam.

Infeksi avian metapenumovirus yang disertai dengan infeksi sekunder juga bisa mengakibatkan gangguan pernapasan, penurunan feed intake, stres, penurunan produktivitas, peningkatan kepekaan terhadap penyakit pernapasan lain, dan kegagalan respon tubuh ayam terhadap vaksin.

Swollen head syndrome dapat dicegah dengan penerapan biosekuriti dan vaksinasi. Vaksinasi diperlukan karena tidak semua penyakit dapat dicegah hanya dengan tindakan biosekuriti, khususnya yang penyebarannya bersifat aerosol (lewat udara). Untuk penyakit seperti ini vaksinasi memegang peran yang utama.

Vaksin menjadi pilihan pertama karena dapat menginduksi antibodi, yang bisa berperan secara lokal di mukosa (port of entry penyakit) maupun berperan sistemik. Vaksin juga dapat menginduksi sel Tc yang membersihkan virus dari sel-sel yang terinfeksi.

Vaksin yang digunakan bisa vaksin aktif atau vaksin inaktif. Vaksin aktif merangsang timbulnya kekebalan lokal di permukaan mukosa, berperan Imunoglobulin A, berespon cepat meskipun masa kerja antibodi tidak lama. Vaksin aktif juga menginduksi kerja cellular mediated immunity, yakni mekanisme clearence virus yang menginfeksi sel.

Sedangkan vaksin inaktif (killed vaccine) menginduksi antibodi sirkulatif, humoral mediated immunity, yang bertugas menahan infeksi ketika virus masih ada di luar sel.

Untuk bakteri infeksi sekunder yang sering menyertai dan memperparah gejala penyakit SHS, dapat ditangani dengan pengobatan antibiotik.

Aulia Reza Pradipta dan Marwan Nasution

Selanjutnya, narasumber kedua Drh Marwan Nasution, Technical Manager Poultry Business Unit MSD Animal Health, mempresentasikan produk vaksin dari MSD Animal Health untuk pencegahan penyakit swollen head syndrome. Yaitu Rhino CV dan RT Inact.(NDV)

THROW BACK PENYAKIT UNGGAS 2020

ND masih menjadi momok menakutkan bagi peternak unggas Indonesia. (Sumber: Istimewa)

Penyakit merupakan salah satu hambatan yang merintangi dalam suatu usaha budi daya peternakan, khususnya unggas. Baik penyakit infeksius maupun non-infeksius semuanya bisa jadi biang keladi kerugian bagi peternak. Menarik untuk dicermati ragam penyakit yang menghampiri di tahun 2020 dan bagaimana prediksinya ke depan.

Perunggasan, sebagai industri terbesar di sektor peternakan Tanah Air tentunya yang paling menjadi sorotan. Tiap tahunnya, kejadian penyakit selalu terjadi dan jenisnya pun juga beragam, baik infeksius maupun non-infeksius.

Maklum saja, sebagai negara tropis Indonesia memang menjadi tempat yang nyaman bagi berbagai jenis mikroorganisme patogen. Tentunya para stakeholder yang berkecimpung mau tidak mau, suka tidak suka harus berusaha untuk bisa survive dari hambatan ini.

Yang patut diingat adalah bahwa kejadian penyakit akan berhubungan dengan performa dan produktivitas, kemudian kedua aspek itu tentu saja akan langsung terkait pada nilai keuntungan yang didapat. Jadi, siapa saja yang dapat mencegah terjadi penyakit di suatu peternakan, apapun peternakannya, sudah pasti akan mendapatkan keuntungan yang lebih baik.

Catatan Penting 2020
Tahun 2020 peternak dianggap sudah dapat beradaptasi dengan ketiadaan Antibiotic Growth Promoter (AGP). Hal ini dikemukakan oleh Technical Support PT Mensana Aneka Satwa, Drh Arief Hidayat. Meskipun begitu, ia menyebut bahwa ada juga peternak yang masih kesulitan dengan setting-an terbaik dalam mengakali performa.

Menurut Arief juga tahun 2020 kasus kejadian penyakit unggas yang terjadi tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Kasus penyakit unggas yang banyak terjadi pada broiler masih didominasi oleh penyakit CRD kompleks, Gumboro dan sedikit laporan mengenai Slow Growth oleh cemaran Mikotoksikosis.

Sedangkan pada layer kasus penyakit masih didominasi penyakit yang sebabkan penurunan produksi pada ayam masa bertelur seperti ND (G7), AI (H9N2) , IB dan Coryza, sedangkan untuk fase starter-grower-prelayer (pullet) di dominasi oleh IBD dan ND.

Arief menggarisbawahi bahwasanya penyakit layaknya CRD kompleks dan dan Colibacillosis rata-rata disebabkan oleh kesalahan dalam manajemen pemeliharaan.

“Manajamen pemeliharaan yang kurang baik akan membuat penyakit ini kerap berulang, karena sebagaimana kita ketahui si agen penyakit inikan sifatnya oportunis. Jadi manajemen pemeliharaan tentunya harus benar-benar diperhatikan,” tutur Arief.

Selain itu jangan lupakan faktor cuaca dan iklim yang dapat mempengaruhi pola serangan penyakit. Menurut Arief, ketika terjadi peralihan musim alias pancaroba seperti sekarang ini, ayam akan mengalami stres, sehingga ternak akan mengalami imunosupresi yang kemudian akan memudahkan agen infeksius patogen semakin gencar menyerang.

Terkait penyakit Gumboro, hal ini juga diamini oleh Technical & Marketing Manager PT Ceva Animal Health Indonesia, Drh Ayatullah Natsir. Gumboro juga masih menjadi penyakit langganan di perunggasan Indonesia.

“Gumboro tetap hits di 2020, banyak kasus menyerang ayam pullet. Laporan kasus gumboro 2020 di database kami kurang lebih sekitar 70 kasus sampai Oktober kemarin,” papar Ayatullah.

Ia berujar bahwa dengan merebaknya penyakit semacam ND, Gumboro dan beberapa kejadian Inclusion Body Hepatitis (IBH), artinya terjadi peningkatan kasus imunosupresi di lapangan. Ketiga penyakit tadi juga dikenal sebagai penyakit yang dapat menyebabkan imunosupresi pada ayam.

Terkait penyakit-penyakit imunosupresif, Technical Manager PT Boehringer Ingelheim, Drh Hari Wahjudi, juga ikut memberikan pendapat. Dalam sebuah webinar ia memaparkan bahwasanya peternak harus lebih diedukasi mengenai Gumboro.

“Gumboro ini memang agak tricky, pengendaliannya tidak cukup hanya vaksin. Sediaan vaksin yang digunakan jika salah juga akan berimbas nantinya. Peternak juga harus lebih diedukasi lagi mengenai ini dan memang saya menemukan banyak penyakit ini pada 2020,” tutur Hari.

Ancaman Baru Mengintai?
Di tahun 2020 ini bisa dibilang tidak ada penyakit… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2020 (CR)

PENYAKIT PERNAPASAN TERKINI DAN SOLUSI TERBAIKNYA

Vaksinasi menjadi program penting untuk melindungi ayam dari kerugian akibat serangan penyakit pernapasan. (Sumber: Istimewa)

Penyakit pernapasan telah menjadi momok menakutkan bagi peternak baik broiler dan layer. Selain merugikan dari sisi penurunan performance produksi, penyakit ini juga kerap ditunggangi oleh infeksi sekunder yang lain sehingga menjadi kompleks dan sulit dikendalikan. Pada ayam broiler modern, penyakit ini kerap muncul di awal umur 15 hari ke atas, ditandai dengan kondisi nyekrek dan penurunan ADG (Average Daily Gain), serta kenaikan mortalitas. Lantas mengapa bangsa ayam seringkali terkena penyakit pernapasan?

Berikut penulis paparkan dari segi anatomis ayam sebagai berikut:
• Sistem pernapasan ini merupakan saluran tertutup yang ujungnya di kantung hawa dan yang menyebar di seluruh rongga tubuh, sehingga memudahkan penyebaran bibit penyakitnya ke seluruh organ tubuh penting lainnya.

• Kantung hawa sangat minim pembuluh darah, sehingga antibiotik akan sulit untuk mencapainya jika terjadi infeksi sekunder dan pengobatan sangat mustahil untuk menghilangkan 100% mikrobanya.

• Pada broiler modern, proporsi sistem pernapasan ini dari periode ke periode semakin mengecil dibandingkan berat tubuhnya akibat perkembangan genetik yang sangat progresif, dengan kata lain sistem kekebalan di sistem pernapasan bagian atas makin kecil proposinya.

Untuk mengendalikan kasus pernapasan ini, langkah yang paling penting adalah menjaga integritas sistem pernapasannya dari gangguan berbagai faktor utama pemicunya. Hal ini dapat tercapai jika mampu menjaga sistem mukosiliaris dari saluran pernapasan tersebut. Sistem ini merupakan gabungan dari silia sel epitel pernapasan dan mukus, yang dihasilkan oleh sel mukus yang terdapat di sel epitel trakhea. Sistem mukosialiaris ini menjadi benteng pertahanan pertama untuk kekebalan yang bersifat mekanis dan tidak spesifik yang selanjutnya berfungsi mencegah masuknya mikroba sekunder seperti E. Coli yang sangat merugikan.

Ada beberapa faktor pencetus utama yang sering dijumpai dan menyebabkan integritas sistem kekebalan mukosiliaris terganggu, antara lain kadar amonia dan debu yang berlebih, infeksi kuman mycoplasma terutama Mycoplasma Gallisepticum, infeksi virus Infectious Bronchitis dan reaksi pasca vaksin pernapasan seperti ND dan IB live.

Beberapa tips praktis yang bisa dilakukan di lapangan untuk meminimalkan gangguan integritas sistem mukosiliaris ini antara lain:

1. Manajemen litter
Amonia mampu merontokan silia sistem pernapasan, sedangkan konsentrasi debu yang berlebihan akan sangat mengganggu sistem mukosiliaris dalam menghalau mikroba sekunder. Kualitas dan ketebalan litter, manajemen ventilasi, serta kualitas feses akan menentukan...

Drh Sumarno
Senior Manager AHS, PT Sierad Produce Tbk


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juni 2019.

TRIK JITU TANGANI SERANGAN PENYAKIT BAKTERIAL

Desinfektan celup kaki, contoh sederhana penerapan biosekuriti. (Sumber: viv.net)

Dalam dunia mikroorganisme, bakteri merupakan salah satu yang paling sering dibicarakan. Terutama bakteri yang bersifat patogen. Celakanya, dalam dunia peternakan khususnya unggas, bakteri-bakteri patogen kerap kali menjadi biang permasalahan.

Menjaga kesehatan ternak demi menuai performa yang produktif wajib hukumnya. Terlebih lagi dalam perunggasan, selain penyakit non-infeksius, penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri sering kali terdengar mewabah. Kadang wabah dari infeksi bakteri yang terjadi di suatu peternakan ayam dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Oleh karenanya dibutuhkan trik-trik jitu dalam menanganinya. 

Karena Bakteri jadi Merugi
Kesuksesan mengontrol bakteri patogen, menghindari kontaminasi, mencegah multifikasi dan menyebabkan penyakit, menurut Ensminger (2004) adalah salah satu kunci sukses dalam menjaga performa dan produksi ternak. Namun, tidak semua peternak mampu melakukan hal tersebut. Cerita datang dari Marzuki, peternak asal Tanah Tinggi, Tangerang. Pernah ia mengalami kerugian akibat wabah penyakit CRD (Chronic Respiratory Disease) kompleks beberapa tahun lalu.

Awal mula menjadi peternak broiler, ia mengira bahwa memelihara ayam mudah, hanya tinggal memberi pakan dan menunggu saja, walaupun kenyataannya tidak. Dirinya baru mengetahui bahwa ayamnya terserang Colibacillosis ketika ada staf technical service suatu perusahaan obat mendatangi kandangnya.

“Saya enggak tahu-menahu awalnya, yang saya tahu penyakit ayam kalau enggak tetelo atau flu burung,” kata Marzuki. Ia kemudian secara perlahan mempelajari mengenai manajemen pemeliharaan yang baik dan benar dari berbagai sumber. Ketika diserang Colibacillosis, kerugian ekonomi yang diderita Marzuki mencapai 50% dari total ayamnya.

Menurut Product Manager PT Sanbe Farma, Drh Dewi Nawang Palupi, infeksi bakteri sangat berbahaya dan merugikan. Ia menegaskan, penyakit bakterial seperti Colibacillosis ditentukan oleh manajemen kebersihan kandang. Terlebih jika manajemen kebersihan kandang buruk dan tidak menerapkan sanitasi dalam kandang dan air minum.

“Kematian sekitar 1-2%, dan bisa berlangsung lama bila tidak ditangani dengan baik. Jika terjadi di minggu pertama masa pemeliharaan ,kematian bisa mencapai 10-15%. Saya menduga jika kematian sampai 50% ada campur tangan penyakit lain (komplikasi),” jelas Dewi.

Kendati demikian, Dewi juga menjelaskan bahwa Colibacillosis seseungguhnya bukan penyakit yang serta-merta menyerang begitu saja. Kemungkinan jika ada kandang yang terserang Colibacillosis itu hanya dampak sampingan saja. “E. Coli itu bakteri komensal di usus dan organ pencernaan, jadi kalau tiba-tiba berubah jadi patogen pasti karena... (CR)


Selengkapnya baca di Majalah infovet edisi Mei 2019

ASOHI JABAR GELAR SEMINAR PERUNGGASAN

Foto bersama peserta dan narasumber seminar perunggasan ASOHI Jabar. (Foto: Sjamsirul)

Sabtu, 23 Februari 2019, ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia) Pengda Jawa Barat (Jabar) menggelar seminar bertajuk “Penyakit Unggas 2019, Update dan Prediksinya” yang bertempat di West Point Hotel, Bandung.

Seminar diikuti 18 perusahaan obat hewan dan vaksin se-Jawa Barat dan dihadiri 72 peserta yang terdiri dari para dokter hewan. Hadir pula Kasub Kesehatan Hewan Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jabar, Drh Arif Hidayat dan Wakil Dinas Perikanan Kabupaten Bandung Barat.

Seminar dibuka langsung oleh Ketua ASOHI Pengda Jabar, Drh Pranyata Teguh Waskita, yang sekaligus Ketua Panitia Penyelenggara, mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dimana berbagai penyakit unggas mudah berkembang. Apalagi, Jawa Barat merupakan salah satu wilayah padat populasi unggas (683.037.260 ekor, Jateng 279.353.386 ekor, Jatim 195.258.054 ekor, termasuk itik dan itik Manila, Statistik Peternakan 2016).

Pranyata mnyebut, tujuan penyelenggaraan seminar ini untuk membuka wawasan para produsen obat hewan dan vaksin, beserta pemerintah, mengenai prediksi kasus penyakit unggas 2019 di Indonesia secara umum dan di Jawa Barat secara khusus, sehingga diharapkan solusi yang tepat dalam penanganan di lapangan.

Seminar dan diskusi dipandu oleh moderator Drh Ch. Lilis dengan menampilkan dua pakar dan guru besar dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB yaitu Prof DR Drh I Wayan Teguh Wibawan dan Prof Drh Agus Setiyono, yang masing-masing membahas menganai penyakit unggas secara mendalam.

Seminar yang dilaksanakan sehari ini diakhiri dengan diskusi tanya-jawab, penyerahan sertifikat dan foto bersama. Tampak bahwa baik narasumber yang merupakan ilmiawan perguruan tinggi dan peserta yang umumnya tenaga lapangan perusahaan (technical service dan sales) dan pemerintah saling membutuhkan informasi, sehingga diharapkan ke depan diperlukan adanya koordinasi intensif dan periodik untuk bersama-sama menanggulangi kasus-kasus penyakit unggas, khususnya di Jawa Barat sebagai wilayah padat populasi unggas. (SA)

MEWASPADAI KEMBALINYA AI DAN SERANGAN PENYAKIT INFEKSIUS BARU

Mewaspadai serangan AI dan IBH yang masih menjadi ancaman pada ayam broiler. (Sumber: Google)

Siapa tak kenal Avian Influenza (AI)? Adalah bohong jika ada peternak yang minimal pernah mendengar mengenai penyakit ini. Zoonosis berbahaya, kerugian ekonomi, kepanikan massal, serta ditutupnya keran ekspor-impor produk perunggasan, mungkin merupakan hal yang “ngeri-ngeri sedap” yang menanungi AI. Lalu bagaimanakah perkembangan AI terkini? Lalu bagaimana pula dengan penyakit infeksius baru yang mengancam?

Banyak kalimat yang dapat melukiskan betapa mengerikannya serangan AI bagi sektor peternakan di suatu negara. Penyakit yang disebabkan oleh virus influenza tipe A yang berasal dari family Orthomyxoviridae ini sudah menjadi wabah di seluruh dunia. Hampir seluruh benua di dunia telah merasakan dahsyatnya serangan AI. Bukan hanya unggas, korban manusia pun berjatuhan, hal ini tentunya selain mendapatkan perhatian organisasi kesehatan hewan dunia (OIE) juga menjadi perhatian bagi organisasi kesehatan dunia (WHO).

Perkembangan AI di Indonesia
Sejak 2003 lalu AI telah eksis di Indonesia, saat itu terjadi wabah penyakit yang menyebabkan kematian mendadak pada unggas dengan gejala klinis seperti penyakit tetelo (ND). Sampai akhirnya kemudian didalami bahwa wabah tersebut disebabkan oleh penyakit baru bernama AI dari subtipe H5N1.

Hari demi hari, tahun demi tahun, secara perlahan tapi pasti AI menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Bukan hanya virus dari subtipe H5N1, ada juga H9N2 yang disebut-sebut sebagai low pathogenic AI. Awalnya wabah H9N2 ini terjadi pada ayam petelur, namun kini H9N2 juga “doyan” menginfeksi broiler.

Berdasarkan data yang dihimpun dari PT Medion, pada 2018 kemarin kasus AI masih banyak diperbincangkan peternak Indonesia meskipun tidak seramai 2017. Data dari tim Technical Services Medion yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, menunjukkan bahwa kejadian kasus tersebut masih menduduki peringkat keempat penyakit viral pada ayam pedaging dan pejantan, serta peringkat... (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Februari 2019.

Gambaran Dinamika Penyakit Unggas 2019

Penanganan penyakit menjadi kunci sukses usaha budidaya unggas. (sumber: Google)

Penyakit merupakan satu dari banyak tantangan yang akan terus merintangi usaha budidaya ternak. Perkembangan penyakit unggas di lapangan sangat dinamis dan terkadang sulit ditebak, bagaimana kira-kira prediksi penyakit unggas di 2019? Tentu akan sangat menarik untuk dicermati.

Hari berlalu tahun berganti, namun penyakit-penyakit unggas tetap terus menghantui. Jika budidaya ternak diibaratkan sebagai perang, penyakit merupakan musuh yang paling pantang menyerah dalam meneror usaha budidaya. Bagaimana tidak?, walaupun di kandang ayam terlihat sehat secara kasat mata, bisa jadi kondisi ayam tidak sepenuhnya sehat, oleh karenanya kewaspadaan diperlukan agar peternak tidak kecolongan.

Ngorok yang Tak Pernah Usai
Ada suatu kutipan dalam bahasa Inggris yang berbunyi, “nothing last forever”. Mungkin kutipan tersebut kurang tepat untuk beberapa jenis penyakit unggas. Pasalnya, beberapa penyakit unggas justru “long lasting forever”. Sebut saja penyakit CRD (Chronic Respiratory Disease), Coryza dan Colibacillosis. Entah bagaimana penyakit-penyakit tadi sangat betah menebar teror kepada para peternak di Indonesia.

“Setiap kandang dengan sistem open house pasti pernah kena CRD atau Coryza apalagi Colibacillosis, saya yakin banget,” ujar Prof I Wayan Teguh Wibawan, dosen Fakultas Kedokteran Hewan IPB sekaligus praktisi perunggasan. Menurutnya, CRD adalah penyakit “langganan” yang sudah mendarah daging di sektor perunggasan Indonesia.

Prof Wayan menegaskan, penyakit-penyakit tadi sangat sulit dieradikasi karena memang bukan hanya terkait dengan si agen infeksi, tetapi juga perkara manajemen pemeliharaan. “Sekarang begini, kita semua tahu bahwa negara ini kondisi iklimnya sangat mendukung untuk siklus hidup mikrobiologi patogen, tapi karena faktor kita yang lengah dan tidak peduli, siklus penyakit jadi sulit diputus, oleh karenanya kita juga harus eling bahwa kita jangan betah diteror penyakit,” ucap dia.

Yang kadang peternak luput adalah, penyakit-penyakit di atas tadi adalah pintu gerbang bagi agen patogen lainnya untuk masuk ke dalam kandang. “Kalau mereka sudah berkolaborasi, baru tuh mereka kalang-kabut kelabakan, saya sering banget ditanya harus seperti apa,” ungkap Prof Wayan.

Berkaitan dengan ketiga penyakit tadi, Prof Wayan merekomendasikan agar peternak tidak memaksakan diri dalam mengisi kandang. Artinya, ketika harga bagus peternak seringkali mengisi kandang overload, sehingga kandang terlalu padat, sirkulasi udara buruk dan kadar amoniak terlalu tinggi. Amoniak tadi akan mengiritasi ayam di dalam kandang terus-menerus dan menyebabkan peradangan pada slauran pernafasan. Dari situ mikroba patogen akan mengambil alih dan memperparah peradangan tersebut.

“Perbaiki cara pemeliharaan juga, ini berpengaruh. Mindset jangan hanya keuntungan saja, selain itu patuhi istirahat kandang. Jangan ketika harga (ayam) sedang oke, kandang dipaksa berproduksi terus, gawat itu,” tukas Prof Wayan. Menurut dia, apabila manajemen pemeliharaan yang buruk tetap dipertahankan, penyakit-penyakit tersebut di atas akan terus eksis sampai kapanpun.

Dampak Pelarangan AGP
Sejak diberlakukannya Permentan No. 14/2017 tentang pelarangan antibiotik sebagai imbuhan pakan, pro dan kontra di lapangan terus terjadi. Beberapa pihak mengklaim bahwa pelarangan penggunaan AGP (Antibiotic Growth Promotor) membuat ayam menjadi rentan terhadap penyakit, namun ada juga yang menganggap pelarangan penggunaan AGP tidak banyak membawa pengaruh pada kesehatan ayam.

Darmawan, peternak kemitraan asal Tuban, ketika ditemui Infovet menyatakan, sejak pelarangan AGP kandangnya sangat sulit untuk perform. “Sekarang beda, enggak pakai antibiotik ayam jadi mudah sekali mencret, sudah begitu tingkat kematiannya juga lumayan kalau enggak kita upayakan,” tutur Darmawan.

Hal senada juga diutarakan Jarwadi, salah satu peternak layer asal Lamongan. “Nyekrek dan mencret-nya jadi lebih sering, produksi telur juga turun entah mengapa, mungkin karena pakan non-AGP, yang jelas sekarang peternak harus punya lebih banyak jurus untuk menghadapi hal-hal seperti itu,” ucap Jarwadi.

Sementara, Pakar Kesehatan Unggas dan Konsultan Perunggasan, Tony Unandar, juga angkat bicara mengenai pelarangan AGP. Menurut Tony, ketika AGP dilarang, yang justru berbahaya dan dikhawatirkan adalah ancaman Koksidiosis. “Banyak yang bilang ke saya kalau semenjak pakan tidak diberi AGP, Koksidiosis marak terjadi. Sudah banyak yang konfirmasi juga ke laboratorium, kalau itu benar Koksidiosis,” ujar Tony.

Ia melanjutkan bahwa ketika AGP dilarang, yang justru berbahaya dan dikhawatirkan adalah ancaman... (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Desember 2018.

DINAMIKA PENYAKIT AYAM RAS 2018

Pada 2019 kasus IBH masih perlu dicermati selain penyakit-penyakit viral lain pada unggas. (Sumber: Google)

Sepanjang 2018 bagi para praktisi dan ahli kesehatan hewan merupakan tahun tantangan “The Year of Challenge” yang sangat menyita banyak waktu, pikiran, keahlian, keterampilan dan kerjasama dengan berbagai pilar perunggasan Indonesia dalam strategi pengendaliannya. Tiga hal pokok tantangan utamanya adalah tidak diperbolehkannya lagi penggunaan Antibiotic Growth Promotor (AGP) pada pakan, munculnya penyakit baru Avian Influenza (AI) strain H9N2 dan merebaknya penyakit Inclusion Body Hepatitis (IBH) yang sudah lama ditemukan di Indonesia tetapi "hibernasi" dan epidemiologinya tidak termonitor secara seksama.

Merebaknya wabah AI-H9N2 pada peternakan  ayam petelur di Indonesia menjadi topik utama pembicaraan para ahli kesehatan hewan. Industri perunggasan terguncang karena bukan hanya turunnya produksi telur yang fenomenal, bahkan menjadi “Icon” yang disebut sebagai penyakit 90/40 yang gejalanya berupa penurunan produksi telur pada saat puncak produksi yaitu ketika mencapai sekitar 90% dan terjun bebas produksi telurnya menjadi hanya 40% ketika terserang penyakit, tetapi juga karena virus AI-H9N2 merupakan virus donor bagi virus AI yang lain, sehingga dapat terbentuk strain virus baru yang lebih ganas. Berbagai Institusi bekerja sama untuk menangani penyakit ini, bahkan juga kerjasama Internasional dengan beberapanegara yang memiliki masalah serupa serta badan-badan internasional yang terkait dengan masalah ini seperti FAO, OIE dan WHO.

Di 2018 juga mencatat kejadian penting dengan banyak ditemukannya kasus penyakit IBH yang umumnya menyerang ayam broiler. Penyakit yang sudah lama “hibernasi” ini marak pada peternakan ayam broiler muda dan menyebabkan kerugian yang tidak sedikit, bahkan menyebabkan angka kematian hingga 50% karena masuknya infeksi sekunder. Penanggulangan masalah penyakit ini menjadi pekerjaan rumah yang terasa berat bagi para konsultan kesehatan hewan karena belum adanya vaksin yang tersedia. Pihak yang berwenang dalam pengambilan kebijakan pengendaliannya belum dapat teryakinkan bahwa IBH merupakan penyakit yang serius, sehingga pengadaan vaksin dari luar negeri bukan merupakan prioritas, apalagi IBH bukan merupakan penyakit zoonosis.

Permasalahan dunia perunggasan di Indonesia mulai tahun 2018 ini juga menjadi semakin kompleks karena tidak siapnya industri dan stakeholder lainnya ketika AGP tidak diperbolehkan lagi digunakan dalam pakan unggas. Untuk masalah ini bukan hanya tantangan bagi para Nutrisionist, tetapi juga  kompetensi Dokter Hewan yang juga dituntut untuk semakin dalam memahami kompleksitas kesehatan ternak, karena pencabutan AGP berdampak pada kualitas kesehatan unggas. Para peternak melaporkan bahwa ayam menjadi sangat rentan terhadap serangan penyakit, berat badan tidak dapat mencapai standar, tingginya angka kematian, dan afkir ayam kerdil meningkat. Situasi ini tidak hanya menjadi masalah kesehatan hewan semata, tetapi juga menjadi masalah ketersediaan pangan dan keamanannya bagi masyarakat, karena turunnya tingkat produksi dan meningkatnya distribusi ayam sakit sehingga kuman penyakit semakin tersebar ke lingkungan sekitar.

Pendekatan kesehatan hewan memerlukan langkah preventif praproduksi, kendali produksi yang komprehensif, serta biosekuriti yang mengikuti rantai distribusi mulai dari pembibit, distributor, kelompok peternak hingga ke tingkat budi daya akhir. Oleh karena itu, sejalan dengan platform kesehatan unggas, maka mata rantai pencegahan dan biosekuriti menjadi penjaga pintu utama dalam pencegahan penyebaran penyakit unggas.

Langkah pengendalian suatu penyakit memerlukan panduan terpadu yang dimulai dari penetapan keberadaan suatu penyakit di suatu daerah, atau masih bebasnya suatu daerah dari satu penyakit menular, kemudian diikuti dengan penetapan...

Drh Dedi Kusmanagandi, MM
Kontributor Infovet, Praktisi Bisnis Obat Hewan


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Desember 2018.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer