Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Pandemi COVID-19 | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

ASOHI ADAKAN WEBINAR NASIONAL KESEHATAN UNGGAS DI MASA PANDEMI COVID-19

Webinar Nasional Kesehatan Unggas yang dilaksanakan ASOHI. (Foto: Dok. Infovet)

Rabu, 9 September 2020. Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) sukses menyelenggarakan Webinar Nasional Kesehatan Unggas dengan tema “Perkembangan Penyakit Unggas di Masa Pandemi COVID-19” yang dihadiri sekitar 160 orang peserta.

“Ini menjadi seminar luar biasa yang membahas mengenai penyakit unggas. Sebab informasi mengenai perkembangan penyakit unggas di lapangan terkendala pandemi COVID-19 yang tentunya menyulitkan banyak pihak,” ujar Drh Andi Wijanarko, selaku moderator webinar.

Hal itu juga seperti yang disampaikan Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari, dalam sambutannya. 

“Pandemi COVID-19 ini banyak mengubah pola kerja kita. Walau di industri obat hewan masih memberikan kontribusi dan pelayanan kepada peternak maupun pabrik pakan, namun tenaga technical kita agak terbatas di lapangan,” kata Ira.

Oleh karena itu, melalui webinar kali ini Ira berharap ada update informasi terbaru seputar penyakit unggas di lapangan.

“Informasi penyakit tepat sekali kita bahas, kami harapkan ada update informasi penyakit di industri unggas di tengah pandemi kali ini. Agar kita dapat menentukan langkah-langkah dan memberikan layanan terbaik kepada masyarakat peternakan dengan kondisi yang serba keterbatasan ini,” ucapnya.

Senada dengan hal tersebut, Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan), Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, yang turut hadir mengimbau kepada masyarakat peternakan untuk tetap waspada terhadap kehadiran penyakit khususnya di sektor perunggasan.

“Kemarin kita baru terima informasi mengenai outbreak Avian influenza (AI) yang terjadi di Australia dan Taiwan, kita harus tetap waspada. Sebab di era pandemi ini informasi mengenai penyakit kurang terekspos. Padahal teknologi salah satunya di industri obat hewan sudah semakin maju guna mendukung keamanan pangan, seperti berkembangnya pengganti antibiotic growth promoter (AGP),” kata Fadjar.

Dr Drh NLP. Indi Dharmayanti dan Prof Dr Drh Michael Haryadi Wibowo saat mempersentasikan materinya. (Foto: Dok. Infovet)

Webinar yang dimulai pada pukul 13:00 WIB turut menghadirkan narasumber yang andal di bidangnya, yakni Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner (BBLitvet), Dr Drh NLP. Indi Dharmayanti MSi, yang membahas materi “Perkembangan Penyakit Viral pada Unggas di Masa Pandemi COVID-19” dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Drh Michael Haryadi Wibowo MP, yang menyajikan materi mengenai “Pengendalian Penyakit Unggas di Masa Pandemi COVID-19”. (RBS)

KEHIDUPAN SETELAH PANDEMI BERAKHIR

Ilustrasi belajar secara daring. (Sumber: Detikcom)

Oleh: M. Chairul Arifin

Tidak ada seorangpun yang bisa meramalkan kapan pandemi COVID-19 ini akan berakhir, entah bulan depan, tahun ini, atau bahkan tahun berikutnya. Bahkan para ahli epidemiologi sekalipun belum dapat meramalkan kapan pandemi ini akan berhenti agar kembali bisa menjalani kehidupan normal. Mereka hanya mampu membuat berbagai skenario berdasarkan tindakan mitigasi dan penanggulangan yang dilakukan, yaitu bila tidak ada tindakan, tindakan sedang dan tindakan sesuai aturan.

Kurva penularan COVID-19 masih terus meroket dan upaya flatten the curve terus dilakukan secara bersamaan dengan seluruh elemen masyarakat dan pemerintah dalam bentuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), social distancing, physical distancing, bekerja dari rumah (work from home/WFH), hingga larangan mudik. Tindakan inipun masih terkendala sifat masyarakat yang belum memenuhi aturan, dan di sisi lain para tenaga medis kerap kekurangan alat pelindung diri (APD) yang sesuai standar.

Apakah Kembali Normal?

Dengan segala bentuk pembatasan tersebut apakah kehidupan manusia akan kembali normal jikalau pandemi ini berakhir? Apakah seseorang, karyawan, aparatur sipil negara (ASN), siswa dan mahasiswa, cara bertani dan beternak kita akan kembali seperti sediakala? Normal yang dimaksud adalah kembali pada kebiasaan lama, mengerjakan pekerjaan kantoran yang sudah engage itu. Membentuk tim kerja  yang sudah solid bertahun-tahun sambil menunggu disposisi dari "sang bos", melaporkan, menghadiri rapat atau sesekali dinas luar (DL) seperti yang telah disampaikan oleh kawan penulis, Djajadi Gunawan, dalam artikelnya berjudul “Kapan DL Lagi”.

Dari pengalaman bekerja dari rumah yang sekian lama dialami hampir lima bulanan, kemungkinan cara kerja kita dikantor akan  berubah  secara bertahap. Dari pengalaman WFH telah memberi pelajaran suatu best practice bahwa sebagian besar pekerjaan kantoran dapat dikerjakan dirumah. Analoginya adalah pekerjaan kantor dapat dikerjakan di luaran, entah di hotel, kafe atau tempat lainnya yang memungkinkan bekerja secara daring dan luring. 

Bahkan berbagai rapat atau meeting juga tidak perlu dihadiri secara fisik. Dengan teknologi telekonferensi kita dapat hadir secara virtual dan moderator maupun pimpinan sidang sudah dapat menyimpulkan hasil rapat virtual tersebut. Jadi di luar ruangan kantorpun ternyata dapat diambil keputusan strategis dan tepat waktu. Pekerjaan macam jurnalis yang selalu dikejar deadline dapat dikerjakan secara daring dimanapun kita suka.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menjadi pelopor untuk “merumahkan” para ASN-nya jauh sebelum terjadinya pandemi. Diberitakan bahwa 1.000-an ASN Bappenas diujicobakan kerja di lain tempat mulai Januari 2020, jauh sebelum pandemi melanda Indonesia pertengahan Maret 2020.

Untuk industri pertanian contoh yang sangat baik seperti peternakan ayam ras. Mereka ini telah sepenuhnya menggunakan sistem digital dari sejak di hulu, on farm sampai pengolahan dan pemasarannya. Didukung oleh kelembagaan dan sumber daya manusia yang kuat menjadikan bisnis ayam ras suatu contoh atau model sistem agribisnis modern.

Dalam dunia pendidikan apalagi (di luar pendidikan profesi yang menuntut praktik laboratorium dan pasien), maka sistem online dapat diperlakukan termasuk pembelajaran jarak jauh, ujian tengah semester maupun akhir semester. Sudah banyak aplikasi online semisal Ruang Guru yang memungkinkan siswa belajar mandiri serta mampu mengerjakan soal-soal yang diberikan. Perhatian khusus penekanan pada pendidikan karakter yang perlu dikemas menjadi hal yang lebih menarik.

Dalam tata niaga pun sudah lama dipraktikkan belanja online. Bukan itu saja, mata rantai pasok dari produsen sampai kepada konsumen sudah semakin efisien dengan aplikasi perdagangan elektronik (e-commerce) sehingga konsumen atau produsen dimudahkan dalam memilih dan membeli barang.

Jadi, baik dikalangan pemerintahan maupun dunia swasta dan yang lainnya, sebenarnya sudah dapat terhubung satu sama lain menjadi sistem terpadu sebagai embrio big data.

Akhir Pandemi

Diakhir pandemi kelak akan terlihat beberapa perubahan mendasar dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat dan bernegara. Pemakaian gawai dan internet akan menjadi bagian dari kehidupan kita tanpa kita sadari. Membangun perkantoran yang megah sudah bukan zamannya lagi, akan tergantikan dengan ruang kerja baru yang berwujud coworking space, tempat orang bekerja sharing entah darimana orang itu.

Tapi satu hal yang perlu diingat yaitu turunnya pertumbuhan ekonomi yang diramalkan menurun sampai 3% bahkan skenario terburuk pertumbuhannya minus 0,4%. Keadaan ini membutuhkan waktu pemulihan yang cukup lama. Menurut para analis sekitar 1-2 tahun. Ingatan kita masih segar bahwa pada krisis multi dimensi tahun 1997/1998 sesuatu yang berbasiskan sumber daya lokal menjadi kunci dari cepat atau tidaknya kita pulih dari suatu bencana.

Kendati demikian pandemi ini sedikit banyak memberikan pelajaran berharga, lesson learned bagi kita semua bahwa sesuatu kehidupan itu dapat berubah, bahkan diubah oleh makhluk mikroorganisme kecil yaitu COVID-19. ***


Penulis adalah:

Pegawai Kementan (1979-2006),

Staf Perencanaan (1983-2005),

Tenaga Ahli PSDS (2005-2009)

REFLEKSI HARI LAHIR PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DI TENGAH HIMPITAN PANDEMI

Drh. M. Chairul Arifin
Tanggal 26 Agustus merupakan hari lahir Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia. Tanggal ditetapkan karena berdasarkan penelusuran sejarah pada tanggal tersebut tepatnya ditahun 1836 pemerintah Hindia-Belanda menerbitkan ketetapan melalui plakat yang berisi tentang pelarangan pemotongan ternak betina bertanduk atau yang kita kenal betina produktif, baik ternak ruminansia besar maupun kecil.

Plakat ini dipandang oleh para senior, pakar, akademisi, praktisi, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya merupakan era dimulainya campur tangan pemerintah sejak 184 tahun yg lalu dan diputuskanlah sebagai hari lahir Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia. Kini 26 Agustus 2020, kalau dirunut sejarahnya maka Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) kita telah berumur 184 tahun dan kita secara resmi baru mengingatnya sejak 2003 dalam bentuk  peringatan hari lahir diikuti dengan Bulan Bhakti 26 Agustus-26 September. Berarti kita secara tak sadar telah memperingatinya 17 kali baik di pusat maupun daerah.

Merajut Masa Depan

Memperingati hari lahir peternakan dan kesehatan hewan ada baiknya kita melakukan refleksi diri, bermuhasabah dengan semata tujuan untuk lebih meningkatkan peran di masyarakat dengan bekerja lebih baik lagi untuk kepentingan para peternak Indonesia yang berjumlah lebih dari 6 juta rumah tangga peternak

Dalam hal ini pertama-tama kita kembali dulu ke aspek penanganan pengendalian pemotongan ternak betina produktif, asal-muasal ditetapkannya hari lahir PKH yang sampai sekarang masih diberlakukan pemerintah.

Sampai sekarang pengendalian pemotongan betina produktif malah ditetapkan dalam UU PKH yang dilengkapi dengan instrumen Peraturan Menteri Pertanian lengkap dengan sanksinya bila seseorang memotong ternak betina produktif (Pasal 18 UU PKH No. 41/2014 dan Permentan No. 35/2011).

Pelaksanaan Pelarangan Pemotongan Betina Produktif

Tetapi tidak bisa dipungkiri lagi di lapangan bahwa masih terjadi pemotongan ternak betina produktif yang disebabkan tuntutan ekonomi peternak. Maka sudah sejak lama diupayakan pengendaliannya oleh pemerintah. Mungkin sejak berdirinya Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang didahului oleh Direktorat Kehewanan di pusat dan daerah upaya penghentian pemotongannya dilakukan dengan berbagai program dari pemberian insentif sampai memakai tindakan represif dengan menempatkan polisi di berbagai rumah pemotongan hewan (RPH) untuk melarang pemotongan betina produktif tersebut.

Namun apa hasilnya? Di RPH yang diawasi polisi tentu saja terjadi penurunan drastis pemotongan betina produktif. Tetapi ibarat balon, jika ditekan di satu sisi maka akan terjadi penggelembungan di sisi lain. Terjadi pemotongan betina produktif di sekitar RPH yang dijaga oleh Polri atau terjadi pemotongan di tempat-tempat pemotongan hewan milik rakyat yang luput pengawasan.

Dari fenomena ini dan melihat upaya pengendalian pemotongan betina produktif yang sudah lebih 1,5 abad, apakah kita tidak perlu berpikir ulang pelarangan ternak betina produktif tersebut? Coba kita lihat bersama bahwa Pemerintah Hindia-Belanda menerapkan kebijaksanaan tersebut demi peningkatan populasi dan produksi ternak sapi dan kerbau. Pada waktu itu populasinya sangat kurang dan tehnologi IB ET dan berbagai rekayasa genetik belum ada dan berkembang seperti sekarang ini.

Memang terjadi kenaikan populasi sapi dan kerbau. Dari yang semula populasi sapi 1,5 juta ekor dan kerbau 2 juta ekor di tahun sebelum 1922, meningkat menjadi 3 juta ekor sapi dan 3 juta ekor kerbau di 1936. Tetapi perlu diketahui pula bahwa Pemerintah Hindia-Belanda pernah pula mendatangkan sapi Onggole dari India secara besar-besaran pada 1917 ke pulau Sumba. Sapi-sapi itu dikawin-silangkan dengan sapi Jawa yang bertubuh kecil sehingga menjadi sapi Peranakan Ongole (PO) seperti yang kita ketahui sekarang.

Kemudian dihubungkan dengan data sensus ternak BPS diadakan sejak 1967 sampai Sensus Pertanian saat ini serta berbagai survei menunjukkan bahwa ratio ternak betina dewasa produktif komposisinya ternyata tetap pada kisaran 44-45%. Artinya komposisi ternak dialam itu sangat mendukung keberlanjutan populasi (sustainibility) sebagaimana dilaporkan oleh survei UGM pada 2011 lalu, karena struktur komposisinya ini menunjukkan nilai NRR-nya lebih dari 1 (satu). Struktur seperti ini mendukung kegiatan pembibitan sapi sekaligus melestarikan populasinya.

Jadi, tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan tentang adanya penurunan populasi ternak karena adanya pemotongan ternak betina produktif. Pelarangan itu hanya dapat dikenakan kepada ternak bibit dan calon bibit, serta ternak yang bunting yang ditentukan oleh dokter hewan dan pengawas mutu bibit. Selebihnya dapat dipotong atau diseleksi untuk disingkirkan sesuai UU PKH No. 41/2014.

Pelarangan pemotongan ternak betina produktif itu telah menimbulkan paranoid tersendiri bagi peternak budi daya dan petugas pemerintah sendiri. Pada masa pandemi COVID-19 ini marilah kita berpikir ulang untuk merajut masa depan. Masih tepatkah adanya aturan pelarangan pemotongan ternak betina yang sudah berumur 184 tahun diteruskan? Disrupsi kebijakan sangat diperlukan mumpung momentumnya tepat agar tidak menghambat usaha peternakan rakyat yang sekaligus dapat menjadi insentif investasi swasta dan masyarakat.

Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB)

Pada saat ini pemerintah sangat gencar dan massif dalam melaksanakan IB. Teknologi ini pernah diintroduksikan oleh Prof Zeit, seorang dokter hewan Belanda tahun 1950-an dan banyak mendidik orang pribumi untuk menjadi dokter hewan. Maka didirikanlah semacam AI Center di Ungaran Semarang. Entah karena terjadi revolusi fisik pada waktu itu program IB terhenti.

Kini setelah lebih dari 80 tahun kegiatan IB dilanjutkan oleh pemerintah melalui berbagai program, yaitu INSAP (Inseminasi Sapi Potong), Gerakan Sejuta IB, Program Swasembada Daging Sapi, Upaya Khusus dan SIKOMANDAN. Program ini berupaya mengintegrasikan IB dengan kegiatan lainnya. 

Kegiatan ini sebenarnya baik dalam artian teknis peningkatan produksi dan populasi. Tetapi satu hal yang dilupakan pemerintah yaitu sebenarnya pelaksanaan IB merupakan sarana untuk peternak agar dapat mandiri dan berswadaya dalam pelaksanaan IB. Ini tidak terjadi tapi yang ada malah tingkat ketergantungan peternak sengaja dibuat tinggi oleh pemerintah dari sejak produksi semen, distribusinya sarana-prasarana, sampai pelaksanaannya oleh para inseminator lapangan.
Pada kesempatan ini mari kita berpikir ulang untuk menjadikan gerakan IB itu perlahan kita serahkan pada dunia swasta. Prinsipnya “tidak ada makan siang yang gratis”. Peternak itu sebenarnya mau membayar asal kualitas pelayanannya baik. Sudah waktunya IB itu diserahkan pada peternak dan swasta dan tidak dimonopoli pemerintah. Harus dibedakanana yang bersifat public good dan private good.

Obat Hewan

Senada dengan itu langkah yang lebih maju telah dilakukan di bidang obat hewan oleh pemerintah. Walaupun pemerintah sendiri memiliki produsen obat hewan Pusvetma, tetapi pemerintah membuka lebar dunia swasta untuk bersama memproduksi obat hewan.

Di sini biarkan saja terjadi “persaingan” yang adil dan sehat antara pemerintah dan dunia swasta dalam hal obat hewan. Walaupun sebenarnya produksi obat hewan itu merupakan ranah private good dan memberikan porsi ini kepada swasta agar lebih efisien.
Coba kita lihat misalnya adanya stok semen beku dan obat hewan di tempat produksi di pemerintahan. Pasti masih ada tumpukan yang menambah beban bagi APBN untuk maintenance-nya. Kalau di swasta karena menerapkan efisiensi tinggi hal itu tak terjadi.

Perbibitan dan Kesehatan Hewan

Kita sudah mengetahui bahwa tugas dan fungsi pemerintah banyak bertumpu terutama pada bidang perbibitan dan kesehatan hewan/masyarakat veteriner sebagaimana diamanatkan dalam UU PKH No. 18/2014. Dalam hal perbibitan tugas pemerintah mengembangkan bibit ternak khususnya ternak besar yang belum sepenuhnya dikuasai dan dilakukan oleh masyarakat, beda dengan ayam ras yang sudah sepenuhnya dilakukan oleh swasta atau asosiasinya. Sehingga timbul pertanyaan sekarang sudah tepatkah policy breeding untuk ternak besar dan kecil, serta operasionalisasinya di lapangan? Untuk itu pemerintah telah mendirikan berbagai UPT Pembibitan Ternak baik untuk menghasilkan benih dan bibit ternak.

Hasilnya setelah Indonesia 75 tahun merdeka, belum dapat melihat bahwasannya berbagai UPT tersebut benar-benar dapat menghasilkan bibit yang sebenarnya sesuai standar ilmiah. UPT kita lebih bersifat mengembangkan budi daya ketimbang menghasilkan bibit yang benar. Apakah hal ini kita teruskan dari generasi ke generasi tanpa akhir? Diperlukan keberanian untuk merevitalisasi fungsi-fungsi UPT tersebut agar tidak berada dalam zona nyaman seperti sekarang ini, karena sistem perbibitan ternak dan berbagai perangkat aturan dan ketesediaan sumber daya manusia pembibitan telah kita miliki serta didukung dana memadai, sehingga sayang sekali hal tersebut belum dimanfaatkan dengan benar.

Refleksi dalam bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakatnya veteriner memang telah menunjukkan adanya perubahan berarti dalam berparadigma. Paradigma lama yang terkenal yaitu maximum security, artinya sama sekali tidak boleh masuk ternak ataukah produk-produk ternak dari negara yang belum bebas dari daftar penyakit list A OIE. Perlakuan ini kemudian berganti menjadi zone base tidak lagi country base. Jadi kemungkinan Indonesia untuk impor atau ekspor ternak dan produknya menjadi terbuka dari berbagai negara. Perubahan kebijakan ini dipandang sebagai langkah cukup berani karena di lain pihak dapat memutus kartel, monopoli perdagangan internasional ternak dan produknya yang selama ini terjadi.

Tetapi, di dalam negeri sendiri kesehatan hewan dihadapkan pada kegiatan program pemberantasan penyakit menular strategis yang tidak pernah tuntas. Contoh program pembebasan penyakit Antraks, Rabies, SE, Jembrana dan belakangan timbul emerging diseases seperti Flu Burung dan African Swine Fever. Pembebasan negara dari suatu penyakit dengan memakai pola seperti sekarang ini rasanya tidak memadai lagi, malahan penyakit tersebut sudah menjadi keseharian para peternak.

Diperlukan pola lain yaitu lebih banyak melibatkan partisipasi masyarakat dalam penanggulangannya dari sejak mitigasi dan pencegahan penyakit sampai ke tingkat pemberantasan dan pengendaliannya, daripada mengatakan bahwa tugas pengendalian dan pemberantasan itu semata tugas pemerintah. Analisis resiko dapat menjadi beban bersama antara pemerintah dan masyarakat.

Hentikanlah pendapat bahwa tugas-tugas kesehatan hewan itu selalu menjadi domain pemerintah, diganti menjadi tugas kolaborasi antara masyarakat peternak dan swasta serta seluruh stakeholder yang ada. Perlu perubahan pola pikir bahwa penanggulangan penyakit itu bukan untuk memuaskan hati pejabat dan pimpinan, tetapi untuk kepentingan client kita yaitu para peternak dan masyarakat. Oleh karena itu, perbanyak program yang melibatkan masyarakat, karena tugas menjadi enteng kalau melibatkan masyarakat.

Muhasabah ini ditujukan tidak saja kepada pemerintah dan para pemangku kepentingan, tetapi juga kepada diri penulis yang pernah ikut mengalami pasang surutnya birokrasi PKH dari dulu hingga sekarang. Remembering the past and Reinventing the Future untuk merajut masa depan peternakan dan kesehatan hewan Indonesia. Selamat Hari Lahir Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia. ***



Ditulis oleh: M. Chairul Arifin
Pegawai Kementan (1979-2006),
Staf Perencanaan (1983-2005),
Tenaga Ahli PSDS (2005-2009)

WEBINAR BPTBA: SOLUSI PENYEDIAAN PAKAN TERNAK DI MASA PANDEMI

Pengawetan pakan ternak. (Foto: Istimewa)

Setelah sukses di webinar sebelumnya, Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam (BPTBA), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Yogyakarta, kembali menyelenggarakan webinar seri III dengan menyuguhkan topik “Teknologi Pakan Ternak Alternatif, Solusi Penyediaan Pakan di Masa Pandemi”.

Webinar yang diikuti sakitar 200 orang peserta ini diselenggarakan pada Kamis (23/7/2020) secara daring, sekaligus dilakukan kerja sama dengan Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI) terkait penelitian, pengembangan dan diseminasi teknologi pakan dan nutrisi ternak.

Hadir dalam webinar, Guru Besar Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan IPB, Prof Dr Ir Nahrowi, menyampaikan bahwa pakan masih menjadi agro input tinggi dengan porsi pembiayaan terbesar dalam budi daya ternak, sehingga perlu dicari alternatif untuk mendapatkan pakan berbiaya murah namun memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ternak.

“Kondisi rata-rata ternak kita saat ini, terutama untuk kelompok ternak besar seperti sapi, kondisi tubuh mereka masih sangat kurus, skor tubuh 2 dan 3. Ke depan kita berharap dengan banyaknya koleksi pakan alternatif yang dapat diaplikasikan, kondisi skor tubuh bisa naik menjadi 2 hingga 4,” kata Nahrowi yang juga Ketua AINI.

Ia menambahkan, selain mencari alternatif bahan pakan baru, teknologi terkait dengan bahan pakan tersebut juga perlu dikuasai dan disebarluaskan pada peternak. “Sehingga mereka paham dengan teknologi, diadopsinya dan dampaknya ternak yang dipelihara dapat tumbuh subur dan sehat,” ucapnya.

Hal senada juga dikatakan Ketua Kelompok Penelitian Teknologi Bioaditif Pakan, Dr Ahmad Sofyan, yang menyebut bahwa silase merupakan satu dari sekian banyak teknologi pengawetan yang dapat dikembangkan.

“Setidaknya ada tiga teknologi yang ditawarkan pada peternak, mulai dari hay atau pengawetan kering, haylage atau pengawetan semi-kering dan silase atau wet preservation, yang disukai karena mudah dan murah dalam pengerjaannya,” kata Sofyan.

Lebih lanjut, semua bahan pakan dari kelompok hijauan pakan ternak (HPT), legume beserta produk samping industri pertanian dan perkebunan, dapat diensilase namun perlu mengacu pada tata cara pembuatannya, terutama kadar air yang harus diperhatikan.

“Setidaknya ada beberapa tahapan dalam proses ensilase bahan pakan, mulai dari proses respirasisel, kemudian memproduksi asam asetat, laktat dan etanol untuk pertumbuhan bakteri pendukung dan preservasi, hingga proses panen,” jelasnya.

Terkait silase yang dihasilkan, kualitas fisik dan indikator silase yang berkualitas, Sofyan menganjurkan menggunakan aditif silase dalam mengensilase bahan pakan. Aditif silase disesuaikan dengan fungsinya, untuk menstimulasi pertumbuhan mikroba baik atau menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk.

“Kita dapat menggunakan satu atau keduanya, misalnya untuk bahan pakan tinggi protein maka diperlukan tanin untuk mengurangi proteolisis di bahan pakan dan diharapkan dapat berperan sebagai by-pass protein di rumen,” tuturnya.

Di sisi lain, imbuhan pakan juga perlu diperhitungkan dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak. Hal ini disampaikan Peneliti Teknologi Bioproses dan Produk Hewani Bidang Kesehatan Hewan, Muh. Faiz Karimy.

“Perlu dipilih imbuhan pakan digunakan sesuai dengan tujuannya, apakah untuk mengaktifkan enzim atau menghambat enzim yang tidak diperlukan ternak, sehingga ternak dapat tumbuh dengan baik. Gunakan imbuhan pakan lokal dari herbal dengan beragam kandungan non-nutrisi yang dapat meningkatkan produktivitas ternak,” kata Faiz. (Sadarman)

KURBAN DI MASA PANDEMI, PERHATIKAN PROTOKOL KESEHATAN

Tani on Stage menyosialisasikan kurban di tengah pandemi COVID-19. (Foto: Humas PKH)

Jelang Hari Raya Kurban yang masih dalam kondisi pandemi COVID-19, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), melakukan sosialisasi hal tersebut agar tetap memperhatikan protokol kesehatan.

Kegiatan sosialisasi dilaksanakan pada Selasa (21/7), didukung oleh Biro Humas dan Informasi Publik melalui talk show “Tani on Stage” (TOS).

“TOS kita optimalkan untuk mensosialisasikan segala macam program dan event khusus termasuk pelaksanaan kurban sesuai protokol kesehatan dan ketentuan pemotongan hewan kurban,” kata Kepala Biro Humas dan Informasi Publik, Kuntoro Boga Andri.

Sementara Dirjen PKH Kementan, I Ketut Diarmita, menyampaikan bahwa pelaksanaan Hari Raya Idul Adha tahun ini akan sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, pelaksanaan kurban berada di tengah pandemi COVID-19 dengan mempertimbangkan situasi new normal.

Pada masa new normal ini masyarakat, kata dia, harus patuh terhadap protokol kesehatan untuk melakukan tindakan pencegahan. Misalnya rajin cuci tangan pakai sabun, atau menggunakan hand sanitizer, menerapkan etika batuk/pakai masker, meningkatkan daya tahan tubuh, menjaga jarak dan menghindari kerumunan.

New normal ini dilakukan agar masyarakat tetap produktif dan aman dari COVID-19,” kata Ketut.

Adaptasi kenormalan baru dalam pelaksanaan kurban dituangkan dalam panduan Kementan tentang Pelaksanaan Kegiatan Kurban dalam Situasi Wabah Bencana Non-alam COVID-19. Panduan ini tertuang dalam Surat Edaran Dirjen PKH No. 008/SE/PK.320/F/06/2020, tertanggal 8 Juni 2020.

Secara garis besar, panduan mengatur upaya penyesuaian terhadap pelaksanaan kenormalan baru dalam kegiatan penjualan hewan kurban dan pemotongan hewan kurban di Rumah Pemotongan Hewan-Ruminansia (RPH-R) maupun di luar RPH-R dengan memperhatikan jaga jarak fisik (physical distancing), penerapan higiene personal, pemeriksaan kesehatan awal (screening) dan penerapan higiene sanitasi.

Kepala Tim Peneliti Penyembelihan Halal HSC IPB, Supratikno, turut menambahkan bahwa ada empat kriteria hewan kurban yang baik, yaitu sehat, tidak cacat, tidak kurus dan cukup umur.

“Persyaratan hewan sehat ini menjadi penting mengingat banyak sekali penyakit hewan yang dapat menular ke manusia (zoonosis),” katanya
.
Hal senada juga diucapkan Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Syamsul Ma'arif. Menurutnya, penyediaan hewan kurban yang sehat menjadi tanggung jawab bersama. Untuk itu, ia mengimbau masyarakat agar membeli hewan kurban sehat di tempat-tempat penjualan yang telah mendapat izin dari pemerintah daerah dan dijamin kesehatannya oleh petugas kesehatan hewan.

Selain itu, dalam penyelenggaraan kurban juga harus memperhatikan ketentuan teknis yang diatur Peraturan Menteri Pertanian No. 114/Permentan/PD.410/9/2014 tentang Pemotongan Hewan Kurban. Peraturan tersebut mengatur persyaratan minimal yang harus dipenuhi mulai dari tempat penjualan, pengangkutan dan penampungan sementara di lokasi pemotongan. Juga dijelaskan tata cara penyembelihan dan distribusi daging kurban sesuai aspek teknis dan syariat Islam.

Dengan memenuhi ketentuan teknis tersebut diharapkan daging kurban telah memenuhi persyaratan aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).

Hal yang sama juga disarankan Pakar Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB, Denny Widaya Lukman, mengenai penanganan hewan kurban, daging, jeroan, alat dan tempatnya yang harus dipisahkan.

“Terdapat dua pembagian jeroan yaitu jeroan merah, seperti, jantung, hati, limpa, ginjal dan paru. Sedangkan jeroan hijau yakni perut dan usus yang jauh lebih banyak bakteri zoonosisnya. Untuk itu harus diperhatikan pembuangan limbahnya. Limbah darah dan isi jangan dibuang ke aliran air yang umum mengalir, namun dimasukkan ke dalam tanah,” kata Denny. (INF)

INI ATURAN KEMENTAN TENTANG PELAKSANAAN KURBAN SAAT PANDEMI

Kementan terbitkan SE pelaksanaan kurban di tengah pandemi COVID-19. (Foto: Infovet/Ridwan)

Sehubungan dengan pelaksanaan pemotongan kurban pada Hari Raya Idul Adha 1441 H yang jatuh pada Juli 2020, pemerintah berupaya menyesuaikan pelaksanaan kurban karena Indonesia masih dilanda pandemi COVID-19.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang Pelaksanaan Kegiatan Kurban dalam Situasi Wabah Bencana Nonalam COVID-19. Kegiatan kurban meliputi penjualan dan pemotongan hewan perlu dilakukan penyesuaian terhadap prosedur kenormalan baru. 

“SE ini sebagai petunjuk pelaksanaan kegiatan kurban menyesuaikan penerapan kenormalan baru. Diharapkan kegiatan pelaksanaan kurban di tengah pandemi COVID-19 tetap berjalan optimal dengan mempertimbangkan aspek pencegahan dari penyebaran COVID-19,” ujar Dirjen PKH, Drh I Ketut Diarmita, di Jakarta, Jumat (12/6/2020).

Surat yang ditujukan kepada gubernur, bupati dan wali kota ini menegaskan langkah-langkah pencegahan potensi penularan COVID-19 di tempat penjualan dan pemotongan hewan kurban, diantaranya menjaga jarak dan menghindari perpindahan orang antar wilayah pada saat kegiatan kurban.

“Memperhatikan juga status wilayah tempat kegiatan kurban serta edukasi soal bahayanya COVID-19 dan bagaimana cara penularannya,” ucapnya.

Sementara Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Drh Syamsul Ma`arif, menyebutkan bahwa surat ini akan memberikan rekomendasi dalam kegiatan penjualan dan pemotongan hewan kurban.

Dalam kegiatan penjualan hewan kurban, Syamsul menegaskan harus memenuhi syarat seperti jaga jarak fisik, penerapan kebersihan personal, kebersihan tempat dan pemeriksaan kesehatan.

“Penjualan hewan kurban juga harus dilakukan di tempat yang telah mendapat izin dari kepala daerah setempat,” tegas Syamsul.

Selain itu, penjualan hewan kurban juga harus melibatkan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), atau organisasi dan lembaga amil zakat.

"Hal ini untuk membantu pengaturan tata cara penjualan yang meliputi pembatasan waktu, tempat penjualan dan penempatan fasilitas alat kebersihan," ucap dia.

Kemudian, penjual hewan kurban juga harus dilengkapi alat pelindung diri (APD) minimal masker, lengan panjang dan sarung tangan sekali pakai. Dan setiap orang yang masuk ke tempat penjualan harus mencuci tangan menggunakan sabun atau hand sanitizer. Bagi penjual yang berasal dari luar wilayah harus dalam kondisi sehat dengan melampirkan surat keterangan sehat dari puskesmas atau rumah sakit.

“Setiap tempat penjualan juga wajib dilengkapi dengan pengukur suhu tubuh, tempat cuci tangan dengan air mengalir dan tempat pembuangan limbah kotoran hewan yang aman,” kata Syamsul.

Ia juga menambahkan bahwa setiap orang diimbau untuk menghindari jabat tangan atau bersentuhan langsung, menggunakan atau membawa barang pribadi seperti perlengkapan salat maupun perlengkapan makan.

"Adapun setelah pulang dari tempat kurban, juga diwajibkan mandi dan membersihkan diri," tambahnya.

Sementara untuk kegiatan pemotongan hewan kurban yaitu tetap menerapkan protokol kesehatan berupa jaga jarak, jaga kebersihan dan menggunakan masker atau face shield.

“Para petugas pemotongan hewan perlu diedukasi tentang cara penyebaran COVID-19, seperti hindari memegang muka, mulut, hidung dan mata. Jumlah petugas dalam satu ruangan juga perlu diatur agar bisa menerapkan jaga jarak,” terang Syamsul.

Petugas pemotongan hewan kurban juga diimbau tidak merokok, meludah dan memperhatikan etika bersin serta batuk selama pemotongan kurban.

“Petugas pemotongan hewan kurban juga diharuskan berasal dari lingkungan atau satu wilayah dengan tempat pemotongan hewan dan tidak sedang masa karantina mandiri,” pungkasnya. (INF)

PELATIHAN PENANGANAN DAGING SEGAR YANG BAIK

Daging sapi segar. (Sumber: Istimewa)

Di masa pandemi COVID-19 saat ini, daging sebagai produk hasil ternak menjadi salah satu bahan pangan yang paling dicari konsumen. Hal itu tidaklah mengherankan karena daging merupakan sumber protein hewani dengan nilai gizi yang sangat baik, memiliki komponen fungsional yang sangat diperlukan tubuh, memiliki citarasa yang lezat dan menunjukkan value dan prestise yang tinggi.

Dalam sebuah pelatihan online tentang cara penanganan dan pengolahan daging yang aman, sehat dan berkualitas bagi sektor rumah tangga, restoran dan katering maupun industri pengolahan di masa pandemi COVID-19, Pengajar Fakultas Peternakan IPB, Dr Tuti Suryati SPt MSi, menjelaskan tentang tahap-tahap penting penanganan dan pemilihan daging segar yang baik. 

Pelatihan diselenggarakan oleh Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) dan Fakultas Peternakan IPB pada 4-5 Mei 2020. Kegiatan tersebut memiliki tujuan untuk membangun kapasitas sumber daya manusia yang terkait dengan rantai pasok produk hasil ternak, khususnya sektor rumah tangga, hotel, restoran dan katering, serta industri pengolahan hasil ternak di Indonesia.

Lima prinsip utama penanganan daging segar yang baik yakni pilih daging yang sebelumnya diproses melalui pelayuan terlebih dahulu sebelum karkas di-deboning, pilih daging yang berwarna merah cerah, tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah, pilih yang teksturnya tidak terlalu kaku dan tidak terlalu lembek, pilih daging yang berbau khas daging segar, tidak berbau amis apalagi busuk.

“Hindari memilih daging melalui sentuhan langsung permukaan daging dengan jari atau tangan,” tandas Tuti Suryati. (IN)

WABAH COVID-19: KEMENTAN PERMUDAH DISTRIBUSI PANGAN

Menteri Pertanian beserta jajarannya melakukan kerja sama dengan Grab untuk mempermudah distribusi pangan ke masyarakat di tengah pandemi COVID-19. (Foto: Humas Kementan)

Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo, mengatakan bahwa Indonesia saat ini menghadapi sejumlah tantangan dalam memenuhi pangan masyarakat di tengah pandemi COVID-19.

Untuk mempermudah hal itu, Mentan Syahrul melakukan penandatanganan kerja sama dengan enam mitra peternakan sekaligus bersama Grab, di Kantor Pusat Kementerian Pertanian (Kementan), Selasa (14/4/2020).

“Indonesia tengah mengalami pembatasan di sejumlah wilayah, untuk itu saya minta seluruh pihak terkait, kita tidak boleh diam, kalian butuh makan dan protein, kalian tidak bisa fight dengan virus yang dashyat ini tanpa pangan” kata Mentan Syahrul dalam kegiatan tersebut.

Dalam kerja sama itu Kementan menggandeng PT Charoen Pokphand Indonesia, PT Japfa Comfeed Indonesia, PT Tri Putra Panganindo, PT Cimory, PT Indoguna Utama dan PT Agro Boga Utama, serta pemasaran produk peternakan berbasis online dengan tiga start-up digital market place yakni Etanee, Tani Supply Indonesia dan SayurBox. Sementara kerja sama dengan Grab diharapkan melancarkan distribusi produk pangan hasil peternakan seperti daging sapi dan ayam, telur, susu dan olahan lainnya kepada masyarakat.

“Dibutuhkan kebersamaan dan nurani kebangsaan, harus ada keterpanggilan atas nama bangsa, kalau tidak maka siap-siap kita akan melihat ceceran masalah di depan mata kita” ucap dia.

Menurutnya, untuk mengurai permasalahan pangan di tengah pandemi COVID-19 ini dibutuhkan kerjasama dan sinergi yang kuat dari berbagai pihak. Ia pun memanggil seluruh  pelaku usaha bidang pertanian dan peternakan maupun mitra usaha bidang transportasi dan para generasi milenial untuk membantu memenuhi pangan bagi masyarakat Indonesia.

Pada kesempatan serupa, Presiden of Grab Indonesia, Ridzki Kramadibrata, menyatakan dukungannya kepada pemerintah. Ia memastikan ratusan ribu driver Grab siap membantu mendistribusikan pangan bagi masyarakat khususnya produk peternakan dan olahannya. Mengingat kebijakan pemerintah terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ataupun physical/social distancing untuk menekan angka penyebaran COVID-19 di Indonesia.

“Ini menjadi usaha yang luar biasa dari Grab dengan Kementan, bahkan Bapak Menteri sendiri turun tangan untuk menjamin ketersediaan bahan pangan bagi masyarakat, seperti daging, telur ayam dan lain sebagainya. Kami harap layanan ini dapat menjangkau masyarakat yang saat ini tengah mengikuti protokol kesehatan di rumah,” pungkasnya. (INF)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer