 |
Foto bersama narasumber, kepanitiaan, dan peserta pelatihan (Foto: Sadarman/Infovet) |
Produk peternakan, seperti daging, susu dan telur sampai
kapan pun tetap dibutuhkan manusia. Hal ini dikarenakan ketiga produk
peternakan tersebut merupakan pangan yang kaya dengan kandungan nutrien.
Nutrien dimaksud adalah protein dengan asam-asam aminonya, serta nutrien
lainnya yang dibutuhkan oleh tubuh untuk proses tumbuh kembang. Sebagai bahan
pangan, ketiga produk tersebut terutama daging, harus dalam kondisi yang aman,
sehat, utuh dan halal (ASUH). Untuk mendapatkan daging dengan kriteria
dimaksud, maka diperlukan manajemen dan sistem penjaminan mutu, baik di Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) ruminansia, maupun di tempat-tempat pemotongan ayam
(TPA).
Mengingat pentingnya manajemen dan sistem penjaminan mutu di
RPH, Forum
Logistik dan Peternakan Indonesia (FLPI), didukung RPH Pramana Pangan Utama,
Kementerian Pertanian dan Halal Science Center Institut Pertanian Bogor menyelenggarakan
pelatihan dengan tema Manajemen dan Sistem Penjaminan Mutu di Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) Ruminansia.
Kegiatan ini diikuti oleh peserta dari berbagai instansi, baik dari akademisi,
pengusaha sapi potong, petugas RPH dan dari Badan Standarisasi Nasional.
Pelatihan
FLPI ini diselenggarakan di Ruang Sidang Fakultas Peternakan Institut Pertanian
Bogor (IPB) Dramaga Bogor, Senin 15 Juli 2019 untuk penyampaian materi
pelatihan, dan pada tanggal 16 Juli 2019, peserta pelatihan diajak mengunjungi
RPH Pramana Pangan Utama yang berlokasi di dalam kampus IPB Dramaga. Kegiatan
ini dihadiri oleh pelaksana harian Dekan Fakultas Peternakan IPB, yang membuka
secara langsung even tersebut.
Dalam
sambutannya, pelaksana harian Dekan Fakultas Peternakan IPB, Prof Dr Ir Sumiati MSc menyebut bahwa FLPI dapat
dikatakan organisasi aktif yang dipunyai oleh Fakultas Peternakan IPB. Disebut
organisasi aktif karena frekuensi pelaksanaan pelatihan dan kegiatan seminar
terkait dengan bidang yang dibawahinya intens dilaksanakan, sehingga banyak
sedikitnya dapat mengedukasi insan peternakan Indonesia. “Kegiatan pelatihan
dan seminar seharusnya dilakukan secara berkelanjutan, agar ilmu terkait dengan
bidang peternakan dari hulu ke hilir itu dapat diperbaharui, atau setidaknya
saling mengingatkan,” kata Prof Sumiati.
Pelatihan
FLPI 2019 ini menghadirkan 3 narasumber, yakni Dr Ir Henny Nuraini MS, Dosen
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB. Sebagai pembicara pertama, Dr
Henny memaparkan materi tentang Good
Slaughtering Practices di RPH. Dalam uraian
singkatnya, Dr Henny menyebut, penerapan Good Slaughtering Practices di RPH secara
totalitas diperlukan, mengingat upaya konsumen untuk mendapatkan pangan ASUH
menjadi faktor utama yang harus diperhatikan. “Saat ini, sulit ya mendapatkan
pangan yang benar-benar ASUH, solusinya adalah mengedukasi secara berkelanjutan
individu-individu yang terlibat secara kangsung dengan RPH, mulai dari saat
ternak datang, diinapkan, sampai pada output akhir dari RPH, yakni daging hasil
sembelihan yang benar-benar sesuai dengan kriteria ASUH,” kata Dr Henny.
Terkait
dengan upaya untuk mendapatkan produk ternak yang ASUH, Dr Henny memaparkan
setidaknya ada 7 hal yang perlu diterapkan secara totalitas di RPH, diantaranya
1) ternak harus tidak diperlakukan secara kasar, 2) ternak tidak mengalami
stres, 3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan sesempurna
mungkin, 4) kerusakan karkas harus diminimalkan, 5) cara pemotongan harus
higienis, 6) ekonomis dan 7) aman bagi para pekerja RPH. Terkait dengan
tatacara pemotongan ternak dan penanganan daging ternak pascapemotongan, Dr
Henny menyebut bahwa ada dasarnya, yakni Peraturan Menteri Pertanian No.
13/Permentan/OT/140/1/2010. Sementara itu, terkait dengan pangan asal hewan
yang harus memenuhi kriteria ASUH, Dr Henny menyebut, ada landasan hukumnya,
terutama yang berhubungan langsung dengan pangan, perlindungan konsumen dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner (Kesmavet).
Pembicara
kedua, drh Syamsul Ma'arif MSi Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kemenerian Pertanian. Syamsul Ma'arif
memaparkan
hal terkait dengan Sanitasi Higienis dan Sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner (NKV).
Kebutuhan produk akhir RPH yang higienis sangat diperlukan. Hal ini mengingat
dampaknya pada konsumen yang mengonsumsi daging yang dihasilkan oleh RPH.
“Daging itu adalah bahan pangan yang rentan rusak dan disukai oleh mikroba
untuk tumbuh dan berkembang, terutama mikroba yang dikategorikan dalam foodborne diseases,” kata drh Syamsul.
Untuk mengatasi kondisi ini maka diperlukan sanitasi higienis di RPH (Good Hygiene Practices). Di samping itu, perlu juga penerapan
sistem rantai dingin dan Penerapan jaminan keamanan pangan: NKV, sistem Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP), ISO 22000:2018.
Sementara
itu, terkait dengan Penerapan Teknik Pemotongan Halal dan Sertifikasi Halal,
FLPI menghadirkan drh Supratikno MSi PAVet dari Halal Science Center IPB. Dalam pemaparannya, drh Supratikno menyebutkan
bahwa konsep penyembelihan ternak harus diikuti sesuai dengan anjuran agar
produk ternak (daging) yang akan dijual ke konsumen benar-benar thayyib (baik) dan tatmim (sempurna).
“Pemotongan yang baik itu sesuai dengan anjuran sunnah, yang telah diatur
sedemikian rupa, misalnya pada sebagian besar negara muslim di dunia, seperti
Indonesia, yang dipotong adalah pada bagian dzabh (ujung leher) dan nahr
(pangkal leher, biasanya pada unta).
Lebih
lanjut, drh Supratikno menyebut, petugas RPH harus memahami titik kritis
penyembelihan halal. “Ini penting diperhatikan, jika menghendaki atau
menginginkan produk ternak yang benar-benar dapat disebut halal,” kata drh Supratikno.
Titik kritis dimaksud dapat dimulai dari 1) pemeriksaan antemortem, 2)
penanganan sesaat sebelum penyembelihan, 3) penyembelihan, pengeluaran darah
yang harus sempurna, 4) pemisahan kepala dan kaki bagian bawah, dan 5)
pengulitan. “Kelima titik kritis ini harus dicermati dengan seksama oleh para
Juleha “Juru Penyembeli Halal” jika ingin mendapatkan daging sapi yang
benar-benar thayyib dan tatmim,” ungkap dosen Kesmavet FKH IPB.
Di
samping itu semua, yang tidak kalah pentingnya adalah mengupayakan seminim
mungkin stres ternak sebelum dipotong. Kenapa demikian? Menurut drh Supratikno,
stres pada ternak yang akan dipotong berdampak negatif, terutama pada daging
yang dihasilkan.
“Laporan terkait dengan stres ini sudah sangat banyak,
rata-rata melaporkan dampaknya yang signifikan sampai sangat signifikan
terhadap daging yang dihasilkan. Selain itu, ternak yang stres menjelang saat
pemotongan, juga dapat menularkan stresnya kepada ternak lainnya, sehingga ini
sangat merugikan, terutama rugi waktu karena butuh penanganan yang intens dari
Juleha,” kata drh Supratikno.
Diakhir
pemaparannya, drh Supratikno menyampaikan terkait bahaya stres pada sapi yang
akan dipotong, terutama yang berhubungan dengan stres akut. Stres akut itu
sendiri ditandai dengan pH daging dijam-jam pertama langsung di bawah 6. Pada
stres akut, daging yang dihasilkan berwarna pucat, lembek dan berair, sehingga
daging mudah busuk dan cita rasa daging menurun (Sadarman).