Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini FAO | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

KOLABORASI KEMENTAN & FAO TANGGULANGI RESISTENSI ANTIMIKROBA

Para peserta talkshow berfoto bersama


Resistensi antimikroba menjadi salah satu ancaman terbesar kesehatan global, tidak hanya pada kesehatan manusia, namun juga pada kesehatan hewan. Setiap tahunnya, 700.000 orang diperkirakan meninggal akibat infeksi bakteri yang resisten terhadap antimikroba. Hal yang sama terjadi juga pada hewan ternak.
Informasi tersebut disampaikan oleh Syamsul Ma’arif, Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner yang mewakili Dirjen PKH I Ketut Diarmita. Sambutan tadi disampaikan pada acara Peluncuran Materi Komunikasi Informasi dan Talk Show Pengendalian Laju Resistensi Antimikroba di IICC Bogor, 19 November 2019. 
Antibiotik merupakan salah satu jenis antimikroba yang digunakan untuk menyembuhkan infeksi bakteri pada manusia dan hewan. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat di sektor peternakan, pertanian, perikanan serta masyarakat mempercepat laju resistensi bakteri menjadi kebal (superbugs). Tanpa adanya upaya pengendalian global, AMR diprediksi akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia pada tahun 2050, dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa per-tahun, melampaui penyakit jantung, kanker dan diabetes, serta dapat menimbulkan krisis ekonomi global.
Di sektor peternakan, ancaman AMR tidak hanya mengancam keberlangsungan kemampuan dalam mengendalikan penyakit infeksi pada ternak, akan tetapi juga sangat mengancam ketahanan pangan terutama produktivitas sektor peternakan dalam menyediakan sumber pangan hewani bagi masyarakat.
Pada Pekan Kesadaran Antibiotik Sedunia / World Antibiotic Awareness Week (WAAW) yang berlangsung sejak tanggal 18 November 2019, Ditjen PKH bersama dengan FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD) dan USAID Indonesia merangkai berbagai kegiatan kolaborasi dengan pemerintah daerah, institusi akademisi dan sektor swasta di tiga kota yakni Bogor, Lampung, dan Surabaya. 
"Tujuannya kegiatan ini adalah untuk memperkuat kesadaran akan bahaya nyata dari AMR dan menyuarakan penggunaan antibiotik dan antimikroba lainnya secara bijak, cerdas dan bertanggung jawab" tutur Syamsul.
Ia juga menambahkan bahwa tantangan dalam memerangi laju resistensi antimikroba dan mengendalikan penyakit infeksi baru harus dipandang sebagai kewajiban dan tanggung jawab semua pihak, untuk itu semuanya harus senantiasa berupaya meningkatkan kompetensi profesional dan selalu menjaga agar antimikroba tetap efektif.
Team Leader FAO ECTAD James McGrane menambahkan bahwa pelaku usaha peternakan dan industri peternakan sangat berperan dalam solusi pengendalian laju resistensi antimikroba. Menurutnya Kementerian Pertanian bersama FAO ECTAD dengan dukungan USAID terus menggaungkan praktik-praktik peternakan yang baik (good farming practices) dan Infection Prevention and Control (IPC), dimana didalamnya terdapat implementasi biosekuriti 3 zona, vaksinasi secara regular, dan pola hidup bersih dan sehat. 
"Hal ini menjadi solusi pengurangan penggunaan antimikroba di peternakan. Harapannya, dengan peternakan yang bersih dan terjaga, tercipta ternak yang sehat dan tidak mudah terkena penyakit,” ujar James. (CR)


HARUS TAHU LEBIH TENTANG RESISTENSI ANTIMIKROBA

Mencegah AMR dengan bijak menggunakan antibiotik (Foto : CR)

Dalam dunia medis dan peternakan isu resistensi antimikroba merupakan isu yang sangat seksi untuk dibicarakan. Namun begitu, masyarakat luas kurang mengetahui akan pentingnya isu ini. Padahal ancaman resistensi antimikroba setingkat dengan bio terorisme. Atas inisiatif inilah ReAct bersama Yayasan Orangtua Peduli dan FAO menggelar seminar resistensi antimikroba di Jakarta, 14 November lalu.

Narasumber dalam acara tersebut adalah drh Wayan Wiryawan dan dr Purnamawati Sp.A(K). Wayan Wiryawan dari Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia mengatakan, penggunaan antimikroba yang serampangan dalam dunia peternakan ridak hanya akan merugikan usahanya sendiri tetapi juga konsumen yang mengkonsumsi produknya. “Tentunya ini akan berbahaya bagi semuanya, bukan hanya yang beternak saja”, katanya.

Wayan juga menyampaikan bahwa pemakaian antibiotik yang tidak bijak menjadi tantangan dalam beberapa tahun belakangan karena banyak mikroorganisme yang sudah resisten terhadap antimikroba tertentu.

“Saya selalu bilang pada peternak pemakaian antibiotik bukan untuk pencegahan tapi untuk mengobati. Jadi tidak baik untuk kesehatan hewan itu sendiri. Selain itu saya juga selalu mengingatkan peternak agar menerapkan biosekuriti yang baik serta penerapan Good Farming Practices”, ujarnya.

Senada dengan Wayan, Purnamawati juga menekankan bahwa penggunaan antimikroba untuk penyakit - penyakit yang ringan seperti flu, radang tengorokan dan diare tanpa lendir atau darah sebaiknya tidak dilakukan.

"Kami sudah bekerjasama bahkan sudah sampai ke KEMENKES isu ini, sejak beberapa tahun lalu. Namun memang sangat sulit ya mengubah mindset masyarakat kita tentang antibiotik ini. Mereka masih menganggap antibiotik ini sebagai obat dewa, tetapi mengkonsumsinya seperti "dewa mabuk"," tukas Purnamawati.

Maksudnya adalah ketika memang dibutuhkan antibiotik dalam medikasi, masyarakat tidak bijak dan disiplin dalam mengonsumsinya (tidak sampai tuntas), sehingga timbul resistensi antimikroba. Selain itu fakta lain yang mengejutkan yang dipaparkan oleh Purnamawati adalah bahwa sejak tahun 1980-an tidak lagi ditemukan antimikroba jenis baru, sehingga ini mempersempit drug of choice terhadap infeksi bakterial atau parasitik.

Guna mencegah "bencana" yang lebih besar akibat resistensi antimikroba, baik Wayan maupun Purnamawati mengajak serta masyarakat Indonesia agar menggunakan antimikroba dengan bijak dan cerdas. Karena jika hal ini kerap berlanjut, bukan tidak mungkin akan jatuh lebih banyak korban akibat resistensi antimikroba.

Perlu juga peran dari media sebagai penyambung kepada masyarakat agar mengamplifikasi pengetahuan kepada masyarakat awam akan pentingnya isu ini, karena menurut Purnamawati dan Wayan di masa kini, apa yang muncul dari media lebih dipercaya oleh masyarakat ketimbang pendapat para ahli (CR).


 

KEMENTAN SAMPAIKAN CARA MENCEGAH PENYAKIT DEMAM BABI AFRIKA

Penyakit ASF diketahui mengakibatkan kerugian ekonomi tinggi di sektor peternakan babi (Foto: Dok. Kementan)



Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) bekerjasama dengan instansi terkait serta Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) terus memperkuat kolaborasi dalam menanggapi kemungkinan terjadinya penyakit demam babi Afrika (ASF) di Indonesia. Hal ini didasari dengan sudah mewabahnya virus ASF di China, Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar, Filipina, dan Timor Leste. Informasi tersebut disampaikan Direktur Kesehatan Hewan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa, Rabu (16/10/2019).

Menurutnya penyakit demam babi Afrika (ASF) adalah penyakit virus menular yang menyerang babi. Penyakit ini menyebabkan kematian hingga 100 persen pada babi yang diternakkan (domestikasi), juga dapat menulari babi liar yang lebih tahan dan dapat menjadi reservoir virus

Penyakit babi ini diketahui dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang tinggi pada sektor peternakan babi. Virus ASF dapat menyebar dengan mudah, baik melalui melalui kontak langsung dengan babi ataupun ektoparasit (caplak) yang terkontaminasi, pemberian pakan babi yang berasal dari sisa daging babi atau produk olahannya yang tidak dimasak sempurna, material pembawa (fomites) termasuk pekerja, pengunjung, petugas, peralatan peternakan, dan kendaraan serta pakan mentah yang terkontaminasi.

Untuk menilai potensi risiko masuk dan menyebarnya ASF di Indonesia, Fadjar menyampaikan bahwa Kementan sebelumnya telah melakukan pertemuan antar sektor tingkat daerah dan nasional di Sumatera Utara pada tanggal 7 – 8 Oktober 2019. 

Pertemuan tersebut bertujuan untuk merancang rekomendasi mitigasi risiko pengendalian kasus apabila terjadi dikemudian hari. Berbagai sektor dari lingkup Kementerian Pertanian seperti Direktorat jenderal Peternakan dan kesehatan Hewan, Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor serta Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, bersama-sama dengan pemerintah daerah di provinsi Sumatera Utara, pihak bandara, pelabuhan dan peternak babi ikut serta melakukan analisis risiko dan estimasi risiko dari wabah ASF.

"Risiko terjadinya ASF harus kita petakan dan nilai, sehingga Indonesia siap untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam mencegah masuknya penyakit, dan juga siap untuk mengendalikan apabila nanti terjadi" ungkapnya.

Rekomendasi Mitigasi Risiko

Fadjar juga menjelaskan bahwa mitigasi risiko yang efektif, komprehensif, dan terintegrasi antar sektor terkait merupakan kunci untuk mencegah masuk dan menyebarnya virus ASF di Indonesia. Langkah-langkah yang dapat dilakukan yaitu dengan membentuk tim surveilans untuk melakukan pengawasan dan respon penyakit secara partisipatif bersama masyarakat dengan edukasi, pendampingan peternak/rumah tangga peternak babi.

Fadjar Sumping Tjatur Rasa
Lebih lanjut, Fadjar menyampaikan pentingnya melaporkan dan memberikan rekomendasi kepada bupati/walikota untuk penerbitan peraturan bupati/ walikota untuk pembatasan lalu lintas babi dan produk babi, penutupan wilayah serta mengupayakan dana tanggap darurat pada pemerintah kabupaten/kota.

"Kita juga harus melakukan tindakan mencegah masuknya ASF ke wilayah dan peternakan yang belum tertular dengan memperketat kebijakan impor, dan mengontrol setiap produk babi yang masuk ke Indonesia," tambahnya. Selain itu diperlukan program Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) untuk peningkatan pengetahuan yang baik di kalangan peternak dan masyarakat umum terutama di daerah dengan populasi babi yang banyak.

Hal penting lain menurut Fadjar adalah pentingnya pemahaman tentang ASF dan penerapan biosekuriti yang ketat dan berkelanjutan oleh peternak babi dan peternakan komersial. Ini dilakukan dengan cara peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui bimbingan teknis terstruktur.

"Pemerintah daerah juga harus mulai mengidentifikasi dan meregistrasi pedagang/pengepul dan pemotong babi serta alat angkut yang digunakan. Hal ini diperlukan agar tidak ada kontaminasi oleh virus ASF dan mengurangi risiko penularan/penyebatan," jelasnya.

Menghindari keresahan masyarakat terhadap bahaya ASF, Fadjar menegaskan bahwa penyakit ini tidak berbahaya bagi manusia atau bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat (non-Zoonosis).

Namun demikian, virus ini dapat bertahan lama dalam suhu dingin maupun panas dan relatif tahan terhadap disinfektan serta sampai saat ini belum ada vaksin yang efektif melawan virus ASF. 

"Setelah babi terinfeksi, cara paling efektif untuk mencegah penyebaran adalah dengan memusnahkan populasi babi yang tertular," pungkasnya. (Rilis Kementan) 

HARI PANGAN SEDUNIA 2019 : MARI PERBAIKI KUALITAS MAKANAN KITA

Peringatan Hari Pangan Sedunia 2019 : Mari Perbaiki Kualitas Makanan Kita

Hari Pangan Sedunia (World Food Day) diperingati setiap tanggal 16 Oktober dengan menyoroti perlunya upaya yang lebih keras untuk mengakhiri kelaparan dan bentuk-bentuk kekurangan gizi lainnya. Peringatan ini juga diadakan untuk memastikan keamanan pangan dan pola pangan sehat tersedia untuk semua orang. Tema Global Hari Pangan Sedunia tahun ini adalah “Tindakan kita adalah masa depan kita. Pola Pangan sehat, untuk  #Zerohunger ”

“Mencapai “Tanpa Kelaparan” (Zero Hunger) tidak hanya tentang mengatasi kelaparan, tetapi juga memelihara kesehatan manusia dan bumi. Tahun ini, Hari Pangan Sedunia menyerukan tindakan lintas sektor untuk membuat pola pangan yang sehat dan berkelanjutan dapat diakses dan terjangkau bagi semua orang. Kita mengajak semua orang untuk mulai berpikir tentang apa yang kita makan,” kata Kepala Perwakilan FAO Indonesia, Stephen Rudgard. Hari Pangan Sedunia dirayakan setiap tahun, tepat pada hari lahir FAO. Hari ini adalah salah satu hari terbesar dalam kalender PBB. Peringatan ini diadakan pada lebih dari 150 negara yang menyatukan pemerintah, sektor bisnis, LSM, media, komunitas  dan menyerukan aksi untuk mencapai SDG2 - Zero Hunger.

Dalam beberapa dekade terakhir, secara dramatis kita telah mengubah pola pangan sebagai akibat dari globalisasi, urbanisasi dan bertambahnya pendapatan. Kita telah beralih dari pangan musiman, terutama produk nabati yang kaya serat, pada makanan yang kaya akan pati, gula, lemak, garam, makanan olahan, daging dan produk hewani lainnya.  Waktu yang dihabiskan untuk menyiapkan makanan di rumah semakin sempit. Konsumen, terutama di daerah perkotaan, semakin bergantung pada supermarket, gerai makanan cepat saji, makanan kaki lima dan makanan pesan antar.

Kombinasi dari pola pangan yang tidak sehat serta gaya hidup yang kurang aktif telah menjadi faktor risiko pembunuh nomor satu di dunia. Kebiasaan ini telah membuat angka obesitas melonjak, tidak hanya di negara maju, tetapi juga di Negara - negara berpendapatan rendah,  di mana kekurangan dan kelebihan gizi sering terjadi bersamaan.  Saat ini, lebih dari 670 juta orang dewasa dan 120 juta anak perempuan dan laki-laki (5–19 tahun) mengalami obesitas, dan lebih dari 40 juta anak balita kelebihan berat badan, sementara lebih dari 800 juta orang menderita kelaparan. Di Indonesia, 30,8% anak tergolong stunting (kekerdilan), 10,2% anak-anak di bawah lima tahun kurus dan 8% mengalami obesitas.

Hari Pangan Sedunia 2019 menyerukan aksi untuk membuat pola pangan sehat dan berkelanjutan dapat diakses dan terjangkau bagi semua orang. Untuk ini, kemitraan adalah hal mendasar. Petani, pemerintah, peneliti, sektor swasta dan konsumen, semua memiliki peran untuk dimainkan,”kata Rudgard.

Kementan memberikan perhatian khusus soal ini dengan sebuah program untuk mendorong pemenuhan kebutuhan pangan nasional pada skala terkecil rumah tangga dengan nama Obor Pangan Lestari (Opal)”, tegas Kuntoro Boga Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian. Hal ini sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah stunting yang terjadi di Indonesia. Opal juga dirancang untuk meningkatkan kualitas konsumsi masyarakat, meningkatkan pendapatan rumah tangga, meningkatkan akses pangan keluarga, konservasi sumberdaya genetik lokal dan mengurangi jejak karbon serta emisi gas pencemar udara.

Pola Pangan Sehat Harus Bisa Diakses Semua orang

Pola Pangan sehat adalah pola pangan yang memenuhi kebutuhan gizi individu dengan menyediakan makanan yang cukup, aman, bergizi, dan beragam untuk menjalani kehidupan yang aktif dan mengurangi risiko penyakit. Ini termasuk, antara lain, buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian, dan makanan yang rendah lemak (terutama lemak jenuh), gula dan garam. Makanan bergizi yang merupakan pola pangan sehat hampir tidak tersedia atau terjangkau bagi banyak orang.

Hampir satu dari tiga orang mengalami kekurangan atau kelebihan gizi . Berita baiknya adalah ada solusi yang terjangkau untuk mengurangi semua bentuk kekurangan dan kelebihan gizi tersebut, tetapi hal ini membutuhkan komitmen dan tindakan global yang lebih besar. Program Opal memiliki kerangka jangka panjang untuk meningkatkan penyediaan sumber pangan keluarga yang Beragam, Seimbang dan Aman (B2SA),” Boga menambahkan.

Opal dirancang sebagai salah satu langkah konkrit pemerintah dalam mengintensifkan peta ketahanan dan kerentanan pangan atau food security and vulnerability atlas (SFVA). FAO dengan badan-badan PBB lainnya dan kementerian terkait akan merayakan Hari Pangan Sedunia dalam serangkaian acara termasuk perayaan nasional di Kendari, Sulawesi Tenggara yang dipimpin oleh Kementerian Pertanian dan Pemerintah Sulawesi Tenggara pada 2-5 November dan Festival Kaki Lima Jakarta “Pangan Sehat, siap santap” pada 10 November. Tema Nasional di Indonesia sendiri mengusung, Teknologi Industri Pertanian dan Pangan Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045. (FAO/CR)

Kementan Bersama FAO dan USAID Tingkatkan Kerjasama Penanggulangan Zoonosis dan PIB


Kerjasama ini sudah dilaksanakan sejak tahun 2016 melalui Program EPT-2 (Emerging Pandemic Threat fase 2) dan fokus pada kegiatan untuk mengurangi dan mengendalikan ancaman terhadap keamanan kesehatan Indonesia, baik kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, maupun kesehatan lingkungan/satwa liar.
Dalam pelaksanaan kerjasama ini melibatkan beberapa kementerian dan badan terkait, yakni Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), organisasi profesional kesehatan hewan dan kesehatan manusia, Universitas, dan badan-badan internasional seperti FAO dan Badan Kesehatan PBB, WHO. Sedangkan koordinasi program EPT-2 secara umum ditangani oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK).
Dirjen PKH Ketut Diarmita dan FAO Representative Indonesia Stephen Rudgard bertukar Cinderamata

“Kami mengapresiasi dukungan dari USAID dan FAO ini, dan berharap kerjasama yang sudah baik ini akan terus berlanjut. Kementan bersama kementerian dan lembaga terkait akan terus berupaya untuk bersinergi dalam memperkuat kapasitas One Health Indonesia sesuai dengan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2019,” tambahnya.
Menyambung ucapan Ketut, Wakil Direktur USAID Indonesia, Ryan Washburn, mengakui peran Pemerintah Indonesia, terutama Kementerian Pertanian, atas langkah- langkah penting dalam pelaksanaan pendekatan One Health secara konsisten.
"Pemerintah AS melalui USAID telah bermitra selama lebih dari 13 tahun untuk meningkatkan kemandirian Indonesia dalam pencegahan dan pengendalian penyakit. Meskipun masih menjadi hotspot penyakit di kawasan ini, tapi komitmen Indonesia dalam penerapan pendekatan One Health telah meningkatkan kemampuan Indonesia dalam melakukan pencegahan, deteksi, dan respons. Kami gembira bisa merayakan keberhasilan ini sebagai bagian dari peringatan 70 tahun hubungan AS- Indonesia," demikian ujar Wakil Direktur USAID Indonesia Ryan Washburn.
Mengingat ancaman kesehatan yang masih ada tersebut, Stephen memastikan bahwa kerjasama dengan Kementan melalui dukungan USAID akan terus dilanjutkan melalui program Global Health Security (GHS) yang akan dimulai pada tahun 2020. “Proyek GHS Indonesia ini akan berfokus pada peningkatan kapasitas di empat bidang yaitu: a) Surveilans penyakit dan identifikasi risiko; b) Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis dan PIB; c) Sistem Diagnostik Laboratorium; dan d) Mitigasi Resistensi Antibiotik (AMR) dan Penggunaan Antibiotik (AMU),” pungkas Stephen. (CR)

KEMENTAN KENDALIKAN FLU BURUNG, FAO BERI APRESIASI



James McGrane, Team Leader FAO ECTAD Indonesia dan I Ketut Diarmita (Foto: Humas Kementan) 

Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO) memberikan apresiasi kepada Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan) yang telah berhasil dalam pelaksanaan pengendalian dan penanggulangan penyakit Avian Influenza (AI) atau yang lebih dikenal sebagai Flu Burung (FB). Hal tersebut disampaikan oleh Stephen Rudgard, FAO Representative for Indonesia and Timor Leste melalui suratnya kepada I 
Ketut Diarmita, Dirjen PKH, Kementan, Jumat (19/07).

Penyakit AI atau FB adalah penyakit yang disebabkan oleh virus influenza yang menyerang semua jenis unggas domestik termasuk ayam, bebek, dan burung puyuh, serta diketahui dapat menyebabkan tingkat kematian yang tinggi.

Flu burung merupakan salah satu dari 15 penyakit hewan yang dapat ditularkan ke manusia (Zoonosis) prioritas untuk dikendalikan bagi Pemerintah. Indonesia tertular virus flu burung sejak tahun 2003 yang menyebar ke beberapa wilayah dalam beberapa tahun saja. Dalam rangka melindungi kesehatan manusia dan produksi ternak unggas di Indonesia, pemerintah gencar melakukan program pengandalian dan penanggulangan flu burung. Berdasarkan data Kementan, angka tahunan kasus FB turun dari 2751 pada tahun 2007 ke 476 pada tahun 2018.

Atas pencapaian dalam pengendalian dan penanggulangan FB tersebut, James McGrane, Team Leader FAO ECTAD Indonesia mewakili Stephen memberikan penghargaan kepada Ketut atas kepemimpinannya dalam pelaksanaan program.

"Sir, your leadership has inspired Indonesia to protect the community from zoonotic disease threats. Thank you for your great partnership!" Atau "Pak, kepemimpinan Anda telah menginspirasi Indonesia untuk melindungi masyarakat dari ancaman Zoonosis. Terima kasih atas kemitraan yang hebat!"


Demikian pernyataan Stephen dan James yang ditulis pada foto/lukisan yang diserahkan kepada Ketut. Pada kesempatan tersebut, FAO Indonesia melalui James juga menyerahkan surat pernyataan apresiasi yang senada untuk Dirjen PKH tersebut.

“FAO telah mendukung program Kementan dalam pengendalian dan penanggulangan FB sejak tahun 2006. Sepanjang kerjasama selama 13 tahun ini, kami mengapresiasi angka kasus penyakit flu burung yang terus menurun,” kata James.

Ketut mewakili Kementan juga menyampaikan apresiasinya kepada FAO atas kontribusinya dalam meningkatkan kapasitas pengendalian dan penanggulangan zoonosis, khususnya FB di Indonesia. 
Menurutnya, banyak keberhasilan yang telah diperoleh dalam kerangka kerjasama Pemerintah Indonesia-FAO dengan dukungan USAID ini.

Lanjut Ketut, pada saat ini pengendalian dititikberatkan pada peningkatan biosekuriti pada peternakan dan sertifikasi kompartemen bebasAI, dan pemantauan dinamika virus AI yang beredar di lapangan untuk tujuan produksi dan penggunaan vaksin yang efektif dalam melindungi peternakan.

"Implementasi strategi ini berhasil menekan kasus flu burung di peternakan rakyat, juga memberikan sertifikasi kompartemen bebas AI bagi peternakan komersial. Keberhasilan sertifikasi tersebut membuat produk unggas Indonesia dapat diekspor ke beberapa negara," pungkasnya. (Rilis/INF)

INDONESIA SIAP TEMPUR HADAPI FALL ARMYWORM

Jagung merupakan salah satu bahan baku pakan sumber energi dalam formulasi pakan unggas. Hingga kini Indonesia masih berusaha meningkatkan produksi jagung dalam negeri dengan berbagai cara, termasuk memberantas hama perusak jagung.

Salah satu hama perusak tanaman jagung yakni Fall Armyworm (Ulat Grayak Jagung). Serangga hama ini menyerang, merusak bahkan menghancurkan tanaman seperti jagung dan tanaman lainnya hanya dalam semalam. Ulat Grayak Jagung mampu bermigrasi (menyebar) ratusan kilometer dan menjadi peringatan bagi petani kecil bahwa mata pencahariannya terancam. Namun demikian Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menegaskan bahwa kerusakan yang diakibatkan oleh Ulat Grayak Jagung dapat dikurangi.

Fall Armyworm pertama kali terdeteksi di Indonesia pada bulan Maret 2019 di Provinsi Sumatra Barat. Dalam waktu 4 bulan, mereka telah menyebar ke dua belas provinsi di Indonesia yaitu di Pulau Sumatra, Jawa dan beberapa wilayah Kalimantan. Kementerian Pertanian telah menghimpun informasi tentang kerugian dari tanaman yang terinfeksi oleh hama tersebut.

Direktorat Perlindungan Tanaman di Kementerian Pertanian menghimbau semua provinsi untuk mewaspadai serangan Ulat Grayak jenis baru dari spesies Spodoptera frugiperda. Di lapangan, petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) berupaya meningkatkan kesadaran petani di daerah yang terkena dampak, dan bersama-sama mereka memantau perkebunan yang dirserang.

“Kami memantau dengan seksama pergerakan Fall Armyworm di Indonesia. Petugas POPT, dan kami telah bekerja di lapangan bersama para penyuluh untuk memberi edukasi, saran dan solusi kepada petani tentang cara melindungi tanaman serta mengurangi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh serangan ini. Kami mengantisipasi bahwa serangan Ulat Grayak ini akan menginfeksi pertanaman jagung di seluruh Indonesia dalam beberapa bulan mendatang”, kata Edy Purnawan, Direktur Perlindungan Tanaman.

Ulat Grayak Menyerang Jagung


Invasif, Ganas dan Terus Berkembang Biak.

Aslinya, Fall Armyworm adalah hama tanaman dari Amerika. Namun, sejak 2016 mereka telah bergerak agresif ke arah timur, menyapu Afrika, dan mendarat pertama kali di Asia pada pertengahan 2018 di India. Sejak itu mereka menyebar ke Bangladesh, Cina, Myanmar, Sri Lanka, Thailand sebelum tiba di Indonesia. Dalam kasus serangan yang terjadi di Sri Lanka, ada laporan bahwa hingga 40.000 hektar perkebunan telah diserang, merusak sekitar 20% tanamannya. Cina yang juga produsen jagung terbesar di Asia, dan produsen terbesar kedua di dunia juga dibuat ketar – ketir dengan serangan Ulat Grayak tersebut.

Sementara itu kerugian ekonomi di belahan bumi lainnya termasuk negara-negara Asia belum dihitung, diperkirakan kerusakan ekonomi akibat serangan hama tersebut di Afrika berkisar antara US $ 1-3 miliar. Menanggapi serangan Fall Armyworm yang datang tiba-tiba di Asia, FAO telah mengadakan pertemuan dengan para pejabat dari berbagai Negara di seluruh wilayah pada bulan Maret, dan membawa para pakar yang telah menangani hama di Afrika dan Amerika Latin dan mempelajari cara-cara untuk membatasi kerusakannya.

Di Indonesia, FAO mendukung Pemerintah untuk menanggapi wabah dan mencari strategi tepat untuk merespons serangan dengan mengerahkan sumber daya secara optimal. “Pemerintah akan mengorganisir lokakarya nasional bekerjasama dengan FAO pada akhir Juli untuk menyepakati tindakan lintas stakeholder paling efektif untuk menanggapi serangan ini. Kami memanfaatkan pelajaran dari negara-negara lain ketika menanggapi serangan di negara mereka sendiri  sebagai praktik terbaik untuk memperlambat penyebaran dan membatasi kerusakan" kata Stephen Rudgard, Perwakilan FAO di Indonesia.

Setelah serangan hama terverifikasi dengan baik, pemerintah akan memperkuat upaya untuk terus meningkatkan kesadaran dan memantau keberadaan dan penyebaran Fall Armyworm pada jagung dan tanaman lainnya.

Praktik Terbaik untuk Mengurangi Kerusakan

Hingga kini, FAO telah bekerja dengan otoritas terkait untuk memprakarsai program kesadaran yang menginformasikan dan melatih petani tentang teknik pengelolaan hama terpadu yang akan sangat bermanfaat untuk mengendalikan Ulat Grayak jenis baru. Terrmasuk di dalamnya mengidentifikasi musuh alami dari Fall Armyworm, meningkatkan kontrol biologis alami dan kontrol mekanis, seperti menghancurkan massa telur dan menggunakan penggunaan biopestisida.

Untungnya Indonesia memiliki banyak musuh alami hama ini dalam mengurangi infestasi lebih lanjut. Satu studi dari Ethiopia menemukan bahwa ada satu parasit tawon yang dapat membunuh hampir setengah dari populasi Ulat Grayak dalam waktu dua tahun sejak kedatangannya di negara tersebut. Tentunya ini akan coba dimaksimalkan dalam teknink pengendalian hama Ulat Grayak.

Penggunaan pestisida kimia perlu dipertimbangkan dengan sangat hati-hati, mengingat bahwa ulat terlindung dari semprotan karena mereka bersembunyi jauh di dalam dedaunan tanaman. Selain itu perlu dipikirkan bahwa pestisida kimia apapun itu dapat memiliki efek negatif pada musuh alami dan bahkan kesehatan manusia serta hewan lainnya.

Jika langkah-langkah efektif diberlakukan, efek negatif dari serangan Fall Armyworm dapat dikurangi dengan jumlah populasi dipertahankan pada level yang cukup rendah untuk membatasi kerusakan ekonomi dan mata pencaharian petani. (FAO/CR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer