Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Ayam Broiler Adalah | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MANAJEMEN BROODING UNTUK TEKAN RISIKO NE

Menjaga kesehatan saluran pencernaan bukan perkara mudah, sebab terdapat sejumlah penyakit yang senantiasa mengancam. (Foto: Istimewa)

Masa brooding menjadi fase yang sangat krusial dan menjadi penentu keberhasilan dalam pemeliharaan broiler. Hal ini cukup beralasan karena pada masa ini terjadi proses perbanyakan sel (hiperplasia) dan perkembangan sel (hipertropi) yang sangat cepat pada organ penting anak ayam.

Di sisi lain pada masa brooding, sistem termoregulasi (pengaturan suhu tubuh) anak ayam belum berkembang sempurna, sehingga tugas peternak adalah menciptakan lingkungan yang nyaman dan sesuai kebutuhan anak ayam.

Head of Unit Madiun BroilerX, Drh Nanang Seno Utomo, mengatakan bahwa manajemen brooding menjadi penentu keberhasilan performa broiler. Terdapat lima titik kritis yang harus benar-benar diperhatikan peternak, di antaranya manajemen pakan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan, dan air minum.

“Terkait pakan saya sarankan untuk menggunakan pakan starter berbentuk fine crumble. Dengan ukuran kecil akan lebih memudahkan anak ayam berkenalan dengan pakan. Pemberian pakan harus diberikan dengan segera setelah DOC datang, secara cukup baik tempat, jumlah, dan kualitasnya,” ujar Nanang saat menjadi narasumber dalam acara webinar Indonesia Livestock Club (ILC) edisi Ke-31, beberapa waktu lalu yang bertajuk “Manajemen Brooding untuk Menekan Risiko Penyakit Necrotic Enteritis”.

Ia menambahkan, “Dengan segera mengonsumsi pakan, usus ayam bisa segera tergetak dan reseptor usus segera mengenal pakan, sehingga vili-vili dapat tumbuh maksimal dan saluran pencernaan bisa berkembang dengan baik.”

Mengenai manajemen pakan, Nanang melihat bahwa penting untuk mengatur tata letak jalur pakan dan minum agar mudah dijangkau ayam. Penempatan tempat pakan/feeder tube harus sedikit lebih rendah dari tembolok ayam jika ayam berdiri tegak. Kemudian untuk memberi stimulasi ayam agar makan, maka pakan harus tetap tersedia dan terus ditambah (top dress). Hal ini bertujuan agar pakan yang tersedia tetap segar. Selanjutnya dalam 6-8 jam, sekitar 95% DOC harus sudah makan dan minum. Hal ini bisa dilihat dengan mengecek tembolok, minimal 1% dari populasi yang tersebar di berbagai titik kandang.

“Titik kritis selanjutnya adalah manajemen temperatur. Hal yang wajib dipahami adalah suhu internal anak ayam harus dipertahankan pada 40,4-40,6° C. Apabila di bawah 40° C akan terlalu dingin dan apabila melebihi 41° C maka akan panting. Lantas bagaimana manajemen temperatur? Jadi sebelum memasukkan DOC, kita harus melakukan pre-heating pemanas radian dengan target suhu lantai antara 32-35° C . Suhu lantai yang tidak tercapai akan membuat anak ayam tidak nyaman, feed intake turun dan kurangnya aktivitas,” jelasnya.

Kemudian, suhu rektal anak ayam harus dicek dengan standar rentang suhu antara… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2023. (INF)

MENJAGA AGAR PENYAKIT TIDAK KEMBALI

Biosekuriti harus selalu diterapkan secara ketat. (Foto: Istimewa)

Jika bicara prediksi tentunya tidak akan 100% akurat. Semua masih tergantung pada Tuhan Yang Maha Esa yang. Namun begitu, tidak ada salahnya memperkirakan dan sedikit “meramal” apa yang akan terjadi di tahun depan sembari mengambil ancang-ancang agar lebih siap.

Jangan Lengah dengan Penyakit Residivis
Tony Unandar selaku konsultan perunggasan melihat selama ini penyakit unggas yang terjadi di lapangan masih itu-itu saja, berbeda musim memang penyakitnya juga berbeda, tetapi penyakit yang muncul tetap sama.

“Kalau bisa dibilang kita masih berkutat dengan yang lama dan monoton begitu-begitu saja dan faktor yang sangat genting untuk diperbaiki adalah pola pemeliharaan dari peternak kita,” kata Tony.

Jikalau tidak ada upaya perbaikan dalam hal ini sesegera mungkin, bukan hanya kasus penyakit yang terus berulang akan terjadi, tetapi tingkat keparahannya maupun jenis penyakit baru akan bertambah di masa depan.

“Saya beri contoh yang simpel, pernah lihat panen di kandang semuanya langsung diangkut? Enggak kan? Jangankan di peternakan kecil, yang besar juga ada yang begitu. Padahal bagusnya all in all out. Lalu kira-kira berapa persen peternakan di Indonesia ini yang biosekuritinya baik? Mayoritas jelek atau baik? Saya tanya begitu saja kita langsung tersenyum kecut,” ucap Tony kepada Infovet.

Tony juga berujar bahwa sebaik-baiknya obat baru yang ditemukan, sebaik-baiknya riset di bidang penyakit hewan, dan secanggih-canggihnya teknologi berkembang, bila tidak dibarengi dengan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2023.

Ditulis oleh:
Drh Cholillurahman
Redaksi Majalah Infovet

CURIGA AYAM STRES? BEGINI INDIKATORNYA

Faktor performa produksi dan pertumbuhan ayam akan sangat baik jika ayam merasa nyaman dan terhindar dari stres. (Foto: Dok. Infovet)

Layaknya manusia, hewan ternak khususnya ayam juga dapat mengalami stres. Bahkan beberapa pakar menyatakan bahwa ayam ras kekinian, meskipun memiliki performa produksi yang tinggi, juga memiliki kecenderungan lebih mudah stres.

Seiring dengan berkembangnya zaman dan teknologi, dunia pembibitan ayam ras pun ikut berkembang. Bayangkan pada 1970-1980-an, ayam broiler mencapai bobot badan 1 kg setelah melalui sekitar 70-80 hari pemeliharaan. Namun kini, ayam broiler dapat mencapai bobot yang sama bahkan lebih hanya dalam kurun waktu 30 hari.

Namun begitu diakui bahwasanya tendensi ayam broiler kekinian terhadap cekaman dan stres cenderung tinggi. Kondisi stres merupakan hal penting yang harus diketahui oleh dokter hewan, hal ini karena stres dapat melemahkan sistem imun ayam dan akan berimbas panjang ke depannya. Oleh karena itu, faktor performa produksi dan pertumbuhan ayam akan sangat baik jika ayam merasa nyaman dan terhindar dari stres.

Sebagaimana diketahui bersama, banyak sekali faktor penyebab stres, antara lain fisiologis, nutrisi, lingkungan, suhu dan iklim, sosial, fisik, serta tekanan psikologis. Secara teknis, hormon kortikosteron dilepaskan oleh kelenjar adrenal ketika ayam menghadapi stres.

Hal ini sebenarnya membantu ayam mengatasi stres, tetapi pada saat yang sama menyebabkan efek yang tanpa disadari mempengaruhi tubuh ayam. Setiap kali ayam berada dalam kondisi stres, ada pelepasan glukosa yang cepat ke dalam darah yang mengakibatkan penipisan glikogen atau cadangan gula yang tersimpan di hati dan otot, kemudian terjadi peningkatan pernapasan, perubahan sistem hormon yang menyebabkan perubahan kimia seperti perubahan tingkat pH di usus yang pada gilirannya mengganggu keseimbangan mikroflora di usus, sehingga menyediakan lingkungan yang cocok untuk beberapa jenis mikroba yang berpotensi mengakibatkan penyakit.

Peningkatan hormon stres juga mendorong pembentukan dan peningkatan radikal bebas dalam tubuh. Radikal bebas bereaksi dengan oksigen sehingga suplai oksigen dalam tubuh terganggu, tentunya ini sangat merugikan. Walau banyak yang mengetahui hal ini, namun masih tak sedikit yang kebingungan bagaimana mengidentifikasi stres berdasarkan kondisi fisik ayam.

Mengenali Tanda Stres
Secara umum kondisi visual yang terjadi pada ayam stres yakni terjadi perubahan pada bulu sayap dan bentuk kotoran. Sangat penting bagi peternak dan dokter hewan untuk dapat mengenali tanda stres dalam mengevaluasi tata cara pemeliharaan apakah sudah cukup nyaman bagi ayam.

Mengapa perubahan bulu bisa dijadikan indikator kondisi ayam sedang mengalami stres?

• Pertumbuhan bulu berlangsung sangat cepat dan mudah dilihat (bulu sayap).

• Komponen bulu sebagian besar adalah protein (β-keratin).

• Perubahan fisik bulu yang abnormal menggambarkan alokasi nutrisi protein dalam keadaan tertentu (kondisi stres). Tentunya stres akan menimbulkan “cost” nutrien tertentu. Dalam hal ini alokasi protein yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan bulu akan dialokasikan untuk hal lain seperti sistem imun ayam, terlebih bila saat muncul cekaman/stres.

Karakteristik bulu sayap pada ayam yang normal sehat tanpa mengalami stres akan terlihat rapih dengan struktur bulu yang utuh, tanpa kerusakan, bersifat kedap air dan tidak pecah. Setiap kali ayam yang mengalami kondisi stres berat, akan terlihat “stress marking” pada bulu (terutama di bagian vane). Stress marking berawal dari ujung bulu, hal ini akan bersifat permanen dan membekas selama beberapa waktu sesuai umur ayam.

Jika ayam hanya mengalami satu kondisi stres, maka hanya akan muncul satu stress marking, begitupun jika ayam mengalami beberapa kali kondisi stres, maka stress marking yang muncul juga lebih dari satu alias multiple. Penilaian signifikansi stress marking dilakukan dengan metode sampling kira-kira 10-20 ekor ayam. Jika dari sampel tadi ditemui 50% atau lebih stress marking, maka dapat disimpulkan kondisi stres signifikan terjadi.

Namun jika kurang dari 50%, maka dapat dikatakan kondisi stres masih dapat ditoleransi. Meskipun dibutuhkan perbaikan dalam hal teknis manajemen pemeliharaan, seperti membuat suhu dan menjadi lebih stabil sesuai standar dan perbaikan densitas kandang. Yang lebih baik adalah jika tidak ditemukan sama sekali stress marking, maka dapat dikatakan manajemen pemeliharaan yang diterapkan sudah baik dan benar.

Berkaca pada kenyataan di lapangan, secara umum biasanya ada saja individu ayam yang bereaksi terhadap kondisi tertentu, dimana sebagaian ayam lainnya tidak meresponnya sebagai kondisi cekaman/stres. Sehingga acuan jumlah sampel dalam mengidentifikasi hadirnya cekaman stres sangat penting diperhatikan.

Sebagai pertimbangan, stress marking yang muncul diumur 7-10 hari menunjukan manajemen brooding yang belum baik dan harus diperbaiki pada periode selanjutnya. Jika ayam tidak menunjukan stress marking diumur tersebut, maka manajemen brooding yang diaplikasikan sudah baik.

Bentuk Fisik Stress Marking, Seperti Apa?
Di bawah ini sedikit penulis jabarkan bentuk fisik bulu pada ayam yang mengalami stres alias stress marking:

• Jika stress marking berbentuk garis zona kosong akibat struktur hooklet, “barbule” dan “barb” tidak tumbuh sempurna. Hal ini masuk pada kondisi stres derajat sedang. Jika hanya terlihat garis zona kosong tipis atau samar, berarti ayam telah mengalami stres ringan. Sedangkan jika terlihat garis zona kosong lebar, berarti ayam telah mengalami kondisi stres sedang.

• Pada stress marking berbentuk segitiga kosong seperti dipotong pada bagian vane, bentukan ini dapat dikatakan bahwa ayam berada dalam kondisi stres derajat berat.

• Sedangkan jika stress marking berbentuk pecah-pecah layaknya serpihan, dimana antar struktur barbules tidak membentuk ikatan dengan barbules lainnya, artinya ayam mengalami stres yang disertai problem kesehatan atau kondisi sakit.

(A) Ayam mengalami kondisi stres karena masalah kesehatan/penyakit. (B) Ayam berada dalam kondisi stres berat (terdapat bulu-bulu yang patah). (C) Ayam mengalami stres pada minggu pertama akibat kegagalan manajemen brooding.

Deteksi Dini = Bermanfaat
Dengan melakukan identifikasi dini stres melalui bulu, peternak dapat melakukan evaluasi program pelaksanaan pemeliharaan ayam dikandangnya. Jika ditemukan banyak stress marking pada bulu, berarti ada hal yang harus segera dikoreksi agar pertumbuhan ayam tidak mengalami gangguan.

Sekali lagi penulis ingatkan bahwa penyebab stres di kandang harus diketahui oleh peternak, anak kandang, dan dokter hewan penanggung jawab kandang. Jika dapat mengidentifikasinya, maka dapat menantisipasi langkah selanjutnya. Begitupun sebaliknya, ketidakpahaman tentang kondisi stres yang terjadi akan berpotensi menyebabkan masalah kesehatan pada ayam.

Jangan lupa pula melakukan monitoring secara terus-menerus dan senantiasa mengevaluasi tata laksana pemeliharaan demi menjamin keberhasilan dalam usaha ternak ayam. ***

Oleh: Drh Jumintarto Oyiem, Praktisi Perunggasan
Dirangkum oleh: Drh Cholillurahman (Redaksi Majalah Infovet)

RAGAM PENYAKIT YANG MENGHAMPIRI & BAGAIMANA PREDIKSINYA

Ayam mengalami gangguan akibat serangan penyakit. (Foto: Istimewa)

Banyak masalah yang merintangi budi daya perunggasan, mulai dari cost pakan hingga kesehatan hewan. Penyakit merupakan salah satu makanan sehari-hari yang tentu dihadapi oleh peternak unggas. Pasalnya ketika penyakit menyerang, akan dibutuhkan cost tambahan dalam biaya produksi.

Baik penyakit yang sifatnya infeksius maupun non-infeksius semuanya bisa jadi biang keladi kerugian bagi peternak. Menarik untuk dicermati ragam penyakit yang menghampiri di tahun ini dan bagaimana prediksinya ke depan.

Yang Terjadi Bisa Diprediksi
Dinamika penyakit unggas di Indonesia sangat menarik untuk dicermati. Pola penyakit yang berulang, membuat berbagai pihak tertarik untuk memprediksinya. Namun begitu, tidak bisa sembarangan dalam menerka dinamika penyakit unggas, perlu digunakan pendekatan tertentu dan pengumpulan data yang apik agar dapat memprediksinya.

Salah satu perusahaan kesehatan hewan yang rutin memprediksi penyakit unggas yakni PT Ceva Animal Health Indonesia. Mereka rutin menyajikan data dan memprediksi penyakit unggas dalam beberapa tahun terakhir di negara tempat mereka beroperasi, salah satunya Indonesia. Hal tersebut disampaikan oleh Veterinary Service Manager PT Ceva Animal Health Indonesia, Drh Fauzi Iskandar.

“Kami berkiblat pada Ceva Global, dimana di situ ada program yang namanya GPS (Global Protections Services). Bentuk dari program tersebut yakni awareness, monitoring, dan troubleshooting. Hal ini kami lakukan sebagai bentuk servis kami kepada para customer Ceva dan sudah kami lakukan sejak 2018,” tutur Fauzi.

Lebih lanjut dijabarkan mengenai data penyakit unggas yang terjadi di 2023. Dimana Ceva secara rutin mengunggahnya di website mereka sehingga dapat memudahkan peternak, praktisi dokter hewan, bahkan khalayak umum dapat mengaksesnya. Data tersebut diunggah secara berkala setiap bulannya.

Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan Ceva melalui program GPS, sampai Desember 2023 setidaknya ada lima penyakit yang dominan menjangkiti peternakan ayam broiler maupun petelur. Kelima penyakit tersebut yakni IBD (gumboro) 12%, chronic respiratory disease (CRD) 11%, dan newcastle disease (ND) 11%.

Pada ternak broiler, serangan ND masih mendominasi sebanyak 14% kasus, IBD 12%, dan CRD 12%. Sedangkan pada ayam petelur kejadian kasus... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2023.

Ditulis oleh:
Drh Cholillurahman
Redaksi Majalah Infovet

POTRET PENYAKIT UNGGAS KINI DAN NANTI

Ternak ayam broiler. (Foto: Istimewa)

Selama 2023, banyak informasi dari para dokter hewan lapangan PT Romindo (Veterinary Representative) di seluruh Indonesia, yang melaporkan bahwa kasus penyakit ND (newcastle disease), IBD (infectious bursal disease), SHS (swollen head syndrome), CRD, NE, coryza, NE, kolera, dan kolibasilosis kejadiannya selalu tinggi setiap bulan. Selain itu, penyakit yang dipicu oleh mikotoksikosis dan kondisi heat stress juga dilaporkan tinggi dan terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Sebelum lebih jauh membahas penyakit-penyakit di atas, akan dijelaskan tentang faktor-faktor yang menyebabkan imunosupresi pada ayam, karena faktor tersebut sangat erat kaitannya dengan terjadinya penyakit-penyakit pada ayam.

Kasus penyakit ayam umumnya terdiri atas penyakit primer dan sekunder, meskipun tidak menutup kemungkinan kasus yang terjadi merupakan gabungan dari beberapa penyakit primer dan sekunder yang menyebabkan penyakit komplikasi/kompleks. Penyakit primer yang dimaksud di sini adalah penyakit yang disebabkan karena jumlah tantangan agen penyakit yang tidak dapat diatasi oleh sistem pertahanan tubuh ayam, sedangkan penyakit sekunder yang dimaksudkan di sini adalah penyakit yang disebabkan melemahnya sistem pertahanan tubuh ayam (imunosupresi), sehingga memudahkan terjadinya infeksi agen penyakit lain.

Imunosupresi merupakan suatu kondisi dimana terjadi penurunan reaksi pembentukan zat kebal tubuh atau antibodi akibat kerusakan organ limfoid. Dengan adanya penurunan jumlah antibodi dalam tubuh, maka agen-agen penyakit akan lebih leluasa masuk dan menginfeksi bagian tubuh sehingga timbul gangguan pertumbuhan dan produksi. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh ayam antara lain rusaknya organ limfoid primer ataupun sekunder karena infeksi virus dan mikotoksin, rusaknya organ limfoid sekunder karena infeksi bakterial, stres yang memengaruhi fungsi organ limfoid primer, serta efek nutrisi dan manajemen yang dapat memengaruhi organ limfoid primer maupun sekunder. Oleh sebab itu, untuk mengoptimalkan sistem pertahanan tubuh, organ limfoid penghasil sistem kekebalan tubuh harus dijaga.

Terjadinya kondisi imunosupresi disebabkan kerusakan dan terjadinya gangguan fungsi organ limfoid, baik organ limfoid primer maupun sekunder. Penyakit yang merusak struktur dan fungsi organ limfoid primer di antaranya mikotoksikosis, gumboro, mareks, infeksi reovirus, infeksi chicken anemia, dan infeksi ALVJ. Sedangkan penyakit yang dapat merusak struktur dan fungsi organ limfoid sekunder adalah… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2023.

Ditulis oleh:
Drh Bayu Sulistya
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
JL. DR SAHARJO NO. 264, JAKARTA
Tlp: 021-8300300

OPTIMALISASI SBM SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN

Optimalsasi SBM untuk pakan ternak. (Sumber: neighborwebsj.com)

Pakan merupakan komponen penting dengan cost tertinggi dalam usaha budi daya peternakan termasuk unggas. Hampir 70% komposisi biaya dalam beternak berasal dari pakan, oleh karena itu sangat penting untuk menekan cost pakan agar budi daya lebih efisien.

Namun begitu tidak mudah rasanya mengefisienkan harga pakan. Terlebih banyak keluhan dari para produsen pakan terkait kenaikan harga beberapa jenis bahan baku pakan misalnya Soybean Meal (SBM) yang umum digunakan dalam formulasi pakan di Indonesia. Belakangan diketahui bahwa harga SBM di lapangan mengalami kenaikan.

Memaksimalkan Utilisasi Protein
Prof Komang G. Wiryawan, staf pengajar Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB University, mengingatkan akan pentingnya efisiensi dalam suatu formulasi ransum. Menurutnya, pemilihan bahan baku yang digunakan dalam ransum harus mengandung nutrisi yang seimbang dengan nilai energi metabolisme yang cukup untuk ternak pada tiap fasenya. Energi ini dihasilkan oleh berbagai macam komponen, mulai dari protein, karbohidrat, lemak, dan lain sebagainya.

Pada ransum unggas yang lazim digunakan sebagai sumber energi biasanya jagung, sedangkan fungsi SBM yakni sebagai sumber protein (asam amino). Namun begitu, protein yang terkandung dalam SBM jika tidak termanfaatkan dengan baik oleh ternak, akan menghasilkan gas yang berbahaya, karena SBM banyak mengandung Non-Starch Polisacharide (NSP) yang tersisa, senyawa itu akan dicerna bakteri, jika bakterinya bersifat patogen maka akan mengancam kesehatan saluran pencernaan ternak.

“Jadi kuncinya bagaimana kita memaksimalkan utilisasi protein yang ada dari bahan baku. Tepung ikan, SBM, itu sumber protein, memang pemakaiannya tidak sebesar jagung, tapi jika tidak tepat penggunaannya bisa menyebabkan masalah juga. Terlalu banyak tidak baik, begitupun jika terlalu sedikit,” tutur Komang.

Biasanya lanjut dia, di dalam suatu bahan baku pakan ada hal yang menghambat utilisasi zat dari bahan baku tersebut. Seperti yang disebutkan di atas, NSP merupakan gugusan karbohidrat yang membuat utilisasi protein dalam SBM kurang maksimal. NSP tidak dapat dicerna secara maksimal oleh unggas, oleh karenanya dibutuhkan alat bantu yang dapat memecahnya agar sumber nutrisi dari NSP dapat dicerna.

“Kita tahu bahwa biasanya digunakan enzim untuk memecah struktur kimia yang rumit. Kita sudah tentu mengenal atau minimal mendengar nama-nama enzim seperti xylanase, protease, beta-mannanase, dan lainnya. Nah, fungsinya diantaranya yaitu memecah struktur yang tidak tercerna menjadi bermanfaat bagi ternak,” jelasnya.

Penggunaan Enzim untuk Maksimalkan Nutrisi Pakan
Campur tangan teknologi sudah bukan barang baru dalam dunia formulasi pakan, terutama dalam mengefisienkan suatu ransum. Seperti yang tadi dijelaskan, salah satu hal yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan nilai nutrisi dari bahan baku adalah penggunaan enzim. Dalam pakan ternak, penggunaan enzim sebenarnya sudah dilakukan sejak lama.

Enzim merupakan senyawa yang berfungsi sebagai katalisator reaksi kimia. Katalisator adalah suatu zat yang mempercepat reaksi kimia, tetapi tidak mengubah keseimbangan reaksi atau tidak mempengaruhi hasil akhir reaksi.

Hal inilah yang digadang-gadang bahwa enzim bisa menjadi salah satu bahan alternatif yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas pakan ternak, sehingga manusia yang mengonsumsi hasil ternak, maupun lingkungan aman.

Meskipun di dalam tubuh makhluk hidup enzim dapat diproduksi sendiri (endogenous) sesuai kebutuhan, penambahan enzim dalam formulasi pakan kini sudah menjadi suatu hal yang lazim dilakukan para produsen pakan. Enzim di dalam formulasi pakan memiliki beberapa fungsi, menurut Bedford dan Partridge (2011) di antaranya:

• Memecah faktor anti-nutrisi yang terdapat dalam campuran pakan. Kebanyakan dari senyawa tersebut tidak mudah dicerna oleh enzim endogenous, sehingga dapat mengganggu pencernaan ternak, contoh tanin, saponin dan lain-lain.

• Meningkatkan ketersediaan pati, protein dan garam mineral yang terdapat pada dinding sel yang kaya serat, karena itu tidak mudah dicerna oleh enzim pencernaan sendiri atau terikat dalam ikatan kimia sehingga ternak tidak mampu mencerna.

• Merombak ikatan kimia khusus dalam bahan baku pakan yang biasanya tidak dapat dirombak oleh enzim yang dihasilkan ternak itu sendiri.

• Sebagai suplemen tambahan dari enzim yang diproduksi oleh ternak muda, dimana sistem pencernaannya belum sempurna sehingga enzim endogenous kemungkinan belum mencukupi.

Utilisasi SBM dengan Enzim
Hal tersebut juga diamini oleh Technical Director dari Industrial Tecnica Pecuaria, S.A (ITPSA) Spanyol, Dr Josep Mascarell. Menurutnya, berdasarkan hasil riset oleh para ahli, asam amino yang terkandung dalam SBM lebih seimbang dan beberapa di antaranya tidak dapat ditemukan dalam tanaman lain.

Selain itu, Josep menilai bahwa utilisasi dari SBM dalam sebuah formulasi pakan belum termaksimalkan dengan baik. Terlebih lagi di masa sekarang ini, dimana efisiensi adalah sebuah keharusan dan peternak dihadapkan dengan berbagai macam tantangan dalam budi daya.

“Tantangan di masa kini semakin kompleks, produsen pakan harus berlomba-lomba dalam menciptakan pakan yang murah, efisien, tetapi juga berkualitas. Oleh karena itu, dibutuhkan kustomisasi yang tepat dalam formulasi untuk melakukannya,” tutur Josep.

Di kawasan Asia mayoritas formulasi pakan ternak didominasi oleh jagung, tepung gandum, dan SBM sebagai bahan baku utama. Dalam SBM ternyata terdapat kandungan zat anti-nutrisi berupa α-galaktosidase (αGOS). Zat tersebut dapat menyebabkan timbunan gas dalam perut, penurunan absorpsi nutrien, peradangan pada usus dan rasa tidak nyaman pada ternak.

Hal ini tentunya akan membuat ternak stres dan menyebabkan turunnya sistem imun. Energi dari pakan yang seharusnya dapat dimaksimalkan untuk performa dan pertumbuhan justru terbuang untuk menyusun sistem imun yang menurun. Oleh karenanya, dibutuhkan substrat yang dapat menguraikan α-galaktosidase untuk memaksimalkan utilisasi energi dari SBM.

Menurut Josep, di masa kini penggunaan enzim dalam formulasi pakan adalah sebuah keniscayaan. Penambahan enzim eksogen dapat membantu meningkatkan kualitas pakan, meningkatkan kecernaan nutrien (NSP, protein dan lemak), memaksimalkan utilisasi energi pakan dan yang pasti mengurangi biaya alias efisiensi formulasi.

ITPSA telah melakukan riset selama 20 tahun lebih dalam hal ini. Setelah melalui serangkaian riset dihasilkanlah produk enzim serbaguna yang dapat membantu memaksimalkan formulasi pakan terutama yang berbasis jagung, tepung gandum dan SBM.

Berdasarkan hasil trial, formulasi ransum dengan komposisi utama jagung, SBM dan tepung gandum akan lebih termaksimalkan utilisasi proteinnya dengan menambahkan kombinasi enzim α-galaktosidase dan xylanase. Hasilnya pada ternak terlihat pada tabel berikut:

Kenaikan Kecernaan (Broiler) dengan Penggunaan Enzim α-galaktosidase dan Xylanase

Kenaikan Kecernaan (Babi) dengan Penggunaan Enzim α-galaktosidase dan Xylanase

Josep juga mengatakan bahwa enzim yang diberikan harus aman untuk ternak dan manusia, serta harus dapat digunakan dan dikombinasikan dengan berbagai jenis feed additive lainnya.

Dengan menambahkan enzim α-galaktosidase dan xylanase dalam formulasi pakan, tentunya akan dihasilkan performa ternak yang baik, meningkatkan kesehatan saluran pencernaan dan tentunya akan lebih menguntungkan dan efisien dalam penggunaan bahan baku. ***

Ditulis oleh:
Drh Cholillurahman
Redaksi Majalah Infovet

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer