Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

EPIDEMI AI MEMBURUK DI RUSIA DAN KAZAKHSTAN

Jutaan unggas telah dimusnahkan di Rusia dan Kazakhstan setelah beberapa kali terjadi wabah flu burung yang sangat patogen (HPAI) dalam beberapa minggu terakhir.

Kazakhstan telah kehilangan 1,2 juta unggas di 3 peternakan unggas industri. Angka ini akan lebih tinggi jika peternakan rumahan diperhitungkan. Sejauh ini, virus terutama menyerang peternakan layer.

Pers lokal melaporkan bahwa wabah AI menyebabkan kekurangan telur di ibu kota negara, Nursultan, meskipun pihak berwenang belum mengkonfirmasi pernyataan ini. Karena suhu rata-rata di daerah yang terkena dampak turun di bawah nol, wabah virus diperkirakan akan melambat dalam beberapa bulan mendatang.

Pada tahun 2020, epidemi AI membunuh 1,5 juta unggas di Rusia. Saat ini, penyakit tersebut menyebar di Siberia, menyerang industri dan peternakan rumahan. Penyakit ini juga telah menyebar ke bagian Eropa Rusia, meskipun sebagian besar wabah masih dilaporkan di Siberia.

Wabah di Oblast Kostromskaya mematikan lebih dari 14.000 unggas dan menyebabkan pemusnahan sisa kawanan 283.000 ekor. Beberapa pelaku pasar menyatakan keprihatinan bahwa berlanjutnya epidemi AI dapat berdampak pada pertumbuhan ekspor unggas Rusia, yang diperkirakan akan mencapai setidaknya dua digit tahun ini.

MENGGAGAS LUMBUNG PANGAN DAN SWASEMBADA DAGING 2026

Bincang Peternakan: Food Estate dan Swasembada Daging 2026. (Foto: Istimewa)

Keberadaan sektor pertanian di Indonesia sangat penting mengingat peranannya dalam memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk. Lemahnya permodalan dan teknologi pada sektor pertanian khususnya pada sub sektor tanaman pangan merupakan salah satu kendala bagi peningkatan produksi pangan Indonesia. 

Dalam hal pemenuhan pangan dari sumber hewani, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) terus berupaya mewujudkan swasembada daging sapi 2026. Kini, upaya untuk mewujudkan swasembada tersebut tidak sebatas hanya pada kemampuan penyediaan daging yang cukup bagi masyarakat, namun juga harus disertai dengan peningkatan kualitas konsumsi pangan masyarakat yang berbasis sumberdaya lokal.

Hal itu dibahas dalam Bincang Peternakan: Food Estate dan Swasembada Daging 2026, melalui sebuah aplikasi daring pada Minggu (15/11/2020). Webinar diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran (Fapet Unpad), Panitia Musyawarah Nasional XVI Ikatan Senat Mahasiswa Peternakan Seluruh Indonesia (ISMAPETI) dan Indonesia Livestock Alliance (ILA).

Kegiatan menghadirkan tiga narasumber penting yakni Ir Sugiono (Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak, Ditjen PKH) yang membawakan materi cara memperkuat lumbung pangan nasional, kemudian Dr Ir Andre Rivianda Daud SPt MSi IPM (Akademisi Fapet Unpad) yang membawakan materi swasembada daging di 2026, serta Dr Ir Rochadi Tawaf MS (Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia) yang membawakan materi ketersediaan daging nasional.

Dihadiri sekitar 170 peserta, bincang peternakan tersebut menjadi wahana bagi para peserta untuk dapat mengetahui, memahami dan mendalami program pemerintah yaitu food estate dan swasembada daging 2026, serta dapat menjadi bekal bagi para generasi muda yang akan berkecimpung di dunia peternakan.

Dalam kesempatan itu, Rochadi menjelaskan bahwa ketersediaan daging sapi dapat disiapkan dari produksi daging domestik dan juga impor, baik ternaknya maupun dagingnya.

“Namun yang harus dikritisi adalah impor daging kerbau asal India berdampak negatif terhadap program ketersediaan daging domestik,” kata Rochadi.

Ia mengharapkan, ketersediaan daging sapi domestik bisa difokuskan pada program breeding yang terarah.

“Pola kluster kawasan pengembangan vilagge breeding center (VBC) dan kemitraan peternak dengan industri menjadi pendukung dalam ketersediaan daging domestik ini,” katanya. (IN)

DUA MINGGU PERTAMA PEMELIHARAAN BROILER MASA KINI

Lokasi dan jumlah pemanas perlu diperhatikan saat brooding. (Foto: Infovet/Ridwan)

Membudidayakan ayam pedaging pada saat ini, tidak bisa dengan cara sambilan bila ingin mendapatkan hasil sesuai potensi genetik ayam yang dipeliharanya. Pengetahuan cara beternak dan kesungguhan dalam melaksanakan pembudidayaan ayam pedaging mutlak diperlukan, apalagi untuk mendapatkan ayam yang berproduksi baik bukanlah sesuatu yang instan, tetapi perlu usaha konsisten dan berkesinambungan, tidak kenal putus asa, serta diperlukan kreativitas tertentu.

Memang ada beberapa faktor yang menentukan pencapaian hasil akhir dari proses pemeliharaan, seperti bibit (DOC), cara pemeliharaan/tata laksana/manajemen, kesehatan dan pakan. Dimana masing-masing faktor tersebut tidak sama dalam memberi kontribusi pengaruhnya terhadap hasil akhir/performance maupun terhadap biaya pokok produksi.  Saat ini kontribusi pakan adalah jelas paling tinggi, yaitu ± 70%, kesehatan ± 6%, tata laksana/manajemen ± 12% dan bibit/DOC ± 12%.


Ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan bila memelihara ayam pedaging saat ini, diantaranya:

1. Pemeliharaan Minggu Pertama
Manajemen selama tujuh hari pertama terutama selama tiga hari pertama adalah kunci dalam pencapaian bobot badan terbaik di minggu pertama. Manajemen broiler terutama selama tujuh hari pertama dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti suhu, kelembapan, kualitas udara (kadar amonia), kualitas litter/sekam (kelembapan) dan perilaku ayam. Ada beberapa penelitian yang dapat dipakai sebagai pedoman agar pemeliharaan ayam pada minggu pertama lebih serius lagi yaitu bahwa ayam-ayam berumur muda yang kekurangan pemanas selama 45 menit, maka akan kehilangan bobot badan 135 gram pada umur 35 hari. Jika satu bagian flok mengalami kondisi tersebut maka tingkat keseragaman yang dihasilkan akan rendah.

Sebaliknya, pemanasan berlebih pada ayam-ayam berumur muda akan menekan laju pertumbuhan dan menurunkan bobot badan umur tujuh hari. Dengan perlakuan senada, jika pemanasan berlebih terjadi di satu bagian flok, maka akan dihasilkan tingkat keseragaman yang rendah pula. Kunci manajemen selama tujuh hari pertama adalah observasi dan respon terhadap kebutuhan ayam. Faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap bobot umur tujuh hari tersebut sangat penting karena mampu menurunkan konsumsi pakan. Bila ayam mengalami penundaan masuk dalam brooding sehingga ayam terlambat diberi pakan, bila penundaan itu selama 24 jam, maka pada usia 14 hari ada perbedaan pencapaian bobot ± 110 gram. Bila ayam umur tujuh hari bobotnya ± 60 gram dari standar, maka saat panen usia 42 hari juga akan berbeda dari standar ± 60 gram. Berikut ini adalah faktor-faktor utama manajemen yang mempengaruhi pencapaian bobot badan umur tujuh hari:… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi November 2020 (MAS-AHD)

IRAN MELARANG EKSPOR AYAM

Kementerian Pertanian Iran, bersama dengan Kementerian Perindustrian, Pertambangan, dan Perdagangan, telah melarang ekspor ayam karena pasar domestik menghadapi kekurangan.

Awal 2020, karena kelebihan produksi ayam, Iran untuk sementara waktu mengurangi bea ekspor ayam, yang mengakibatkan sebagian besar produksi unggas negara itu keluar dari Iran, dan meningkatkan harga domestik. Peternak unggas Iran memiliki potensi untuk meningkatkan ekspor hingga 500.000 mt daging per tahun, tetapi faktor-faktor seperti sanksi AS dan kekurangan pakan tetap menjadi kendala terbesar.

Saat ini, Iran swasembada unggas dan telur dan memiliki efektivitas produksi tertinggi di Asia Barat. Tiga negara tujuan ekspor teratas untuk ekspor unggas dalam 3 bulan pertama tahun ini adalah Afghanistan (4.116 mt), Irak (2.523 mt) dan Venezuela (246 mt). (Via poultryworld.net)

MENGHENTIKAN JALUR KOLESTEROL DAPAT MENGURANGI PENYEBARAN PENYAKIT MAREK

Para peneliti menemukan produksi dan transportasi kolesterol memainkan peran penting dalam bagaimana Marek disease virus (MDV) menginfeksi sel unggas.

Para peneliti juga menyadari bahwa menghambat protein yang terlibat dalam jalur ini dapat mengurangi replikasi dan penyebaran virus antar sel, yang dapat membuka jalan bagi antivirus dan vaksin yang mengganggu jalur kolesterol untuk mencegah virus merusak unggas.

Penyakit yang diperkirakan merugikan industri unggas global lebih dari US $ 1 miliar per tahun ini menyebabkan kanker dan penekanan sistem kekebalan. Para peneliti di Pirbright Avian Immunology Group, Inggris, meneliti secara mendalam bagaimana MDV membajak jalur kolesterol sel unggas untuk bereplikasi. Temuan yang dipublikasikan dalam Journal of Virology, menunjukkan bahwa MDV meningkatkan kandungan kolesterol sel dan meningkatkan regulasi protein yang disebabkan oleh lysosomal associated membrane protein 1+ (LAMP-1), yang mengangkut kolesterol ke seluruh sel.

Para ilmuwan juga menunjukkan bahwa LAMP-1 berinteraksi dengan protein MDV yang dikenal sebagai glycoprotein B, yang merupakan bagian integral dari replikasi virus. Ketika gen untuk LAMP-1 dimatikan, replikasi MDV dan penyebaran sel-ke-sel berkurang, mengindikasikan LAMP-1 memainkan peran penting dalam infeksi MDV. (Via poultryworld.net)

UZBEKISTAN MENINGKATKAN PRODUKSI TELUR TETAS

Perusahaan unggas Uzbek Navobod Naslli Parranda telah menjalankan kembali peternakan Tashkent untuk memenuhi permintaan telur tetas yang terus meningkat. Tashkent selama ini sudah memasok 20% telur tetas di Uzbekistan.

Tashkent dibangun sebagai peternakan unggas pada tahun 1967 dan selama beberapa tahun ini tidak beroperasi. Pada 2019 Navobod membeli peternakan di lahan seluas 50 ha itu. Navobod Naslli Parranda telah membangun kembali 45 rumah produksi, memasang peralatan impor paling modern, termasuk unit distribusi pakan dari VDL, kompleks penyortiran telur Sanovo, keduanya dari Belanda. Juga telah mengimpor Ross-308 dari Hongaria.

Pada kuartal I 2021 akan dibangun lima rumah produksi lagi. Jumlah induk akan bertambah menjadi 300.000 ekor, sehingga mampu menghasilkan 40 juta telur tetas per tahun. Navobod Naslli Parranda juga mulai mengekspor telur tetas ke beberapa bekas republik Soviet, termasuk Tajikistan, Kazakhstan, dan Kyrgyzstan. Baru-baru ini juga mulai menjual telur tetas ke Afghanistan.

Dengan proyek ini Uzbekistan tidak terlalu bergantung pada impor telur tetas yang sebelumnya hampir seluruhnya berasal dari Turki. Pada tahun 2019, pemerintah Uzbekistan memulai program baru untuk pengembangan industri, di mana pihak berwenang menghapuskan bea impor pada layer, telur tetas, semua peralatan untuk peternakan unggas, pakan dan aditif pakan pada 1 November 2021. Dana yang dikelola pemerintah untuk Rekonstruksi dan Pembangunan Uzbekistan juga mengalokasikan $50 juta untuk mendukung peternakan unggas di Uzbekistan melalui pinjaman lunak. (Via poultryworld.net)

MENGAWALI 2021 PB PDHI SEGERA TEMPATI RUMAH BARU

Sabtu, 14 November 2020, Drh Munawaroh, Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI), dalam sambutan acara webinar bertajuk "Gumboro, ND dan AI pada Layer di Peternakan Unggas Komersial Mandiri", menyampaikan rasa syukur kepada Allah SWT dan kegembiraanya karena sejak ia memangku amanah menahkodai PDHI telah didukung oleh para pengurus yang luar biasa untuk ikhlas mengabdi pada negeri di bidang profesi mulia kedokteran hewan dengan terlibat aktif di PDHI.

Pak Mun-sapaan akrabnya, juga menyampaikan akan selalu lebih menjalin komunikasi intens dengan anggota, baik para junior maupun senior-senior sejawatnya. "Saat ini PB PDHI telah menerbitkan 10.100 Kartu Anggota yang berlaku untuk seumur hidup bagi anggotanya" kata dia.

Dalam keterangan yang dirilis oleh laman: http://portal.pdhi.or.id, Munawarah menyampikan bahwa sejak berdiri PDHI 9 Januari 1953, PDHI belum memiliki tempat permanen sebagai kantor tetap PBPDHI. Namun, sejak kepengurusan baru 2018-2022 telah dicanangkan untuk mengumpulkan dana iuran bagi seluruh dokter hewan untuk memberikan sumbangan pembelian rumah PDHI untuk setiap dokter hewan wajib memberikan dana sebesar Rp 100.000 setiap tahun selama empat tahun, serta (ada sebagaian-red) sumbangan dari anggota PIDHI MVI.

"Terkumpul Rp 1,5 miliar dan Rp 500 juta dari para donatur, untuk kemudian dapat membeli kantor mandiri. Jadi inilah Rumah Baru PB PDHI," tambahnya.

Dan gedung baru di Jl. Joe No. 8A, Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan itupun telah bernama "Grha Dokter Hewan" yang selain PB PDHI, Perhimpunan Istri Dokter Hewan Indonesia (PIDHI) serta PT VIS (Veteriner Indonesia Sejahtera) dan VETNESIA (Media Komunikasi Dokter Hewan Indonesia) bermarkas.

Webinar PDHI yang kesekian kalinya itu diikuti 84 peserta yang menghadirkan dua narasumber ahli, yakni Drh Budi Tri Akoso MSc PhD dan Drh Baskoro Tri Caroko. (DS)

MANTIQUEIRA MENARGETKAN 2,5 JUTA LAYER CAGE FREE HINGGA 2025

Mantiqueira, produsen telur terbesar di Amerika Selatan, mengumumkan akan membangun 2 peternakan baru dengan total 2,5 juta layer cage free sebelum tahun 2025. 1 juta layer cage free ditargetkan dicapai pada akhir tahun 2021.

Mantiqueira yang memelihara 11,5 juta layer per tahunnya ini merupakan perintis cage free skala besar di Brasil. Perusahaan ini merupakan produsen telur terbesar ke-12 di dunia dan merencanakan investasi sebesar US $ 18,6 juta dalam 2 peternakan cage free. Satu di Cabralia Paulista dan yang lainnya di Lorena, keduanya di negara bagian Sao Paulo.

Mantiqueira mengikuti proses ketat yang berfokus pada animal welfare dan peternakan 4.0. Disediakan area pengunjung di unit Lorena bagi publik untuk memantau rutinitas produksi. Dalam sistem ini, ayam dijauhkan dari stres dan lebih nyaman. Kandang diganti dengan bangunan besar yang memberikan perlindungan dari hujan dan matahari.

Ayam terlindungi dengan baik dan berada dalam ruang ber-AC untuk mengontrol suhu. Kandang besar juga melindungi ayam dari kontak dengan hewan lain yang dapat menularkan penyakit dan menyebabkan cedera fisik.

Pencahayaan juga diatur. Ayam membutuhkan setidaknya 6 jam kegelapan terus menerus untuk tidur dan 8 jam cahaya untuk makan. Selain itu, ayam dapat bergerak dengan bebas, dapat mempertahankan perilaku alaminya seperti membuka sayap, menggaruk tanah, melompat, bahkan terbang jarak pendek. (Via poultryworld.net)

PDHI GELAR DISKUSI VIRTUAL BAHAS TELEMEDICINE


Telemedicine : harus diperhatikan ketentuannya

Merebaknya wabah Covid-19 tentunya membawa dampak pada seluruh sektor barang dan jasa, tanpa terkecuali jasa pelayanan kesehatan hewan. Berdasarkan survey PDHI, terjadi penurunan kunjungan pasien ke dokter hewan sampai 40%. PDHI juga menyebut bahwa selama pandemi banyak klien yang bertanya bahkan melakukan konsultasi secara daring atau online melalui media sosial.

Menanggapi hal tersebut, PDHI mengadakan diskusi virtual melalui daring zoom yang khusus membahas telemedicine/telehealth. Acara tersebut berlangsung pada Sabtu (14/11). Diskusi dimulai dengan penjabaran terkait definisi telemedicine dan telehealth oleh Ketua III PDHI Drh Bonifasius Suli Teruli. Dirinya banyak menjabarkan mengenai telehealth dan telemedicine berdasarkan beberapa referensi baik nasional maupun internasional.

"Sebenarnya secara tidak disadari kita (dokter hewan) sering melakukannya antar kolega dokter hewan,. Contohnya dokter hewan di perunggasan, kadangkala ketika sedang away, ada kasus dan masih rancu. Biasanya akan saling berkirim gambar untuk sharing penanganan kasus, itu juga termasuk telemedicine," tutur Suli.

Namun begitu Suli mengatakan bahwa belum ada regulasi atau kode etik yang mengatur hal ini di Indonesia. Ia mengatakan bahwa hal tersebut juga merupakan suatu isu baru di dunia kedokteran hewan yang tak terhindarkan dan juga harus segera diurus kode etik dan regulasi resminya.

Ketua Umum PDHI Drh Muhammad Munawaroh yang juga hadir dalam diskusi tersebut setuju dan juga menilai bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari dan merupakan sebuah keniscayaan.

"Kita juga tidak bisa melawan derasnya arus teknologi, coba lihat itu ojek konvensional, akhirnya kalah juga kan dengan aplikasi digital?. Nah, dokter hewan ini juga mau tidak mau harus mengikuti teknologi dan harus melek teknologi," tuturnya.

Dalam diskusi, Munawaroh juga menerangkan bahwa kini aplikasi konsultasi milik dokter manusia, (halodoc), sudah memfasilitasi masyarakat untuk berkonsultasi dengan dokter hewan di dalam aplikasinya. 

"Sebenarnya kami senang bahwa dokter hewan kini sudah dihargai dan benar - benar dianggap, namun begitu dengan adanya konsultasi kesehatan hewan melalui aplikasi ini juga berpotensi menimbulkan masalah baru," tutur Munawaroh.

Oleh karena itu Munawaroh menghimbau kepada seluruh anggota PDHI, agar dalam melayani konsultasi kesehatan hewan via daring (telemedicine) hendaknya memperhatikan hal - hal tertentu. Misalnya saja, bahwa dokter hewan harus bisa membedakan antara telemedicine dan teleadvice.

Pada telemedicine, dokter hewan diperbolehkan mendiagnosis dan memberikan resep kepada pasien secara daring. Namun begitu, dokter hewan harus benar - benar pernah menangani secara langsung pasiennya, baru setelah itu boleh melakukan telemedicine.

Sedangkan dalam teleadvice, dokter hewan hanya boleh memberikan konsultasi yang sifatnya non-medis tetapi memberikan dampak baik bagi kesehatan pasiennya. Teleadvice juga melarang dokter hewan untuk memberikan resep dan mendiagnosis penyakit. Jikalau memang sudah dirasa darurat, dokter hewan hendaknya memberikan saran kepada klien untuk membawa hewannya ke dokter hewan terdekat. 

Selain membahas telemedicine, diskusi berlangsung sangat interaktif membahas berbagai masalah yang terjadi di dunia kedokteran hewan. Misalnya saja peredaran obat hewan ilegal, izin praktik, keorganisasian, dan lain sebagainya. 

Sebagai closing statement Munawaroh berpesan kepada seluruh dokter hewan Indonesia agar betul - betul memahami apa itu telemedicine, ia juga berpesan agar dokter hewan senantiasa melek teknologi. Tak kalah pentingnya Munawaroh juga kembali menegaskan bahwa PDHI akan selalu berada dalam koridor yang menaati peraturan. (CR)

ASOHI JAWA TIMUR DAN ASOHI PUSAT SELENGGARAKAN PELATIHAN PJTOH DI MASA PANDEMI COVID-19

Pelatihan PJTOH angkatan XX diikuti 75 peserta

Bertempat di Hotel Novotel Samator Surabaya, Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) Cabang Jawa Timur menyelenggarakan pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan (PJTOH) XX. Acara yang diselenggarakan dengan dukungan penuh dari ASOHI Pusat ini diselenggarakan pada Rabu dan Kamis (11-12/11/2020), yang diikuti oleh 75 orang peserta, 50 orang peserta di Hotel Novotel Samator Surabaya, dan 25 orang mengikuti acara ini secara online. 

Drh Suyud, Ketua ASOHI Cabang Jawa Timur menyambut baik pelaksanaan pelatihan PJTOH di wilayah kerjanya. “Seharusnya kegiatan ini dilakukan pada 15-16 April 2020 lalu, namun dengan adanya pandemi COVID-19 ini, pelatihan PJTOH XX baru bisa digelar 11-12 November 2020,” tuturnya. 

Dikatakan Suyud, pelatihan PJTOH merupakan sesuatu yang wajib diikuti oleh para dokter hewan terutama bagi mereka yang bekerja di perusahaan obat hewan, pabrik pakan, pet shop, poultry shop dan mereka yang menjadi medis veteriner di farm broiler dan layer. 

Ketua Panitia Pelaksana Drh Forlin Tinora dalam sambutannya menyebutkan bahwa pelatihan PJTOH bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan bagi Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan. “Acara ini kita laksanakan dengan adanya kerjasama antara ASOHI dengan Direktorat Kesehatan Hewan, dilaksanakan secara berkesinambungan, bersertifikat dan telah mencapai Angkatan XX,” kata drh Forlin. Dikatakan drh Forlin, pelaksanaan pelatihan PJTOH XX ini merupakan kegiatan yang istimewah karena masih berada dalam kondisi pandemi COVID-19. “Pandemi COVID-19 ternyata tidak membendung keinginan para peserta untuk mengikuti acara ini, terbukti di Angkatan XX ini Panitia Pelaksana masih bisa mengumpulkan sebanyak 75 orang peserta, terbagi dalam 2 kelompok pembelajaran, langsung dari Hotel Novotel Samator Surabaya dan 25 orang peserta mengikutinya secara online,” tutur drh Forlin.

Ketua Umum ASOHI Drh Irawati Fari dalam sambutan via media virtual menyambut baik atas terlaksananya pelatihan PJTOH XX. “Terima kasih ASOHI Cabang Jawa Timur atas inisiasinya hingga dilaksanakannya kegiatan ini. Kita tidak bisa diam dengan kondisi yang serba tidak menentu ini, harus bergerak agar kita tidak terlena dengan tugas yang seharusnya segera kita laksanakan,” kata Ira, sapaan akrabnya. 

Menurut Ketua Umum ASOHI ini, dokter hewan merupakan garda terdepan terkait dengan obat hewan dan penggunaannya di lapangan. “Tugas dan Tanggung Jawab Dokter Hewan dan atau Apoteker sebagai Penanggung Jawab Teknis pada Perusahaan Obat Hewan dan pakan  diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan No. 01/Kpts/SM.610/F/01/05 tahun 2005, artinya PJTOH harus dapat memberikan informasi tentang peraturan perundangan di bidang obat hewan kepada pimpinan perusahaan; dapat memberikan saran dan pertimbangan teknis mengenai jenis sediaan obat hewan yang akan diproduksi/diimpor, yang berhubungan dengan farmakodinamik, farmakokinetik, farmakoterapi dan toksikologi serta imunologi obat hewan; dan harus dapat menolak produksi, penyediaan dan peredaran dan repacking obat hewan illegal serta menolak peredaran atau repacking obat hewan yang belum mendapatkan nomor pendaftaran,” paparnya. 

Di samping itu, Ira menambahkan, khusus penanggung jawab teknis obat hewan di pabrik pakan, tugas penting yang harus diingat adalah 1) Menolak penggunaan bahan .baku atau obat hewan jadi yang dilarang dicampur dalam pakan ternak, 2) Menyetujui penggunaan bahan baku atau obat hewan jadi yang dicampur dalam pakan ternak yang memenuhi syarat mutu atau 3) Menolaknya apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang obat hewan.

Acara yang digawangi oleh GITA Organizer ini dihadiri oleh Dr drh Fadjar Sumping Tjatur Rassa, Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Fadjar yang tampil sebagai narasumber, memaparkan materi secara online tentang Sistem Kesehatan Hewan Nasional (Siskeswanas). Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2014 disebutkan bahwa Siskeswanas merupakan tatanan kesehatan hewan yang ditetapkan oleh pemerintah dan diselenggarakan oleh otoritas veteriner dengan melibatkan seluruh penyelenggara kesehatan hewan, pemangku kepentingan, dan masyarakat secara terpadu. 

Menurut Fadjar, Siskeswanas sangat diperoleh terutama dalam kaitannya dengan perdagangan bebas, yang memberikan kebebasan atas masuknya produk-produk ternak (daging, susu dan telur) yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) sesuai dengan permintaan konsumen. “Konsumen kita membutuhkan produk yang berkualitas dengan harga terjangkau, kita bisa penuhi itu dengan adanya Siskeswanas ini,” kata Fadjar. Dikatakan Fadjar bahwa Siskeswannas dapat berperan dominan dalam proses pencegahan, pengendalian, maupun pemberantasan penyakit ternak. 

”Kita memerlukan Siskeswannas yang tangguh dalam mengamankan peternakan kita dari ancaman penyakit ternak, sehingga produk yang dihasilkan berkualitas dan ASUH saat dikonsumsi oleh konsumen kita,” jelasnya.

Pada pelantihan angkatan ke-20 ini, Forlin Tinora menghadirkan Direktorat Kesehatan Hewan beserta Subdit Pengawasan Obat Hewan (POH), Direktorat Pakan, Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH), Komisi Obat Hewan (KOH), Tim Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB), Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Pusat Karantina Hewan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Ketua Umum ASOHI, beserta Dewan Pakar dan Dewan Kode Etik ASOHI, dan Dinas Peternakan Jawa Timur, tuan rumah yang menyelenggarakan PJTOH XX ini. Terkait dengan materi yang disuguhkan untuk peserta, drh Forlin menyebut setidaknya ada beberapa materi, baik yang bersifat umum maupun khusus sesuai dengan ranah PJTOH itu sendiri. Diantara materi pelatihan yang disajikan adalah 1) Perundang-Undangan, 2) Kajian teknis (biologik, farmasetik feed additive, feed supplement, obat alami) dan 3) Pemahaman organisasi dan etika profesi. (Sadarman)

IKUTI WEBINAR DAMPAK PANDEMI COVID-19 PADA BISNIS PETERNAKAN

Sejak tahun 2014, ASOHI konsisten menyelenggarakan Seminar Nasional Outlook Bisnis Peternakan (Sebelumnya sejak 2005 setiap tahun seminar membahas bisnis perunggasan saja). Seminar ini diharapkan menjadi referensi penting bagi kalangan pelaku usaha peternakan dalam menyusun rencana dan melakukan evaluasi bisnis. Selain itu pemerintah juga menerima berbagai masukan dari seminar ini sebagai salah satu referensi kebijakan di bidang peternakan.

Webinar Outlook Bisnis Peternakan “Dampak Pandemi COVID-19 pada Bisnis Peternakan” akan dilaksanakan pada:

  • Hari/Tanggal: Selasa, 24 November 2020
  • Pukul: 08.30 – 12.30 WIB (Zoom Online)

Webinar tahun ini akan menghadirkan narasumber para pimpinan asosiasi bidang peternakan dan pembicara tamu pakar ekonomi Dr Faisal Basri. Hadirnya beliau yang ahli ekonomi dan berpengalaman di politik praktis, diharapkan memberikan informasi penting bagi para peserta. Selain itu juga hadir Prof Wiku Adisasmito yang juga juru bicara Gugus Tugas COVID-19 diharapkan memberikan paparan mengenai perkembangan penanganan COVID-19 di Indonesia tahun ini dan prediksi tahun mendatang.

Kami mengundang Bapak/Ibu pimpinan perusahaan/perwakilannya, customer maupun kolega bisnisnya untuk ikut serta dalam webinar tersebut. 

Link pendaftaran  klik http://bit.ly/FORMPESERA-OUTLOOK  

Informasi selengkapnya hubungi panitia: Aidah (0818 0659 7525), Mariyam (08777 829 6375), Ayunil (081212272678)

WEB TALK SERIES STUDI META-ANALISIS ILMU NUTRISI TERNAK

Web Talk Series mengenai studi meta-analisis dalam ilmu nutrisi ternak. (Foto: Infovet/Sadarman)

Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian dan Peternakan (FPP) UIN Suska Riau bekerjasama dengan AFENUE Research Group Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan IPB sukses menyelenggarakan Web Talk Series dengan tema "Pengenalan Studi Meta-Analisis dalam Ilmu Nutrisi Ternak". Kegiatan ini dilaksanakan pada 24 Oktober dan 7 November 2020.

Dimoderatori oleh pewarta Infovet, Dr Sadarman, acara menghadirkan dua orang narasumber masing-masing dalam dua seri, diantaranya Yulianri Rizki Yanza (PhD Student of Animal Nutrition and Feed Management, Faculty of Veterinary Medicine and Animal Science, Poznan University of Life Sciences), Muhammad Miftahkhus Sholikin (PhD Student of Nutrition and Feed Science, Faculty of Animal Science, IPB), Rakhmad Perkasa Harahap (PhD Student of Nutrition and Feed Science, Faculty of Animal Science, IPB & Lecturer, Prodi Peternakan Universitas Tanjungpura Pontianak) dan Agung Irawan (Lecturer, Vocational School, Universitas Sebelas Maret, Surakarta).

Dekan FPP UIN Suska Riau, Dr Edi Erwan, menyambut kegiatan tersebut. “Ini merupakan capaian yang luar biasa, dari dua seri pelaksanaan, antusias peserta untuk memahami dan mempelajari meta-analisis patut diapresiasi, sehingga ke depan tidak hanya bincang-bincangnya saja, harus ada action dari para peserta hingga dihasilkannya artikel-artikel dari kajian meta-analisis ini,” kata Erwan.

Hal senada juga disampaikan pakar meta-analisis Indonesia, Dr Anuraga Jayanegara, yang juga menjabat sebagai Ketua AFENUE Research Group. Ia menyebut dengan meta-analisis, dosen, peneliti dan mahasiswa dapat menghasilkan artikel yang layak terbit di jurnal bereputasi tinggi. “Saya telah menggunakan kajian meta-analisis selama puluhan tahun dan hampir semua artikel saya diterima karena disukai para publisher,” kata Anuraga.

Ia mengemukakan sebagai studi dengan cara menganalisis data yang bersumber dari data primer, lalu dipakai sebagai dasar untuk menerima hipotesis, atau menolak hipotesis yang diajukan beberapa peneliti. Selanjutnya, kajian meta-analisis merupakan kajian yang terstruktur, dimulai dari pencarian sumber data dari beragam jurnal sesuai dengan topik yang diinginkan, lalu mengoleksi data, selanjutnya dianalisis bisa dengan menggunakan SAS, R-Statistika, Phyton dan lainnya. Terakhir hasil olahan data tersebut diinterpretasi hingga didapatkan artikel yang layak terbit.

“Sebetulnya sama halnya ketika kita melakukan penelitian, kita perlu pahami dulu hal yang melatarbelakangi penelitian kita, setelah tujuan dan hipotesisnya, dilanjutkan metodologinya hingga hasil dan diskusi, terakhir disimpulkan. Inilah yang dilakukan dalam aplikasi meta-analisis untuk ilmu nutrisi ternak tersebut,” kata Anuraga yang pernah dinobatkan sebagai dosen terbaik tingkat nasional tahun lalu.

Kesimpulan dari para narasumber, yakni meta-analisis dapat dijadikan tools untuk mendapatkan artikel baru dari beragam tahapan kerja, karena pada dasarnya meta-analisis adalah upaya merangkum berbagai hasil penelitian secara kuantitatif. Dengan kata lain, meta analisis sebagai suatu teknik ditujukan untuk menganalisis kembali hasil-hasil penelitian yang diolah secara statistik berdasarkan pengumpulan data-data primer yang ada. Diharapkan dengan memperkenalkan studi meta-analisis kepada para dosen, peneliti dan mahasiswa, Indonesia bisa terdepan sebagai penyumbang jurnal bereputasi tinggi di bidang nutrisi dan pakan ternak. (Sadarman)

CBC UNPAD BAHAS DUA SISI BELGIAN BLUE

Belgian Blue, akan jadi berkah atau musibah?


Indonesia sepertinya masih berambisi untuk mewujudkan program swasembada daging sapi. Melalui berbagai peraturan pemerintah seperti SK Mentan 73/2018, SK Dirjen 6977/2018, dan bahkan Kepmentan RI No.416/2020 Indonesia resmi menjalankan program pengembangan rumpun sapi Belgian Blue.

Sebuah webinar bertajuk "Kelanjutan Perkembangan Sapi Belgian Blue Sebagai Upaya dari Pemerintah Untuk Mencapai Swasembada Daging Nasional" dihelat oleh Cattle Buffalo Club (CBC), sebuah organisasi kemahasiswaan di Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Webinar tersebut berlangsung pada Sabtu (7/11) yang lalu melalui daring Zoom Meeting.

Tiga orang narasumber hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut. Mereka adalah Yanyan Setiawan dari Balai Embrio Transfer Cipelang, Gungun Gunara mewakili Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak Kementan, dan Nuzul Widyas Akademisi dari Fakultas Pertanian UNS.

Dalam presentasinya Yanyan Setiawan menjabarkan berbagai aspek teknis terkait pemeliharaan, performa reproduksi, serta keunggulan dan potensi dari ras sapi Belgian Blue. 

"Sapi ini memiliki Double Muscle (DM) yakni perototan yang sangat berkembang, sehingga dapat menghasilkan karkas yang lebih banyak ketimbang sapi lokal. Nantinya bakalan dari Belgian Blue Cross akan dikembangkan di UPT milik pemerintah dan disebarkan kepada peternak di seluruh nusantara," tutur Yanyan.

Senada dengan Yanyan, Gungun Gunara juga mengatakan bahwa diharapkan dengan adanya program ini peternak dapat lebih sejahtera dikarenakan sapi - sapi yang dipelihara lebih cepat besar, karkasnya lebih banyak, dan lebih menguntungkan dari segi ekonomi.

Namun begitu, Nuzul Widyas memiliki pandangan lain terhadap program pemerintah tersebut. Menurutnya, dari kacamata akademisi terdapat beberapa kekurangan yang seharusnya lebih dikaji lebih dalam pada program tersebut.

Nuzul menyebutkan bahwa sapi Belgian Blue dapat memiliki Double Muscle dikarenakan faktor mutasi genetik. Jika tidak ditangani secara benar, alel mutan dari sapi tersebut berpotensi merusak populasi sapi potong di tingkat peternakan rakyat.

"Kami tidak menentang fakta bahwa sapi BB memiliki superioritas sebagai sapi pedaging, tetapi kami hanya khawatir terhadap sapi lokal kita. Yang saya omongkan ini bukan omong kosong, saya punya beberapa bukti kuat, mengapa sapi BB dengan mutasi gen DM "kurang cocok" untuk peternak rakyat kita," tukas Nuzul.

Lebih lanjut Nuzul menuturkan bahwa beberapa negara sudah tidak menggunakan Belgian Blue dalam program pengembagan sapi pedaging di negaranya karena isu Animal Welfare.

"Sebut saja USA, negeri Paman Sam mengkalim bahwa sapi ini membutuhkan perawatan yang lebih telaten dari segi teknis ketimbang sapi lainnya. Yang saya tahu, tantangan budidaya di masa kini adalah bagaimana caranya menciptakan bibit yang tahan penyakit dan stress serta lebih mudah dipelihara, kalau Belgian Blue ini kan butuh perhatian lebih (manja)," tukas Nuzul.

Dari segi genetis, Nuzul menyebut bahwa gen mutan yang menyebabkan hipertropi otot pada sapi BB dapat diwariskan pada keturunannya melalui Cross Breed. Gen tersebut memang memiliki keunggulan dalam produksi daging karena menghasilkan otot yang padat, sehingga presentase karkas akan menigkat.

Namun begitu, terdapat kompensasi akibat hipertropi otot berlebih pada mutasi tersebut. Nuzul menyebut bahwa mutasi akan terjadi pada otot di seluruh tubuh. Jika hal tersebut terjadi, akan terjadi dampak fisiologis terhadap sapi, salah satunya performa reproduksi.

"Dari beberapa jurnal penelitian, disebutkan bahwa akibat perototan yang terlalu padat, terjadi penyembitan kanal - kanal seperti saluran reproduksi, pembuluh darah, dan lain - lain. Beberapa jurnal juga menyebutkan bahwa hampir 100% sapi BB dengan mutasi genetik DM kelahirannya harus dibantu oleh dokter hewan melalui operasi cesar karena mengalami distokia," tutur Nuzul sembari memperlihatkan beberapa jurnal pendukung.

Terakhir Nuzul menyebutkan bahwa dalam mewujudkan swasembada daging sapi, pemerintah seharusnya mengoptimalkan cross breeding antara sapi dari jenis Bos taurus konvensional dengan sapi betina lokal yang berkualitas. 

Sebagai panelis atau pembahas Rochadi Tawaf yang juga pakar sosial ekonomi peternakan juga banyak menjabarkan apa - apa saja yang harus dilakukan pemerintah dalam membangun persapian Indonesia.

Poin pertama yang dibahas oleh Rochadi yakni terkait sumber daya genetik dan perbibitan ternak. Mendengar berbagai pembahasan terkait potensi kerusakan genetik pada sapi lokal akibat persilangan sapi BB, Rochadi menilai pemerintah telah melanggar PP No.48/2011 tentang sumber daya genetik dan perbibitan ternak.

"Pada pasal 20 disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan budidaya yang berpotensi menguras atau mengancam kepunahan sumber daya genetik hewan asli dan lokal. Jadi pemerintah (Kementan) bisa dituntut dengan pasal ini," tutur Rochadi.

Dirinya juga mengutip pernyataan mantan Direktur Jenderal Peternakan terdahulu yakni Soehadji, bahwa dalam menentukan suatu kebijakan hendaknya suatu kebijakan harus berbasis akademik.

"Harus feasible (bisa diterapkan di masyarakat), acceptable (dapat diterima masyarakat), dan profitable (menguntungkan masayarakat). Saya tidak melihat ketiganya dalam penentuan kebijakan ini. Jadi sebenarnya pengambilan keputusan dan kebijakan ini bagaimana?," tutur Rochadi.

Selain itu Rochadi juga mengkritik pemerintah terkait Kepmentan No.616/2020 yang hendak menetapkan sapi BB sebagai rumpun sapi Indonesia. Ia berdiskusi dengan beberapa peneliti di LIPI bahwa setidaknya diperlukan waktu 15-20 tahun dan proses pengembangbiakkan selama 3-5 tahun, untuk mendapatkan hasil cross breed, sapi BB dengan sapi lokal F4 dengan level genetik 90%.

"Kok ini terkesan cepat dan terburu - buru?. Harusnya pemerintah lebih seksama, coba lihat sekarang, mengapa sapi BB hanya mau dikembangkan di Indonesia saja?, Brazil yang penghasil daging terbesar tidak pakai BB, negara - negara di Eropa juga enggak mengembangkan BB, kenapa kita bernafsu sekali mau mengembangkan BB?, sebuah tanda tanya besar itu," tutur Rochadi.

Sebagai saran kepada pemerintah Rochadi meminta agar pemerintah membentuk breed komposit yang memanfaatkan keunggulan sapi lokal. Dirinya juga menyarankan agar sapi dengan mutasi genetik DM tidak disebar ke peternak.

Kedua, pemerintah harus mengawasi dengan seksasam, apabila nantinya  introduksi sapi DM pada sapi Indonesia berdampak negatif dan mengancam populasi ternak lokal, semua F1 harus disembelih dan tidak boleh bereproduksi di masyarakat, (Dilakukan pemusnahan).

Pemerintah sebaiknya lebih concern mengembangkan rumpun sapi endemik Indonesia yang sudah teruji dan sesuai dengan ekosistem negeri ini. Hanya tinggal mengkaji lebih dalam dan melakukan seleksi yang lebih intensif. 

Yang terakhir Rochadi meminta agar pemerintah melakukan kajian akademik secara komperhensif dari aspek teknis, sosial, dan ekonomi dalam program pengembangan sapi BB di Indonesia agar tidak menyesal dan menyalahkan siapa - siapa apabila terjadi kesalahan ditegah berjalannya program tersebut. (CR)

 





SEMINAR NASIONAL II FAPET UNJA

Seminar Nasional II yang diselenggarakan Fapet UNJA. (Foto: Dok. Infovet)

Diseminasi hasil kajian bidang peternakan dan perikanan diperlukan, mengingat kebutuhan sumber informasi terkait teknologi kekinian diperlukan oleh peternak dan nelayan untuk memperbaiki usahanya. Hal inilah yang menggerakan akademisi Fakultas Peternakan Universitas Jambi (Fapet UNJA) menyelenggarakan Seminar Nasional II Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat mengenai sistem produksi peternakan dan perikanan berkelanjutan, melalui daring, Sabtu (7/11/2020).

Ketua Panitia Pelaksana, Dr Bagus Pramusintho dalam sambutannya menyebutkan bahwa teknologi kekinian bidang peternakan dan perikanan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, sehingga perlu diwadahi melalui pelaksanaan seminar.

“Tahun kedua ini seminar mengoleksi ratusan paper dari berbagai universitas negeri dan swasta, serta dari lembaga penelitian dengan bidang ilmu sejenis yang juga ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini,” ujarnya.

Sementara Rektor UNJA Prof Drs Sutrisno menyambut baik pelaksanaan seminar. Dalam sambutan tertulisnya dikatakan ilmu di bidang peternakan dan perikanan akan terus berkembang seiring dengan berkembangnya pengetahuan dan teknologi manusia di bidang-bidang lain yang mendukung. “Kegiatan konferensi ini harus tetap jalan, mengingat pentingnya diseminasi ilmu untuk para pengguna akhir dari ilmu itu sendiri,” kata Prof Sutrisno.

Untuk memperbarui keilmuan di bidang peternakan dan perikanan, dihadirkan narasumber dari berbagai instansi, diantaranya Dr Ir Nasrullah (Dirjen PKH Kementerian Pertanian), Prof Dr Ir Hj Nurhayati (dekan Fapet UNJA), Ir Yosef Arisanto (Vice President Head of Operation Poultry Integration Sumatra dan Jawa Barat PT Charoen Pokphand Indonesia), Dr Agr Ir Asep Anang (dosen Fapet Unpad) dan Dira SPt (Product Assistant Manager Veterinary Pharmaceutical Products Medion).

Prof Nurhayati mengatakan bahwa kondisi perunggasan dimasa pandemi COVID-19 cukup stabil, namun demikian yang perlu diperhatikan adalah saat pandemi berlalu, kemungkinan terjadi hal yang tak terduga yang berdampak langsung pada usaha perunggasan.

Sementara dikatakan Yosef Arisanto bahwa saat ini telah terjadi perubahan dalam sistem produksi unggas, seperti adanya peralihan model kandang terbuka menjadi tertutup untuk meminimalkan risiko kontak unggas dengan lingkungan luar, atau pengembangan lainnya di bidang nutrisi dan pakan, peralatan kandang dan sebagainya.

Hal senada juga disampaikan Asep Anang bahwa Pengembangan sistem produksi unggas ke arah lebih baik sangat diperlukan, upaya ini juga harus diikuti dengan peningkatan mutu genetik unggas dan ikan yang dipelihara.

“Apapun jenis ternaknya, mutu genetik dengan melakukan pemuliaan hingga didapatkan komposisi gen yang baik diperlukan untuk mendapatkan ternak yang baik dengan tingkat produktivitasnya yang tinggi,” kata Asep.

Sedangkan dari sisi kesehatan unggas, ditambahkan oleh Dira, diperlukan introduksi obat herbal seperti kunyit untuk menunjang daya tahan unggas yang dipelihara. “Unggas dengan daya tahan tubuh prima dapat menolak kehadiran bibit penyakit dalam tubuhnya,” kata Dira. (Sadarman)

MANAJEMEN RISIKO DAN PENGENDALIAN KOLIBASILOSIS DI PETERNAKAN KOMERSIAL MANDIRI

Ternak ayam broiler. (Foto: KRJogja.com)

Penyakit unggas dikenal dengan banyak ragam dan penyebabnya, mulai dari mikroba hingga makroorganisme yang dapat menimbulkan sakit pada ayam. Mengupas tuntas perihal penyakit ayam tidak akan pernah habis karena keberagaman penyebab dan cara mencegahnya, termasuk juga cara melakukan medikasi pada penyakit-penyakit tersebut.

PT Veteriner Indonesia Sejahtera (VIS) bersama Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI) menyelenggarakan webinar Kolibasilosis pada broiler komersial mandiri yang diselenggarakan Sabtu (7/11/2020). Dua pembicara kondang dihadirkan dalam acara ini, yakni Drh Baskoro Tri Caroko/BTC (Poultry Technical Consultant) dan Dr Drh Widagdo Sri Nugroho (dosen FKH UGM).

Mengawali pemaparan materinya, Baskoro menyebut, “Banyak peneliti tentang penyakit unggas, tetapi sedikit yang tertarik meneliti bagaimana caranya agar unggas tidak sakit.”

Mengondisikan unggas broiler tidak sakit selama pemeliharaan, lanjut dia, bukanlah perkara mudah, sulit dilakukan mengingat “mereka” dipelihara pada kondisi lingkungan yang penuh dengan kompetitor (agen penyakit).

Lebih lanjut, kondisi riil rata-rata kandang  broiler komersial mandiri juga disebut sangat memprihatinkan. Padahal kandang sejatinya memberikan kenyamanan pada ayam dari awal hingga akhir pemeliharaannya.

“Dari banyak lokasi pemeliharaan yang saya kunjungi, beragam penemuan dapat disampaikan, misalnya kondisi kebersihan kandang yang kurang, jarak antar kandang yang tidak diperhatikan, onggokan feses yang menggunung di bawah lantai kandang, kondisi alas kandang yang basah, ini semua jelas memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan,” kata BTC.

BTC pun mengimbau peternak harus berempati ternak peliharaannya. Sebab, infeksi dapat saja terjadi saat peternak lengah dengan kondisi kandangnya.
"Sejatinya lingkungan kandang yang basah dan kotor dapat menjadi perantara, artinya penyakit tersebut berasal dari lingkungan bukan dari ayam ke ayam,” ucap dia.

Narasumber webinar, Baskro Tri Caroko (kiri) dan Widagdo Sri Nugroho.

Serangan Kolibasilosis
Penyakit yang identik dengan kondisi lingkungan kandang kotor adalah kolibasilosis. Ini merupakan penyakit infeksi bakterial pada unggas yang disebabkan Escherichia coli. Menurut BTC, dampak negatif kolibasilosis pada broiler selama periode pemeliharaan adalah pertumbuhan lambat karena sistem organ pernapasan dan pencernaan terganggu, konversi pakan tidak efisien ditandai dengan keseragaman pertumbuhan rendah, hingga tingginya angka kematian.

Berdasarkan data investigasinya di lapangan, rata-rata kolibasilosis dapat terjadi pada kondisi alas kandang atau sekam basah, menyebabkan kandang pengap karena ventilasi terbatas, akibatnya terjadi peningkatan produksi amonia yang berujung cekaman stres pada ayam.

Kejadian kolibasilosis pada ayam broiler biasanya di umur tiga minggu atau saat mendekati panen. Baskoro menyebut bahwa sebagian peternak komersial mandiri mengandalkan antibiotik untuk penyakit ini. Namun demikian, jika hal ini dilakukan maka yang terjadi adalah pemborosan karena tidak efektif dan menguras biaya.

“Jangan gunakan antibiotik untuk mengendalikan kolibasilosis, pemborosan karena harganya mahal. Disamping itu beresiko terjadinya residu dan akan berpeluang terhadap kasus berulang atau re-emerging disease,” ungkapnya.

Sementara disampaikan Dr Widagdo, kolibasilosis pada dasarnya dapat menghambat tercapainya standar produk unggas yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH), serta memperbesar kemungkinan residu antibiotik pada konsumen. Menurut Vello et al. (2020), jumlah kasus resistensi antibiotik dengan rata-rata prevalensi tertinggi dilaporkan pada penggunaan Cefazolin 86.8%, Fucidik Acid 84.6% dan Ampicillin 79.3%, sehingga perlu dilakukan pembenahan dan pengawasan penggunaan antibiotik terutama pada usaha broiler komersial mandiri.

"Ini telah dilakukan pemerintah kita, yakni diawal 2017, pembatasan penggunaan antibiotik sebagai pencegahan dan medikasi penyakit terutama pada ternak-ternak yang memproduksi bahan pangan,” tutur Widagdo.

Dilihat dari tren penyakit pada ayam ras pedaging pasca pelarangan penggunaan antibiotik pemacu pertumbuhan, kasus kolibasilosis menduduki peringkat kedua setelah kasus Chronic Respiratory Disease (CRD) pada 2017. Pada 2018 dan diperiode Januari-Oktober 2019, kasus kolibasilosis masing-masing menduduki peringkat kedua setelah CRD dan peringkat ketiga setelah CRD komplek. Hal ini menunjukkan bahwa kolibasilosis masih perlu diwaspadai keberadaannya di lokasi usaha peternakan unggas.

"Peternak harus memperhatikan hal ini, karena hampir disetiap tahun, ketiga jenis penyakit CRD, CRD komplek dan kolibasilosis merajai kasus-kasus penyakit pada ayam ras pedaging,” terang dia.

Namun bila melihat polanya, jelas Widagdo, kejadian kolibasilosis melandai dari Januari-Februari, lalu menurun disepanjang Maret dan naik perlahan di April-Mei. Selanjutnya terjadi penurunan kasus di Juni dan kembali naik di Juli-Agustus. Ia menyebut kerugian akibat kolibasilosis cukup besar mencapai Rp 14.2 triliun perperiode panen broiler dan Rp 13.4 triliun perperiode panen layer.

"Ini nilai kerugian yang sangat fantastik, harus dicarikan solusi agar nilai sebesar itu bisa diturunkan, bisa melalui kontrol kebersihan dengan penerapan biosekuriti maksimal di lokasi kandang,” ucapnya.

Pengendalian
Dalam pengendalian kolibasilosis, Baskoro menganjurkan untuk melibatkan berbagai disiplin ilmu yang memperhatikan interaksi semua komponen beserta lingkungannya, terutama yang terkait langsung dengan pengaruhnya terhadap kejadian dan cara penyebaran penyakit pada ayam broiler.

“Setidaknya ada keterlibatan manusia, ternak dan lingkungannya, semuanya saling memberikan pengaruh hingga penyakit itu muncul pada ayam ras pedaging yang dipelihara,” kata BTC.

Konsultan peternakan unggas inipun menyebut bahwa dalam pengendalian penyakit unggas, perlu menerapkan manajemen resiko dengan seni pengendalian yang menyertainya. Diantaranya adalah melakukan upgrade pada pelaksanaan disinfeksi dan biosekuriti dari masing-masing tipe kandang yang digunakan.

“Pada kandang postal terbuka, dicuci dengan detergen yang dikombinasikan dengan phenols air tergenang. Lalu pada kandang panggung terbuka, dicuci dengan detergen yang dikombinasikan dengan disinfeksi jenis formalin dan phenols. Sedangkan pada kandang postal tertutup, tata cara pembersihannya sama dengan kandang postal terbuka,” kata BTC. Pelaksanaan upgrade juga dilakukan pada Standar Operasional Prosedur (SOP) perawatan DOC hingga panen, manajemen sumber daya manusia, prasarana kandang dan melakukan pencegahan terhadap sumber penularan penyakit.

Sementara itu, Widagdo turut menambahkan bahwa pengelolaan usaha peternakan unggas harus sangat diperhatikan, terutama menyangkut kondisi lingkungan, agen penyakit dan host-nya.

“Kita tetap memerlukan surveilens untuk mengumpulkan data-data yang ada, lalu dianalisis untuk mengetahui tingkat prevalensi dan insidensi penyakit, sehingga diketahui faktor penyebab atau resiko penyakit, disamping adanya rekomendasi dari hasil analisis untuk ditindaklanjuti oleh dokter hewan,” tutur Widagdo.

Dijelaskan, pendekatan one health untuk meredam penyakit dan memperbaiki pangan asal ternak yang sehat juga dapat dilakukan. Ia berharap meningkatnya peran peternak dan dokter hewan dalam pengendalian penyakit dan residu antibiotik dapat dilakukan melalui pemilihan bibit unggul, penerapan biosekuriti ketat, perbaikan sistem manajemen pemeliharaan dan bijak dalam menggunakan obat hewan. (Sadarman)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer