Kementrian Pertanian berusaha keras untuk meningkatkan populasi
sapi nasional, salah satunya melalui Program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib
Bunting (Upsus Siwab). Pelaksanaan teknisnya berkaitan dengan peningkatan
perfoma reproduksi sapi indukan yaitu meningkatkan angka kebuntingan,
menurunkan service perconseption,
menurunkan jarak antar kelahiran, meningkatkan panen pedet, menangani kasus
gangguan reproduksi dan langkah lainya. Data lapangan yang penulis dapatkan
diantaranya, masih banyaknya kasus Anestrus
postpartus dan panjangnya masa days
open yang banyak dipengaruhi karena faktor infeksi saluran reproduksi dan
faktor defisiensi nutrisi.
Program Upsus Siwab Kabupaten Lampung Utara 2017. |
Infeksi pada uterus (rahim) merupakan kejadian yang umum terjadi
pada sapi induk selama periode setelah melahirkan (postpartum). Sapi dengan masa nifas (puerperiumI normal, uterus bebas dari kontaminasi bakteri empat minggu
postpartum). Uterus secara normal dilindungi
dari kontaminasi bakteri oleh vulva, sphincter vestibular dan servik. Selama
dan segera setelah melahirkan, normalnya uterus akan dikontaminasi oleh bermacam
mikroorganisme patogen dan non-patogen. Sebagian besar bakteri akan dieliminasi
oleh mekanisme pertahanan uterus selama masa puerperium. Organisme patogen yang
tetap berada di uterus dan menyebabkan penyakit di uterus sapi adalah Actinomyces
pyogenes. Bakteri Gram-negatif
anaerob, Fusobacterium necrophorum dan Bacteroides melaninogenicus sering mengikuti A.
pyogenes. Bacteroides menurunkan daya chemotaxis
dan menghambat phagocytosis
(pembunuhan) bakteri yang dilakukan netrofil, persistensi A. pyogenes juga
diikuti coliform, Pseudomonas
aeruginosa, staphylococci, hemolytic streptococci. Clostridium spp.
juga dapat menginfeksi uterus dan menyebabkan metritis gangrene atau tetanus parah. Sebagian besar organisme yang
mengkontaminasi uterus selama masa postpartum
akan memproduksi penicillinase.
Infeksi uterus berkaitan dengan retensi plasenta/Retained Fetal Membrane (RFM), distokia, kembar, kondisi berlebihan, kondisi
kekurangan, konsumsi urea berlebihan pada periode kering dan populasi sangat
padat, penanganan RFM secara manual, kondisi beranak tanpa sanitasi memadai,
serta adanya traumatik pada saat pertolongan kelahiran. Infeksi uterus postpartum lebih banyak terjadi pada
sapi perah dibandingkan dengan sapi potong. Infeksi uterus diartikan infeksi
dengan ciri adanya lendir dari uterus, masa postpartum,
temuan klinis dan status hormonal.
Metritis merupakan hasil keradangan parah pada lapisan lapisan uterus/endometrium
(mukosa, submukosa, muskularis dan serosa). Terjadi pada minggu pertama setelah
melahirkan dan berkaitan dengan distokia, RFM dan trauma saat melahirkan. Sapi
mengalami sepsis, demam, depresi, anoreksia, produksi susu menurun dan
keluarnya lendir dari vagina. Metritis dibagi menjadi metritis postpartum akut dan metritis toksik.
Risco dkk (2007), melaporkan bahwa kejadian metritis 13,8% pada masa laktasi, dengan angka kejadian rata-rata 17,4%
dan interval kasus 8,5%-24,2%.
Endometritis adalah keradangan pada endometrium yang tidak separah metritis, hanya sebatas lapisan
spongiosum. Kejadian ini mengikuti kelahiran, perkawinan, inseminasi buatan, atau
karena infusi bahan yang mengiritasi ruang endometrium.
Endometritis diikuti dengan eksudat purulen (kental) terlihat dari permukaan vulva. Sapi tidak terlihat sakit dan palpasi
uterus teraba normal. Endometritis akut terjadi temporer, setelah siklus estrus
dan bakteri umumnya dapat dieliminasi. Endometritis kronis ditandai lendir purulen
pada vagina. Endometritis menimbulkan rendahnya angka konsepsi pada IB pertama dan
membutuhkan beberapa kali IB untuk
terjadi konsepsi.
Pyometra menciri dengan akumulasi nanah atau eksudat purulen pada
ruang endometrium, korpus luteum
persisten dan anestrus. Kondisi ini sering terjadi pada sapi yang mengalami
ovulasi pertama postpartum sebelum
kontaminasi bakteri pada uterus benar-benar tereliminasi seluruhnya. Korpus
luteum persisten akan bertahan lama, karena cairan intrauterin mencegah
terjadinya luteolisis. Progesteron dari korpus luteum akan bertahan dalam
uterus dan menekan mekanisme pertahanan
uterus. Pyometra disebabkan oleh Tritrichomonas fetus yang banyak
terjadi pada musim kawin.
Infeksi uterus postpartum lebih banyak terjadi pada sapi perah dibandingkan sapi potong. |
Diagnosa Infeksi
Saluran Reproduksi
Berdasarkan gejala klinis, infeksi uterus bervariasi tergantung pada virulensi dari organisme
penyebabnya dan adanya fakor predisposisi penyakit. Lochia (lendir postpartum)
normalnya di keluarkan dari saluran reproduksi awal minggu pertama setelah
melahirkan, namun lendir akan bertahan sampai 30 hari jika involusi uterus tertunda.
Lendir akan berwarna coklat gelap, merah, putih atau terlihat gejala klinis
sepsis. Palpasi perrektal bertujuan untuk melakukan evaluasi involusi uterus, yang umumnya terjadi setelah tiga
minggu melahirkan. Involusi uterus yang tertunda teraba tanpa tonus dan kurangnya
garis-garis involusi (longitudinal rugae)
seperti yang ditemukan pada uterus normal. Pada kasus metritis, uterus membengkak
dan rapuh, terjadi deposit fibrin dan perlengketan uterus dengan organ lain
dapat diraba. Involusi berjalan normal, jika
cairan di dalam lumen uterus sudah tidak dapat dipalpasi pada 14-18 hari
setelah melahirkan.
Sapi yang lumen uterusnya berisi cairan yang bertahan lama setelah
kelahiran dan dapat diraba, menunjukkan adanya gangguan patologis, tertundanya involusi
uterus atau terjadi kerusakan uterus yang permanen. Evaluasi ukuran servik dan
terlihatnya leleran kental juga diperlukan untuk diagnosa. Endometritis pada
sapi perah ditandai dengan adanya lendir kental dari uterus atau diameter servik
lebih besar dari 7,5 cm setelah 20 melahirkan atau lendir mukopurulen 26 hari
setelah melahirkan.
Pengamatan eksudat purulen dengan menggunakan speculum vaginoskop untuk mendiagnosa endometritis subakut dan kronis,
serta untuk mengevaluasi respon penanganan. Penelitian menunjukan 16,9% endometritis
dan vaginoskopi mampu mengidentifikasi lendir purulent 44% total kasus. Sterililitas speculum, disposable dan persiapan alat sangat
penting dilakukan agar aseptis bagi perineum
dan alat genital luar. Real-time
ultrasonography digunakan untuk menunjukkan perubahan uterus yang
berhubungan dengan infeksi postpartus.
Cairan intrauterin karena infeksi uterin berisi partikel echogenik dan mudah
dibedakan dengan cairan non-echogenik yang muncul pada saat estrus dan kebuntingan.
Dinding uterus yang mengalami infeksi akan memiliki ketebalan yang berbeda. Sapi
dengan kasus metritis sepsis, terjadi peningkatan jumlah netrofil (neutropenia). Hypocalcemia, yang terjadi pada awal postpartum menyebabkan metritis. Kejadian ketosis dan metritis
secara bersamaan sering terjadi pada sapi perah. Konsentrasi level Nonesterified Fatty Acids (NEFAs) pada
sarah sapi mengganggu fungsi limfosit dalam pertahanan tubuh.
Sampel yang digunakan untuk kultur bakteri adalah cairan
intrauterine, dilakukan kultur pada lingkungan aerob dan anaerob. A.
pyogenes dan Gram-negatif
anaerob biasanya disebut sebagai organisme penyebab infeksi uterus. Kultur
bakterial dan uji sensitifitas antibiotik menunjukkan kejadian infeksi uterus
pada suatu peternakan. Pada suatu penelitian, 157 kasus endometritis
terdeteksi dengan palpasi rektal, namun isolasi bakteri dari lendir uterus
hanya 22% dari jumlah sampel.
Diagnosa dengan histologi sel/jaringan,
netrofil memberikan respon primer
pada patogen bakteria saat uterus dalam kondisi postpartum, sehingga terjadi peningkatan jumlah sel-sel Polymorphonuclear (PMN) pada lumen
uterus. Evaluasi jumlah dan sebaran PMN dalam uterus dapat mengidentifikasi endometritis.
Endometritis subklinis pada sapi perah, tidak menunjukkan gejala klinis,
terlihat normal tanpa terlihat lendir infeski. Netrofil berkisar 18% pada 20-33
hari postpartum dan lebih besar 10% pada
hari 34-47 postpartum.
Penanganan dan Prognosa
Terapi untuk infeksi uterin dibagi menjadi empat kategori, yakni terapi
intrauterin (antibiotik dan antiseptik kimia), antibiotik sistemik, supportif
terapi dan terapi hormon. Beragam antibiotik dan antiseptik kimia banyak
dilakukan infusi intrauterin untuk penanganan infeksi postpartum sapi. Uterus memiliki lingkungan anaerob, sehingga dipilih
antibiotik yang mampu bekerja tanpa oksigen. Kebanyakan antibiotik dan kimia menekan
aktivitas netrofil pada uterus dan melamahkan mekanisme pertahanan uterus, sehingga
penggunaannya harus sangat hati-hati. Organisme penyebab infeksi uterus postpartum biasanya sensitif terhadap penicillin, tetapi bakteri kontaminan yang
ada beberapa minggu postpartum
menghasilkan penicillinase, sehingga
menghilangkan efek penicillin pada
pemberian intrauterin. Organisme tersebut akan tereliminasi 30 hari postpartum, maka pemberian penicillin intrauterin efektif dilakukan
setelah 30 hari postpartum dengan
dosis Minimal Inhibitory Concentration
(MIC) 1x106U mampu menekan A. pyogenes.
Oxytetracycline tidak direkomendasikan untuk terapi intrauterin untuk infeksi postpartum, karena isolat A. pyogenes
dari uterus sapi resisten terhadap oxytetracycline,
oxytetracycline mengiritasi uterus
dan menyebabkan endometritis, serta menimbulkan residu pada susu dengan masa withdrawal time yang sulit ditentukan. Terapi
larutan iodine intrauterin banyak
dilakukan dokter hewan. Kejadian RFM dan endometritis menurun pada sapi yang
diinfusi dengan 500 mL, 2% Lugol’s iodine
segera setelah melahirkan dan enam jam berikutnya. Pemberian infusi 50-100ml,
larutan 2% polyvinylpyrrolidone-iodine
30 hari postpartus tidak meningkatkan
perfoma reproduksi sapi normal dan merugikan terhadap kesuburan sapi karena
endometritis. Sehingga, terapi intrauterin dengan larutan iodine untuk penanganan infeksi uterus tidak direkomendasi.
Beragam antibiotik spektrum luas direkomendasikan dengan pemberian
injeksi pada kasus infeksi uterin sapi. Penicillin
ataupun analog sintetiknya telah direkomendasikan (20.000 to 30.000 U/kg BB). Oxytetracycline tidak direkomendasi
dengan pemberian sistemik karena susah mencapai MIC yang dibutuhkan untuk
mematikan A. pyogenes pada lumen uterus. Ceftiofur (generasi ke 3 cephalosporin)
merupakan antobiotik spektrum luas yang efektif untuk bakteri Gram-positif dan Gram-negatif
penyebab metritis. Ceftiofur dapat
menembus semua lapisan uterus tanpa menimbulkan residu pada susu. Pemberian ceftiofur subkutan dosis 1mg/kg pada
sapi perah postpartum menghasilkan
konsentrasi ceftiofur dan metabolitnya
aktif dalam plasma, jaringan uterus dan cairan lochia, efektif untuk menangani metritis. Pemberian ceftiofur dosis 2,2 mg/kg selama lima
hari berturut turut, sama efektifnya dengan pemberian procaine penicillin G atau procaine
penicillin G plus oxytetracycline infusi intrauterin untuk pengobatan infeksi.
Terapi cairan elektrolit (polyionic
nonalkalizing) diperlukan pada penanganan dehidrasi karena metritis. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs seperti
flunixin meglumine digunakan untuk
mencegah toksemia dan meningkatkan kebugaran. Terapi tambahan berupa kalsium dan
suplemen energi membantu pemulihan induk.
Pemberian estrogen dan oxytocin
tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan kontraksi myometrium, menghasilkan estrogen sehingga material sepsis akan
tersebar ke seluruh uterus dan servik, menyebabkan salpingitis bilateral. Prostaglandin
F2α (PGF2α) dan analognya banyak
digunakan pada bermacam abnormalitas saluran reproduksi, seperti infeksi uterin
postpartum. Konsentrasi prostaglandin
F2α pada serum berhubungan dengan involusi uterus. Prostaglandin tidak
berperngaruh pada aktivitas ovarium postpartus,
tapi berpengaruh pada konsentrasi luteinizing
hormone pada plasma. Prostaglandin merupakan hormon yang bagus untuk terapi
pyometra. Luka endometrium mengalami kesembuhan dalam 30 hari, kesuburan akan
membaik. Pemberian GnRH tunggal pada awal postpartum
atau dikombinasi PGF2α 14 kemudian, akan menginduksi siklus estrus namun tidak
meningkatkan perfoma reproduksi sapi perah dengan kasus distokia, RFM, atau
keduanya.
Prognosis untuk kesembuhan infeksi uterin postpartum bervariasi tergantung tingkat keparahan. Kebanyakan sapi
dengan endometritis dapat disembuhkan. Metritis diikuti dengan septisemia berakibat
kerusakan permanen, penurunan produksi susu, laminitis, atau kematian pasien
walaupun dengan pengobatan yang agresif. Pyometra dapat disembuhkan dengan penanganan
intensif dan benar.
Pencegahan Penyakit
Sapi dengan abnormalitas postpartum
seperti hypocalcemia, distokia dan
RFM lebih beresiko terhadap infeksi uterus dibanding dengan sapi normal. Manajemen
sanitasi, nutrisi, menjaga kepadatan populasi dan pencegahan stress harus ditingkatkan untuk mencegah
kasus infeksi. Kebersihan kandang saat melahirkan, prosedur aseptis untuk
penanganan distokia sangat dibutuhkan. Kontaminasi lingkungan oleh mikroorganisme
patogen menimbulkan infeksi saluran reproduksi selama 2-3 bulan postpartus. Sapi dengan gejala infeksi
saluran reproduksi dipisahkan ke kandang isolasi. Pemberian ceftiofur sistemik yang berhubungan
dengan distokia, RFM, atau keduanya mengurangi kejadian metritis hingga 70% dibandingkan
dengan sapi yang tanpa dilakukan pemberian antibiotik.
Oleh: Drh. Joko Susilo
Medik Veteriner Muda
Balai Veteriner Lampung