Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini penyakit | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Waspadai Gangguan Reproduksi pada Ayam

Ayam petelur. (Foto: Infovet/Bams)

Ternak ayam adalah “pabrik telur dan anak ayam” dimana untuk memproduksinya harus melalui proses terpadu dalam tubuh ayam, mulai diproduksinya spermatozoa pada testis ayam jantan dan diproduksinya ovum (sel telur) pada ovarium ayam betina. Ovum ini akan terus bertumbuh kembang dalam organ reproduksi ayam betina dan melalui tahap-tahap proses seperti pada Tabel 1 berikut.


Proses pembentukan telur berlangsung selama 23-26 jam, yaitu dari proses pembentukan kuning telur (yolk) hingga terbentuknya telur yang siap di keluarkan dari tubuh. Telur yang tidak dibuahi melalui perkawinan (sexual intercourse) bersifat infertil (tidak dibuahi), sehingga tidak dapat ditetaskan menjadi anak ayam (DOC), tetapi telur yang dibuahi bisa bersifat fertil dan ini dapat dilihat melalui cara peneropongan (candling) dan telur dapat ditetaskan.

Perkawinan antara ayam pejantan dan induk betina akan menimbulkan fertilisasi, yaitu bertemunya spermatozoid (bibit jantan) dan ovum (bibit betina) hingga terjadi proses pembuahan. Proses ini dimulai dari perpindahan sperma ke dalam organ reproduksi ayam betina (vagina), lalu sperma bergerak menuju infundibulum (bagian atas saluran reproduksi), dimana dibutuhkan waktu 30 menit. Selanjutnya, 15 menit kemudian terjadi proses ovulasi (pelepasan ovum dari ovarium), dimana sperma bergerak menuju inti sel ovum (pronucleus) dan berakhir dengan terjadinya fertilisasi.

Komposisi Kimiawi Telur
Untuk mendapatkan telur ayam normal perlu mengetahui komposisi kimiawinya, agar dapat diberilkan perlakuan-perlakuan untuk memenuhi kebutuhan tubuh ayam untuk hidup pokok dan produksi telur.

Setelah di keluarkan dari tubuh ayam, telur ayam yang normal memiliki komposisi kimiawi seperti pada Tabel 2 berikut.


Berbagai Gangguan Reproduksi
Gangguan reproduksi bisa terjadi, baik dari dalam tubuh ayam (internal) maupun dari luar tubuh ayam itu sendiri (eksternal).
A. Gangguan internal, antara lain:

   1. Penyakit Egg Drop Syndrome ’76 yang merupakan penyakit infeksius organ reproduksi pada ayam di masa bertelur dengan ciri-ciri penurunan produksi telur, kegagalan mencapai puncak produksi, deformasi bentuk telur dan gangguan pigmentasi kerabang telur tanpa ayam menunjukkan gejala-gejala klinis.

   2. Penyakit Infectious Bronchitis (IB), yang mengakibatkan produksi telur yang rendah dalam jangka waktu lama, kualitas kerabang telur yang rendah, bentuk telur yang abnormal dan warna kerabang telur yang pucat serta tipis. Alat dan saluran reproduksi bisa mengalami rusak parah sehingga ayam petelur tidak mampu menghasilkan telur disebabkan terjadinya kerusakan permanen pada ovarium dan saluran telur lainnya akibat serangan IB semasa anak ayam berumur kurang dari dua minggu.

   3. Penyakit Newcastle Disease (ND), penyakit virus yang mengakibatkan produksi telur menurun drastis, kualitas telur menurun (kerabang telur kasar, tipis dan lembek, fertilitas dan daya tetas menurun).

   4. Bibit ayam, ayam yang berasal dari induk dan pejantan yang secara genetik kurang baik akan memiliki saluran reproduksi yang kurang baik pula sehingga produksi telur dan anak ayam yang dihasilkan akan rendah kualitas dan kualitasnya.

   5. Sex Error dan Sexing Error, kelainan seks atau kesalahan sexing baik pada jantan maupun betina akan mengakibatkan produksi telur, fertilitas dan daya tetas yang diharapkan tidak tercapai, oleh karena itu ayam yang cenderung memiliki sexing error harus segera diafkir dari kelompoknya.

   6. Umur ayam, ayam muda yang mengawali bertelur akan menghasilkan telur yang kecil dibawah standar, maka perlu seleksi telur sebelum melangkah ke tahap penetasan. Demikian pula ayam yang terlalu tua dan sudah saatnya “pensiun”, organ reproduksinya menurun fungsinya yang berakibat telur terlalu besar, fertilitas dan daya tetas menurun.

B. Gangguan eksternal, antara lain berupa:

   1. Stres lingkungan, berupa perubahan cuaca/iklim yang drastis dari suhu panas ke dingin atau sebaliknya, musim hujan ke musim kemarau atau sebaliknya yang mengakibatkan produksi telur, fertilitas dan daya tetas menurun. Solusi mengatasi hal ini salah satunya dengan pemberian obat anti-stres dan penggunaan kandang tertutup (closed house). Stres juga dapat terjadi karena penangkapan/pemindahan ayam yang kasar, perubahan kandang, pakan dan pendengaran yang mendadak seperti kebisingan. Perubahan penglihatan/warna peralatan/petugas kandang juga dapat mengundang stres ayam.

   2. Rendahnya kualitas dan kuantitas pakan, dimana pakan sangat berpengaruh besar pada kualitas dan kuantitas produksi telur karena komposisi telur dibentuk dari zat gizi (nutrient) dari pakan yang dikonsumsi ayam. Standar komposisi pakan untuk tiap periode umur ayam (starter, grower, pre-layer, layer) sudah ditentukan sesuai dengan jenis, strain ayam petelur yang bersangkutan, disamping mempengaruhi proses reproduksi. Kelalaian pemberian pakan akan berdampak buruh dan panjang pada sistem reproduksi dan produksi.

   3. Kualitas dan kuantitas air minum, 80% dari tubuh ayam terdiri dari air dimana air berfungsi sebagai media transportasi zat makanan ke segenap sel-sel tubuh disamping media penetralisir suhu tubuh dan pembuang sisa makanan yang tidak dicerna, serta menetralisir zat beracun. Oleh karena itu, pemberian air minum yang terlambat, tidak mencukupi disertai kualitas yang rendah akan berdampak luas pada produksi telur dan reproduksi ayam.

   4. Pencahayaan (lighting), fungsi program pencahayaan pada pemeliharaan ayam petelur/bibit ialah untuk meningkatkan pertumbuhan, mengontrol sexual maturity (kedewasaan) dan mencapai bobot badan standar pada produksi telur 5%. Stimulasi lampu pada kandang open house (kandang terbuka) dimulai pada saat bobot badan ayam mencapai 1.250 gram dengan penambahan cahaya dua jam, kemudian ditingkatkan tiap ½ jam/minggu hingga 16 jam atau 16,5 jam dengan intesitas 40 lux. Hal ini bertujuan mencegah keterlambatan sexual maturity. Pada daerah beriklim panas dianjurkan pencahayaan pada pagi hari (subuh) yang sejuk untuk meningkatkan konsumsi pakan, tetapi penambahan cahaya tidak boleh sebelum produksi telur 5%, juga disarankan penambahan cahaya pada tengah malam selama dua jam untuk meningkatkan konsumsi pakan. Bila hal tersebut tidak dilakukan dengan serius, maka kemungkinan besar gangguan produksi dan reproduksi akan muncul.

   5. Ratio jantan dan induk betina, untuk memperoleh tingkat fertilitas dan daya tetas (hatchability) yang diharapkan, perbandingan pejantan dan induk betina perlu ideal yaitu delapan ekor pejantan unggul per-100 ekor induk betina, terutama untuk usaha pembibitan (breeding).

Demikianlah sekilas tentang gangguan reproduksi dan produksi yang perlu diwaspadai dalam mengelola usaha ayam petelur/bibit. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan. (SA)

Keamanan Daging Sapi Brazil dari PMK Dipertanyakan

Daging impor.
Kemenangan Brazil dalam sidang banding di WTO (World Trade Organization/WTO), yang memenangkan sebagian gugatan Brazil atas Indonesia ternyata masih menyisakan tanda tanya dan kekhawatiran. Kekhawatirannya bukan lagi soal ancaman serbuan daging ayam ke pasar dalam negeri.

Dalam wawancara dengan Infovet, Syamsul Ma’arif, Direktur Kesmavet Ditjen PKH (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan) Kementerian Pertanian, menyebutkan, meskipun menang dalam sidang gugatan di WTO, Brazil tidak akan mengekspor daging ayam ke Indonesia. Sebagai gantinya, mereka meminta mengekspor daging sapi untuk memenuhi kebutuhan daging sapi Indonesia.

Ini sesuai kesepakatan dengan tim Kementerian Pertanian Brazil yang bertemu dengan Menteri Pertanian Indonesia Februari 2018, telah diperoleh kesepahaman bahwa Brazil sangat memahami Indonesia yang sudah surplus daging ayam, sehingga bersedia untuk tidak akan mengekspor daging ayamnya ke Indoensia.

Keinginan Brazil untuk mengekspor daging sapi ke Indonesia memang sudah sejak lama disampaikan. Namun, isu penyakit mulut dan kuku (PMK) yang mewabah di Brazil pada 2008 menjadikan keinginan itu tertahan. Kini, kemenangannya dalam sidang gugatan tersebut menjadi momentum bagi Pemerintah Brazil untuk kembali menegaskan keinginannya itu.

Bagi pemerintah Indonesia impor daging sapi asal Brazil ini dilakukan guna menyediakan daging dengan harga murah bagi masyarakat. Konon, daging sapi dari Brazil akan dijual dengan harga Rp 80 ribu per kg. Artinya, harga daging sapi Brazil di pasaran lebih rendah dibandingkan daging sapi lokal yang berada di level Rp 120 ribu per kg dan daging kerbau India Rp 110 ribu.

Tapi benarkah saat ini Brazil sudah aman dari wabah PMK yang sangat berbahaya itu? Inilah yang menjadi kekhawatiran sejumlah importir dalam negeri jika memang akhirnya pemerintah membuka kran impor daging sapi dari “Negeri Samba” itu.

Niat pemerintah mengimpor daging sapi dari Brazil dikritik oleh para importir. Mereka menilai pemerintah lagi-lagi mengimpor daging dari negara yang belum ada kepastian bebas dari PMK.

Awal April lalu, Ketua Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi), Thomas Sembiring, kepada media menyebutkan Brazil merupakan salah satu eksportir daging sapi yang paling besar, tapi banyak daerahnya yang belum bebas dari PMK, sama dengan India.

Keputusan pemerintah mengimpor daging sapi dari Brazil memang sah-sah saja dilakukan. Sebab sudah ada payung hukumnya, yaitu Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Namun menurut Thomas,perlu diingatkan juga, di Brazil mayoritas daerahnya belum bebas dari PMK. Sehingga,perlu pengawasan pemerintah terhadap masuknya daging sapi Brazil ke dalam negeri diperketat.

Importir Masih Khawatir
Kekhawatiran para importir dan konsumen direspon pemerintah. Sebelum bulan Ramadan lalu, Kementerian Pertanian bergerak cepat dengan memberangkatkan tim audit ke Brazil yang bertugas mengecek kesehatan dan kesiapan daging sapi di Negeri Sepak Bola untuk segera diimpor ke Indonesia.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita, waktu itu menyatakan pihaknya tetap membuka opsi impor dari negara lain supaya jangan terjadi monopoli.

Tim yang terdiri dari unit teknis dan komisi ahli memastikan kesehatan daging sapi, terutama dari penyakit mulut dan kuku agar daging sapi yang diimpor dari Brazil aman dikonsumsi masyarakat.Tak hanya itu, tim pemerintah yang total berjumlah 22 orang itu  juga menyertakan tim dari Majelis Ulama Islam (MUI) untuk memastikan sertifikasi halal daging impor serta tim dari industri.

Tim audit ini diketuai Tri Satya Putri Naipospos. Pemerintah bergerak cepat sehingga unit teknis dan komisi ahli dikirimkan bersamaan. Tim ini melakukan pemeriksaan yang ketat. Salah satu alasan utama pemeriksaan dilakukan secara ketat, karena sapi Brazil belum bebas penyakit mulut dan kuku, meski dalam 10 tahun terakhir, belum pernah ada kasus penyakit daging sapidi negara tersebut.

Brazil juga diketuhui telah mengajukan bebas penyakit berdasarkan vaksinasi kepada The World Organisation for Animal Health (OIE). Namun demikian, masih ada peluang untuk timbul ancaman yang bisa berakibat kepada Indonesia.

Bagaimana hasil kerja tim ini? Hingga berita ini ditulis, belum ada informasi kepastian jadi atau tidaknya mengimpor daging sapi asal Brazil.

Informasi yang terakhir yang disampaikan pihak Kementerian Pertanian, bahwa sesampai di Indonesia hasil kerja tim tengah dikaji oleh tim ahli yang apakah low risk atau high risk. Selain itu, pihaknya juga masih menunggu kabar dari Majelis Utama Indonesia (MUI) untuk rekomendasi halal. Sebab pihaknya menyatakan tidak akan melakukan impor bila tidak mendapatkan rekomendasi dari MUI.

Pihak Kementan menegaskan pada dasarnya kesepakatan tersebut masih bisa dibatalkan bila tidak memenuhi persyaratan dari Indonesia, yaitu berisiko dan tidak ada rekomendasi halal dari MUI.

Bargaining Power
Mencermati rencana pemerintah mengimpor daging sapi dari Brazil, Robby Agustiar, konsultan bisnis daging sapi, memiliki pendapat tersendiri. Menurutnya, rencana impor daging dari Brazil harus dilihat dulu apa maksud dan tujuannya.

“Kalau tujuannya untuk mengubah harga di pasar yang ada saat ini, saya yakin daging impor Brazil tidak akan bisamurah seperti yang disampaikan pemerintah, yaitu Rp 80 ribu per kg. Harga pasar sapi Brazil juga masih lebih mahal dari harga daging kerbau dari India,” ujarnya.

Daging yang dijual di pasar tradisional.
Harga daging kerbau India di pasaran saat ini masih di kisaran angka Rp 80 ribu per kg. Sementara untuk takaran pemerintah yang menyatakan harga sapi asal Brazil bisa Rp 80 ribu per kg, ditanggapi pesimis.

“Saya sih nggak yakin harga segitu. Karena perjalanan kargo dari Brazil untuk sampai ke Indonesia itu memerlukan waktu yang cukup panjang. Sudah pasti biayanya pun akan tinggi,” katanya.

Robby menduga, rencana impor daging sapi dari Brazil, nantinya akan dijadikan bargaining power (kekuatan tawar) terhadap India, karena harga daging kerbau dari India akan naik. Momentum ini sangat klop dengan kesepakatan antara Pemerintah Brazil dan Pemerintah Indonesia, yang tidak akan mengeskpor daging ayam ke Indonesia. Sebagai gantinya, Brazil meminta aka mengeskpor daging sapi.

Sebelumnya diberitakan harga daging kerbau India sudah mulai naik, karena demand-nya sudah mulai bertambah ke negara-negara lain, seperti Malaysia. Dulu, impor daging kerbau hanya dilakukan oleh Indonesia.

“Saya nggak tahu apakah pemerntah ini akan membuka impor bebas semua importir atau hanya oleh Bulog saja yang mengimpor. Ini yang belum kita ketahui. Kalau Bulog sebagai distributor tunggal, maka kemungkinan besar rencana impor sapi dari Brazil ini bertujuan untuk menciptakan bargaining power kepada distributor dari India,” papar Robby.

Jika memang harus mengimpor dari Brazil, yang menjadi pertanyaan, benarkah daging sapi asal negara tersebut sudah benar-benar aman dari penyakit mulut dan kuku?  Ini memang menjadi kewenangan dokter hewanyang turut serta dalam tim tadi untuk menajawabnya. “Yang pasti, soal PMK ini, pemerintah harus tahu apa risikonya dan menyiapkan infrastruktur kalau ternyata PMK benar-benar terjadi,” harapnya.

Seperti diketahui tahun 2008 peternakan sapi di Brazil masih belum aman dari PMK. Untuk itu, Robby menyarankan persoalan PMK ini harus jelas dan aman lebih dulu, sebelum bicara soal harga daging sapi.

(Abdul Kholis)

Ko-Infeksi pada Ayam Kampung


Diagnosa penyakit dengan metode histopatologi dan imunohistokimia merupakan sesuatu yang sangat mengasyikan bagi penulis. Kepuasan pertama seorang diagnostician adalah ketika menemukan agen penyakit pada suatu kasus penyakit atau kejadian outbreak. Histopatologi merupakan teknik diagnostic dengan melihat perubahan menciri pada organ atau jaringan terhadap suatu penyakit. Seorang pathologist dituntut untuk selalu meng-upgrade kemampuanya dengan memperbanyak membaca (buku, jurnal dan slide-slide kasus), hal ini disebabkan karena bidang yang dipelajari begitu luas. Sampel yang diperiksa sangat bervariasi dari unggas, ruminansia, babi, hewan kesayangan, ikan dan yang lainnya. Masing masing hewan dan organya memiliki perubahan spesifik yang menciri terhadap suatu penyakit. Diagnosa histopatologi akan berbunyi menjadi sebuah diagnosa pasti bila diteguhkan dengan imunohistokimia atau dengan pengujian standar lainya. Imunohistokimia merupakan pengujian berdasar pengamatan histopatologi dengan melihat adanya ikatan antigen-antibodi.

Awal tahun ini penulis cukup disibukkan dengan beberapa sampel ayam kampung yang diterima di laboratorium Patologi, Balai Veteriner Lampung. Dari sekian banyak sampel, beberapa sampel ayam kampung tersebut mati karena infeksi gabungan (ko-infeksi) dari Eimeria sp., necrotic enteritis, Ascaridia galli dan Jamur. Koksidiosis merupakan salah satu penyakit penting pada unggas di seluruh dunia dan secara umum menciri dengan enteritis. Koksidiosis disebabkan oleh protozoa, parasit uniseluler dari phylum Apicomplexa. Pada ayam kampung setidaknya ada lima dari sembilan spesies berbeda penyebab koksidiosis, yaitu Eimeria acervulina, Eimeria necatrix, Eimeria tenella, Eimeria maxima dan Eimeria brunetti. Siklus hidup Eimeria di dalam tubuh hospes diawali dengan konsumsi pakan dan minum yang tercemar ookista Eimeria. Parasit ini hidup, tumbuh dan berkembang di dalam sel hospes pada lapisan epithelial dan subepithelial pada usus dari duodenum, jejunum, ileum, sekum dan beberapa spesies dapat menyerang organ lain.

Ada empat spesies clostridium yang sering ditemukan pada unggas (Clostridium perfringens, Clostridium colinum, Clostridium botulinum dan Clostridium septicum). Nekrotik enteritis merupakan penyakit yang banyak ditemukan pada unggas. Terdapat dua bentuk penyakit yang disebabkan karena C. perfringens pada unggas, yaitu nekrotik enteritis dan cholangiohepatitis pada saluran empedu hati. Nekrotik enteritis bentuk ringan, mencakup penyakit subklinis, namun menimbulkan efek buruk pada produksi. Clostridium perfringens menunjukan parameter lingkungan yang kotor dan litter kotor. Penyakit ini diperparah dengan kerusakan dan kematian jaringan pada usus kerena toksin tipe A dan C yang dihasilkan C. perfringens.

Penularan penyakit dapat terjadi secara horizontal dan beberapa penelitian terkini menyebutkan penularan bisa terjadi secara vertikal. Penularan secara mekanik melalui konsumsi pakan dan minum tercemar dan diduga dapat ditularkan melalui vektor. Pada broiler dan layer, tepung ikan diduga menjadi sumber kontaminasi C. perfringens. Kerusakan mukosa yang diakibatkan oleh Eimeria sp. pada usus halus, merupakan faktor predisposisi penting penyakit ini. Walaupun Eimeria tenella tidak menimbulkan lesi pada usus halus, namun lesi nekrotik enteritis tetap terjadi, karena koksidiosis pada sekum meningkatkan kejadian shedding dari C. perfringens dan secara terus-menerus mengontaminasi lingkungan.

Gejala klinis yang ditimbulkan sangat bervariasi dan tidak spesifik. Nekrotik enteritis akut ditandai dengan meningkatnya kematian unggas, morbiditasnya rendah, yang mengindikasikan terjadi kematian secara cepat. Gejala klinis yang muncul pada kondisi wabah meliputi depresi, menurunnya feed intake, malas bergerak, bulu rontok dan diare. Bentuk nekrotik enteritis subklinis ditandai dengan hilangnya berat badan secara berkala, buruknya feed convertion ratio.

Temuan lain pada kasus yang sama adalah terlihat cacing gilig pada lapisan mukosa usus yang diteguhkan oleh laboratorium parasitologi menujukan cacing Ascaridia galli. Ascaridia galli merupakan cacing gilig ini paling sering ditemukan pada ayam kampung dan itik yang dipelihara secara ekstensif, serta menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi. Cacing gilig ini biasanya menimbulkan kerusakan yang parah pada fase jaringan dari stadium perkembangan larva. Migrasi terjadi pada lapisan mukosa usus dan menyebabkan perdarahan (enteritis hemoraghica). Jika lesi tersebut bersifat parah akan mengalami gangguan proses pencernaan dan mengganggu proses penyerapan nutrisi, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan ataupun produksi.


Infeksi Ascaridia galli dapat menimbulkan penurunan berat badan yang berhubungan langsung dengan jumlah cacing yang terdapat dalam tubuh. Status nutrisi juga penting, ayam yang diberi protein tinggi lebih tinggi penurunan berat badannya dibanding dengan diberi pakan dengan protein lebih rendah. Infeksi Ascaridia galli dalam jumlah besar akan kehilangan darah, mengalami penurunan kadar gula darah, peningkatan asam urat, atrofi timus, gangguan pertumbuhan dan peningkatan kematian. Pada infeksi sangat berat akan terjadi penyumbatan usus, yang perlu menjadi catatan penting bahwa infeksi Ascaridia galli mempunyai efek sinergik/menimbulkan infeksi sekunder, seperti koksidiosis dan infectious bronchitis bahkan disinyalir dapat membawa reovirus dan menularkan virus tersebut.

Temuan yang terakhir pada kasus ayam kampang adalah terjadinya area granuloma pada paru-paru. Granuloma merupakan struktur perubahan atau lesi yang terjadi pada jaringan akibat infeksi dari agen-agen penyakit yang sulit diatasi oleh kekebalan ayam. Secara struktur perubahan jaringan, granuloma tersusun atas sentra granuloma yang berisi agen penyakit (jamur) sebagai usaha tubuh mengisolir agen tersebut, pada pewarnaan histopatologi berwarna eosinofilik (kemerahan). Tepi granuloma berisi jaringan ikat, sel-sel radang heterofil, makrofag alveolar dan sel-sel raksasa. Pada tampilan makroskopis, sayatan paru akan terlihat tuberkel, berisi eksudat (nanah) yang disinyalir merupakan aspegillus. Kerusakan paru akibat jamur ini menyebabkan gangguan pernafasan pada ayam dan jika kerusakanya sudah melebihi 50% permukaan paru kemungkinan besar metabolisme tubuh akan sangat menurun berujung kematian.

Ayam kampung yang dipelihara secara bebas (back yard) atau dikelola secara intensif tanpa biosekuritas yang memadai tidak akan mencapai produksi optimal karena kualitas dan kuantitas pakan yang kurang sesuai, serta penyakit yang memiliki paparan lebih besar seperti penyakit penyakit di atas. ***


Drh Joko Susilo, M.Sc.

PARASIT PADA UNGGAS "POTENSI CACING MENDEGRADASI KESEHATAN UNGGAS"

Prevalensi infestasi cacing pada ayam cenderung relatif tinggi terjadi pada ayam layer komersial. (Sumber: serfonteinpoultry.co.za)
Infestasi atau infeksi cacing pada ayam komersial tidak hanya menyebabkan penghambatan produktivitas semata. Namun mempunyai dampak lain yang bersifat indirect dan jauh lebih merugikan secara ekonomis. Bentuk nyatanya berupa respon yang cenderung lemah terhadap serangan infeksi agen penyakit bakterial maupun viral. Manifestasi yang dapat dimonitor antara lain dengan adanya kegagalan program vaksinasi dan terhambatnya pertumbuhan, serta produktivitas ayam, seperti disampaikan Drh Zahrul Anam, kepada Infovet.

Menurut teknisi kesehatan unggas lapangan dari PT Sanbe Cabang Yogyakarta ini, bahwa selama ini mainstream kuat tentang dampak buruk umumnya selalu mengarah langsung terhadap produktivitas ayam. Padahal tidak sedikit dampak ikutan lainnya yang jauh lebih dahsyat, yaitu terhadap status kesehatan dan stamina kesehatan unggas secara integral.

“Ayam yang mengalami infestasi cacing selalu membawa akibat berupa lemahnya respon dan terganggunya proses kekebalan tubuh yang muncul, sehingga berujung pada situasi dan kondisi kurang optimalnya kesehatan ayam,” ujar Zahrul.

Lebih lanjut, program vaksinasi yang dijalankan akan kurang berhasil dan berimplikasi pada ayam, sehingga menjadi rentan dan mudah mengalami sergapan penyakit. “Adanya cacing di dalam tubuh ayam, dalam status infeksius, akan menyebabkan ayam menjadi kurang tanggap terhadap serangan anekan agen penyakit. Hal ini dimulai dengan kurang berhasilnya program vaksinasi,” jelas dia.

Ia menambahkan, dengan adanya infestasi parasit cacing pada organ usus dalam derajat yang sedang hingga berat, berakibat pada rusaknya dinding dan vili-vili pada usus. Akibat kerusakan tersebut, mengganggu proses metabolisme tubuh. Hal ini diawali dengan terganggunya absorbsi nutrisi untuk membantu proses produksi zat kebal, selain menurunnya nafsu makn maupun minum. “Jika hal ini berlangsung dalam jangka waktu lama, sudah pasti akan bermuara pada lemahnya mekanisme respon sel tubuh dalam memproduksi zat kebal,” tambahnya.

Ia juga menjelaskan, akibat adanya infestasi parasit cacing di dalam tubuh ayam, juga akan menyebabkan gangguan keseimbangan cairan tubuh. Kemunculan stress merupakan manifestasi lain dari akibat gangguan tersebut. Karena itu, perlu penelusuran secara cermat jika menjumpai ayam yang semakin berkurang nafsu minum dan makannya. “Ini juga bisa menjadi awal adanya infestasi cacing. Selama ini banyak yang kurang memperhitungkan itu,” ucapnya.

Biasanya prevalensi (tingkat kejadian) infestasi cacing pada ayam cenderung relatif tinggi terjadi pada ayam komersial petelur, dengan derajat keparahan rendah hingga menengah. Zahrul menyebut, potensi gangguan penyakit belum begitu mengkhawatirkan dan umumnya diketahui pada derajat keparahan di tingkat menengah. Sedangkan pada ayam potong (broiler), relatif lebih kecil prevalensinya. “Akan tetapi jika dijumpai kasus infestasi dalam skala atau derajat tinggi, bisa mengarah pada kualitas sumber air minum maupun pada gudang pakan yang kurang higienis,” katanya.

Berkaitan dengan lemahnya respon tubuh ayam terhadap semua program vaksinasi, menurut ayah tiga anak ini, ketidak-optimalan hasil program pengebalan mempunyai peran yang besar. Dari hasil pengamatannya di lapangan, umumnya akibat yang timbul yakni rendahnya pencapaian target performa pertumbuhan dan produktivitas unggas.

“Dan ini selalu diketahui setelah ayam masuk dalam tahap produksi. Keterlambatan ini memang nyaris terjadi karena program pemberantasan cacing masih kurang mendapatkan perhatian. Walau dilakukan pengobatan hasilnya juga kurang maksimal,” tukasnya. Oleh karena itu, program pemberantasan cacing harus secara simultan dilakukan dengan program-program lainnya, agar hasil optimal dan terbaik yang akan dicapai. (iyo)

Penguatan Pengawasan Karantina Menuju Kalimantan Barat Bebas Rabies

Rapat koordinasi rabies regional Kalimantan Barat 2018.
(Foto: Karantina)
Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit menular ganas  yang disebabkan oleh virus yang dapat menyerang susunan syaraf pusat hewan berdarah panas, bahkan manusia. Penyakit ini ditularkan umumnya melalui gigitan anjing penderita rabies. Penderita rabies selalu diakhiri dengan kematian. Oleh karena itu, salah satu dampak kejadian rabies adalah ketakutan dan keresahan masyarakat.

Data dari Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, menyebutkan selama 2017 di seluruh Indonesia dilaporkan terjadi kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) sebanyak 65.429 kasus. Sebanyak 45.250 orang diantaranya diberi Post Exposure Treatment melalui pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR). Namun dari kasus GHPR tersebut, sebanyak 95 orang meninggal dunia. Kasus tertinggi kematian pada manusia terdapat di Sulawesi Utara dan Kalimantan Barat (Kalbar) masing-masing sebanyak 22 orang.

Kasus rabies di Kalbar terjadi pertama kali pada 2005 dan terkendali. Selama sembilan tahun tak pernah ada kasus, Kalbar dinyatakan bebas rabies oleh Kementerian Pertanian dengan SK Nomor 885/Kpts/PD.620/8/2014. Namun dengan adanya pengembangan fasilitas lalu-lintas, serta lemahnya implementasi pengendalian rabies pada September 2014, dilaporkan rabies menular di beberapa desa perbatasan Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat dengan wilayah Kalimantan Tengah. Kurun waktu September-Oktober 2014 terjadi 47 kasus kasus gigitan. Kemudian menyebar ke daerah lainnya yakni Melawi, Sintang dan Kapuas Hulu, hingga terjadi 730 kasus gigitan anjing dalam kurun waktu September 2014-Agustus 2015, dan sampai saat ini rabies dilaporkan terjadi di beberapa desa di 14 kabupaten/kota di Kalimantan Barat.

Merujuk data tim koordinasi Rabies Kalimantan Barat, selama Januari-April 2018 dilaporkan 599 kasus gigitan yang belum terjangkau vaksinasi. Hasil surveilan Balai Veteriner Banjarbaru menunjukkan identifikasi agen infeksi atau diagnosis rabies menggunakan Fluorescent Antibody Test (FAT) 97% positif pada anjing. Sedangkan persentase titer protektif hasil uji serologis Elisa Rabies menunjukkan masih kurang dari 70%.

Data dan fakta di atas menunjukkan bahwa rabies masih menjadi penyakit yang menakutkan, bahkan bagi manusia. Namun demikian, rabies bukanlah penyakit yang tidak bisa dicegah. Rabies bisa diatasi dengan kerjasama dan kemauan bersama dalam mengatasinya. Penerapan konsep One World One Health, melalui koordinasi langsung  instansi terkait hendaknya diperkuat agar pengendalian rabies secara teknis dapat dilaksanakan secara tepat dan cepat.

Ada beberapa strategi yang bisa diterapkan dalam upaya pembebasan dan pencegahan rabies di Kalimantan Barat. Vaksinasi sebagai strategi prioritas dalam pengendalian rabies harus dilaksanakan secara maksimal dengan cakupan vaksinasi di wilayah tertular minimal 70% dari populasi HPR. Vaksinasi ini bisa berjalan efektif melalui pendataan populasi HPR yang akurat sampai tingkat dusun/desa, pen-zoningan wilayah secara berjenjang yang membagi wilayah menjadi wilayah tertular, terancam dan bebas. Wilayah tertular dan terancam harus mendapat prioritas kegiatan pengendalian. Eliminasi anjing liar dan diliarkan juga diperlukan dengan memperhatikan aspek kesejahteraan hewan dalam pelaksanannya.

Vaksinasi HPR masal perlu dilakukan di wilayah perbatasan antar propinsi. Hal ini diperlukan guna membentuk sabuk kebal rabies di wilayah wilayah perbatasan tersebut. Namun demikian, pembebasan rabies seyogyanya dilakukan per pulau tidak per provinsi atau per kabupaten/kota, karena HPR adalah hewan yang bergerak, dapat berjalan lintas kabupaten/kota bahkan lintas provinsi. Oleh karena itu, perlu adanya gerakan vaksinasi rabies yang dilaksanakan serentak sepulau Kalimantan.

Peran Karantina
Sebagai garda terdepan dalam pencegahan masuk dan tersebarnya HPHK, Badan Karantina Pertanian melalui Balai Karantina Pertanian (BKP) Kelas I Pontianak ikut berperan dalam rangkaian pelaksanaan menuju Kalimantan Barat Bebas Rabies 2020. Sebagai acuan, selama 2017, BKP I Pontianak mencatat terjadi lalu-lintas masuk anjing ke Provinsi Kalimantan Barat melalui pintu-pintu pemasukkan dan pengeluraan yang ditetapkan sebanyak 142 kali dengan jumlah 270 ekor. Sedangkan lalu-lintas masuk hewan kucing terjadi sebanyak 32 ekor.

Penguatan pengawasan dilakukan di pintu-pintu pemasukkan dan pengeluaran yang telah di tetapkan seperti di Pelabuhan Laut Dwikora Pontianak, Bandar Udara Supadio Kubu Raya, Pelabuhan Laut Sintete Sambas, Bandar Udara Rahadi Osman Ketapang, Pelabuhan Laut Suka Bangun Ketapang, serta Pelabuhan Laut Kendawangan Ketapang. Pengawasan pemasukkan dan pengeluaran dilakukan oleh BKP Kelas I Pontianak dengan mengacu pada Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor: 87/Kpts/KR.120/L/1/2016 Tentang Petunjuk Teknis Tindakan Karantina Hewan Terhadap Hewan Penular Rabies.

Penguatan pengawasan juga dilakukan melalui kegiatan patroli bersama yang melibatkan Kepolisian Daerah seperti Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) dan Direktorat Kepolisian Air dan Udara (Ditpolairud), serta TNI. Untuk meningkatkan sinergitas antar instansi, BKP Kelas I Pontianak juga turut terlibat dalam koordinasi dan kerjasama dengan Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat, serta dinas terkait yang membidangi peternakan dan kesehatan hewan di kota/kabupaten se-Kalimantan Barat.

Dalam upaya peningkatan kesadaran masyarakat, BKP Kelas I Pontianak senantiasa melakukan sosialisasi baik langsung maupun tidak langsung melalui sarana komunikasi, informasi dan edukasi. Selain itu BKP I Pontianak juga ikut melibatkan masyarakat sekitar untuk lebih peduli terhadap pengendalian rabies dan HPHK lainnya. Dengan sinergitas diharapkan BKP I Pontianak dapat turut berperan serta dalam pembebasan rabies di Kalimantan Barat. ***

Drh Taryu, MSi
Kepala Seksi Pengawasan dan
Penindakan Balai Karantina Pertanian Kelas I Pontianak

Tangani Problem Gangguan Produksi dan Pencernaan pada Layer

Kasus penurunan produksi telur disebabkan beberapa faktor penting,
diantaranya pakan dan penerapan biosekuriti. (Foto: Aktual.com)
Problem/kasus gangguan produksi dengan pola 90/40, menyebabkan terjadinya penurunan produksi secara drastis, bahkan diawal produksi yang lebih dari 90% bisa turun dalam hitungan waktu yang sangat singkat menjadi sekitar 30%. Fenomena ini belakangan terjadi pada ayam petelur yang mendasarkan pada pengamatan dan analisa di beberapa peternakan/lokasi peternakan yang bermasalah dengan problem tersebut.

Penulis menyimpulkan ada beberapa faktor utama yang disinyalir menjadi akar masalah dan faktor pemicu kasus itu bisa terjadi, yakni 1) Berkenaan dengan kualitas pakan (dugaan mikotoksikosis yang menyebabkan terjadinya immunosupresi). 2) Lemahnya praktek biosekuriti yang diterapkan di lapangan sebelum terjadinya kasus. 3) Problem wet droping (kotoran cenderung basah) berkepanjangan dialami kelompok ayam yang bermasalah tersebut sebelum terjadinya kasus infeksi virus ditambah infeksi sekunder oleh bakteri.

Berkaitan dengan kualitas pakan yang disinyalir sebagai salah satu pemicu problem tersebut, dari analisa dan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan, ditemukan adanya cemaran beberapa jenis mikotoksin (aflatoksin, fumonisin, zearalenon, ochratoksin dan T-2 toksin) yang ada dalam sediaan pakan yang dibuat/diberikan pada ayam yang bermasalah dengan problem kasus 90/40. Adanya polikontaminasi mikotoksin dalam level rendah dari masing-masing jenis mikotoksin yang mencemari pakan tersebut dan diberikan dalam jangka waktu cukup panjang pada ayam, menyebabkan terjadinya gangguan stuktur dinding saluran pencernaan, gizzard erotion (lesi pada gizzard), gangguan fungsi hati dan juga gangguan fungsi organ penghasil zat kebal tubuh (limpa, timus dan sumsum tulang), sehingga menyebabkan terjadinya immunosupresi. Terjadinya immunosupresi karena mikotoksikosis menyebabkan ayam menjadi peka terhadap infeksi berbagai agen penyakit.

Faktor pemicu lainnya terjadi karena ayam mengalami gangguan pencernaan berkepanjangan, di mana ayam mengalami wet droping (kotoran basah), amoniak tinggi dalam lingkungan kandang dan populasi lalat yang tidak terkontrol sebagai vektor penyebaran agen penyakit, termasuk juga vektor dari cacing pita.

Lemahnya praktek biosekuriti yang semestinya secara konsisten harus dilakukan menyebabkan tingginya tingkat tantangan (challenge) agen penyakit yang ada di lingkungan peternakan, menyebabkan tingkat patogenitas dan virulensi virus penyebab infeksi penyakit menjadi meningkat, sehingga menyebabkan infeksi dan gangguan produksi pada ayam.

Dari adanya faktor pemicu tersebut di atas, membuat terjadinya penurunan status kekebalan tubuh ayam (immunosupresi), sehingga ayam menjadi sangat peka terhadap infeksi agen penyakit, baik yang disebabkan oleh infeksi virus maupun bakteri dan atau infeksi campuran oleh virus dan bakteri.

Penyebab sendiri dari agen infeksius yang menyebabkan gangguan produksi di mana produksinya turun secara signifikan mulai dari 90% menjadi 40% persen bahkan sampai turun menjadi 30%, diantaranya ada yang disebabkan oleh infeksi virus AI (H9N2 maupun H5N1), atau oleh infeksi virus IB, ND, EDS dan juga IBH, serta infeksi kuman Salmonella dan E. colli (Kolibasilosis) dan Coryza.

Penanganan dan Pencegahan
Solusi penanganan sekaligus mencegah problem tersebut di atas agar tak terulang bisa dilakukan dengan beberapa tindakan yang disarankan, diantaranya:

1. Jalankan praktek biosekuriti, yakni lakukan secara konsisten sanitasi agar terjaganya kebersihan lingkungan peternakan, membatasi pihak luar (manusia) untuk keluar masuk lokasi peternakan dan lakukan juga program disinfeksi secara rutin pada lingkungan sekitar peternakan untuk tujuan mengurangi cemaran kuman/virus yang ada di dalam kandang atau lingkungan peternakan, baik pada saat periode istirahat kandang maupun fase pemeliharaan.

2. Gunakan bahan baku pakan yang berkualitas baik untuk membuat ransum/pakan lengkap untuk ayam, seperti memilih dedak, MBM, Jagung dan bungkil kedelai yang berkualitas baik, agar meminimalisir cemaran toksinnya (seperti mikotoksin).

3. Tambahkan anti-mikotoksin/toxin absorbent yang punya kemampuan mengikat secara optimal semua jenis mikotoksin/toksin dalam campuran pakan untuk mencegah ayam dari efek mikotoksin/toksin yang menyebabkan immunosupresi (melemahnya sistem kekebalan tubuh ayam).

4. Untuk mengatasi dan mencegah wet droping (kotoran ayam yang keluar dari kloaka seperti diare/fesesnya pecah dan basah), melalui pakan (dicampurkan dalam sediaan pakan) disarankan pemakaian obat anti diare dan yang mampu menyerap racun dibarengi dengan pemberian zat yang mengandung sodium butyrate double buffer yang didesain khusus untuk pemakaian unggas dan hewan kecil, yang berfungsi  memperbaiki kondisi vili-vili usus yang rusak akibat keracunan atau pemberian antibiotik (AGP) secara terus menerus sebelumnya, serta dikombinasi dengan pemberian zat yang mengandung minyak esensial dan asam organik yang berfungsi sebagai pengganti AGP untuk menekan populasi kuman entero-patogen pada saluran pencernaan bagian bawah (illium dan colon).

5. Bila terjadi kasus 90/40 tersebut kuat dugaan-nya karena infeksi virus, maka untuk mempercepat proses kesembuhan ayam dari serangan virus IB tersebut, melalui air minum dapat diberikan produk minyak esensial sebagai antivirus dan sediaan antimikrobial untuk mencegah pembentukan eksudat pada saluran pernafasan, sehingga ayam mudah bernafas (untuk menghirup sebanyak mungkin oksigen).

6. Lakukan vaksinasi dengan menggunakan vaksin apapun yang berkualitas baik dan waktu vaksinasi yang sesuai anjuran.

7. Pastikan selalu memberikan air minum yang telah disterilisasi dengan cara klorinasi untuk mencegah penularan agen penyakit yang mencemari sumber air minum. Pastikan kadar aktif klorin tetap tersedia dalam air minum pada level minimum 0.5 ppm dan maksimum 1 ppm.

8. Bila penyebab gangguan produksi 90/40 karena infeksi bakteri, akan sangat dianjurkan melakukan pengobatan secara tuntas menggunakan antibiotik dengan kualitas terbaik dan disertai pemberian minyak esensial, yang membantu mencegah infeksi virus dan juga bakteri lain yang dapat memperparah problem pencernaan maupun pernafasan.

Demikian solusi komprehensif yang dapat penulis sampaikan, semoga dapat membantu mengatasi, sekaligus mencegah problem kesehatan dan gangguan produksi yang dihadapi pengusaha peternakan ayam petelur di lapangan. ***

Drh Wayan Wiryawan
PT Farma Sevaka Nusantara,
Pengurus/anggota ADHPI
(Asosiasi Dokter Hewan
Perunggasan Indonesia)

Menghindari Serangan IBH (Inclusion Body Hepatitis) di Farm Broiler

Pemeliharaan broiler prosesnya sangat cepat. Untuk mencapai finish dengan normal
diperlukan kondisi fit sejak kedatangan DOC di farm, yang tidak hanya berpedoman pada
kondisi fisik secara kasat mata, melainkan kualitas DOC secara internal quality.
(Foto: Ridwan)

Oleh: Suryo Suryanta
Konsultan Manajemen Ayam

Lagi-lagi kasus gangguan kesehatan menyeruak di lapangan yang mengakibatkan kerugian yang signifikan karena kematian ayam dengan kisaran 5-65%, sehingga konversi pakan menjadi membengkak. Kasus IBH menjadi pelik karena gejala infeksinya agak sulit dibedakan dengan kasus Gumboro (IBD), meskipun disebutkan bahwa kontaminasi IBH dapat terdeteksi sejak dini saat penerimaan DOC bila terjadi kontaminasi di breeder ataupun di hatchery, ditulis Drh Eko Prasetio, Infovet edisi Februari 2018.

Kejadian infeksi IBH muncul setelah ayam sudah mulai besar (800 gr) atau di umur sekitar 18 hari dengan meningkat kematiannya. Yang paling repot kejadian tidak terdeteksi, namun kematian tinggi saat pelaksanaan panen, baik kematian saat penangkapan hingga saat  ayam sudah di kendaraan. Berikut tanda-tanda IBH yang terjadi di lapangan dari (kontributor Dokter Hewan yang aktif di lapangan):

Gambar: Dok. Pribadi
Contoh kasus di lapangan, pada flok yang terdiri dari tiga kandang, hanya satu kadang yang mengalami serangan IBH tersebut yang diikuti dengan gejala ND dan colli, sehingga kematian menjadi meningkat tajam hingga 20%. Meskipun yang terkena hanya satu kandang, namun memberikan kerugian secara total menyeret kandang lain yang performance-nya normal. Tentunya kondisi ini merugikan bagi peternak broiler, meskipun harga livebird tinggi tetap tidak memberi keuntungan, hanya mampu mengurangi tingkat kerugian yang dialami peternak.

Meskipun tingkat morbiditas kasus IBH ini tidak meluas atau dapat disebutkan hanya spot-spot, namun kejadian ini seolah menjadi trauma bagi peternak atau “down mental”, karena mereka ragu-ragu untuk melakukan chick-in lagi, karena khawatir akan terserang kasus IBH kembali. Mereka sadar masih belum dapat mengatasi secara preventif apalagi mengatasi setelah terjadi wabah. Oleh karena itu, perlu dituntaskan mengenai kasus IBH ini untuk menghindarkan dari farm, sehingga mendorong semangat para peternak untuk kembali berusaha.

Budidaya Broiler seperti Lomba Lari Sprint
Pemeliharaan broiler hanya sampai 30-35 hari dengan bobot panen mencapai 1,6-2,2 kg, bahkan tidak sedikit yang dipanen pada umur 22-25 hari dengan bobot 0,9-1,2 kg. Hal ini menunjukkan bahwa pemeliharaan broiler adalah proses yang sangat cepat ibarat lomba lari sprint. Untuk mencapai finish dengan kecepatan normal diperlukan kondisi yang fit sejak kedatangan DOC di farm. Kondisi yang fit sampai sekarang masih berpedoman hanya pada kondisi fisik yang kasat mata, seperti tidak cacat, berat DOC, kekeringan, warna bulu dan kelincahan. Tentu sudah perlu diarahkan pada pedoman kualitas DOC secara internal quality, yaitu dari aspek kecukupan nutrisi penyusunnya, serta memastikan bebas kontaminasi dari induk, baik bebas salmonella, bebas jamur atau fungus, bebas bakterisidal, seperti colli dan pseudomonas dan bebas kontaminasi yang bersifat virusidal.

Mengapa DOC harus full nutrisi, karena jumlah sel dasar dan kekebalan tubuh terstruktur oleh nutrisi yang akan menjadi pondasi dasar untuk pertumbuhan dan pembentukan organ kekebalan. Dengan pertumbuhan broiler yang cepat, maka harus diimbangi dengan perkembangan organ kekebalan yang cepat pula, sehingga jumlah sel dasar penyusunnya harus dalam jumlah yang ideal.

Sebagai ilustrasi sederhana ayam breeder 32 minggu dengan standar berat HE 60 gram, sehingga akan memiliki variasi berat DOC 35-47 gram, selanjutnya pada umur 40 minggu akan memiliki standar berat HE sudah 65 gram, sehingga berat DOC akan bervariasi dari 40-52 gram, artinya pada umur 40 minggu harus sudah tak lagi ditemukan berat DOC di bawah 40 gram. Namun kondisi yang dihadapi di lapangan belum tentu bisa terwujud dengan baik, sehingga masih dijumpai berat DOC di bawah 40 gram meskipun umur induk sudah di atas 40 minggu.

Apakah yang Mengganggu Nutrisi Telur Tetas (HE)
Ada anomali gangguan yang sangat riskan pada breeder broiler, yaitu jatuhnya telur ke perut ayam, disebut anomali karena kejadian yang tidak mudah dideteksi secara dini, namun hanya bisa diketahui dari akibatnya. Kejadian ini pun bisa diketemukan karena ada faktor lain yang involve yaitu bila ada kontaminasi bakteri, sehingga muncul yang disebut Egg Peritonitis dengan kejadian mortalitas yang tinggi. Lebih lanjut disebut anomali karena kejadian telur jatuh atau bisa disebut internal laying disebakan oleh yang disebut Erratic Oviposition And Defective Egg Syndrome (EODES), yaitu terjadi ketika ayam memiliki terlalu banya folikel ovarium yang besar, sehingga akan banyak kejadian double yolk dan prolapsus. Kejadian EODES karena terjadi stimulasi cahaya dini pada ayam ayam yang underweight atau yang juga overweight, sehingga cara preventif mengatasi EODES hanya dengan menunda stimulasi cahaya pada ayam pullet yang underweight, serta menghindari ayam yang overweight.

Gambar: Dok. Pribadi
Kejadian telur jatuh ke perut juga akan aman karena akan diserap kembali ke tubuh ayam sejauh bila tidak ada kontaminasi bakteri. Namun bila muncul gangguan Toksikasi, yaitu adanya toksin yang masuk meracuni atau  terjadi akumulasi toksin di dalam tubuh ayam. Toksikasi menyebabakan daya tahan tubuh menurun (imunosupresi), maka salmonella ataupun colli di dalam tubuh akan mengalami replikasi dan mampu mengintervensi tubuh ayam. Proses replikasi menjadi berkepanjangan bila ada kuning telur ada di perut ayam karena menjadi tempat tinggal dan berkembangbiak.

Kondisi ini akan menjadi problem yang berkepanjangan karena tidak akan mudah diatasi dengan perkembangbiakkan bakteri di perut ayam. Kondisi inilah yang menjadi “biang bertunas” ke telur tetas yang dihasilkan ayam tersebut, sehingga menjadi HE yang terkontaminasi bakteri colli dan salmonella. Meskipun secara jumlah telur yang tertunas tidak banyak namun seperti menyimpan “bom waktu” yang sewaktu-waktu bisa meledak saat proses inkubasi, sehingga menjadi spreading atau penyebaran yang meluas pada telur yang embrionya sudah berkembang, serta waktu yang krusial di hatcher pada saat telur piping atau ayam sudah siap menetas dengan mulai paru DOC keluar dari cagkang, maka DOC akan menghirup kontaminan colli maupun salmonella ke saluran pernapasan dan pencernakan DOC tersebut.

Resiko Berganda dan Solusi
Dengan adanya telur jatuh ke perut dan terkontaminasi bakteri maka menjadi simpanan kontaminan yang siap bertunas di telur yang diproduksi pada ayam tersebut. Meskipun semua ini menjadi potensial yang aman bila tidak ada “si pemantik api” yaitu toksin. Dengan adanya toksin menyebabkan gizzard errotion dan usus juga terjadi enteritis maka penyerapan nutrisi menjadi menurun, akibatnya nutrisi penyusun dalam telur menjadi tidak optimal.

Dapat disimpulkan bahwa akibat Toksikasi di breeder akan menyebabkan kematian tinggi, menyebabkan kontaminasi telur tetas, sehingga hatchability turun dengan kualitas DOC juga menurun. Selanjutnya DOC yang dihasilkan juga memiliki nutrisi yang kurang, serta memungkinkan tertunas atau terkontaminasi bakteri colli dan salmonella sehingga culling juga tinggi.

Dengan DOC yang seperti ini tentu pertumbuhan juga kurang optimal, serta pertumbuhan organ kekebalan juga tidak maksimal yang akan mudah terserang oleh bakteri maupun virus. Kondisi broiler farm yang terwabah IBH muncul tanda gizzard errotion, artinya juga terjadi munculnya IBH oleh adanya Toksikasi. Dengan adanya Toksikasi maka penyerapan nutrisi menjadi kurang maksimal, serta terjadi penurunan daya tahan tubuh yang akan memunculkan outbreak IBH.

Perlu digaris-bawahi bahwa kronologis munculnya kasus IBH di farm broiler bukan IBH-nya diturunkan dari induk breeder, namun diawali dengan kontaminasi bakteri dan salmonella pada DOC, serta komposisi nutrisi penyusunnya yang kurang sempurna, sehingga daya tahan tubuh DOC menjadi rendah. Selanjutnya DOC yang lemah ini menjadi rentan untuk masuknya outbreak IBH. Jadi dapat disimpulkan bahwa secara kronologis munculnya IBH dipicu oleh pengaruh toksin yang melanda di induk breeder, serta di farm broiler-nya. Oleh karena itu, hanya satu solusi yang harus dilakukan secara simultan di farm breeder dan farm broiler dengan menjinakkan toksin melalui Detoksikasi.

Detoksikasi
Mengambil istilah dari proses perawatan kesehatan untuk manusia, Detoksikasi merupakan proses menurunkan toksisitas pada tubuh ayam, sehingga mampu menetralisir efek toksisitas dari toksin yang mampu mengondisikan gizzard menjadi lebih baik, vili-vili usus sempurna, serta organ hati memiliki tingkat kekenyalan yang normal.

Dengan kondisi organ dalam yang sempurna ini mampu mendorong pertumbuhan sel-sel telur atau ovum dan ovarium juga sempurna. Hasil dari penerapan Detoksikasi yang sudah konsisten mampu memberikan pengaruh yang baik pada performance produksi, sehingga HD di breeder akan dimudahkan mencapai produksi HD 88-90%, serta berkelanjutan pada broiler yang dimulai dari kualitas DOC yang baik hingga bisa disebut zero komplen, serta memiliki performa broiler yang terbebas dari kasus IBH. ***

Gambar: Dok. Pribadi

Nekrotik Enteritis & Koksidiosis: Duet Maut Pembawa Kematian

Siklus hidup koksidia. (Gambar: CR)

Kombinasi atau yang biasa disebut dengan istilah Duet ternyata juga berlaku dalam penyakit unggas. Kita familiar dengan penyakit CRD kompleks sebagai penyakit mematikan pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh infeksi Mycoplasma gallisepticum dan E.coli. Ada pula yang tak kalah mematikan, yakni duet antara Nekrotik Enteritis dan Koksidiosis. Kombinasi keduanya membuat peternak ketar-ketir.

Awal Mula
Jika peternak ditanya “Pak, ayamnya sudah pernah kena koksidiosis atau nekrotik enteritis..?” Semua pasti sepakat menjawab “Aduh, jangan sampai deh”. Koksidiosis dan nekrotik enteritis, keduanya sama-sama “beroperasi” di saluran cerna, utamanya usus. Bedanya yang satu penyebabnya adalah protozoa (Eimeria sp.), yang satunya lagi adalah bakteri (Clostridium perfringens).

Jika membuka kembali buku atau diktat kuliah penyakit unggas, secara keseluruhan ada 12 jenis Eimeria yang dibedakan berdasarkan lokasi lesio, bentuk lesio, bentuk dan ukuran berbagai stadium perkembangan (ookista, schizont, merozoit), lokasi di jaringan dan waktu sporulasinya.

Dari ke-12 jenis Eimeria tersebut ada sembilan spesies yang mampu menginfeksi ayam, yaitu E. acervulina, E. brunetti, E. maxima, E. necratix, E. mivati, E. mitis, E. praecox, E. tenella dan E. hagani. Namun dari kesembilan spesies Eimeria sp. itu tidak kesemuanya bersifat patogen pada ayam. Ada lima spesies Eimeria sp. yang patogen pada ayam, yaitu E. tenella, E. maxima, E. necratix, E. acervulina dan E. brunetti, kesemuanya menjadi momok bagi peternak.

Hampir senada dengan koksidiosis, nekrotik enteritis juga mengakibatkan kerusakan pada usus, bedanya nekrotik enteritis adalah penyakit bakterial yang bersifat sporadik pada ayam yang disebabkan infeksi Clostridium perfringens tipe A dan tipe C. Seperti yang disebutkan di atas tadi, di lapangan kasus koksidiosis dan nekrotik enteritis sering berjalan beriringan.

Hal ini bisa terjadi karena saat koksidia menyerang terjadi perdarahan dan kerusakan jaringan pada ileum yang mentrigger adanya kolonisasi bakteri anaerob, yaitu Clostridium perfringens. Adanya kolonisasi bakteri anaerob tentunya berlanjut dengan serangan nekrotik enteritis atau kematian jaringan usus.

Tak Kenal Ampun
Technical Education & Consultation PT Medion, Drh Christina Lilis, menyatakan bahwa kedua penyakit yang sering “hangout bareng” ini benar-benar mematikan. “Kalau sudah kena penyakit ini akan benar-benar merepotkan, terutama koksidia, karena protozoa itu berbeda dengan bakteri dan virus, jadi agak susah dieradikasi,” katanya.

Ia melanjutkan, secara normal di dalam usus ayam yang sehat terdapat bakteri C. perfringens sebagai bakteri komensal (tidak menyebabkan terjadinya outbreak penyakit). Namun, hubungan ini bisa berubah menjadi parasitisme disaat kondisi ayam sedang buruk atau tidak fit dan didukung dengan kondisi lingkungan yang tidak nyaman (tantangan agen penyakit, stress, dll), maka wabah nekrotik enteritis dapat terjadi. Pada ayam yang mati karena NE, jumlah C. perfringens yang dapat diisolasi pada usus ialah > 107-108 CFU per gram isi usus, sedangkan jumlah bakteri C. perfringens di dalam usus ayam pedaging yang sehat berkisar 0-105 CFU tiap gram isi usus.

Jika berbicara mengenai kerugian, serangan koksidiosis (apalagi berkombinasi dengan nekrotik enteritis) adalah jagonya. Tingkat kematian yang disebabkan penyakit ini bisa mencapai 80-90% dari total populasi pada ayam broiler, selain itu produksi telur pada layer sudah pasti terganggu. Seakan tidak puas sampai di situ, serangan koksidiosis juga akan menimbulkan efek imunosupresif yang menjadikan ayam rentan terhadap infeksi penyakit lainnya.

Bagaimana bisa sampai imunosupresif? Lilis lebih lanjut menerangkan. Hal pertama yang terjadi adalah kerusakan pada jaringan mukosa usus menyebabkan proses pencernaan dan penyerapan zat nutrisi tidak optimal. Akibatnya, terjadi defisiensi nutrisi pembentukan antibodi jadi terganggu.

Kedua Peyer's patches dan caeca tonsil (organ pertahanan di mukosa usus) mengalami kerusakan, jika kedua organ ini rusak akan mengakibatkan ayam lebih rentan terinfeksi penyakit lainnya. Ketiga, di sepanjang jaringan mukosa usus terdapat jaringan limfoid penghasil antibodi (IgA), di mana IgA tersebut akan terakumulasi di dalam darah. Kerusakan mukosa usus akan mengakibatkan keluarnya plasma dan sel darah merah, sehingga kadar IgA sebagai benteng pertahanan di lapisan permukaan usus pun menurun. “Sudah menyebabkan kematian, produksi turun, imunosupresif, kurang mengerikan apalagi coba duet penyakit ini?,” ucap Lilis. *** (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Mei 2018.

Pengendalian NE dan Coccidiosis Jaman Now

Gambaran lokasi kejadian koksi. (Gambar: Sumarno)

Overview
Kebijakan berbagai negara termasuk Indonesia terkait dengan pelarangan penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (AGP) telah berlaku sejak Januari 2018. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 14/2017. Pro dan kontra terkait kebijakan ini telah terjadi di masyarakat bahkan sebelum kebijakan tersebut berlaku, mengingat selama ini AGP sangat jamak digunakan oleh masyarakat (peternak) untuk meningkatkan performa unggas.

AGP secara umum digunakan untuk menekan pertumbuhan bakteri patogen dalam usus dan biasanya spesifik mengarah ke bakteri gram positif, yaitu bakteri Clostrodium perfringens. Bakteri ini adalah agen penyebab penyakit Necrotic enteritis (NE). Dengan dilarangnya penggunaan AGP maka kemungkinan besar kemunculan penyakit ini akan semakin sering terjadi. Menurut Paiva D., and McElroy A J. (Appl. Poult. Res. 23: 557-566) menyatakan bahwa kejadian NE meningkat setelah dilarangnya penggunaan antibiotik sebagai AGP. Masih menurut Paiva D., and McElroy A J. (Appl. Poult. Res. 23: 557-566) bahwa kejadian NE yang bersifat sub-klinis menyebabkan kerugian ekonomi lebih besar. Fenomena kejadian NE seperti fenomena gunung es, di mana yang bersifat sub-klinis justru lebih besar dibandingkan dengan klinis. Kejadian NE sub-klinis ditandai dengan ayam tampak tidak sehat, ADG yang tidak tercapai dan feed conversion yang buruk.

NE-Koksidiosis dan Dampak Ekonominya
Kemunculan NE pada broiler tidak bisa lepas dari infeksi parasit awal yakni coccidiosis. Gejala jika dilihat dari ekskreta yang di keluarkan broiler pun hampir sama cirinya, yakni cenderung berdarah. Infeksi awal NE pada saluran pencernaan akan mengikuti setelah koksi yang akan menyerang terlebih dahulu dan biasanya di sekitar duodenum. Masuknya koksi, akan menembus vili-vili usus. Banyaknya sel usus yang rusak merupakan pintu bagi masuknya Clostridium perfringens, serangannya pun tak tanggung-tanggung, yakni sepanjang usus itu sendiri. Kasus yang terjadi pada broiler lebih banyak disebabkan oleh buruknya manajemen pemeliharaan dan sanitasi kandang, kepadatan yang berlebihan, serta buruknya sirkulasi udara yang mengakibatkan sekam basah.

Menurut Van der Sluis, W. 2000, dalam “Clostridial enteritis is an often underestimated problemWorld Poultry. 16 (7): 42-43, menyatakan bahwa kerugian ekonomi  yang diakibatkan oleh NE dan koksidiosi adalah US$ 0,05 (setara Rp 500) tiap ekornya. Kerugian besar ini disebabkan karakter NE yang menimbulkan kerusakan jaringan (nekrosis) usus, sehingga menghalangi proses penyerapan nutrisi pakan dalam saluran digesti. Dampaknya, konsumsi pakan yang merupakan porsi terbesar dalam biaya produksi dan belakangan harganya menggila tidak sanggup oleh tubuh dikonversi menjadi daging. Alhasil, pertumbuhan lambat, FCR pun membengkak. ***

Drh Sumarno Wignyo
Senior Manager Poultry Health
PT Sierad Produce, Tbk

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Mei 2018.

Benarkah Koksidiosis Masih Mengancam Peternak Ayam Ras Komersial

Serangan koksi dapat menyebabkan tingkat mortalitas tinggi. (Sumber: Google)

“Menjaga infestasi parasit Coccidia sp., di puncak teratas dalam manajemen kesehatan unggas merupakan satu hal penting agar dapat terhindar dari Koksidiosis,” demikian disampaikan Jake Davies yang dikutip dari laman poultryworld.net. Pernyataan Jake Davies membuka mata pembudidaya unggas komersial dunia akan pentingnya menjaga kebersihan kandang, baik di dalam maupun di luar kandang.

Kebersihan kandang dan peralatannya menjadi topik hangat dari beragam diskusi semi-ilmiah sampai ilmiah, sehingga tidak sedikit para pemerhati bidang produksi ternak unggas melakukan kajian terkait dengan korelasi kebersihan kandang dengan kejadian berbagai penyakit.

Sebuah laporan hasil penelitian menyebutkan bahwa kandang dengan tingkat kebersihan minimal, ternaknya lebih mudah dijangkiti oleh beragam bibit penyakit jika dibandingkan dengan kondisi kandang dengan tingkat kebersihan maksimal. Hal inilah yang mengantarkan statement Prof Drh Ekowati Handharyani PhD APVet, bahwa semua bibit penyakit merupakan ancaman bagi pembibit, pembudidaya ataupun pemelihara unggas komersial, seperti ayam ras pedaging dan petelur.

“Ancaman penyakit itu tidak hanya dari Coccidia sp., saja, namun dari beragam virus dan bakteri dapat menjadi ancaman bagi peternak,” kata Prof Ekowati mengawali diskusinya dengan awak Infovet.

Menurut dia, sebagai negara yang beriklim tropis, Indonesia disebut sebagai surganya bagi mikroorganisme, baik yang patogen maupun non-patogen. Hal ini berarti bahwa kondisi lingkungan usaha peternakan komersial dapat dikatakan tidak aman karena bibit penyakit dapat mengancam kapan saja.

Pembicaraan terkait dengan penyakit di dunia perunggasan tidak pernah habis. Hal ini disebabkan karena sektor perunggasan merupakan sektor inti yang mendukung penyediaan bahan pangan hasil ternak, bernutrisi tinggi dan disukai hasil olahannya oleh semua kalangan konsumen.

Sebagai ternak yang disebut memiliki potensi gen pertumbuhan terbaik, ayam ras komersial harus dipelihara pada kondisi lingkungan luar dan dalam kandang yang sesuai, pakan yang cukup dan bernutrisi tinggi, serta minimum paparan mikroorganisme patogen. Ada banyak mikroorganisme patogen yang dapat menyerang unggas dalam tatanan budidaya, baik komersial maupun non-komersial, seperti bakteri, fungi, virus maupun dari jenis parasit. Salah satu parasit yang sering menggerogoti usaha peternakan ayam ras komersial adalah protozoa Coccidia sp., sebagai penyebab penyakit koksidiosis pada unggas.

Koksidiosis dan Heat Stress
Menurut Michels et al. (2011), koksidiosis merupakan penyakit umum terpenting pada unggas yang menyerang intestinal yang disebabkan oleh parasit protozoa dari genus Eimeria. Penyakit yang terkenal dengan istilah berak (feses) darah ini merupakan penyakit parasiter yang dapat mengganggu saluran pencernaan bagian aboral. Kerusakan bagian ini biasanya dapat terlihat dari gejala yang muncul, yakni diare yang diikuti oleh dehidrasi, yang dapat berakhir dengan kematian. Menurut Retno et al. (1998) dan Tabbu (2002), angka kesakitan ayam yang terpapar protozoa genus Eimeria dapat mencapai 100% dari populasi, sedangkan angka kematian dapat berkisar 80-90% dari total populasi di kandang. Tingginya angka kematian ini menyebabkan trauma atau ketakutan bagi peternak terhadap koksidiosis dimaksud.

“Koksidiosis itu sebenarnya adalah penyakit umum pada unggas termasuk ayam ras komersial yang dapat dijumpai di negara beriklim tropis, memiliki dua musim, panas dan musim hujan, dengan kelembaban yang ekstrim, menjadi tempat yang disukai oleh banyak bibit penyakit untuk tumbuh dan berkembangbiak dengan cepat,” tambah Prof Ekowati.

Prof Ekowati yang juga Alumni Program Doktoral Graduate School of Veterinary Medicine Hokkaido University Jepang ini, juga menyebut protozoa genus Eimeria menyukai daerah-daerah dengan temperatur tinggi, namun kelembabannya rendah. Munculnya kasus koksidiosis biasanya dipicu oleh kondisi ayam yang dipelihara, di samping kondisi lingkungan kandang yang juga dapat mendukung berjangkitnya penyakit.

Merujuk pada buku yang ditulis oleh Nuhad J. Daghir berjudul “Poultry Production in Hot Climates” edisi kedua yang terbit pada 2008, dijelaskan bahwa stress menjadi faktor predisposisi penyakit tertinggi pada unggas khususnya di daerah-daerah beriklim panas. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Tabbu (2000), bahwa stress terutama heat stress berdampak jelek pada ayam ras komersial. Dampak tersebut dapat berupa turunnya intake pakan, sehingga produksi optimal tidak dapat dicapai. Di samping itu, stress diduga juga dapat menurunkan sistem imun, sehingga ayam dapat dengan mudah terpapar oleh bibit penyakit.

Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Mashaly MM et al. (2004) yang dimuat di Poultry Science 83: 889-894, menyebutkan bahwa ayam ras petelur pada kelompok yang di-treatment dengan heat stress menunjukkan terjadinya penurunan jumlah sel darah putih dan produksi antibodi secara signifikan. Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pada kondisi heat stress, angka kematian jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi un-heat stress, hal yang sama untuk produktivitas berupa produksi telur dan mutu dari telur yang diproduksi, lebih jelek dari ayam ras petelur pada kondisi un-heat stress. Hal ini berarti bahwa heat stress tidak hanya dapat memengaruhi kinerja produksi, namun juga dapat menghambat fungsi kekebalan tubuh ayam ras petelur, sehingga ayam ras petelur dan/atau unggas lainnya mudah dipapari oleh bibit penyakit.

Terkait dengan kondisi tersebut, peternak sejatinya harus paham dan cepat tanggap, bagaimana menurunkan atau menghambat terjadinya stress pada ayam komersial yang dipeliharanya. “Jika stress dapat membuka jalan bibit penyakit masuk ke dalam tubuh ternak, maka peternak seharusnya dapat menjaga ternak yang dipeliharanya untuk tidak stress,” kata Prof Ekowati. (Sadarman)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Mei 2018.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer