Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini penyakit | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Aksi Cerdas Antisipasi Koksi



Pakar ilmu penyakit parasiter dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada ( FKH UGM) Yogyakarta Dr Drh Dwi Priyo Widodo, MP mengungkapkan bahwa problema utama wabah penyakit koksidiosis atau berak darah pada ayam ras erat terkait dengan stress, pakan dan manajemen. Oleh karena itu, upaya yang bersifat antisipasif dan bersifat mencegah adalah langkah yang paling utama dan terbukti membuahkan hasil nyata yang lebih pasti.

Untuk itu program biosekuriti yang benar dan baik adalah salah satu kebutuhan yang tidak bisa ditawar. Khusus untuk menghadapi sergapan penyakit pada saluran pencernaan, yang “sangat membandel” maka pilihan koksidostat adalah kunci penting yang kedua.

Terlebih organisme penyebabnya yakni Eimeria (E) necatrix dan E. tenella umumnya selalu menunjukkan gejala nyata atau bersifat klinis. Hal ini menjadi pedoman dasar yang mutlak untuk dipertimbangkan oleh para pengelola kesehatan ayam di lapangan. Sedangkan jenis yang lain pada umumnya bersifat sub klinis seperti E. maxima dan E. acervulina. Demikian rekomendasi Dwi Priyo ketika memaparkan materi tentang koksidiosis pada saat seminar di UGM, Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Perihal stress pada ayam yang terkait dengan timbulnya wabah penyakit berak darah pada kejadian di lapangan, menurutnya juga akibat dari perubahan  jenis pakan dan suhu lingkungan yang ekstrim, serta tindakan potong paruh.

Khusus masalah perubahan jenis pakan, hal itu adalah suatu menejemen yang jelas nyata dan diketahui akan adanya dampak sesudahnya. Akan tetapi umumnya para penanggung jawab di lapangan selalu menganggap remeh dan ringan. 

Stress yang muncul itu tidak selalu berkait dengan rentetan yang berubah dari kualitas pakan yang baik ke kualitas kurang baik/buruk saja. Namun, juga akibat sebaliknya, dapat menyebabkan hal yang sama. Menurutnya pria kelahiran Bantul 29 Januari 1969 itu, bahwa persoalan penyakit berak darah pada ayam komersial jauh lebih tinggi prevalensinya dibanding ayam di farm pembibitan. Hal ini karena program biosekuriti yang diterapkan farm pembibitan lebih ketat dan pengawasan yang lebih intensif.

Seperti diketahui ada beberapa spesies dari eimeria, diantaranya E. tenella, E. acervulina, E. mitis, E. maxima, E. mivati, E. praecox dan E. hagani. Setidaknya ada dua yang paling sering membuat ulah dan masalah yang sangat merepotkan peternak ayam komersial, yakni E. tenella dan E. necatrix. Keduanya sangat patogen dan lebih banyak membawa akibat yang sangat merugikan. *** (iyo)

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Juni 2018.

Kerugian Ekonomi Akibat Wabah Penyakit Jembrana


Wabah memiliki arti terjadinya suatu penyakit di suatu daerah atau wilayah, terjadi secara cepat dengan angka kematian dan kesakitan cukup tinggi dan menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Penyakit pada ternak terjadi karena infeksi viral, bakterial atau parasit yang bisa menimbulkan wabah, antara lain penyakit Jembrana (sapi bali), Septisemia epizootika, Antrak, Hog cholera, Avian influenza, Newcastle disease dan beberapa penyakit lainya terutama yang bersifat bakterimia, viremia dan septikemia. Dampak kerugian ekonomi yang diakibatkan wabah penyakit tersebut akan terjadi secara langsung ataupun secara tidak angsung.

Wabah penyakit jembrana akhir-akhir ini terjadi di beberapa daerah di Pulau Sumatera, yang merupakan daerah sentra sapi bali dengan pemeliharaan secara ekstensif pada lahan sawit. penyakit jembrana disebabkan oleh retrovirus, dari anggota group lentivirus yang unik dan disebut Jembrana Disease Virus (JDV). Penyakit jembrana adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh, patogenesis penyakit dimulai dari masuknya agen penyakit, masa inkubasi, virus memperbanyak diri dalam sel target, gejala klinis dan mati atau kesembuhan. Masa inkubasi berkisar antara 4-7 hari yang diikuti dengan munculnya demam hingga mencapai 41-42o C yang berlangsung 5-12 hari (rata-rata tujuh hari). Fase demam terjadi penurunan limposit terutama sel limposit B dan trombosit. Menurunya trombosit menimbulkan perdarahan dihampir semua organ tubuh dan kulit yang luka akibat gigitan serangga pengisap darah potensial seperti lalat Tabanus sp. Penurunan sel limposit B (sel dalam sistem kekebalan tubuh), menyebabkan infeksi sekunder bakteria pada organ tubuh yang berhubungan dengan udara luar, seperti paru paru, ginjal dan saluran pencernaan menimbulkan pneumonia, nephritis dan enteritis. Akibat peradangan ginjal, ureum tidak bisa dibuang dalam urine dan kembali masuk dalam peredaran darah. Kadar ureum yang tinggi (uremia) menyebabkan sel epitel menjadi rapuh dan menyebakan erosi pada selaput lidah dan mukosa mulut. Pada umumnya kematian akibat penyakit jembrana disebabkan oleh kadar uremia yang sangat tinggi dalam darah. Perjalanan penyakit secara imunologis menunjukkan bahwa sel limposit B adalah sel target bagi virus jembrana. Menghilangnya sel limposit B selama 2-3 bulan pasca infeksi menyebabkan kegagalan pembentukan antibodi (kekebalan humoral).

Penyakit jembrana bersifat akut dan hewan yang sembuh akan menjadi karier. Pada hewan karier ini, virus jembrana akan menyatu dengan gen target limposit B mungkin selama hidupnya. Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti bagaimana hewan karier ini bisa menjadi sumber penularan penyakit jembrana. Diduga apabila sapi Bali dalam keadaan stress, kemungkinan virus yang ada di dalam limposit akan mempunyai kesempatan untuk memperbanyak diri dan keluar dari limposit B dan menjadi virus ganas yang dapat menularkan penyakit jembrana pada sapi Bali yang peka. Kejadian penyakit jembrana pada suatu wilayah cenderung akan bersifat endemis dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang jauh lebih rendah dibandingkan saat kejadian wabah yang bisa mencapai 100%.

Pada lahan penggembalaan di lahan sawit, sapi bali dari pemilik yang berbeda-beda akan berkumpul pada lokasi yang sama untuk mencari makan. Penularan secara mekanis dapat terjadi melalui insekta penghisap darah, seperti lalat Tabanus rubidus. Di samping penularan secara mekanis, penularan melalui kontak langsung antara penderita dengan hewan sehat. Secara eksperimental, penyakit jembrana dapat ditularkan melalui oral, lubang hidung, konjungtiva mata dan semen. Pada saat demam, titer virus penyakit jembrana dalam darah baik dalam sel maupun plasma darah dapat mencapai 108 partikel virus/ml. Pada kondisi ini, penularan melalui jarum suntik dapat dengan mudah terjadi.

Kerugian Langsung
Wabah yang terjadi di suatu daerah menimbulkan kerugian ekonomi secara langsung yang dihadapi oleh peternak. Kerugian secara langsung yang terlihat meliputi jumlah kematian ternak, angka kesakitan, penanganan kesehatan hewan dan penurunan populasi, sedangkan yang tidak terlihat adalah penurunan reproduksi, terjadi perubahan struktur populasi dan penurunan efisiensi pakan. Jika wabah terjadi pada populasi 5.000 ekor sapi Bali dengan kematian 100%, maka kerugian ekonomi yang terjadi adalah 5.000 ekor x Rp 10 juta (rata rata harga sapi normal tanpa wabah). Total kerugian akibat kematian ternak sebesar Rp 50 milyar. Asumsi lainnya, tingkat kematian 2% yaitu 100 ekor sapi, maka kerugian mencapai Rp 1 milyar.

Peternak memiliki kebiasaan menjual sapi sakit atau dalam masa inkubasi penyakit ke pedagang di daerahnya dengan harga murah (asumsi 50% dari harga normal), sehingga kerugian ekonomi peternak adalah 50% dari harga sapi normal x populasi sapi. Hal ini menimbulkan masalah di tempat lain atau daerah lain, karena jika sapi sakit dipotong di rumah potong hewan di tempat lain, maka virus akan berpotensi menyebar di sekitarnya. Jika sapi dibawa ke pasar hewan, maka resiko penularan penyakit akan terjadi pada sapi yang berada di pasar hewan. Ketika sapi dibawa atau dibeli oleh peternak lain untuk dipelihara di daerah bebas penyakit, maka akan sangat potensial menjadi agen pembawa penyakit pada populasi bebas menjadi populasi terancam. Tingkat kesakitan penyakit berkisar 10% akan berakibat meningkatnya biaya pengobatan ternak berupa pemberian vitamin suportif, antibiotik untuk pencegahan infeksi sekunder dan meningkatnya biaya operasional tenaga teknis kesehatan hewan.

Kerugian Tidak Langsung
Wabah penyakit jembrana terjadi pada daerah yang menjadi sumber ternak sapi Bali, menyebabkan kerugian tidak langsung berupa adanya pendapatan yang hilang karena terjadi penurunan komoditi perdagangan. Seperti contoh kejadian nyata terjadi di kabupaten A di provinsi B, pada saat kondisi normal tanpa wabah, pemenuhan kebutuhan hewani masih bergantung suplai sapi dari provinsi C. Wabah jembrana yang terjadi di kabupaten A menimbulkan kekhawatiran para peternak akan terjadi kematian ternaknya, sehingga peternak berbondong-bondong menjual ternaknya pada jagal. Kondisi tersebut menyebabkan stok sapi yang akan dipotong di rumah potong hewan menjadi menumpuk, akibatnya terjadi kelebihan suplai ternak dan suplai daging bagi kabupaten tersebut. Kerugian yang dialami oleh feedloter dari provinsi C, terjadinya penurunan hingga berhentinya pengiriman sapi siap potong ke RPH di kabupaten A selama beberapa minggu atau bulan selama terjadi wabah. Penundaan waktu dan jumlah pengiriman sapi siap potong menimbulkan kerugian ekonomi akibat menurunya perdagangan dan menurunya perfoma produksi yang dialami oleh feedloter di provinsi C.

Kejadian wabah di daerah sumber ternak sapi Bali secara umum diikuti dengan adanya kebijakan pemerintah daerah untuk melarang lalu-lintas ternak ke luar daerah. Penutupan atau pembatasan ini secara umum akan menimbulkan kerugian para pedagang (blantik) yang biasa beroperasi antar wilayah akibat menurunkan atau berhentinya pengiriman sapi bali dari daerah tersebut. Penurunan pengiriman ternak juga menimbukan kerugian ekonomi bagi pengusaha jasa transportasi ternak.

Pemerintah daerah atau pusat melakukan langkah untuk menghindari penularan penyakit atau menghindari terjadinya penyakit di daerah bebas dengan mengeluarkan anggaran dana untuk biaya pengendaian penyakit. Tim investigasi dari UPT kesehatan hewan akan diturunkan untuk melakukan investigasi penyakit jembrana di kabupaten A. Biaya yang dihabiskan untuk investigasi mencakup uang saku harian tiap anggota tim, biaya akomodasi, transportasi ke daerah wabah, serta alat dan bahan yang dibutuhkan untuk investigasi. Hasil dari investigasi berupa data, pemetaan penyakit, kejadian penyakit, serta sampel yang diambil untuk diagnose dan peneguhan penyakit di laboratorium. Sampel berupa serum darah akan diperiksa menggunakan ELISA dan Western Bot (WB), sedangkan sampel-sampel organ yang mati, pasma dan buffycoat diuji dengan PCR. Pengujian laboratorium tersebut membutuhkan dana yang cukup banyak.

Hasil investigasi dan pengujian laboratorium yang menyebutkan bahwa kematian populasi sapi Bali di kabupaten A disebabkan oleh penyakit jembrana, sehingga rekomendasi oleh laboratorium kesehatan hewan agar dilakukan vaksinasi jembrana di kabupaten tersebut. Biaya yang digunakan untuk operasional vaksinasi meliputi, jumlah dan harga vaksin, biaya transportasi vaksin, operasional untuk petugas vaksinator, alat dan bahan vaksinasi, spuit, sarung tangan dan masker (penutup mulut). Pemberantasan vektor sebagai agen pembawa penyakit dari satu individu sapi ke individu lain dilakukan dengan mengeluarkan dana pembelian insektisida.

Wabah penyakit jembrana menimbulkan kerugian ekonomi cukup besar bagi semua pihak. Deteksi dini penyakit menjadi bagian terpenting untuk mencegah terjadinya wabah penyakit. Vaksinasi menjadi salah satu senjata strategis untuk mencegah timbulnya penyakit. Penutupan dan pembatasan lalu-lintas sapi Bali di daerah wabah ke daerah bebas, serta pengendalian vektor menjadi sangat krusial dalam upaya penyebaran penyakit ke populasi dalam satu daerah ataupun antar daerah. Sinergi antar pemerintah, peternak dan para pedagang sangat berperan penting untuk penanganan penyakit ini.

Drh. Joko Susilo M.Sc
Medik Veteriner Muda,
Balai Veteriner Lampung.

Kerugian Ekonomi Akibat Wabah Penyakit Ternak

Jika terjadi wabah penyakit disuatu daerah, maka kerugian ekonomi akan terjadi,
baik secara langsung maupun tidak langsung.


Wabah memiliki arti terjadinya suatu penyakit di suatu daerah atau wilayah, terjadi secara cepat dengan angka kematian dan kesakitan cukup tinggi dan menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Penyakit pada ternak karena infeksi viral, bakterial atau parasit yang bisa menimbulkan wabah antara lain, penyakit Jembrana (sapi bali), Septisemia epizootika, Antrak, Hog cholera, Avian influenza, Newcastle disease dan beberapa penyakit lainya. Dampak kerugian ekonomi yang diakibatkan wabah penyakit tersebut akan terjadi secara langsung ataupun secara tidak langsung.

Jika terjadi wabah penyakit jembrana di salah satu daerah yang menjadi sentra sapi bali yang dipelihara secara ekstensif pada lahan sawit. Penyakit Jembrana disebabkan oleh Retrovirus, dari anggota group lentivirus yang unik dan disebut Jembrana Disease Virus (JDV). Penyakit Jembrana adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh, patogenesis penyakit dimulai dari masuknya agen penyakit, masa inkubasi, virus memperbanyak diri dalam sel target, gejala klinis dan mati atau kesembuhan. Masa inkubasi berkisar antara 4-7 hari yang diikuti dengan munculnya demam hingga mencapai 41-42oC yang berlangsung 5-12 hari (rata-rata tujuh hari). Fase demam terjadi penurunan limposit terutama sel limposit B dan trombosit. Menurunya trombosit menimbulkan perdarahan dihampir semua organ tubuh dan kulit yang luka akibat gigitan serangga penghisap darah potensial seperti lalat Tabanus sp. Penurunan sel limposit B (sel dalam sistem kekebalan tubuh), menyebabkan infeksi sekunder bakteria pada organ tubuh yang berhubungan dengan udara luar seperti, paru-paru, ginjal dan saluran pencernaan menimbulkan pneumonia, nephritis dan enteritis. Akibat peradangan ginjal, ureum tidak bisa dibuang dalam urine dan kembali masuk dalam peredaran darah. Kadar ureum yang tinggi (uremia) menyebabkan sel epitel menjadi rapuh dan menyebakan erosi pada selaput lidah dan mukosa mulut. Pada umumnya kematian akibat penyakit Jembrana disebabkan oleh kadar uremia yang sangat tinggi dalam darah. Perjalanan penyakit secara imunologis menunjukkan bahwa sel limposit B adalah sel target bagi virus Jembrana. Menghilangnya sel limposit B selama 2-3 bulan pasca infeksi menyebabkan kegagalan pembentukan antibodi (kekebalan humoral).

Penyakit Jembrana bersifat akut dan hewan yang sembuh akan menjadi karier. Pada hewan karier ini, virus Jembrana akan menyatu dengan gen target limposit B mungkin selama hidupnya. Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti bagaimana hewan karier ini bisa menjadi sumber penularan penyakit Jembrana. Diduga apabila sapi Bali dalam keadaan stress, kemungkinan virus yang ada di dalam limposit akan mempunyai kesempatan untuk memperbanyak diri dan keluar dari limposit B dan menjadi virus ganas yang dapat menularkan penyakit Jembrana pada sapi Bali yang peka. Kejadian penyakit Jembrana pada suatu wilayah cenderung akan bersifat endemis dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang jauh lebih rendah dibandingkan saat kejadian wabah yang bisa mencapai 100%.

Pada lahan penggembalaan di lahan sawit, sapi bali dari pemilik yang berbeda-beda akan berkumpul pada lokasi yang sama untuk mencari makan. Penularan secara mekanis dapat terjadi melalui insekta penghisap darah, seperti lalat Tabanus rubidus. Di samping penularan secara mekanis, penularan melalui kontak langsung antara penderita dengan hewan sehat. Secara eksperimental, penyakit Jembrana dapat ditularkan melalui oral, lubang hidung, konjungtiva mata dan semen. Pada saat demam, titer virus penyakit Jembrana dalam darah baik dalam sel maupun plasma darah dapat mencapai 108 partikel virus/ml. Pada kondisi ini, penularan melalui jarum suntik dapat dengan mudah terjadi.

Kerugian Langsung
Wabah yang terjadi di suatu daerah menimbulkan kerugian ekonomi secara langsung yang dihadapi oleh peternak. Kerugian secara langsung yang terlihat meliputi kematian ternak dan penurunan produksi, sedangkan yang tidak terlihat adalah penurunan reproduksi, terjadi perubahan struktur populasi dan penurunan efisiensi pakan. Jika wabah terjadi pada populasi 5.000 ekor sapi bali dengan kematian 100%, maka kerugian ekonomi yang terjadi adalah 5.000 ekor x Rp 10.000.000,00 (rata-rata harga sapi normal tanpa wabah). Total kerugian akibat kematian ternak sebesar 50 milyar. Asumsi lainnya, tingkat kematian kurang dari 100% maka kerugian akan kurang dari 50 milyar.

Peternak memiliki kebiasaan menjual sapi-sapi sakit atau dalam masa inkubasi penyakit ke pedagang di daerahnya dengan harga murah (asumsi 50% dari harga normal), sehingga kerugian ekonomi peternak adalah 50% dari harga sapi normal x populasi sapi. Hal ini menimbulkan masalah di tempat lain, karena jika sapi sakit dipotong di rumah potong hewan makan virus akan terbawa dan menyebar di sekitarnya. Jika sapi dibawa ke pasar hewan, maka resiko penularan penyakit akan terjadi pada sapi yang berada di pasar hewan. Ketika sapi dibawa atau dibeli oleh peternak lain untuk dipelihara di daerah bebas penyakit, maka akan sangat potensial menjadi agen pembewa penyakit pada populasi bebas menjadi populasi terancam.

Kerugian Tidak Langsung
Jika wabah terjadi pada daerah yang menjadi sumber ternak, untuk menghindari penularan penyakit maka bisa dilakukan:
• Pencegahan penyakit, Toksoplasmosis: biaya vaksinasi, keguguran pada manusia.
• Pentingnya evaluasi ekonomi:

a. Kurangnya SDM dalam pemberantasan penyakit (tenaga, uang, waktu, fasilitas, pengetahuan).
b. Pilihan harus dibuat untuk memanfaatkan sumber daya terbatas: efektif, efisien alternatif. Perlu adanya analisis secara sistematis berbagai alternatif pemberantasan penyakit hewan, mangakomodasi pandangan/kepentingan.

Contoh: Suatu dinas provinsi memiliki dana terbatas untuk melakukan pemberantasan rabies. Maka kepala dinas memilih vaksin rabies dengan harga yang lebih murah. 

a. Menggunakan vaksinasi berdurasi pendek (setahun) cakupan 50% populasi anjing.
b. Menggunakan vaksinasi berdurasi pendek (setahun) cakupan 70% populasi anjing.
c. Menggunakan vaksinasi berdurasi lama (setahun) cakupan 50% populasi anjing.
d. Menggunakan vaksinasi berdurasi lama (setahun) cakupan 70% populasi anjing.

Metode evaluasi ekonomi pemberantasan penyakit hewan:
a. Partial budgeting: Hanya mempertimbangkan variabel-variabel yang mengalami perubahan.
b. Cost-benefit analysis: Mempertimbangkan semua faktor biaya dan manfaat, di mana manfaat yang diperoleh dalam bentuk uang.
c. Cost-affectiveness: Sama dengan cost-benefit analysis, namun manfaat yang diperoleh tidak berupa uang melainkan satuan unit seperti jumlah hewan yang terselamatkan.

Skenario pemberantasan rabies:
1. Penyakit dibiarkan tanpa vaksinasi.
2. Menggunakan vaksinasi berdurasi pendek (setahun) cakupan 50% populasi anjing.
3. Menggunakan vaksinasi berdurasi pendek (setahun) cakupan 70% populasi anjing.
4. Menggunakan vaksinasi berdurasi lama (setahun) cakupan 50% populasi anjing.
5. Menggunakan vaksinasi berdurasi lama (setahun) cakupan 70% populasi anjing.


Drh Joko Susilo M.Sc
Medik Veteriner Muda
Balai Veteriner Lampung

PENANGANAN INFEKSI UTERUS SETELAH MELAHIRKAN

Kementrian Pertanian berusaha keras untuk meningkatkan populasi sapi nasional, salah satunya melalui Program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab). Pelaksanaan teknisnya berkaitan dengan peningkatan perfoma reproduksi sapi indukan yaitu meningkatkan angka kebuntingan, menurunkan service perconseption, menurunkan jarak antar kelahiran, meningkatkan panen pedet, menangani kasus gangguan reproduksi dan langkah lainya. Data lapangan yang penulis dapatkan diantaranya, masih banyaknya kasus Anestrus postpartus dan panjangnya masa days open yang banyak dipengaruhi karena faktor infeksi saluran reproduksi dan faktor defisiensi nutrisi.
Program Upsus Siwab Kabupaten Lampung Utara 2017.
Infeksi pada uterus (rahim) merupakan kejadian yang umum terjadi pada sapi induk selama periode setelah melahirkan (postpartum). Sapi dengan masa nifas (puerperiumI normal, uterus bebas dari kontaminasi bakteri empat minggu postpartum). Uterus secara normal dilindungi dari kontaminasi bakteri oleh vulva, sphincter vestibular dan servik. Selama dan segera setelah melahirkan, normalnya uterus akan dikontaminasi oleh bermacam mikroorganisme patogen dan non-patogen. Sebagian besar bakteri akan dieliminasi oleh mekanisme pertahanan uterus selama masa puerperium. Organisme patogen yang tetap berada di uterus dan menyebabkan penyakit di uterus sapi adalah Actinomyces pyogenes. Bakteri Gram-negatif anaerob, Fusobacterium necrophorum dan Bacteroides melaninogenicus sering mengikuti A. pyogenes. Bacteroides menurunkan daya chemotaxis dan menghambat phagocytosis (pembunuhan) bakteri yang dilakukan netrofil, persistensi A. pyogenes juga diikuti coliform, Pseudomonas aeruginosa, staphylococci, hemolytic streptococci. Clostridium spp. juga dapat menginfeksi uterus dan menyebabkan metritis gangrene atau tetanus parah. Sebagian besar organisme yang mengkontaminasi uterus selama masa postpartum akan memproduksi penicillinase.
Infeksi uterus berkaitan dengan retensi plasenta/Retained Fetal Membrane (RFM), distokia, kembar, kondisi berlebihan, kondisi kekurangan, konsumsi urea berlebihan pada periode kering dan populasi sangat padat, penanganan RFM secara manual, kondisi beranak tanpa sanitasi memadai, serta adanya traumatik pada saat pertolongan kelahiran. Infeksi uterus postpartum lebih banyak terjadi pada sapi perah dibandingkan dengan sapi potong. Infeksi uterus diartikan infeksi dengan ciri adanya lendir dari uterus, masa postpartum, temuan klinis dan status hormonal.
Metritis merupakan hasil keradangan parah pada lapisan lapisan  uterus/endometrium (mukosa, submukosa, muskularis dan serosa). Terjadi pada minggu pertama setelah melahirkan dan berkaitan dengan distokia, RFM dan trauma saat melahirkan. Sapi mengalami sepsis, demam, depresi, anoreksia, produksi susu menurun dan keluarnya lendir dari vagina. Metritis dibagi menjadi metritis postpartum akut dan metritis toksik. Risco dkk (2007), melaporkan bahwa kejadian metritis 13,8% pada masa  laktasi, dengan angka kejadian rata-rata 17,4% dan interval kasus 8,5%-24,2%.
Endometritis adalah keradangan pada endometrium yang tidak separah metritis, hanya sebatas lapisan spongiosum. Kejadian ini mengikuti kelahiran, perkawinan, inseminasi buatan, atau karena infusi bahan yang mengiritasi ruang endometrium. Endometritis diikuti dengan eksudat purulen (kental) terlihat dari permukaan vulva. Sapi tidak terlihat sakit dan palpasi uterus teraba normal. Endometritis akut terjadi temporer, setelah siklus estrus dan bakteri umumnya dapat dieliminasi. Endometritis kronis ditandai lendir purulen pada vagina. Endometritis menimbulkan rendahnya angka konsepsi pada IB pertama dan membutuhkan  beberapa kali IB untuk terjadi konsepsi.
Pyometra menciri dengan akumulasi nanah atau eksudat purulen pada ruang endometrium, korpus luteum persisten dan anestrus. Kondisi ini sering terjadi pada sapi yang mengalami ovulasi pertama postpartum sebelum kontaminasi bakteri pada uterus benar-benar tereliminasi seluruhnya. Korpus luteum persisten akan bertahan lama, karena cairan intrauterin mencegah terjadinya luteolisis. Progesteron dari korpus luteum akan bertahan dalam uterus dan menekan  mekanisme pertahanan uterus. Pyometra disebabkan oleh Tritrichomonas fetus yang banyak terjadi pada musim kawin.

Infeksi uterus postpartum lebih banyak terjadi
pada sapi perah dibandingkan sapi potong.
Diagnosa Infeksi Saluran Reproduksi
Berdasarkan gejala klinis, infeksi uterus bervariasi tergantung pada virulensi dari organisme penyebabnya dan adanya fakor predisposisi penyakit. Lochia (lendir postpartum) normalnya di keluarkan dari saluran reproduksi awal minggu pertama setelah melahirkan, namun lendir akan bertahan sampai 30 hari jika involusi uterus tertunda. Lendir akan berwarna coklat gelap, merah, putih atau terlihat gejala klinis sepsis. Palpasi perrektal bertujuan untuk melakukan evaluasi involusi uterus, yang umumnya terjadi setelah tiga minggu melahirkan. Involusi uterus yang tertunda teraba tanpa tonus dan kurangnya garis-garis involusi (longitudinal rugae) seperti yang ditemukan pada uterus normal. Pada kasus metritis, uterus membengkak dan rapuh, terjadi deposit fibrin dan perlengketan uterus dengan organ lain dapat diraba. Involusi berjalan  normal, jika cairan di dalam lumen uterus sudah tidak dapat dipalpasi pada 14-18 hari setelah melahirkan.
Sapi yang lumen uterusnya berisi cairan yang bertahan lama setelah kelahiran dan dapat diraba, menunjukkan adanya gangguan patologis, tertundanya involusi uterus atau terjadi kerusakan uterus yang permanen. Evaluasi ukuran servik dan terlihatnya leleran kental juga diperlukan untuk diagnosa. Endometritis pada sapi perah ditandai dengan adanya lendir kental dari uterus atau diameter servik lebih besar dari 7,5 cm setelah 20 melahirkan atau lendir mukopurulen 26 hari setelah melahirkan.
Pengamatan eksudat purulen dengan menggunakan speculum vaginoskop untuk mendiagnosa endometritis subakut dan kronis, serta untuk mengevaluasi respon penanganan. Penelitian menunjukan 16,9% endometritis dan vaginoskopi mampu mengidentifikasi lendir purulent 44% total kasus. Sterililitas speculum, disposable dan persiapan alat sangat penting dilakukan agar aseptis bagi perineum dan alat genital luar. Real-time ultrasonography digunakan untuk menunjukkan perubahan uterus yang berhubungan dengan infeksi postpartus. Cairan intrauterin karena infeksi uterin berisi partikel echogenik dan mudah dibedakan dengan cairan non-echogenik yang muncul pada saat estrus dan kebuntingan. Dinding uterus yang mengalami infeksi akan memiliki ketebalan yang berbeda. Sapi dengan kasus metritis sepsis, terjadi peningkatan jumlah netrofil (neutropenia). Hypocalcemia, yang terjadi pada awal postpartum menyebabkan metritis. Kejadian ketosis dan metritis secara bersamaan sering terjadi pada sapi perah. Konsentrasi level Nonesterified Fatty Acids (NEFAs) pada sarah sapi mengganggu fungsi limfosit dalam pertahanan tubuh.
Sampel yang digunakan untuk kultur bakteri adalah cairan intrauterine, dilakukan kultur pada lingkungan aerob dan anaerob. A. pyogenes dan Gram-negatif anaerob biasanya disebut sebagai organisme penyebab infeksi uterus. Kultur bakterial dan uji sensitifitas antibiotik menunjukkan kejadian infeksi uterus pada suatu peternakan. Pada suatu penelitian, 157 kasus endometritis terdeteksi dengan palpasi rektal, namun isolasi bakteri dari lendir uterus hanya 22% dari jumlah sampel.
Diagnosa dengan histologi sel/jaringan, netrofil memberikan respon primer pada patogen bakteria saat uterus dalam kondisi postpartum, sehingga terjadi peningkatan jumlah sel-sel Polymorphonuclear (PMN) pada lumen uterus. Evaluasi jumlah dan sebaran PMN dalam uterus dapat mengidentifikasi endometritis. Endometritis subklinis pada sapi perah, tidak menunjukkan gejala klinis, terlihat normal tanpa terlihat lendir infeski. Netrofil berkisar 18% pada 20-33 hari postpartum dan lebih besar 10% pada hari 34-47 postpartum.

Penanganan dan  Prognosa
Terapi untuk infeksi uterin dibagi menjadi empat kategori, yakni terapi intrauterin (antibiotik dan antiseptik kimia), antibiotik sistemik, supportif terapi dan terapi hormon. Beragam antibiotik dan antiseptik kimia banyak dilakukan infusi intrauterin untuk penanganan infeksi postpartum sapi. Uterus memiliki lingkungan anaerob, sehingga dipilih antibiotik yang mampu bekerja tanpa oksigen. Kebanyakan antibiotik dan kimia menekan aktivitas netrofil pada uterus dan melamahkan mekanisme pertahanan uterus, sehingga penggunaannya harus sangat hati-hati. Organisme penyebab infeksi uterus postpartum biasanya sensitif terhadap penicillin, tetapi bakteri kontaminan yang ada beberapa minggu postpartum menghasilkan penicillinase, sehingga menghilangkan efek penicillin pada pemberian intrauterin. Organisme tersebut akan tereliminasi 30 hari postpartum, maka pemberian penicillin intrauterin efektif dilakukan setelah 30 hari postpartum dengan dosis Minimal Inhibitory Concentration (MIC) 1x106U mampu menekan A. pyogenes.
Oxytetracycline tidak direkomendasikan untuk terapi intrauterin untuk infeksi postpartum, karena isolat A. pyogenes dari uterus sapi resisten terhadap oxytetracycline, oxytetracycline mengiritasi uterus dan menyebabkan endometritis, serta menimbulkan residu pada susu dengan masa withdrawal time yang sulit ditentukan. Terapi larutan iodine intrauterin banyak dilakukan dokter hewan. Kejadian RFM dan endometritis menurun pada sapi yang diinfusi dengan 500 mL, 2% Lugol’s iodine segera setelah melahirkan dan enam jam berikutnya. Pemberian infusi 50-100ml, larutan 2% polyvinylpyrrolidone-iodine 30 hari postpartus tidak meningkatkan perfoma reproduksi sapi normal dan merugikan terhadap kesuburan sapi karena endometritis. Sehingga, terapi intrauterin dengan larutan iodine untuk penanganan infeksi uterus tidak direkomendasi.
Beragam antibiotik spektrum luas direkomendasikan dengan pemberian injeksi pada kasus infeksi uterin sapi. Penicillin ataupun analog sintetiknya telah direkomendasikan (20.000 to 30.000 U/kg BB). Oxytetracycline tidak direkomendasi dengan pemberian sistemik karena susah mencapai MIC yang dibutuhkan untuk mematikan A. pyogenes pada lumen uterus. Ceftiofur (generasi ke 3 cephalosporin) merupakan antobiotik spektrum luas yang efektif untuk bakteri Gram-positif dan Gram-negatif penyebab metritis. Ceftiofur dapat menembus semua lapisan uterus tanpa menimbulkan residu pada susu. Pemberian ceftiofur subkutan dosis 1mg/kg pada sapi perah postpartum menghasilkan konsentrasi ceftiofur dan metabolitnya aktif dalam plasma, jaringan uterus dan cairan lochia, efektif untuk menangani metritis. Pemberian ceftiofur dosis 2,2 mg/kg selama lima hari berturut turut, sama efektifnya dengan pemberian procaine penicillin G atau procaine penicillin G plus oxytetracycline infusi intrauterin untuk pengobatan infeksi. Terapi cairan elektrolit (polyionic nonalkalizing) diperlukan pada penanganan dehidrasi karena metritis. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs seperti flunixin meglumine digunakan untuk mencegah toksemia dan meningkatkan kebugaran. Terapi tambahan berupa kalsium dan suplemen energi membantu pemulihan induk.
Pemberian estrogen dan oxytocin tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan kontraksi myometrium, menghasilkan estrogen sehingga material sepsis akan tersebar ke seluruh uterus dan servik, menyebabkan salpingitis bilateral. Prostaglandin F2α (PGF2α) dan analognya  banyak digunakan pada bermacam abnormalitas saluran reproduksi, seperti infeksi uterin postpartum. Konsentrasi prostaglandin F2α pada serum berhubungan dengan involusi uterus. Prostaglandin tidak berperngaruh pada aktivitas ovarium postpartus, tapi berpengaruh pada konsentrasi luteinizing hormone pada plasma. Prostaglandin merupakan hormon yang bagus untuk terapi pyometra. Luka endometrium mengalami kesembuhan dalam 30 hari, kesuburan akan membaik. Pemberian GnRH tunggal pada awal postpartum atau dikombinasi PGF2α 14 kemudian, akan menginduksi siklus estrus namun tidak meningkatkan perfoma reproduksi sapi perah dengan kasus distokia, RFM, atau keduanya.
Prognosis untuk kesembuhan infeksi uterin postpartum bervariasi tergantung tingkat keparahan. Kebanyakan sapi dengan endometritis dapat disembuhkan. Metritis diikuti dengan septisemia berakibat kerusakan permanen, penurunan produksi susu, laminitis, atau kematian pasien walaupun dengan pengobatan yang agresif. Pyometra dapat disembuhkan dengan penanganan intensif dan benar.

Pencegahan Penyakit
Sapi dengan abnormalitas postpartum seperti hypocalcemia, distokia dan RFM lebih beresiko terhadap infeksi uterus dibanding dengan sapi normal. Manajemen sanitasi, nutrisi, menjaga kepadatan populasi dan pencegahan stress harus ditingkatkan untuk mencegah kasus infeksi. Kebersihan kandang saat melahirkan, prosedur aseptis untuk penanganan distokia sangat dibutuhkan. Kontaminasi lingkungan oleh mikroorganisme patogen menimbulkan infeksi saluran reproduksi selama 2-3 bulan postpartus. Sapi dengan gejala infeksi saluran reproduksi dipisahkan ke kandang isolasi. Pemberian ceftiofur sistemik yang berhubungan dengan distokia, RFM, atau keduanya mengurangi kejadian metritis hingga 70% dibandingkan dengan sapi yang tanpa dilakukan pemberian antibiotik.

Oleh: Drh. Joko Susilo
Medik Veteriner Muda
Balai Veteriner Lampung


PEMERINTAH SUSUN ROADMAP PENGENDALIAN HOG CHOLERA

Sebagai upaya mengembangkan komoditas unggulan ekspor, yakni ternak babi di Provinsi NTT, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementerian Pertanian, Drh I Ketut Diarmita, mengatakan pentingnya pengendalian dan pemberantasan penyaki Hog Cholera pada Babi. Hal tersebut ia sampaikan pada acara seminar dan lokakarya multipihak di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT (Nusa Tenggara Timur), Senin (6/11).
Dirjen PKH, I Ketut Diarmita, saat acara seminar dan lokakarya
penyusunan roadmap pengendalian Hog Cholera.
“Hog Cholera merupakan penyakit yang sangat signifikan berpengaruh secara ekonomi, untuk itu perlu segera dikendalikan dan diberantas,” kata Diarmita. Karena itu pihaknya bekerjasama dengan dinas peternakan setempat menyusun roadmap pengendalian dan pemberantasan penyakit Hog Cholera.
Menurutnya, penyakit Hog Cholera cepat menyebar dalam populasi babi dan dapat menyerang segala umur. Morbiditas dan mortalitasnya sangat tinggi mencapai 95-100%. Hog Cholera atau Classical Swine Fever (CSF) atau juga dikenal dengan Sampar Babi, merupakan penyakit yang disebabkan virus yang masuk salah satu dari daftar 25 jenis penyakit hewan menular strategis berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 4026/Kpts/OT.140/4/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis.
Karena menjadi penyakit strategis, roadmap pengendalian dan pemberantasan penyakit Hog Cholera ditujukan untuk meningkatkan populasi ternak babi, mengamankan daerah sumber bibit ternak babi, meningkatkan pendapatan dari hasil usaha peternakan babi, meningkatkan perdagangan ternak babi baik domestik maupun eskpor dan meningkatkan pendapatan daerah.
“Saya sarankan agar pengendalian dan pemberantasan Hog Cholera difokuskan ke daerah-daerah tertentu saja, seperti  Provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Bali, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara,” ucapnya. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor antara lain, potensi daerah sebagai produsen ternak babi, kepadatan populasi, penyakit Hog Cholera sudah menjadi endemis, daerah tersebut berisiko menyebar Hog Cholera ke daerah lain, komitmen pemerintah daerah cukup tinggi dan sudah memiliki program pengendalian.
Sebab, kata dia, pengendalian dan pemberantasan Hog Cholera menjadi sangat penting, sebab komoditi ternak babi merupakan aset ekonomi bagi daerah-daerah tertentu di Indonesia, adanya perkembangan peningkatan populasi babi dalam lima tahun terakhir, komoditi ternak babi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan budaya dan adat istiadat masyarakat tertentu di Indonesia, komoditi ternak babi merupakan salah satu sumber daging dan pemenuhan sumber protein hewani yang sangat efisien bagi masyarakat tertentu di Indonesia dan ternak babi sudah menjadi komoditi ekspor.
“Meningkatnya produksi daging babi di Indonesia dan terbatasnya segmentasi pasar daging babi, menjadi peluang peningkatan ekpor daging babi,” tukasnya. (CR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer