Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini direktur kesehatan hewan | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Komunikasi Tingkat ASEAN Bahas Ancaman AMR

Pertemuan ACGL di Yogyakarta. (Foto: Istimewa)
Resistensi Antimikrobia (AMR) menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan kesehatan masyarakat, hewan dan lingkungan. Hal itu menjadi bahasan dalam pertemuan ASEAN Communication Group on Livestock (ACGL) di Yogyakarta, 7-10 Agustus 2018. 

Pertemuan yang keenam kali ini bertujuan merumuskan langkah-langkah komunikasi tepat dalam menyampaikan bahaya AMR dan peran masyarakat dalam pencegahannya. Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Fadjar Sumping Tjatur Rasa menyampaikan, AMR menjadi masalah lintas sektor yang memerlukan pendekatan multi-sektoral. Menurutnya, saat ini sudah terlihat ada peningkatan kesadaran masyarakat dan peningkatan kapasitas teknis di kesehatan masyarakat untuk pencegahan dan pengandalian AMR.

“Risiko AMR tercatat lebih tinggi di negara-negara dimana peraturan perundang-undangan, pengawasan regulasi dan sistem pemantauan mengenai penggunaan antimikroba hampir tidak ada. Pencegahan dan pengendalian AMR yang tidak memadai dan lemah di beberapa negara akan meningkatkan risiko penyebarannya,” ujar Fadjar.

Dalam pertemuan ini dirumuskan kegiatan komunikasi dan pesan kunci AMR kepada seluruh pemangku kepentingan khususnya masyarakat. “Strategi komunikasi dan advokasi resistensi antimikroba tingkat regional yang telah sepakati oleh para Menteri Pertanian se-Asia Tenggara merupakan pedoman bagi negara anggota ASEAN dalam pelaksanaan kerangka kerja, serta menyempurnakan dan mengembangkan kesadaran AMR” tambah Delegasi Indonesia, Pebi Purwo Suseno.

Pada kesempatan itu, Indonesia juga berbagi pengalaman dalam mengimplementasi pencegahan dan pengendalian AMR, serta implementasi One Health dalam mencegah dan mengendalikan penyakit infeksi baru dan zoonosis. “Bentuk kegiatan edukasi yang sudah dilakukan seperti kuliah umum di perguruan tinggi, kampanye di CFD, perlombaan essay, pembuatan video pendek terkait AMR,  penyabaran informasi melalui media,” sambung Delegasi Indonesia lainnya, Imron Suandi.

Kendati begitu, masih ada tantangan yang dihadapi Indonesia dalam pemahaman AMR, yakni koordinasi lintas sektor, keterbatasan anggaran dan prioritas kegiatan AMR, pengembangan pesan kunci, Komunikasi, Informasi dan Edukasi bagi peternak dan motivasi sektor swasta untuk ikut berperan terhadap pengendalian AMR. “Diharapkan ke depan ada peningkatan pemahaman masyarakat dalam penggunaan antimikroba yang cerdas dan bijak,” pungkasnya. (INF)

Satpol PP Seret Sapi, Gubernur : Bertentangan dengan Prinsip Kesejahteraan Hewan

Foto : Ist 
Beredar di media sosial, video seekor sapi yang diseret mobil petugas Satpol PP Bulukumba, Sulawesi Selatan hingga tertatih-tatih kemudian terkapar. Aksi tidak terpuji yang terjadi pada 7 Maret 2018 itu dikecam ribuan warganet.

Bukannya diangkut di dalam mobil bak atau truk, dalam video tersebut seekor sapi justru diseret di belakang mobil Satpol PP. Sapi tersebut diikat di bagian belakang mobil, sementara mobil terus melaju. Sapi berwarna cokelat itu tampak kesakitan karena lehernya tertarik, sementara kakinya harus berjalan mengimbangi kecepatan mobil Satpol PP.

Tampak seorang petugas mengawasi sapi tersebut dari dalam mobil bagian belakang. Sapi itu kemudian terjatuh dan ambruk sedangkan mobil tetap melaju pelan sehingga sapi tersebut terseret. Para warga dan pengendara motor yang menyaksikan peristiwa itu berteriak meminta mobil Satpol PP berhenti.


Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo pun bereaksi. Syahrul telah menerbitkan surat perintah yang ditujukan kepada Bupati Bulukumba agar memberikan teguran keras kepada anggota Satpol PP yang menyeret sapi dengan cara tak layak tersebut.

Dalam surat teguran yang tertanggal 13 Maret 2018, Syahrul menyebut apa yang dilakukan Satpol PP tersebut bertentangan dengan prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare) sesuai UU Nomor 18 Tahun 2009 Pasal 66-67 tentang kesejahteraan hewan yang telah diubah menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Berikut petikan surat perintah Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo :
"Sehubungan postingan media sosial di grup info kejadian Bulukumba Rabu tanggal 7 Maret 2018. Dimana seekor sapi warga tampak diseret mobil petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan cara diikat pada bagian belakang mobil sambil mobil tersebut berjalan maju. Terkait dengan hal tersebut, kiranya saudara (Bupati Bulukumba) memberikan teguran keras kepada yang bersangkutan (anggota Satpol PP) dan tidak mengulangi lagi hal yang sama terhadap hewan ternak yang lainnya, karena hal ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan sesuai dengan peraturan UU No 41 tahun 2014 tentang Perternakan dan Kesehatan Hewan.”

Surat perintah teguran keras ini ditembuskan kepada Menteri Pertanian serta Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.

Pembelajaran

Sementara itu, Wakil Bupati Bulukumba Tomy Satria Yulianto meminta masyarakat tidak berlebihan menanggapi peristiwa penyeretan sapi ternak dengan menggunakan truk oleh petugas Satpol PP Bulukumba.

Menurut Tomy, kejadian ini dijadikan pembelajaran. Pemkab Bulukumba akan mengingatkan staf beserta jajarannya supaya lebih berhati-hati dalam bertindak.

“Kami tidak ada niat kita menyiksa. Kejadian ini murni operasi penertiban saja. Jadi, sebaiknya kita maknai tidak berlebihan,” kata Tomy.

Dia menjelaskan, Satpol PP semula menggelar razia terhadap hewan ternak yang berkeliaran di jalan. Ketika menemukan ada sapi yang terlepas, petugas mencoba menangkap. Hal ini dilakukan untuk mencegah agar tidak membahayakan pengendara.

Saat hendak ditertibkan, sapi ini justru mengamuk dengan melompat pagar. Bahkan, ada anggota yang terluka. Karena sulit ditangani, Satpol pun mengambil langkah lain meski melanggar. “Banyak saksi mata, bahwa sebelumnya (sapi) tidak bisa diamankan,” katanya.

Tomy menerangkan, memang idealnya setiap penangkapan harus menggunakan bius agar sapi mudah diamankan. Namun Satpol PP tidak punya peralatan lengkap, sementara di sisi lain mereka harus menegakkan peraturan daerah (perda).

Dalam kasus hewan ternak berkeliaran ini, lanjut Tomy, sudah banyak mengakibtkan kecelakaan lalu lintas. “Selain itu, sapi-sapi yang lepas meresahkan warga karena merusak tanaman mereka,” pungkasnya. (ndv/berbagai sumber)







Tentang AGP (Antibiotic Growth Promoter) dan Antikoksidia


Tanggal 6 Mei 2017 lalu Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menandatangani Permentan no 14/2017 tentang klasifikasi obat hewan. Dalam peraturan ini tercantum pelarangan antibiotika imbuhan pakan yang juga dikenal dengan AGP (Antibiotic Growth Promoter). Sebelum ditandatangani, Permentan ini sudah melalui proses panjang, termasuk di dalamnya public hearing yang dihadiri antara lain oleh dinas, pelaku usaha, asosisiasi terkait, dan lembaga terkait lainnya.

Untuk mengimplementasikan Permentan tersebut, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Drh Ketut Diarmita, MP membuat surat edaran mengenai tahapan pemberlakuan Permentan. Intinya, pelarangan AGP berlaku efektif sejak 1 januari 2018

Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa PhD
Ketegasan pemerintah ini disambut positif  karena pelaku usaha memiliki kejelasan dan kepastian hukum perihal AGP, setelah sebelumnya cukup lama menunggu kejelasan arah kebijakan pemerintah Indonesia.  Direktur Kesehatan Hewan Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, PhD dan Kasubdit Pengawasan Obat Hewan (POH) Drh Ni Made Ria Isriyanthi, PhD menjelaskan, reaksi positif atas keputusan ini, terlihat dari produk substitusi pengganti AGP yang telah banyak diregistrasi di Indonesia seperti, probiotik, prebiotik, bahan alam (herbal), jamu, enzim, dan lain-lain. 

Namun sebagaimana  biasa, setiap keputusan baru selalu ada yang puas dan yang tidak puas. Contoh dalam kasus ini adalah tentang aturan obat hewan golongan antikoksidia, yang hingga akhir 2017 lalu masih menjadi bahan diskusi yang hangat. 

Dalam bahasa sederhana bisa digambarkan sebagai berikut. Permentan no 14/2017 Bab I Pasal 1 ayat 14 menyebutkan,  antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme secara alami, semi sintetik maupun sintetik yang dalam jumlah kecil dapat menghambat atau membunuh bakteri.  Definisi ini mengandung makna  bahwa yang dimaksud antibiotika dalam Permentan ini adalah antibakteri.  Dengan kata lain kata kuncinya ialah senyawa yang menghambat atau membunuh bakteri.

Hal ini diperkuat dalam Lampiran III Permentan tersebut yang menyebutkan, kelompok obat hewan yang dilarang untuk dicampur dalam pakan sebagai imbuhan pakan untuk ternak produksi adalah antibiotika. Juga diperkuat di lampiran I tentang  Daftar Obat Keras, yang menyebutkan antiprotozoa (termasuk antikoksidia)  masuk dalam kategori sendiri yang terpisah dengan kategori antibiotika.

Drh Andi Wijanarko
“Karena di Permentan 14/2017 salah satu contoh antikoksidia golongan ionophore digolongkan antiprotozoa maka  logikanya  tidak diperlakukan sebagai antibiotika imbuhan pakan yang dilarang dan  hanya dipakai dosis terapi,” demikian Drh. Andi Wijanarko, salah satu pengurus ASOHI.

Menanggapi hal ini, Direktur Kesehatan Hewan menyatakan, jika dilihat lebih mendalam antikoksidia sendiri terdiri atas antikoksidia yang hanya membunuh protozoa (diclazuril, nicarbasin, amprolium, dan lain-lain) dan antikoksidia yang selain membunuh protozoa juga menghambat atau membunuh bakteri, seperti antikoksidia ionophore (contoh: maduromisin, salinomisin, narasin, dan lain-lain).

Efektivitas antikoksidia golongan ionophore selain membunuh protozoa juga menghambat atau membunuh bakteri sudah jelas termuat pada berbagai sumber rujukan farmakologi veteriner baik pada buku (Antimicrobial and Therapy in Veterinary Medicine Edisi ke-4 halaman 285-291) dan jurnal  ilmiah internasional.  Jadi jika dikembalikan pada pengertian antibiotika pada permentan, menurut Dirkeswan, antikoksidia golongan ionophore secara hukum memiliki irisan dengan AGP. Tentunya, jika antikoksidia golongan ionophore diberlakukan seperti antikoksidia kimia akan ada aspek hukum yang dilanggar. 

Perlu diketahui bahwa meskipun AGP dilarang,  antibiotika untuk terapi (pengobatan) tetap diperbolehkan.  Sehingga AGP jenis tertentu yang bisa dipakai sebagai terapi, bisa diregistrasi ulang ke Ditjen PKH sebagai obat hewan kategori farmasetik untuk terapi. Dirkeswan mengatakan, ini berlaku untuk antibiotika bukan antiprotozoa kimia (diclazuril, nicarbasin, amprolium, dan lain-lain).

Surat pemberitahuan Dirjen PKH no 03117/08/2017 menyebutkan , obat hewan yang mengandung antibiotika sebagai imbuhan pakan, diizinkan untuk melakukan perubahan indikasi dan didaftarkan kembali dengan indikasi  untuk tujuan terapi. Perubahan ini dikenal dengan perubahan dari F ke P , yaitu kode dalam nomor registrasi obat hewan, yang maksudnya dari  Feed Additive (F) menjadi Pharmaceutic (P).

Namun, pada surat pemberitahuan Dirjen ini disebutkan, obat hewan dengan indikasi  awal sebagai antikoksidia jika akan tetap diperdagangkan “diwajibkan” untuk mengajukan registrasi ulang dengan mengubah indikasi dari F ke P dengan sejumlah syarat.

Beberapa pelaku usaha peternakan  mengaku keberatan karena secara perundang-undangan maupun secara keilmuan hal itu kurang tepat. Di lain pihak proses perubahan juga akan memakan waktu, yang artinya selama proses perubahan ini berjalan, bisa terjadi kelangkaan produk antioksidia.

Terhadap kekhawatiran ini, Dirkeswan mengatakan, pihaknya telah melakukan upaya program percepatan registrasi. Bahkan produk-produk yang mengikuti program percepatan ini  (AGP dan antikoksidia) SK perubahan indikasi dari F menjadi P akan dikeluarkan pada petengahan Januari 2018. Produk AGP dan antikoksidia yang mengikuti program percepatan perubahan indikasi dari F menjadi P telah diputuskan melalui rapat yang dihadiri oleh Dirkeswan,  Kasubdit POH, PPOH (Panitia Penilai Obat Hewan), KOH (Komisi Obat Hewan), dan peneliti-peneliti dari IPB.

Pertemuan dipimpin oleh Ketua PPOH Prof Dr Harmita, Apt dan Ketua KOH Prof Dr Drh Widya Asmara, MS), dihadiri oleh Dr Iskandarsyah, Apt MS (PPOH), Dr Drh Andriyanto, MSi (PPOH), Dr Drh Aulia Andi Mustika, MSi (PPOH), Dr Drh Surachmi Setyaningsih, MS (PPOH), Drh Novida, MSc (PPOH), Drh Khusni, MSi (PPOH), Drh Unang Patriatna, MSc (KOH), Dr Drh Min Rahminiwati, MS (KOH), dan Dr Drh Huda S Darrusman, MSi (KOH). Sementara itu, tim peneliti IPB yang turut hadir pada pertemuan tersebut diwakili oleh Prof Dr Drh Agus Setiyono, MS APVet, Dr Lina N Sutardi, SSi, Apt, MSi, dan Dedi Nuraripin, SKH.

  Pertemuan menyepakati bahwa semua AGP dan antikoksidia disetujui perubahan indikasinya dari F ke P, kecuali basitrasin dan virginiamisin sambil harus melengkapi uji toksisitas akut dan keamanan (safety) paling lambat Agustus 2018.

Sementara itu, sebuah ulasan di poultrysite.com menyebutkan, meskipun bisa diklasifikasikan sebagai antibiotika, ionophore tidak digunakan untuk mengobati infeksi bakteri pada unggas, melainkan sebagai antikoksidia. Oleh karena itu awal tahun 2017, ketika McDonald's  meminta pemasok ayam untuk menghapus antibiotika dalam pakan, raksasa makanan cepat saji itu membuat satu pengecualian, yaitu  kelompok  ionophore.

Di AS penggunaan ionophore dalam pakan tidak dilarang karena disebut sebagai not considered medically important to human medicine (tidak dianggap penting secara medis bagi pengobatan manusia ) oleh WHO. Maknanya adalah ionohpore tidak berkaitan dengan kasus resistensi antibiotika pada manusia, sebagaimana isu yang berkembang terhadap AGP.

Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan)  Drh Fajar Sumping Tjatur Rasa, PhD mengatakan, pihaknya selalu terbuka terhadap saran dan masukan dari berbagai pihak.  “Silakan sampaikan secara lengkap landasan ilmiah maupun dasar hukumnya,” ujarnya kepada Infovet.

Drh Irawati Fari
Beberapa pihak mengakui, saat ini pemerintah cukup komunikatif dan terbuka  terhadap masukan dari stakeholder. Ketua Umum ASOHI Drh Irawati Fari juga menegaskan Dirkeswan  maupun Kasubdit POH bekerja bagus dan selalu menyerap aspirasi dari stakeholder termasuk dari ASOHI. 

Melihat tanggapan Dirkeswan yang positif, tampaknya  pelaku usaha perlu meneruskan dialog dengan pemerintah agar masalah apapun ditemukan solusi yang produktif bagi peternakan nasional. *** (Bams)

Artikel ini diambil dari Editorial Majalah Infovet edisi Januari 2018


Dirkeswan Pastikan Pelarangan AGP

Dirkeswan (no 2) bersama Tim Infovet
Pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promoters) adalah amanat UU no 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jadi harus kita patuhi. Tentang bagaimana implementasinya harus melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan). Demikian dikemukakan oleh Direktur Kesehatan Hewan Ditjen PKH Drh. Fajar Sumping Tjaturasa, PhD saat diwawancarai Infovet hari ini 28 Desember 2016 di ruang kerjanya.

Fajar mengatakan, UU tersebut disahkan tahun 2009, sekarang sudah berusia 7 tahun sehingga amanatnya (tentang pelarangan penggunaan AGP dalam pakan ) harus segera dilaksanakan. Draft Permentan sudah disusun, tinggal public hearing dan segera dilakukan pengesahan. "Kemungkinan Januari 2017 sudah efektif dilaksanakan pelarangan AGP tersebut," ujarnya.

Mumpung masih ada waktu untuk penyempurnaan, pihak pelaku usaha obat hewan, produsen pakan maupun peternak memiliki kesempatan untuk memberikan masukan terhadap draft Permentan tersebut.

Seiring dengan rencana pelarangan AGP Fajar menyarankan perlunya perhatian lebih serius terhadap pelaksanaan biosekuriti di peternakan. Dengan begitu maka penggunaan antibitika untuk pengobatan menjadi berkurang. "Jangan sampai berpikir penggunaan antibitika sebagai pengganti lemahnya biosekuriti," tambahnya.

Harapan Terhadap ASOHI & Infovet

Kepada Infovet, Fajar menyampaikan apresiasinya terhadap ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia) yang telah banyak bekerjasama dengan pemerintah. Ia mengharapkan kerjasama ini dapat terus ditingkatkan. "Saya bukan orang baru di dunia obat hewan. Cukup lama di BBPMSOH (Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan), ikut dalam berbagai tim, ikut nulis buku yang diterbitkan ASOHI, ikut tim PPOH, juga ikut Komisi Obat Ikan, bahkan juga aktif di Badan Standarisasi Nasional untuk Codex Pangan," urai Fajar.

"Selama bergaul dengan dunia obat hewan, saya banyak melihat kerjasama pemerintah dengan ASOHI dalam menyusun sistem peraturan obat hewan sangat produktif. Bahkan kemudian menjadi referensi bagi pengaturan obat ikan. Saya percaya kerjasama yang baik ini dapat terus ditingkatkan," tambahnya.

Terhadap majalah Infovet, ia mengharapkan untuk terus berperan menjembatani informasi antara pemerintah dengan masyarakat di bidang peternakan dan kesehatan hewan. "Infovet sebagai media, bisa berperan sebagai ruang diskusi antara kami di pemerintah dengan masyarakat," ujarnya

Sekilas Karir

Fajar Sumping Tjaturasa adalah alumni FKH IPB angkatan 17 (1981-1986). Mengawali karirnya di BBPMSOH semenjak meraih gelar dokter hewan hingga tahun 2007. Selanjutnya diangkat sebagai kepala Balai Pengujan Mutu Produk Peternakan (BPMPP) tahun 2007-2009, pindah ke Direktorat Kesmavet tahun 2009-2011, kemudian dipercaya sebagai Kepala Balai Besar Veteriner (BBV) Wates, Jogjakarta tahun 2011-2016. Sejak Desember 2016 ia diangkat sebagai Direktur Kesehatan Hewan.

Doktor lulusan Jepang ini dikenal pekerja keras dan aktif di berbagai kegiatan lingkup peternakan dan kesehatan hewan termasuk kegiatan kerjasama dengan ASOHI.***



ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer