Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Pakan Ayam | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

GANGGUAN TOKSIN PADA KESEHATAN AYAM

Jaga keamanan pakan agar tidak tercemar toksin. (Foto: Ist)

Penyakit yang disebabkan oleh toksin yang berasal dari metabolit jamur disebut Mikotoksikosis, dimana jamur ini bisa berasal dari biji-bijian bahan baku pakan ataupun berasal dari lingkungan sekitar.

Adapun beberapa toksin yang dikenal, yakni Aflatoxin-B1 (Aspergillus flavus, A. parasiticus), Zearalenone-F2 (Fusarium graminearum), Fumonisin (F. moniliforme, F. proliferatum, F. nygamei), DON-Deoxynivolenol-Vomitoxin (F. graminearum), Ochratoxin (A. ochraceus, Penicillium viridicatum, P. palitans) dan T2-Trichothecenes (F. sporotrichioides).

Toksin dan pengaruhnya terhadap beberapa organ pada ayam (Sumber: Poultry Diseases)

Sedangkan secara biokimia toksin-toksin tersebut berefek kepada gangguan metabolisme karbohidrat (Aflatoxin, Ochratoxin A dan Phomopsin A), gangguan metabolisme lemak (Aflatoxin, Ochratoksin A, T-2, Citrinin, Rubratoxin B), gangguan penyerapan vitamin (Aflatoxin, Dicumarol), gangguan sintesa protein (Aflatoxin, Trichothecenes), gangguan pada sistem pernapasan mitochondria (Aflatoxin, Ochratoxin A, Rubratoxin B, Patulin), gangguan sistem endrokrin (Aflatoxin, Zearalenone, Ergot, Alkaloids) dan gangguan pembentukan tulang rangka (Aflatoxin, Ochratoksin).

Perlu juga kiranya diketahui toleransi derajat atau level kandungan toksin pada pakan atau bahan baku pokok pakan sebagai berikut: Pakan starter broiler (50 ppb), pakan finisher broiler (60 ppb), pakan starter/grower layer (50 ppb), pakan layer (60 ppb), jagung (50 ppb), sedang untuk bungkil kacang kedelai/BKK/soybean meal (40/50 ppb). Metode pencegahan kontaminasi mikotoksin kebanyakan tidak... (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2020) (AHD-MAS)

POTENSI BESAR MAGGOT DALAM FORMULASI RANSUM PAKAN UNGGAS



Indonesia menghasilkan limbah makanan dengan jumlah melimpah yang perlu dikelola dengan baik. Limbah makanan ini dapat dimanfaatkan sebagai media tumbuh maggot dalam proses biokonversi sampah organik menjadi bahan kaya protein.

Maggot yang merupakan larva dari serangga Hermetia illucens atau dikenal dengan black soldier fly (BSF), sudah banyak dibudidayakan di berbagai negara seperti di Jerman, Belanda dan China untuk menghasilkan sumber protein.

Biokonversi tersebut di Indonesia diharapkan dapat bersinergi dengan masalah lingkungan melalui pengelolaan limbah organik menjadi bahan pakan alternatif pengganti tepung ikan dan MBM yang lebih murah dan berkelanjutan. Hal itu mengemuka dalam sebuah online seminar yang diselenggarakan Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI), Kamis (9/7/2020).

Kegiatan seminar yang keempat kalinya ini menghadirkan narasumber penting di bidangnya, yakni CEO Biomagg Aminudi, Guru Besar Fapet IPB Prof Dr Dewi A. Astuti dan Prof Dr Sumiati, Dosen FPIK IPB Dr Ichsan Achmad Fauizi dan Ketua umum GPMT Desianto Budi Utomo. Seminar dipandu Dekan Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Tadulako Palu Prof Ir Burhanudin Sundu MScAg PhD.

Dalam acara tersebut, Sumiati memaparkan tentang berbagai manfaat budi daya maggot, antara lain mampu mengonversi biomassa berbagai material limbah organik seperti kotoran hewan, limbah organik perkotaan, kotoran manusia segar, maupun limbah sayuran pasar.

Manfaat berikutnya maggot dapat mereduksi bau potensial limbah sekitar 50-60%, sehingga dapat mereduksi polusi, bakteri patogen, bau dan populasi lalat rumah dengan mengurangi kesempatan lalat rumah untuk oviposisi.

Maggot juga bisa menjadi sumber nutrien karena memiliki kandungan nutrien yang tinggi (protein, asam amino, lemak, mineral) sebagai pakan ternak,” kata Sumiati.

Ia menunjukkan beberapa penelitian tentang penggunaan maggot dalam ransum unggas. “Penggunaan maggot sampai 15% sebagai pengganti soya bean meal dan soya bean oil tidak berefek negatif terhadap digestibility, performa produksi, kualitas karkas dan daging puyuh,” jelasnya.

Penelitian lain juga menunjukkan, pemberian maggot pada ayam petelur dapat mengangkat kualitas telur dan menurunkan angka konversi pakan. 

“Substitusi tepung kedelai secara sebagian atau menyeluruh dengan tepung maggot tidak mempengaruhi asupan pakan, performa produksi, bobot telur dan efisiensi pakan,” kata Sumiati mengutip sebuah hasil penelitian tentang maggot pada ayam petelur. Dengan demikian, maggot memiliki potensi untuk digunakan sebagai sumber protein alternatif pada hewan unggas petelur. (IN)

STRATEGI INDUSTRI PAKAN TINGKATKAN EFISIENSI OPERASIONAL DI TENGAH PANDEMI

Jagung sebagai sumber bahan pakan ternak unggas. (Foto: Istimewa)

Menghadapi situasi pandemi COVID-19, industri pakan harus bisa menyesuaikan diri akibat adanya gangguan sistem rantai pasok bahan baku pakan, sementara di sisi lain telah terjadi penurunan permintaan pakan dari peternak sebanyak 30% dibandingkan pada kondisi normal. 

Menurut General Manager PT Charoen Pokphand Indonesia, Istiadi SPt MM, dalam sebuah acara pelatihan tentang sistem logistik pakan pada 4-5 Juni 2020, mengatakan bahwa di tengah situasi pandemi COVID-19, sangat diperlukan strategi operasional yang efisien, antara lain dengan melakukan langkah awal berupa menganalisis kembali jenis-jenis pakan yang terganggu penjualannya, apakah pakan broiler, layer, ayam bibit, babi dan sebagainya.

“Kemudian juga dilakukan analisis pada sistem logistik pengiriman produk pakan ke peternak jika terjadi gangguan dalam perjalanannya. Dan yang tidak kalah penting adalah penjagaan kualitas produk pakan yang dihasilkan. Hal ini perlu penekanan khusus demi menjaga kepuasan pelanggan,” ujar Istiadi.

Dalam kaitannya dengan logistik pakan ini, Istiadi menegaskan lima prinsip utama yang harus diperhatikan, yakni kualitas pakan tetap terjaga, jumlah barang tidak berkurang, tepat waktu pengiriman, kemasan tidak rusak, serta ongkos kirim yang kompetitif.

Selain itu, lanjut dia, efektivitas logistik pakan juga harus dikedepankan, misalnya dengan melakukan efisiensi pengurangan penggunaan bahan pakan tambahan untuk perlindungan pakan dari jamur, bakteri dan lain sebagainya.

“Misalnya formulasi tanpa harus menambahkan antimold, antibakteria dan sebagainya. Ini biasa dilakukan jika jangka waktu sebelum pemakaian relatif singkat dan risiko kontaminan rendah,” jelasnya. 

“Untuk bisa mengurangi jangka waktu biasanya forecast dan aktual pengiriman harus sesuai. Efisiensi logistik pakan lain yang bisa dilakukan yakni dari pemilihan kemasan yang dipakai. Biaya kemasan seiring dengan harga biji plastik, terlebih jika kemasan plastik nanti akan dikenai cukai plastik.”

Langkah efisiensi strategis ini perlu dilakukan, terlebih sumber bahan pakan di Indonesia berasal dari dua sumber, yakni dari impor dan lokal. Kecenderungan yang terjadi saat ini memang terdapat peningkatan pemakaian bahan baku lokal dari tahun ke tahun. Namun dengan adanya pandemi, maka terjadi berbagai kendala sistem rantai pasok, sehingga berbagai langkah antisipasi para pelaku industri harus dilakukan demi keberlangsungan industri pakan yang efisien. (IN)

MEMBEBASKAN PAKAN DARI ANCAMAN TOKSIN

Jagung sebagai bahan baku pakan rentan tercemar mikotoksin. (Foto: Infovet/Ridwan)

Toksin, atau lazim disebut dengan mikotoksin dalam dunia peternakan. Permasalahan klasik yang kerap kali mengintai semua unit usaha yang bergerak di bidang perunggasan dari hulu maupun hilir.

Toksin dapat diartikan sebagai senyawa beracun yang diproduksi di dalam sel atau organisme hidup, dalam dunia veteriner disepakati terminologi biotoksin dalam menyebut mikotoksin maupun toksin lainnya, karena toksin diproduksi secara biologis oleh makhluk hidup memalui metabolisme bukan artificial (buatan). 

Dalam industri pakan ternak seringkali didengar istilah mikotoksin (racun yang dihasilkan oleh cendawan/kapang/jamur). Sampai saat ini cemaran dan kontaminasi mikotoksin dalam pakan ternak masih membayangi tiap unit usaha peternakan, tidak hanya di negeri ini tetapi juga di seluruh dunia.

Mikotoksin selalu Menjadi Momok
Dalam dunia peternakan, setidaknya ada tujuh jenis mikotoksin yang menjadi tokoh “protagonis”, ketujuhnya seringkali mengontaminasi pakan dan menyebabkan masalah pada ternak. Terkadang dalam satu kasus, tidak hanya satu mikotoksin yang terdapat dalam sebuah sampel. Peternak pun dibuat kerepotan oleh ulah mereka. Adapun jenis toksin yang penting untuk diketahui diantaranya, Aflatoksin, Ochratoksin, Fumonisin, Zearalenon, Ergot Alkaloid, Deoxynivalenol (DON)/Vomitoksin dan T-2 Toksin.

Menurut Managing Director Biomin Indonesia, Drh Rochmiyati Setiarsih, masalah mikotoksin merupakan masalah klasik yang terus berulang dan sangat sulit diberantas. “Banyak faktor yang memengaruhi kenapa mikotoksin sangat sulit diberantas, misalnya saja dari cara pengolahan jagung yang salah,” tutur wanita yang akrab disapa Yati tersebut.

Di Indonesia kebanyakan petani jagung hanya mengandalkan iklim dalam mengeringkan jagungnya, dengan bantuan sinar matahari/manual biasanya petani menjemur jagung hasil panennya. Mungkin ketika musim panas hasil pengeringan akan baik, namun pada musim basah (penghujan), sinar matahari tentu tidak bisa diandalkan. “Jika pengeringan tidak sempurna, kadar air dalam jagung akan tinggi, sehingga disukai oleh kapang. Lalu kapang akan berkembang di situ dan menghasilkan toksin,” katanya.

Masih masalah iklim menurut Yati, Indonesia yang beriklim tropis merupakan wadah alamiah bagi mikroba termasuk kapang dalam berkembang biak. “Penyimpanan juga harus diperhatikan, salah dalam menyimpan jagung artinya... (CR)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2019.

AGAR AMAN DARI ANCAMAN TOKSIN

Kebanyakan jamur biasanya tumbuh pada tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan baku pakan, seperti jagung dan kacang kedelai. (Foto: Dok. Infovet)

Mikotoksin sangat berbahaya bagi kelangsungan performa peternakan unggas. Kontaminasi mikotoksin pada unit usaha unggas, baik broiler maupun layer, dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar.

Ancaman Tak Terlihat
Jamur, cendawan, atau kapang tumbuh dimana saja dan kapan saja, terutama ketika kondisi lingkungan menguntungkan bagi mereka (lembab). Yang lebih berbahaya lagi, kebanyakan jamur biasanya tumbuh pada tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan baku pakan, seperti jagung dan kacang kedelai. Kedua jenis tanaman tersebut merupakan unsur penting dalam formulasi ransum. Jagung digunakan sebagai sumber energi utama dalam ransum, sedangkan kedelai sebagai sumber protein. Persentase penggunaan jagung dan kacang kedelai dalam suatu formulasi ransum unggas di Indonesia sangat tinggi. Jagung dapat digunakan sampai 50-60%, sedangkan kedelai bisa sampai 20%. Bayangkan ketika keduanya terkontaminasi mikotoksin?

Sayangnya, kontaminasi mikotoksin dalam bahan baku pakan ternak bisa dibilang tinggi. Data dari Biomin pada 2017, menununjukkan bahwa 74% sampel jagung dari Amerika Serikat terkontaminasi Deoksinivalenol/DON (Vomitoksin) pada tingkat rata-rata (untuk sampel positif) sebesar 893 ppb. Sedangkan 65% dari sampel jagung yang sama terkontaminasi dengan FUM pada tingkat rata-rata 2.563 ppb. Selain itu, ditemukan 83% sampel kacang kedelai dari Amerika Selatan terkontaminasi DON pada tingkat rata-rata 1.258 ppb. Kesemua angka tersebut sudah melewati ambang batas pada standar yang telah ditentukan.

Jika sudah mengontaminasi bahan baku pakan, apalagi pakan jadi, tentunya akan sangat merugikan, baik produsen pakan maupun peternak. Menurut Poultry Health Division PT Kerta Mulya Saripakan, Drh Jumintarto, mikotoksikosis klinis bukanlah kejadian umum di lapangan. Namun mikotoksikosis subklinis yang justru sering ditemukan di lapangan.

Gejalanya klinisnya sama dengan penyakit lain, misalnya imunosupresi yang mengarah pada penurunan efikasi vaksin, hati berlemak, gangguan usus akibat kerusakan fisik pada epitel usus, produksi bulu yang buruk dan pertumbuhan yang tidak merata, juga kesuburan dan daya tetas telur yang menurun. “Kita harus berpikir begitu dalam dunia perunggasan, soalnya memang kadang gejalanya mirip-mirip dan kadang kita tidak kepikiran seperti itu,” ujarnya.

Jumintarto juga menyarankan, agar setiap ada kejadian penyakit di lapangan, sebaiknya diambil sampel berupa jaringan dari hewan yang mati, sampel pakan dan lain sebagainya. “Ancaman penyakit unggas kebanyakan tak terlihat alias kasat mata, dokternya juga harus lebih cerdas, periksakan sampel, cek ada apa di dalam jaringan atau pakan, bisa saja penyakit bermulai dari situ, makanya kita harus waspada,” jelas dia.

Manajemen Risiko, Wajib Hukumnya
Apa yang pertama kali terpikirkan ketika dihadapkan dengan mikotoksin? Pasti adalah toksin binder. Toksin binder memang sudah lama digunakan dalam industri pakan ternak. Berbagai macam... (CR)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2019

PERAN MYCOTOXIN BINDER UNTUK PAKAN UNGGAS SEHAT PRODUKTIF

Mikotoksin dapat menyebabkan penurunan produksi yang cukup signifikan. (Foto: Dok. Infovet)

Pakan memiliki peranan penting dan strategis dalam bisnis peternakan termasuk dalam usaha peternakan unggas, sebab menyangkut kebutuhannya sebagai penunjang hidup pokok, pengganti sel dan pembentuk produk akhir (daging dan telur). Kebutuhan biaya pakan dalam budidaya unggas pun adalah yang paling besar, yakni mencapai 70%. Oleh karena itu diperlukan kualitas dan kuantitas pakan yang sangat baik, agar meraih hasil produksi yang optimal dan menguntungkan. Apabila pakan yang diberikan buruk, seperti tercemar jamur dan toksinnya, sudah pasti mengancam kualitasnya dan merugikan ternak serta peternaknya.

Seperti halnya Mikotoksikosis, penyakit keracunan yang disebabkan oleh mikotoksin, yaitu metabolit sekunder hasil metabolisme jamur yang tumbuh pada pakan unggas. Ada 300 jenis mikotoksin, namun yang banyak menyerang unggas dan berbahaya adalah aflatoksin, T-2 toksin, DON, zearalenon, fumonisin dan okratoksin, dimana bermacam jenis mikotoksin tersebut biasa ditemukan dalam bahan baku pakan (jagung, bekatul, kedelai) dengan jumlah/konsentrasi yang bervariasi. Di wilayah ASEAN, Indonesia yang beriklim tropis menduduki peringkat tertinggi dalam hal pencemaran mikotoksin pada biji-bijian.

Jamur mudah tumbuh dimana saja, misal di tanah, materi organik yang membusuk dan jenis biji-bijian. Pada tanaman biji-bijian, kontaminasi jamur dapat terjadi selama penanaman, saat panen, selama tranportasi dan saat penyimpanan, dimana bahan baku pakan dengan kadar air lebih dari 14% yang disimpan pada suhu 10-42°C dengan kelembaban lebih dari 70% akan akan sangat mudah terkontaminasi jamur yang memicu produksi mikotoksin. Mikotoksin merupakan bahan kimia yang bersifat stabil dan mampu bertahan dalam jangka waktu lama, walaupun media yang menghasilkannya telah mati. Umumnya dijumpai dua atau lebih jenis mikotoksin pada satu jenis biji-bijian yang dipakai sebagai bahan baku pakan unggas dan menimbulkan efek toksik yang sangat berat.

Serangan mikotoksin pada unggas dipengaruhi berbagai faktor, antara lain jenis kelamin, umur, kondisi fisik, status nutrisi, kadar dan jenis mikotoksin, konsumsi pakan, lama serangan, manajemen peternakan dan infeksi penyakit lainnya. Pada ayam biasanya menderita penyakit ringan dan tidak spesifik, namun mikotoksikosis bersifat imunosupresif, disamping dapat memicu terjadinya berbagai penyakit.

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, mikotoksikosis dibedakan menjadi dua,  mikotoksikosis akut dan mikotoksikosis kronis. Mikotoksikosis akut dimana kejadiannya cepat, fatal dan menimbulkan kerugian ekonomi besar yang akan mengganggu metabolisme lemak, sehingga terjadi timbunan lemak di hati (fatty liver syndrome). Sedangkan mikotoksikosis kronis, kejadiannya berlangsung lama dengan tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) rendah. Serangan mikotoksin dapat menurunkan ketersediaan... (SA)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2019.

MENJAGA MUTU BAHAN PAKAN TERNAK

Bahan pakan ternak wajib dijaga agar kualitasnya terjamin dan tidak membahayakan ternak. (Foto: Infovet/Ridwan)

Bahan pakan ternak di Indonesia sebagian besar masih berkualitas rendah dan sangat bervariasi. Hal itu disebabkan karena adanya pengolahan yang tidak benar, serta pemalsuan. Kenyataan ini sangat memengaruhi kualitas ransum yang dihasilkan.

Dalam memproduksi pakan, produsen wajib menghasilkan dan mempertahankan kualitas ransum yang sesuai dengan kebutuhan ternak dan sesuai dengan yang tercantum dalam label pakan. Produsen juga harus menjaga agar ransum yang dihasilkan tidak membahayakan kesehatan ternak dan manusia sebagai konsumen produk  peternakan, serta menjamin bahwa semua bahan baku telah memenuhi standar kualita, dan tidak terdapat benda asing pada bahan baku atau ransum.

Untuk menjamin mutu pakan yang dihasilkan tersebut, maka dapat dilakukan dengan pengawasan mutu (quality control) pada tiap tahap proses produksi. Pengawasan mutu dilakukan pada setiap aktivitas dalam memproduksi pakan, mulai dari bahan baku, proses produksi, hingga pengemasan, penyimpanan dan pengiriman.

Bahan baku yang digunakan sebagai input dalam industri pakan ternak diperoleh dari berbagai sumber dan mempunyai kualitas yang bervariasi. Penyebab beragamnya mutu bahan baku umumnya dikarenakan variasi alami (natural variation), pengolahan (processing), pencampuran (adulteration) dan penurunan kualitas (damaging and deterioration).

Itulah sebabnya mengapa secara berkala bahan baku pakan harus perlu dievaluasi, setidaknya dilakukan empat jenis evaluasi, yakni evaluasi fisik, biologi, kimia dan mikrobiologi:

1. Evaluasi fisik, pengujian bahan pakan secara fisik merupakan analisis pakan dengan cara melihat kondisi fisik bahan baku pakan. Pengujian secara fisik bahan pakan dapat dilakukan baik secara langsung (makroskopis) maupun dengan alat bantu (mikroskopis). Pengujian secara fisik, disamping dilakukan untuk mengenali bahan pakan secara fisik, juga berguna untuk mengevaluasi bahan pakan secara kualitatif. Namun, sebenarnya analisis secara fisik saja tidak cukup, karena adanya variasi antara bahan, sehingga diperlukan analisis lebih lanjut, seperti analisis secara kimia, biologis atau kombinasi keduanya.

2. Evaluasi biologis, tujuan evaluasi bahan pakan secara biologis untuk mengetahui kecernaannya. Pengujian biologis sangat penting terutama untuk mengetahui nilai konversi pakan (FCR/feed conversion ratio). Namun demikian, nilai tersebut sebenarnya tidak merupakan angka mutlak, karena FCR tidak hanya ditentukan oleh kualitas, tetapi juga dipengaruhi faktor-faktor lain, diantaranya jenis ternak, umur ternak dan lain sebagainya. Semakin kecil nilai konversi pakan, berarti semakin baik kualitas pakan, karena akan semakin ekonomis. Untuk mengetahui nilai konversi pakan, perlu dilakukan pengujian lapangan dalam berbagai percobaan.

3. Evaluasi kimia, dimaksudkan untuk mengetahui persentase kandungan suatu zat yang terdapat pada suatu bahan pakan. Dari evaluasi itu, dapat diketahui kandungan gizi dari bahan pakan tersebut, misalnya kadar protein, lemak, karbohidrat, abu, serat dan kadar air. Hasil evaluasi kimia dapat dijadikan acuan untuk menentukan formulasi ransum, yaitu seberapa banyak bahan baku pakan tersebut akan digunakan dalam campuran formulasi ransum.

4. Evaluasi mikrobiologi, dalam uji mikrobiologi, sebuah mikroorganisme dipilih yang dikenal untuk menentukan nutrient yang ada. Jika nutrien yang akan diuji tidak ada, maka mikroorganisme yang dipilih tidak akan tumbuh.

Begitulah penjelasan mengapa perlunya bahan baku pakan melalui empat tahap evaluasi, agar aman dan terjamin kualitasnya.

Kemudian, pengolahan bahan baku yang tidak benar juga dapat menyebabkan kandungan zat pakan menjadi berubah. Bahan baku pakan yang terkontaminasi atau sengaja dicampur dengan benda-benda asing, dapat menurunkan kualitasnya, sehingga perlu dilakukan pengujian secara fisik untuk menentukan kemurniannya.

Penurunan kualitas bahan baku pakan dapat terjadi karena penanganan, pengolahan atau  penyimpanan yang kurang tepat. Penanganan bahan baku yang tidak benar dapat menyebabkan kerusakan sebagai akibat adanya serangan jamur (karena kadar air tinggi), ketengikan (bau) dan serangan serangga.



Ransum Berkualitas Baik
Menurut Ketua Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI), Prof Nahrowi, ciri ransum yang baik harus memenuhi beberapa hal, diantaranya ransum harus seimbang, yakni mempunyai semua nutrien dalam jumlah yang benar sesuai kebutuhan ternak. Pembuatan ransum juga harus memerhatikan aspek lingkungan kandang, seperti suhu dan kelembaban lingkungan. Kemudian, ransum juga semestinya yang palatable atau disukai ternak, serta harga yang bersaing. Selain itu, ransum yang baik juga ditandai dengan pencampuran bahan bakunya yang merata, baik dari bahan micronutrients maupun feed additives-nya, serta tidak mengandung unsur berbahaya bagi ternak.

Untuk meminimalkan variasi kualitas ransum yang dihasilkan, AINI menyarankan beberapa langkah, diantaranya:
• Mengetahui asal-usul bahan pakan yang akan digunakan.
• Melakukan uji fisik dan kimia terhadap bahan pakan sebelum formulasi ransum.
• Penanganan yang baik untuk bahan pakan yang akan disimpan.
• Meminimalisasi kesalahan selama proses pembuatan pakan, termasuk saat proses pencampuran.
• Menerapkan SOP terhadap pembelian, penerimaan, pengolahan dan pengiriman pakan.

Agar tidak terjadi variasi kualitas ransum yang terlalu berlebihan, maka sebaiknya dalam pengadaan bahan baku pakan dilakukan secara terorganisir, misalnya dengan satu organisasi khusus atau koperasi. Langkah lainnya adalah dengan melakukan prosedur standar sampling dan inspeksi sebagai upaya meminimalisir variasi bahan pakan. ***


Andang S. Indartono
Pengurus Asosiasi Ahli Nutrisi
dan Pakan Indonesia (AINI)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer