Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Opini | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

“HUT PDHI KE-68” MENGUPAS MAKNA SIMBOL DOKTER HEWAN INDONESIA

M. Chairul Arifin
Kado ulang tahun Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) tahun ini sangat berkesan sekali, yaitu bersamaan dengan peresmian Grha Dokter Hewan suatu tempat aktivitas dokter hewan Indonesia direncanakan, disiapkan, dilaksanakan dan dievaluasi.

Sebenarnya impian memiliki Grha Dokter Hewan ini sudah sejak lama, yaitu sejak 2005 dengan dibentuknya Pantya Persiapan Pembangunan Gedung Veterinary Center yg diketuai oleh  Drh A. Bolly A. Prabantara yang pembentukannya dilakukan dengan akte notaris dan disahkan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia tanggal 9 Maret 2006 dengan nama PT Sentra Veta Bhakti Mulia. Modal dasar saat itu Rp 500 juta dan dari para pendiri perorangan maupun saham dari para keluarga dokter hewan yang dihimpun melalui Yayasan Hemera Zoa sebesar Rp 125 juta.

Selanjutnya tanah seluas 800 m² di daerah Tajur Bogor yang berasal dari hibah Drs Mas'hud Wisnusaputra direncanakan menjadi gedung Veterinary Centre tersebut. Pada 26 Januari 2009, dirancang untuk acara penyerahan tanah wakaf dari Drs Mas'hud di Jl. Raya Tajur 170 Bogor kepada Yayasan Hemera Zoa yang sedianya bertindak atas nama organisasi. Tetapi kemudian Drs Mas'hud Wisnusaputra dipanggil Allah SWT pada 20 November 2008. Drs Mas'hud telah wafat mendahuluinya dan penyerahan tanah wakafnya tidak dapat terlaksana. Pada zaman tersebut PB PDHI baru menyelesaikan Kongres ke-15 yang memilih Drh Wiwiek Bagja selaku Ketua Umum masa bakti 2006-2010.

Estafet kepemimpinan PB PDHI yang terus terjadi hingga pada kepemimpinan Drh M. Munawaroh MM saat ini barulah terwujud rumah dokter hewan Indonesia di hari ulang tahun PDHI ke-68, pada 9 Januari 2021, sekaligus diresmikannya Grha Dokter Hewan dilengkapi motto dokter hewan yang terkenal “Manusya Mriga Satwa Sewaka” yang berarti Mengabdi Kemanusiaan Melalui Dunia Hewan.

Simbol Dokter Hewan Indonesia
Kalaulah Grha Dokter Hewan ini dianggap simbol eksistensi dan pengembangan organisasi profesi agar dapat lebih terfokus menghadapi tantangan global, regional dan nasional, serta memanfaatkan peluang dan menghindari hambatan dalam mengembangkan organisasi, maka ada lagi simbol yang jadi kebanggaan para dokter hewan Indonesia, yaitu yang berupa logo menarik yang menggambarkan lambang tentang kedokteran hewan.

Tentu setiap dokter hewan di Indonesia akan bangga menyematkan lambang tersebut pada setiap kesempatan untuk menunjukkan profesinya. Tetapi tahukah para dokter hewan bahwa lambang tersebut sebenarnya dari hasil kongres ke-6 yang diselenggarakan di Kota Pahlawan Surabaya, 22 September 1973. Jadi lambang tersebut telah berumur 48 tahun. Pada kesempatan kongres tersebut telah ditetapkan selain simbol/lambang tetapi juga tentang perbaikan sumpah dan kode etik dokter hewan.

Akan halnya simbol dokter hewan yang digambarkan sebagai “Aesculapius” yaitu sebagai (ular yang melingkar di tongkat) merupakan simbol universal para dokter manusia, dokter hewan, dokter gigi dan apoteker. Ular digambarkan untuk pengobatan, karena obat itu sebenarnya mirip dengan bisa ular yang beracun sehingga obat selain memiliki efek kuratif juga memiliki efek samping.

Dalam simbol PDHI, tongkat berarti eksistensi instrumen dokter hewan sebagai ahli dalam aspek preventif, kuratif, promotif dan rehabilatatif, serta ularnya melingkar pada tongkat yang bermahkota tiga. Mahkota pertama melambangkan pendidikan dokter hewan yang saat ini dihasilkan oleh 11 Fakultas Kedokteran Hewan. Mahkota kedua berarti dokter hewan dan organisasi profesinya dan mahkota ketiga menggambarkan dokter hewan yang selalu berkiprah di masyarakat sesuai dengan standar kompetensi yang dimilikinya.

Huruf “V” melambangkan kata Veteriner dengan latar belakang warna ungu yang merupakan simbol dari perguruan tinggi kedokteran hewan dunia atau dapat diartikan keagungan dan keluhuran profesi dokter hewan. Dokter hewan adalah profesi yang berpijak pada dua kaki. Kaki pertama berpijak pada aspek terkait produksi dan reproduksi (warna hijau) sedangkan kaki yang lain berhubungan dengan aspek kesehatan dan kesejahteraan (warna merah). Melalui dunia hewan, dokter hewan berkiprah untuk kesejahteraan umat manusia (Manusya Mriga Satwa Sewaka).

Tetapi semua simbol ini hendaknya dapat terealisasi. Saat ini profesi dokter hewan benar-benar diuji ketahanan kompetensinya di zaman pandemi COVID-19 yang kita tidak tahu kapan akan berakhir. Semua lini kekuatan dokter hewan dikerahkan, baik itu dokter hewan sebagai aparatur pemerintah, di kemiliteran dan sipil dosen, peneliti, dokter hewan swasta, hingga para praktisi. Karena sejatinya profesi ini tidak dapat diremehkan dan justru berperan sentral dalam setiap kejadian wabah penyakit menular. Selamat HUT PDHI ke-68. ***

Oleh: M. Chairul Arifin (Dari berbagai sumber)
Pegawai Kementan (1979-2006)
Staf Perencanaan (1983-2005)
Tenaga Ahli PSDS (2005-2009)

PERUNGGASAN PASCA PANDEMI

Ternak unggas. (Sumber: Agrarindo.com)

Dunia sedang menghadapi ancaman pandemi COVID-19 yang telah membunuh lebih dari 1 juta orang di dunia. Sampai saat ini semua orang disarankan untuk tetap menjaga jarak, rajin mencuci tangan dan menggunakan masker lantaran vaksin belum ditemukan. Konon, ketiga hal itu akan terus dilakukan meskipun vaksin sudah ditemukan. Dampak dari pandemi ini sangat luar biasa, makhluk yang tak kelihatan ini juga telah memporak-porandakan ekonomi di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Kira-kira pertanyaan banyak orang sama, apa dan bagaimana setelah pandemi ini berakhir khususnya di sub sektor perunggasan?

Pandemi COVID-19 telah mengubah banyak hal terutama di sektor peternakan, khususnya perunggasan. Hari ini banyak orang lebih waspada dalam mengonsumsi makanan. Apalagi ada rumor bahwa COVID-19 bisa menular lewat makanan. Di sisi lain, ada tantangan dalam teknis perunggasan yaitu produksi, kekebalan dan kesehatan pada ternak unggas. Ketiga hal tersebut tentu menjadi pembahasan yang berkelanjutan. Lantas kita bertanya bagaimana para pelaku usaha menyikapi dampak pandemi ini dan bagaimana itu jika dikaitkan dengan kepastian keamanan pangan bagi konsumen? Muara dari semua produksi peternakan adalah pangan.

Kita harus akui bahwa masih banyak kelemahan terkait soal kesehatan ternak atau pengendalian penyakit yang terjadi, baik itu dalam kandang hingga kualitas daging pada makanan yang tersedia di meja makan. Dalam banyak praktik di kandang, tak sedikit pelaku usaha masih tetap menggunakan antibiotik dalam melancarkan pembesaran ternak unggas. Masih banyak pula rumah pemotongan ayam (RPA) yang belum menerapkan standar pemotongan yang memenuhi syarat higienis dan sanitasi untuk menjamin kualitas daging. Pandemi COVID-19 ini seharusnya menjadi momentum bagi industri peternakan di Indonesia dalam meningkatkan keamanan pangan asal hewan.

Penggunaan Antibiotik
Penggunaan antibotik pada pakan unggas masih menjadi diskusi yang berkelanjutan sampai hari ini. Meskipun antibiotic growth promoter (AGP) pada pakan sudah dilarang di Indonesia, tapi penggunaannya masih dilakukan oleh sejumlah praktisi peternakan khususnya pada ternak broiler. Dilema dari AGP adalah satu sisi mendorong pertumbuhan bagi ternak, di sisi lain berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Resisten antibiotik menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat secara global baik langsung maupun tidak langsung.

Resisten antibiotik dapat menular ke manusia secara langsung adalah dengan mengonsumi unggas, sedangkan yang tidak langsung bisa terjadi lewat kotoran unggas yang mencemari lingkungan (air dan tanah). Diperlukan upaya secara cepat dan berkelanjutan dalam menemukan alternatif antibiotik misalnya prebiotik, probiotik dan senyawa antimikroba. Bahan kimia nabati menunjukkan bahwa dalam suplementasi pakan asam kaprilat, rantai asam lemak secara konsisten mengurangi kolonisasi Campylobacter pada ayam broiler (Solis de los Santos, dkk., 2008; 2009; 2010). Kemampuan in vitro dari thymol dan carvacrol untuk menghambat Campylobacter jejuni dan Salmonella Enteritidis dalam isi sekal ayam (Kollanoor Johny, dkk., 2010). Probiotik dan prebiotik dalam studi Arsi et al. (2015 b) menunjukkan bahwa prebiotik tidak secara konsisten mengurangi Campylobacter. Namun, prebiotik secara signifikan menurunkan beban Campylobacter bila digunakan dalam kombinasi dengan probiotik spp. (Arsi dkk., 2015).

Keamanan Pangan
Bahan pangan asal ternak nomor dua paling besar dikonsumsi di dunia adalah unggas, setelah daging babi. Tapi konsumsi daging nomor wahid di Indonesia adalah daging unggas. Oleh sebab itu, perhatian semua pihak pada unggas tak boleh disepelekan. Namun berapa banyak rumah potong atau tempat pemotongan hewan unggas yang ada telah memenuhi syarat higiene dan sanitasi? Dengan mudah kita menemukan tempat pemotongan yang tidak layak di pasar atau di sekitar rumah.

Tempat pemotongan yang tidak layak ini ditandai dengan ciri-ciri kotor, sistem penangan limbah yang tidak memadai, darah atau limbah berceceran di tanah, bangunan yang terbuat dari kayu, kandang penampungan ayam hanya berjarak 2-5 meter, pekerja yang tidak mengenakan perlengkapan yang standar (tidak bersih) dan sebagainya. Kondisi tempat pemotongan seperti ini amat berpotensi membahayakan kesehatan manusia karena kontaminasi bakteri patogen.

Penyakit yang ditimbulkan jika produk pangan terkontaminasi bakteri patogen adalah infeksi dan keracunan. Infeksi yang dimaksud akibat tertelannya mikroba dan berkembang biak di dalam alat pencernaan. Gejala yang timbul dari sini diketahui adalah sakit perut, pusing, muntah dan diare (Bruckle, dkk., 1987). Sekitar 60-70% penyakit diare disebabkan makanan yang mengandung mikroba patogen (Winarno, 2004). Sedangkan keracunan agak berbeda dengan infeksi, yaitu mikroba terlebih dahulu bertumbuh dalam bahan pangan kemudian tertelan oleh manusia. WHO mendata secara global bahwa 1 dari 10 orang di dunia sakit akibat keracunan makanan dan 420.000 orang meninggal dunia akibat keracunan makanan.

Dalam upaya menjaga agar produk pangan asal hewan terjamin higien dan sanitasinya, pemerintah telah membuat peraturan yang cukup jelas. Bahwa untuk produk mentah pangan (karkas) yang dikomersialkan wajib memiliki sertifikat kontrol veteriner. Tapi sayangnya, hal ini masih langka di Indonesia. Kita dengan mudah menemukan tempat pemotongan yang tidak memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Beberapa waktu lalu, salah satu pejabat di lingkungan Kementerian Pertanian mengungkapkan hanya sedikit sekali RPA di Indonesia yang memiliki NKV. Padahal, berdasarkan Undang-Undang No. 18/2009 juncto No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pasal 60 menyebutkan bahwa “Setiap orang yang mempunyai unit usaha produk hewan wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh nomor kontrol veteriner…”

Tantangan COVID-19 terhadap Unggas
Meskipun kesamaan dalam susunan genetik manusia dan ayam adalah sekitar 60%, sistem kekebalan manusia dan spesies unggas sangat berbeda, sehingga protokol, jenis dan aplikasi vaksinasi berbeda (Hafez dan Attia, 2020). Beberapa studi terbaru tampaknya menujukkan COVID-19 tidak menular pada ternak unggas. Kendati demikian, penerapan biosekuriti yang ketat di lokasi kandang harus dipertahankan untuk membatasi penyebaran COVID-19 ke peternakan. Karena kemungkinan terjadinya mutasi bisa terjadi (Montse dan Bender, 2020).

Meskipun saat ini belum ada bukti bahwa makanan dapat menyebarkan COVID-19, masyarakat global dihadapkan pada pertimbangan dalam pembelian makanan. Bakteri dan virus bisa tumbuh di suhu 5-60° C. Sebaiknya jika masyarakat hendak memesan daging unggas bawalah kotak pendingin dan es untuk menjaga makanan pada suhu yang dingin selama diperjalanan. Jangan biarkan daging unggas berada pada suhu ruang selama lebih dari 2 jam. Setelah sampai di rumah, daging unggas dimasukkan ke dalam kulkas atau freezer untuk penyimpanan yang aman.

Pandemi ini sebetulnya momentum yang tepat dalam rangka membenahi kualitas produk perunggasan nasional. Ini merupakan tanggung jawab bersama baik dari pemerintah, pelaku usaha, perguruan tinggi dan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan perlu menindak tegas pelaku usaha yang tidak memiliki NKV, karena ini berkaitan dengan nyawa manusia. Masyarakat memiliki peran yang cukup penting dalam memilih produk unggas yang sudah terjamin mutunya. Bagi pelaku usaha, sudah saatnya lebih peduli pada lingkungan dan masyarakat, tidak semata-mata mengejar profit belaka (People, Planet, Profit). Perguruan tinggi menjadi ujung tombak dalam mengedukasi masyarakat dan juga dalam melakukan riset/inovasi yang menjawab kebutuhan masyarakat. Semoga pandemi ini cepat berlalu. Usaha perunggasan Indonesia semakin maju. ***

Oleh: Febroni Purba (Praktisi Peternakan Unggas Lokal)

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI DAGING SAPI NASIONAL



Oleh: Ir Wignyo Sadwoko, MM 
(Perencana Ahli Madya)
Sapi potong merupakan salah satu ternak sumber protein hewani yang sudah lama dipelihara masyarakat dengan rata-rata pemeliharaan 2-3 ekor per rumah tangga yang dikelola secara bersama-sama dengan usaha tani lainnya. Model pemeliharaan ini sangat banyak di masyarakat kita, sehingga menjadikan tingkat produktivitas hasil dan efisiensi usaha sangat rendah. 

Disisi lain, peningkatan permintaan daging sapi sejalan dengan pertambahan penduduk ternyata lebih cepat dari pertumbuhan populasi dan produktivitas sapi dalam negeri. Penyediaan daging nasional saat ini belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri karena pertumbuhan populasi dan produktivitas sapi dalam negeri masih belum optimal. Pada tahun 2019, permintaan daging sapi nasional mencapai 686.270 ton, dengan rata-rata konsumsi per kapita sebesar 2,56 kilogram dengan penyediaan daging sapi dalam negeri sebesar 490.420,8 ton atau baru mampu menyediakan 71,46 % dari kebutuhan daging nasional.


Permintaan terhadap daging sapi diyakini akan mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan, tingginya kesadaran untuk mengkonsumsi pangan bergizi tinggi dan berkembangnya industri kuliner yang menyajikan bahan baku berbasis daging sapi. yang merupakan kebutuhan dasar manusia, pemenuhannya merupakan bagian hak asasi yang dijamin oleh negara. Sebagaimana diamanatkan pada Undang Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi seimbang, secara merata di seluruh wilayah NKRI sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal. 

Oleh karenanya pemenuhan konsumsi pangan harus didasarkan atas produksi dalam negeri dengan memanfaatkan sumber daya dan kearifan lokal secara optimal. Terkait dengan daging sapi, pemerintah pernah mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi pada awal tahun 2000 yang dilanjutkan dengan upaya peningkatan kelahiran melalui kegiatan Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan (GBIB) pada tahun 2015 – 2016  dan melalui Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB) pada tahun 2017 – 2019. Kegiatan Upsus Siwab  bertujuan untuk mendorong percepatan pertambahan populasi sapi di dalam negeri dilaksanakan melalui kegiatan optimalisasi reproduksi pada sapi dengan perkawinan buatan (IB) dalam rangka untuk meningkatkan produktivitas anakan yang dihasilkan, disamping juga untuk memperbaiki kualitas genetik ternak lokal yang ada. 

Memasuki tahun 2020 kegiatan Upsus SIWAB dikembangkan lebih luas cakupannya, tidak hanya sekedar pertambahan populasi sapi namun sudah diarahkan sampai dengan penyediaan produksi daging melalui kegiatan SIKOMANDAN (Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri) yang di-launching oleh Menteri Pertanian pada bulan Pebruari 2020 di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

SAPI DAN KERBAU KOMODITAS ANDALAN NEGERI (SIKOMANDAN)

Kegiatan SIKOMANDAN sebagaimana yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 17 Tahun 2020 pada dasarnya adalah kegiatan peningkatan produksi yang merupakan penjabaran dari berbagai fungsi Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan yang dikemas dalam kegiatan yang terintegrasi dan berkelanjutan dari hulu sampai hilir dalam rangka penyediaan daging sapi. 

Peningkatan produksi merupakan out come dari kegiatan SIKOMANDAN dilaksanakan secara terintegrasi dan saling menunjang menjadi satu kesatuan kegiatan yang meliputi (a)  peningkatan kelahiran; (b) peningkatan produktivitas; (c) pengendalian penyakit dan gangguan reproduksi; (d) penjaminan keamanan dan mutu pangan; dan (e) distribusi dan pemasaran.  Selanjutnya serangkaian kegiatan tersebut dirangkai dalam Proses Bisnis SIKOMANDAN meliputi 4 (empat) proses yang dimulai dengan (1) Peningkatan Kelahiran dalam rangka mendorong pertumbuhan populasi; (2)  Peningkatan Produktivitas dalam rangka meningkatkan produktivitas sapi dan kerbau dalam menghasilkan daging; (3) Peningkatan Keamanan dan Mutu Pangan melalui proses pemotongan/penyediaan daging yang Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH); dan (4) Kegiatan Distribusi dan Pemasaran dalam rangka penyediaan daging bagi masyarakat di seluruh wilayah secara cukup.  

Secara skematis bentuk keterkaitan antar proses bisnis tersebut digambarkan sebagai berikut:    

Sinergitas Kegiatan SIKOMANDAN
 

IMPLEMENTASI SIKOMANDAN

Melihat siklus bisnis dari SIKOMANDAN, keempat proses bisnis harus bersinergi antar kegiatan (proses bisnis) menjadi kunci dalam meningkatkan populasi dan penyediaan daging sapi untuk masyarakat. Dimana keluaran (output) dari proses awal akan menjadi masukan (input) untuk kegiatan berikutnya.  

Implementasi kegiatan SIKOMANDAN  dimulai dengan pengaturan dan pelayanan reproduksi, baik dalam aspek perkawinan maupun kesehatan reproduksinya sehingga akan dihasilkan kelahiran dari anak sapi yang sehat dengan kualitas yang baik. 

Anakan sapi yang sudah terdata pada iSIKHNAS selanjutnya dipelihara dan  anak sapi betina dipelihara untuk replacement dan penambahan populasi sementara yang jantan untuk produksi daging. Mengingat bahwa pada umumnya pemotongan sapi  dilakukan pada berat belum mencapai berat optimal (Survey IPB, 20112) maka diperlukan upaya peningkatan produktivitas melalui kegiatan tunda potong (penggemukan) dengan pemberian pakan yang baik sehingga diperoleh berat optimal.

Selanjutnya sapi jantan yang telah  mencapai  berat optimal tersebut dapat dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) untuk memenuhi kebutuhan daging yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) bagi masyarakat di seluruh wilayah melalui pengaturan distribusi dan pemasaran, baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging. 

Namun dengan mekanisme perencanaan dan pengalokasian anggaran yang bertumpu pada unit kerja eselon II yang sekaligus merupakan perwujudan tugas dan fungsinya, maka sinergisme atau keterpaduan dari setiap kegiatan yang tergambarkan  dalam proses bisnis SIKOMANDAN masih sulit diwujudkan. 

Solusi untuk menghindari hal tersebut, pelaksanaan SIKOMANDAN harus dikemas dengan pendekatan pembangunan melalui pengembangan kawasan atau dengan membangun cluster-cluster produksi dengan manajemen usaha dalam bentuk korporasi.

Melalui pendekatan pengembangan kawasan (cluster) korporasi peternak, akan menjadi langkah awal menuju industrialisasi peternakan sapi potong berbasis sumberdaya lokal. Dalam pelaksanaannya, pengembangan kawasan/cluster sapi potong dibangun dalam satu kesistiman agribisnis diharapkan mampu memicu terjadinya kombinasi kegiatan strategis berskala ekonomi, baik pada tataran on farm maupun off farm sebagaimana siklus bisnis SIKOMANDAN. 

Pelaksanaan SIKOMANDAN dengan pendekatan pengembangan kawasan/cluster dan pengelolaan secara korporasi akan memudahkan dalam mewujudkan sinergitas antar kegiatan (proses bisnis) dalam meningkatkan populasi  dan menghasilkan produksi daging.

PENGEMBANGBIAKAN SAPI BX BUKAN DARI HARTA “GHANIMAH”

(Foto: pataka.or.id)

Oleh: Rochadi Tawaf (Dewan Pakar PB ISPI)

Program pembiakan sapi BX yang selama ini dintroduksikan adalah sebagai berikut, 1) Pembiakan dengan pola integrasi sapi sawit. 2) Pembiakan dengan pola penggembalaan di padang rumput. 3) Pembiakan dengan pola pemeliharaan intensif dikandangkan. 4) Pola pengembangan semi breedlot, yaitu pembiakan yang dilakukan oleh para pengusaha feedlot. Program ini dilakukan oleh Indonesia Australia Comercial Cattle Breeding (IACCB) sejak 2016 silam.

Pola pembiakan sapi BX yang dilakukan bersama dengan peternakan rakyat, telah dilaksanakan di Koperasi Petani Ternak Maju Sejahtera (Lampung Selatan), Koperasi Karya Baru Mandiri (Kotawaringin Barat Kalimantan Selatan) dan Sentra Peternakan Rakyat Mega Jaya (Bojonegoro). Program ini telah menghasilkan efisiensi teknis sosial dan ekonomis usaha ternak pembiakan di wilayah tersebut.

Pada 2015, 2016 dan 2018, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), memiliki program untuk meningkatkan populasi ternak dan produksi daging sapi melalui importasi sapi potong betina produktif dari Australia. Data dari Ditjen PKH menyatakan bahwa impor sapi potong betina produktif pada 2018 sebanyak 2.652 ekor sapi Brahman Cross dan telah didistribusikan ke kelompok ternak dan UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah).
 
Pada akhir Juni 2019, Konsultan PT Mitra Asia Lestari (MAL) melakukan pemantauan perkembangan ternak sapi BX betina produktif yang telah didistribusikan ke beberapa kelompok dan UPTD di sembilan provinsi. Pemantauan difokuskan pada kondisi ternak, seperti tingkat kematian, nilai Body Condition Score (BCS), serta kondisi ketersediaan pakan di 41 kelompok dan empat UPTD (Aceh, Sumatra Utara, Riau, Sumatra Barat, Kepulauan Riau, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur).

Laporan hasil pemantauan menyatakan bahwa dari jumlah tersebut ditemukan sebanyak 54 ekor ternak mati, 252 ekor ternak dalam kondisi yang sangat kurus dengan BCS 1 dan 352 ekor dengan BCS 2. Kesimpulan kajian tersebut, bahwa permasalahan utama adalah karena kurangnya ketersediaan pakan dan air bersih.

Berdasarkan data dan informasi di atas, PB ISPI (Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia) terpanggil untuk berkontribusi membantu kelompok peternak mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut, sehingga tujuan pengembangbiakan sapi BX dapat terealisasi dengan baik. PB ISPI bekerjasama dengan Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) mengusulkan kegiatan yang dinamakan “Program Perbaikan Sapi Betina Produktif” atau “Improvement Program for Productive Female Cattle” yaitu program untuk memperbaiki kondisi sapi BX betina produktif yang sangat kurus atau kurus dengan cara meningkatkan BCS, sehingga diharapkan dapat mengurangi tingkat kematian ternak di kelompok.

Peradaban Baru Sapi BX
Di Jawa Barat, program ini diawali dengan melakukan rapid appraisal terhadap 24 kelompok peternak penerima sapi indukan. Hasilnya, ternyata sebagian peternak menyatakan bahwa selama setahun sejak sapi tersebut diterima, terdapat sapi yang bunting bawaan hanya 12,47% dan bunting hasil IB hanya 8,03%. Hal ini terutama disebabkan defisiensi pakan. Dampak selanjutnya sapi-sapi tersebut menjadi sulit bunting dan BCS di bawah angka dua sekitar 23%.

Berdasarkan hasil rapid appraisal, tim pendamping menargetkan bahwa sapi-sapi pada tiga kelompok fokus yang ditetapkan sebagai KPI-nya untuk angka kebuntingan minimal 70%, kematian maksimum 4% dan BCS di atas nilai 2,5.

Selanjutnya tim pembina melakukan pembinaan terhadap peternak dengan melakukan bimbingan teknis, melalui kerja sama dengan Balai Latihan Ketahanan Pangan dan Peternakan. Materi bimbingan merupakan pengetahuan praktis dalam mengatasi tiga permasalahan tersebut, yaitu kebuntingan, kematian dan BCS. Materi yang diberikan adalah bioteknologi pakan, reproduksi, manajemen kelompok dan analisis ekonomi bisnis usaha pembiakan.

Dari hasil pembinaan intensif yang dilakukan terhadap tiga kelompok fokus tersebut selama enam bulan, diakhir kegiatan kelompok binaan mampu melampaui target KPI yang ditetapkan, yaitu kebuntingan mencapai 66,6-73,3 %, kematian 0% dan BCS di atas nilai tiga (evaluasi 15 Juni 2020). Sesungguhnya, pada kasus ini telah terjadi “peradaban baru” bagi sapi-sapi BX yang semula dipelihara secara ekstensif di padang gembala, kini dipelihara secara intensif di kandang peternak rakyat yang ternyata mampu berproduksi seperti di tempat asalnya.

Breedlot pada Kelompok Peternak
Secara teknis kelompok peternak sejatinya telah mampu menunjukan keterampilannya melakukan kegiatan usaha pemeliharaan sapi indukan BX. Keberhasilan teknis yang dilakukan kelompok peternak rakyat tersebut sangat bermanfaat bagi Jawa Barat sebagai sentra konsumen yang berpotensi untuk melakukan pengembangbiakan sapi BX dengan pola “breedlot kelompok”.

Konsep breedlot kelompok adalah pola usaha pembiakan sapi BX yang diintegrasikan antara usaha pembiakan dengan usaha penggemukan. Namun, seberapa besar rasio antara kedua usaha tersebut yang ideal untuk direkomendasikan, ternyata belum terungkap dari hasil program ini. Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut dan mendalam mengenai itu.

Keberhasilan kelompok fokus melampaui target yang ditetapkan sebelumnya, terutama disebabkan oleh tiga fakyor utama. Pertama, motivasi integritas peternak yang ditetapkan melalui pernyataan sikap untuk merealisasikan target yang dibuatnya. Kedua, intensifnya tim pembina lapangan (insemintor, tenaga penyuluh dan tenaga kesehatan hewan) dalam membimbing peternak kelompok. Ketiga, sikap pemerintah dalam hal ini adalah pimpinan dinas peternakan di tingkat kabupaten. Kekompakan tiga lembaga ini turut memberikan andil besar dalam proses inovasi teknologi pemeliharaan sapi indukan BX.

Bukan Harta “Ghanimah”
Keberhasilan kelompok dalam meraih target yang ditetapkan adalah akibat terjadinya hubungan yang harmonis antara tenaga lapangan (inseminator, penyuluh dan petugas kesehatan hewan) dan dinas peternakan dalam memainkan perannya dengan peternak rakyat. Pada dasarnya bagaimana agar intervensi teknologi beternak dapat diadopsi peternak dengan baik.

Pada kasus ini, peran pendamping peternak menjadi strategis dalam penyampaian inovasi. Di sinilah pentingnya peran tenaga pendamping dalam menyukseskan program-program besar seperti peningkatan populasi ternak dan lainnya. Namun demikian, peran ini menjadi tidak ada artinya tatkala sarana pendukungya tidak tersedia. Seperti sarana IB (semen beku) dan kesehatan hewan (obat-obatan dan vitamin/hormon).

Satu hal yang juga sebagai pendukung keberhasilan program perbantuan adalah, bahwa peternak harus punya “rasa memiliki” dari program tersebut. Bahwa ternak bantuan pemerintah bertujuan untuk pengembangan usaha, bukannya sebagai bantuan yang habis pakai. Hal ini terjadi karena di masyarakat telah berkembang sikap bahwa bantuan pemerintah adalah ibarat “harta pampasan perang (ghanimah)”. Jadi boleh dihabiskan tanpa pertanggung jawaban, karena tanpa pengawasan dan pembinaan.

Oleh karena itu, sebagai langkah awal yang perlu ditanamkan dalam pengembangan ternak bantuan pemerintah adalah dana yang digunakan berasal dari pajak rakyat yang dititipkan kepada mereka untuk dikembangkan dengan tujuan kesejahteraan masyarakat. Semoga tulisan ini menginspirasi para penyuluh dan pembina peternak di lapangan. ***

SUMBANG SARAN PB PDHI UNTUK DIRJEN BARU

OLEH: DRH M. MUNAWAROH MM

Kami, Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) sebagai organisasi profesi mitra pemerintah mengucapkan selamat atas terpilihnya nahkoda baru Direktur Jenderal Peternakan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Dr Ir Nasrullah MSc. Semoga dapat mengemban tugas dengan baik dan senantiasa memberi yang terbaik bagi perkembangan peternakan dan kesehatan hewan nasional. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pejabat sebelumnya Dr Drh I Ketut Diarmita MP atas karya dan darma baktinya. Sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah, melalui media ini kami menyampaikan sumbang saran untuk Dirjen PKH dengan harapan dapat dipakai sebagai salah satu referensi dalam mengambil kebijakan. Artikel ini merupakan rangkuman dari materi sumbangan pemikiran PB PDHI tentang peternakan dan kesehatan hewan yang telah disampaikan secara resmi ke Dirjen PKH.

Optimalkan Peran Dokter Hewan

Dalam pembangunan nasional saat ini PDHI berpandangan bahwa pemerintah belum mengoptimalkan peran dokter hewan di bidang peternakan dan kesehatan hewan. Anggaran pemerintah baik APBD maupun APBN juga masih terfokus pada “kesehatan ternak” dan bukan “kesehatan hewan”. Ke depannya pemerintah hendaknya membangun “kesehatan hewan” secara komprehensif, mengingat kerugian ekonomi yang disebabkan Penyakit Hewan Menular (PHM) termasuk zoonosis amatlah besar. Dalam hal ini pemerintah perlu mengupayakan adanya “Anggaran Wabah” untuk PHM Zoonosis dan Non-Zoonosis.


Perihal masalah Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), dimana produk-produk asal hewan harus Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH), pemerintah perlu menghadirkan aparat semacam “Polisi Veteriner” yang bertanggung jawab terhadap struktur dan sistem keamanan pangan asal ternak di lapangan. Termasuk di dalamnya mengawasi rumah pemotongan hewan (RPH) ilegal atau yang tidak memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV), serta beredarnya daging “liar” di pasaran. Keterbatasan tenaga veteriner di Badan Karantina Pertanian yang bertanggung jawab dalam hal struktur dan sistem pertahanan pangan asal ternak dan sistem penangkalan penyakit hewan dari luar negeri perlu menjadi perhatian pemerintah.

Penanganan Wabah

Ketentuan UU No. 18/2009 pada Pasal 46 yang mengatur respon Pemerintah Pusat dan Daerah kami nilai terlalu panjang dan berbelit-belit, hal ini tidak mencerminkan kebijakan yang tanggap terhadap suatu wabah. Selain itu, ketentuan kejadian wabah yang harus diumumkan ke publik menjadi beban psikis tersendiri bagi pimpinan dan jajaran Pejabat Tinggi di unit eselon I yang menangani peternakan dan kesehatan hewan.

PB PDHI siap membantu Dirjen PKH untuk merombak ketentuan Pasal 46 agar respon terhadap wabah dapat dilakukan secara cepat tanpa dibayangi beban psikis jabatan.

Kebijakan Zone Based dan Impor Sapi

Kami juga mengamati pemerintah dalam menerapkan UU No. 41/2014 terutama mengenai Pasal 36 B ayat 2. Menurut hemat kami seharusnya pasal ini bersifat lumintu (terus berkelanjutan), yakni bisa menerima berbagai kriteria sapi untuk kepentingan pengembangan sapi potong dan pemenuhan kebutuhan konsumen dalam negeri.

Terhadap kebijakan impor berbasis zona (zone based) menggantikan country based, kami menilai bahwa sistem ini bakal menyulitkan Ditjen PKH dalam mencegah dan mengendalikan PHM, antara lain PMK, BSE, ASF, COVID-19 dan lain-lain. Kebijakan zone based bisa diterapkan dengan baik sepanjang pemerintah melakukan tahapan sesuai dengan saran Tim Analisa Resiko Independen (TARI). Faktanya sampai saat ini persyaratan yang diharuskan ada oleh tim TARI masih belum dipenuhi, tidak heran jika kemudian terjadi wabah ASF yang sangat mungkin akan diikuti wabah lainnya seperti PMK dan BSE (yang sampai saat ini Indonesia masih bebas).

Masalah lain juga ada di Pasal 36 B ayat 5 yang mewajibkan feedlot menggemukkan sapi paling cepat 4 bulan setelah pelepasan dari karantina. Akibat pasal ini, para pengusaha penggemukan sapi potong dapat mengalami kerugian, karena dengan teknologi saat ini penggemukan sapi dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 4 bulan. Artinya, putaran investasi akan memberikan dampak finansial dan ekonomi yang lebih luas dan cepat. Bukan sebaliknya, menjadi lambat dan kurang memberi manfaat bagi ekonomi pedesaan.

Impor daging sapi dan kerbau dari India juga menimbulkan masalah ekonomi. Disparitas harga daging impor dan lokal sangat tinggi dan dapat menyebabkan kerugian pada feedlot dan peternak. Malahan lebih menguntungkan bagi para “pencari cuan” ketimbang peternak dan pengusaha feedlot.

AGP dan Perunggasan

Permasalahan yang tidak kalah penting yakni mengenai Anti Microbial Ressistance (AMR). PDHI dalam hal ini mendukung regulasi pemerintah karena di lapangan penggunaan antibiotik tidak terawasi dengan baik (terutama dalam perunggasan), sehingga PDHI meminta pemerintah agar lebih aktif melakukan fungsi pengawasan. Saat ini PDHI juga sedang menyusun buku tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, semoga dalam waktu dekat buku ini akan terbit dan bisa digunakan sebagai dasar untuk pengobatan antibiotik di lapangan oleh para praktisi.

Hal yang juga krusial yakni masih banyaknya peredaran obat hewan ilegal. PB PDHI menganggap penting perlunya struktur dan sistem hukum yang bertanggung jawab dalam hal penyidikan dan penindakan terhadap penyimpangan pengadaan maupun peredaran obat hewan. Kementerian Pertanian sampai saat ini, belum memiliki Bidang atau Direktorat Penyidikan dan Penindakan yang berhubungan dengan obat hewan ilegal. Dengan adanya dukungan perangkat lunak berupa landasan hukum yang kuat diharapkan dapat melindungi masyarakat, khususnya peternak kecil dalam mendapatkan obat hewan yang baik dan bermutu.

Dalam bidang perunggasan diharapkan Ditjen PKH dapat segera melakukan audit populasi dan pengurangan produksi parent stock (PS) dan/atau final stock (FS), sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Permentan Nomor 32/Permentan/PK.230/9/2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi, agar kelebihan produksi dapat diselesaikan.

Selain itu pemerintah belum melakukan pembelian ternak ayam sebagaimana ketentuan Pasal 3 ayat (1) Permendag No. 7/2020, yang mewajibkan pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan pembelian apabila harga di tingkat peternak di bawah harga acuan yang telah ditetapkan, yaitu sebesar Rp 19.000/kg.

Pemerintah juga seharusnya lebih mendorong integrator untuk ekspor, agar peternak lebih banyak mendapat porsi pasar lokal. Koordinasi antar kementerian agar ditingkatkan dalam penyelesaian masalah perunggasan yang terus berbelit.

Memperkuat Produksi dan Ekspor

Perlu diingat bahwa Indonesia adalah salah satu “hot spot” penyakit infeksius baru (Emerging Infectious Diseases/EID) di dunia. Situasi ini menjadikan kondisi Indonesia sebagai “ancaman” bagi masyarakat karena kemungkinan menjadi sumber munculnya penyakit infeksi baru yang dapat berakibat fatal bagi manusia.

Zoonosis seperti Antraks, Rabies, Leptospirosis, Bruselosis dan lainnya selalu muncul setiap tahun. Kejadian Rabies setiap tahun mengakibatkan kematian manusia cukup banyak. Permasalahan ini yang dihadapi dunia kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat di Indonesia dan sudah seharusnya dapat ditangani secara lebih baik oleh tenaga ahli dari dalam negeri.

Kemampuan penyidikan penyakit hewan di dalam negeri sudah semakin baik. Staf penyidikan yang semakin terdidik dan terlatih secara profesional mendukung tugas mereka dalam menyidik dan menanggulangi terjadinya penyakit di lapangan. Kehandalan para penyidik veteriner ini juga terlihat saat mulai merebaknya kasus African Swine Fever (ASF) di Indonesia pertengahan 2019.

Kemampuan diagnosis petugas Balai Veteriner sudah sangat baik, hal ini menunjukkan bahwa sumber daya manusia di bidang veteriner tidak kalah dari luar negeri. Penelitian penyakit zoonotik juga telah banyak dilakukan oleh peneliti andal dari putra-putri bangsa sendiri. Agen-agen etiologi dari isolat lokal juga telah banyak dikoleksi dari hasil penelitian yang dilakukan.

Lembaga penelitian nasional juga sudah ada yang memiliki fasilitas memadai untuk melakukan penelitian terhadap agen penyakit zoonotik dan non-zooonotik. Hal tersebut merupakan aset bangsa yang sangat berharga, yang bukan hanya memberikan kontribusi dalam rangka penyidikan penyakit, namun dapat dikembangkan pada hal-hal yang lebih produktif dan memberikan keuntungan ekonomi bagi bangsa.

Pengendalian zoonosis dan penyakit hewan non-zoonotik di Indonesia masih sangat tergantung pada importasi alat diagnostik maupun vaksin dari luar negeri. Contoh kasus, saat mencukupi kebutuhan vaksin Rabies dalam pengendalian penyakit ini di Bali beberapa tahun lalu hingga saat ini, Indonesia masih sangat tergantung dari vaksin impor. Di sisi lain, isolat virus Rabies nasional sangat banyak dan dapat dikembangkan menjadi vaksin dan alat diagnostik sekaligus, hal ini juga didukung peneliti/pakar Rabies/virus di Indonesia yang memiliki kapabilitas menghasilkan vaksin maupun alat diagnostik.

Fasilitas untuk melakukan riset inovasi vaksin dan alat diagnosis Rabies dalam negeri juga sudah layak. Indikasi terhadap hal-hal ini dapat dilihat dari hasil riset yang dipublikasikan di jurnal nasional maupun internasional. Kelemahan yang muncul adalah tidak ada dukungan pemerintah khususnya untuk menindaklanjuti aktivitas riset tersebut hingga berhasil dihilirisasi menjadi produk yang dapat dipasarkan.

Kementerian Pertanian juga telah memiliki Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) sebagai unit produksi vaksin maupun alat diagnostik veteriner yang mampu menghilirisasi produk penelitian yang ada. Bercermin dari pandemi COVID-19, Kementerian Pertanian dapat mengambil pelajaran dengan memberikan dukungan semaksimal mungkin kepada bidang veteriner, sehingga dapat menghasilkan produk biologi yang dapat memenuhi kebutuhan nasional, bahkan dapat menjadi produk ekspor yang bernilai ekonomi tinggi. Dengan demikian posisi Indonesia sebagai “hot spot” EID justru memberikan keuntungan bagi bangsa dalam mengendalikan zoonosis maupun non-zoonosis yang ada di dalam negeri, sekaligus mencegah muncul dan menyebarnya penyakit infeksi baru. ***

KEHIDUPAN SETELAH PANDEMI BERAKHIR

Ilustrasi belajar secara daring. (Sumber: Detikcom)

Oleh: M. Chairul Arifin

Tidak ada seorangpun yang bisa meramalkan kapan pandemi COVID-19 ini akan berakhir, entah bulan depan, tahun ini, atau bahkan tahun berikutnya. Bahkan para ahli epidemiologi sekalipun belum dapat meramalkan kapan pandemi ini akan berhenti agar kembali bisa menjalani kehidupan normal. Mereka hanya mampu membuat berbagai skenario berdasarkan tindakan mitigasi dan penanggulangan yang dilakukan, yaitu bila tidak ada tindakan, tindakan sedang dan tindakan sesuai aturan.

Kurva penularan COVID-19 masih terus meroket dan upaya flatten the curve terus dilakukan secara bersamaan dengan seluruh elemen masyarakat dan pemerintah dalam bentuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), social distancing, physical distancing, bekerja dari rumah (work from home/WFH), hingga larangan mudik. Tindakan inipun masih terkendala sifat masyarakat yang belum memenuhi aturan, dan di sisi lain para tenaga medis kerap kekurangan alat pelindung diri (APD) yang sesuai standar.

Apakah Kembali Normal?

Dengan segala bentuk pembatasan tersebut apakah kehidupan manusia akan kembali normal jikalau pandemi ini berakhir? Apakah seseorang, karyawan, aparatur sipil negara (ASN), siswa dan mahasiswa, cara bertani dan beternak kita akan kembali seperti sediakala? Normal yang dimaksud adalah kembali pada kebiasaan lama, mengerjakan pekerjaan kantoran yang sudah engage itu. Membentuk tim kerja  yang sudah solid bertahun-tahun sambil menunggu disposisi dari "sang bos", melaporkan, menghadiri rapat atau sesekali dinas luar (DL) seperti yang telah disampaikan oleh kawan penulis, Djajadi Gunawan, dalam artikelnya berjudul “Kapan DL Lagi”.

Dari pengalaman bekerja dari rumah yang sekian lama dialami hampir lima bulanan, kemungkinan cara kerja kita dikantor akan  berubah  secara bertahap. Dari pengalaman WFH telah memberi pelajaran suatu best practice bahwa sebagian besar pekerjaan kantoran dapat dikerjakan dirumah. Analoginya adalah pekerjaan kantor dapat dikerjakan di luaran, entah di hotel, kafe atau tempat lainnya yang memungkinkan bekerja secara daring dan luring. 

Bahkan berbagai rapat atau meeting juga tidak perlu dihadiri secara fisik. Dengan teknologi telekonferensi kita dapat hadir secara virtual dan moderator maupun pimpinan sidang sudah dapat menyimpulkan hasil rapat virtual tersebut. Jadi di luar ruangan kantorpun ternyata dapat diambil keputusan strategis dan tepat waktu. Pekerjaan macam jurnalis yang selalu dikejar deadline dapat dikerjakan secara daring dimanapun kita suka.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menjadi pelopor untuk “merumahkan” para ASN-nya jauh sebelum terjadinya pandemi. Diberitakan bahwa 1.000-an ASN Bappenas diujicobakan kerja di lain tempat mulai Januari 2020, jauh sebelum pandemi melanda Indonesia pertengahan Maret 2020.

Untuk industri pertanian contoh yang sangat baik seperti peternakan ayam ras. Mereka ini telah sepenuhnya menggunakan sistem digital dari sejak di hulu, on farm sampai pengolahan dan pemasarannya. Didukung oleh kelembagaan dan sumber daya manusia yang kuat menjadikan bisnis ayam ras suatu contoh atau model sistem agribisnis modern.

Dalam dunia pendidikan apalagi (di luar pendidikan profesi yang menuntut praktik laboratorium dan pasien), maka sistem online dapat diperlakukan termasuk pembelajaran jarak jauh, ujian tengah semester maupun akhir semester. Sudah banyak aplikasi online semisal Ruang Guru yang memungkinkan siswa belajar mandiri serta mampu mengerjakan soal-soal yang diberikan. Perhatian khusus penekanan pada pendidikan karakter yang perlu dikemas menjadi hal yang lebih menarik.

Dalam tata niaga pun sudah lama dipraktikkan belanja online. Bukan itu saja, mata rantai pasok dari produsen sampai kepada konsumen sudah semakin efisien dengan aplikasi perdagangan elektronik (e-commerce) sehingga konsumen atau produsen dimudahkan dalam memilih dan membeli barang.

Jadi, baik dikalangan pemerintahan maupun dunia swasta dan yang lainnya, sebenarnya sudah dapat terhubung satu sama lain menjadi sistem terpadu sebagai embrio big data.

Akhir Pandemi

Diakhir pandemi kelak akan terlihat beberapa perubahan mendasar dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat dan bernegara. Pemakaian gawai dan internet akan menjadi bagian dari kehidupan kita tanpa kita sadari. Membangun perkantoran yang megah sudah bukan zamannya lagi, akan tergantikan dengan ruang kerja baru yang berwujud coworking space, tempat orang bekerja sharing entah darimana orang itu.

Tapi satu hal yang perlu diingat yaitu turunnya pertumbuhan ekonomi yang diramalkan menurun sampai 3% bahkan skenario terburuk pertumbuhannya minus 0,4%. Keadaan ini membutuhkan waktu pemulihan yang cukup lama. Menurut para analis sekitar 1-2 tahun. Ingatan kita masih segar bahwa pada krisis multi dimensi tahun 1997/1998 sesuatu yang berbasiskan sumber daya lokal menjadi kunci dari cepat atau tidaknya kita pulih dari suatu bencana.

Kendati demikian pandemi ini sedikit banyak memberikan pelajaran berharga, lesson learned bagi kita semua bahwa sesuatu kehidupan itu dapat berubah, bahkan diubah oleh makhluk mikroorganisme kecil yaitu COVID-19. ***


Penulis adalah:

Pegawai Kementan (1979-2006),

Staf Perencanaan (1983-2005),

Tenaga Ahli PSDS (2005-2009)

KURBAN SECARA DARING

 



Oleh : Rochadi Tawaf

Dewan Pakar PB ISPI dan Penasehat PP PERSEPSI

 

Beberapa hari lalu hari raya kurban dengan tiga hari tasrik, telah dilakukan pemotongan hewan yang dilakukan oleh orang-orang muslim yang mampu. Tahun ini, pemotongan hewan kurban berbeda dengan tahun-tahun lalu. Situasi saat ini, orang menyebutnya sebagai era baru pandemic covid-19 (C-19).

Di era ini, semua sector tanpa kecuali mulai menyesuaikan diri dengan protocol C-19. Demikian halnya dengan ritual pemotongan ternak pada saat idul kurban tahun ini. Sesuai dengan Surat Edaran kementrian Agama No. 18 Tahun 2020 dan Surat Edaran Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, No. 00008/SE/PK.320/F/06/2020 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Kurban dalam Situasi Wabah Bencana Non Alam C-19. Keputusan Gubernur Jabar No. 443/Kep.376-Hukham/2020 tentang Protokol Pemeriksaan Penjualan dan Penyembelihan Hewan Kurban serta Distribusi Hewan Kurban selama Pandemi C-19. Semua kebijakan tersebut utamanya ditujukan untuk mengendalikan perkembangan virus C-19.

Beberapa fenomena yang terjadi saat ini berkaitan dengan ritual idul kurban, telah menjadi kendala namun sekaligus merupakan peluang adalah sebagai berikut:

Pertama, bagi masyarakat yang biasa menyelenggarakan dan menerima titipan hewan Kurban, khususnya Masjid-masjid yang tidak mememiliki kemampuan melaksanakan syarat ketentuan potokol C-19 sesuai kebijakan pemerintah, memilih untuk tidak menerima titipan hewan kurban, karena mereka menyadari akan resiko yang mungkin terjadi.

Kedua, bahwa dampak pandemic C-19 ternyata telah menurunkan daya beli Mudhohi (pekurban). Hal ini ditunjukan dengan menurunnya transaksi jual beli ternak kurban, pada tahun ini dibandingkan tahun lalu. Selain hal tersebut, menurut informasi dari beberapa pedagang ternak kurban, bahwa omzet penjualannya tahun ini menurun sekitar 30-50%. Selain itu, telah terjadi pula fenomena pergeseran pembelian hewan kurban dari yang berukuran besar (mahal) ke yang lebih kecil (murah). Sesungguhnya,  kebijakan pemerintah mengenai tidak adanya pemberangkatan ibadah haji, disertai himbauan melakukan ibadah kurban di dalam negeri, merupakan peluang peningkatan permintaan akan hewan kurban.

Ketiga, bertepatan hari raya kurban jatuh pada hari Jumat. Selain  itu pemerintah menghimbau bahwa pemotong ternak sebaiknya dilakukan di RPH. Kondisi ini menimbulkan jumlah ternak yang disembelih akan bertumpuk pada hari sabtu dan minggu. kondisi ini, ternyata dilapangan tidak didukung oleh infra struktur RPH yang memadai, sehingga lagi-lagi  menyulitkan para mudhohi yang berkeinginan untuk berkurban.

Berdasarkan berbagai fenomena yang terjadi tersebut, kini bermunculan sistem perdagangan, maupun pelaksanaan dan distribusi hewan Kurban yang dilakukan secara daring. Sebut saja beberapa perusahaan yang berbasis daring seperti marketplace nya di Tokopedia, Bukalapak, Bli-Bli dsb, yang hanya menjual ternak milik orang lain. Selain itu ada juga perusahaan peternakan yang memiliki budi daya ternak, menyelenggarakan pemotongan dan juga mendistribusikannya. Kegiatan ini dilakukan secara daring, oleh perusahaan tersebut.

Era Disruption

Di era pandemic C-19 saat ini, yang bertepatan dengan era revolusi industry 4.0, disebut juga sebagai era disrupsi. Di era ini, dicirikan dengan berkembangnya teknologi robotic, dimana berbagai teknologi yang dihubungkan dengan jaringan internet yang dikenal konsep IoT (semuanya serba internet atau internet untuk semua). Era ini, sesungguhnya merupakan momentum strategis bagi setiap sector untuk berinovasi dan berubah guna menyongsong masa depan. Jika saja kegiatan usaha di sector peternakan tidak berubah atau tidak mengubah dirinya atau tidak mampu menyesuaikan diri dengan teknologi yang tengah berkembang, maka dengan sendirinya sector tersebut akan tertinggal.

Konsep dasar yang digunakan dalam teknologi daring pada bisnis daging sapi adalah transparansi. Dengan konsep transparansi maka akan muncul “kepercayaan” baik bagi konsumen maupun produsen. Tingkat kepercayaan inilah sebagai titik awal pertumbuhan dan perkembangan usaha bisnis daging sapi secara digital di era ini.

Dalam perkembangannya, bisnis peternakan sapi potong telah terjadi disrupsi pada susbsistem hilir. Perkembangan bisnis  daring di subsistem hilir tumbuh sangat cepat di bandingkan di hulunya. Di era pandemic C-19, beberapa bulan lalu (Bulan maret sd Juli), telah terjadi pertumbuhan positif bisnis daring daging sapi di sub sistem hilir yang cukup signifikan. Bahkan, omzetnya ada yang tumbuh mencapai 600%. Kecepatan pertumbuhan ini, tidak mampu diimbangi oleh pertumbuhan subsistem hulu dan budidaya. Sehingga telah terjadi disrupsi inovasi terhadap bisnis budidaya sapi potong di dalam negeri.

Ketidak mampuan produksi domestik untuk memenuhi kebutuhan konsumen telah di manfaatkan dan di intervensi oleh daging impor  yang  mendistorsi pasar daging domestik. Fakta ini merupakan bukti bahwa negeri ini sudah berada di posisi kondisi keterperangkapan pangan daging sapi. Yaitu, kondisi dimana ketergantungan terhadap daging impor untuk memenuhi kebutuhan konsumen di dalam negeri semakin membesar.

Tebar Kurban

Tebar Kurban (istilah dari PT Agro Investama), merupakan konsep bisnis pemasaran hewan kurban secar daring, yang terintegrasi dari subsistem hulu ke hilir secara kaptif (closed loop business). Dimana fungsi subsistem hilir sebagai lokomotif akan mampu menarik dan menggerakan gerbong budidaya untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang sangat transparan. Setiap pelaku bisnis sebagai aktor dalam system rantai pasok nya telah mampu menjalankan fungsi dan perannya, sehingga melahirkan efisiensi produksi, dan produk yang dihasilkan memiliki daya saing tinggi.

Konsep tebar kurban, mampu meyakinkan mudhohi (dimana saja mereka berada tanpa batas ruang dan waktu) untuk membeli hewan kurban dengan spesifikasi harga, kualitas dan kuantitasnya yang transparan. Pemotongan ternak dapat disaksikan pula melalui jaringan internet dalam waktu yang ditentukan atas kesepakatan. Demikian pula, pengelolaan pasca potong dan distribusi tepat sasaran (sampai ke mustahik) dapat diketahui dengan sangat jelas melalui pemberdayaan pola distribusi yang ada. Misalnya, memanfaat jaringan Go Send pada aplikasi ojek online. Kesemua program ini menggunakan sistem aplikasi yang dirancang dan mampu meyakinkan mudhohi untuk mengetahui proses ritual kurban, sejak membeli ternak,  penyembelihan hingga distribusinya sampai ke mustahik. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya jumlah mudhohi dalam mengikuti program tebar kurban secara daring dari tahun ke tahun.

Kiranya konsep tebar kurban secara daring dapat dijadikan inspirasi pengembangan sistem bisnis masa depan di sector peternakan yang mampu menggerakkan subsistem budidaya. Sehingga konsep ini merupakan salah satu solusi pengendalian disrupsi inovasi seperti yang tengah terjadi pada kasus bisnis daging sapi saat ini…. Semoga.

REFLEKSI HARI LAHIR PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DI TENGAH HIMPITAN PANDEMI

Drh. M. Chairul Arifin
Tanggal 26 Agustus merupakan hari lahir Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia. Tanggal ditetapkan karena berdasarkan penelusuran sejarah pada tanggal tersebut tepatnya ditahun 1836 pemerintah Hindia-Belanda menerbitkan ketetapan melalui plakat yang berisi tentang pelarangan pemotongan ternak betina bertanduk atau yang kita kenal betina produktif, baik ternak ruminansia besar maupun kecil.

Plakat ini dipandang oleh para senior, pakar, akademisi, praktisi, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya merupakan era dimulainya campur tangan pemerintah sejak 184 tahun yg lalu dan diputuskanlah sebagai hari lahir Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia. Kini 26 Agustus 2020, kalau dirunut sejarahnya maka Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) kita telah berumur 184 tahun dan kita secara resmi baru mengingatnya sejak 2003 dalam bentuk  peringatan hari lahir diikuti dengan Bulan Bhakti 26 Agustus-26 September. Berarti kita secara tak sadar telah memperingatinya 17 kali baik di pusat maupun daerah.

Merajut Masa Depan

Memperingati hari lahir peternakan dan kesehatan hewan ada baiknya kita melakukan refleksi diri, bermuhasabah dengan semata tujuan untuk lebih meningkatkan peran di masyarakat dengan bekerja lebih baik lagi untuk kepentingan para peternak Indonesia yang berjumlah lebih dari 6 juta rumah tangga peternak

Dalam hal ini pertama-tama kita kembali dulu ke aspek penanganan pengendalian pemotongan ternak betina produktif, asal-muasal ditetapkannya hari lahir PKH yang sampai sekarang masih diberlakukan pemerintah.

Sampai sekarang pengendalian pemotongan betina produktif malah ditetapkan dalam UU PKH yang dilengkapi dengan instrumen Peraturan Menteri Pertanian lengkap dengan sanksinya bila seseorang memotong ternak betina produktif (Pasal 18 UU PKH No. 41/2014 dan Permentan No. 35/2011).

Pelaksanaan Pelarangan Pemotongan Betina Produktif

Tetapi tidak bisa dipungkiri lagi di lapangan bahwa masih terjadi pemotongan ternak betina produktif yang disebabkan tuntutan ekonomi peternak. Maka sudah sejak lama diupayakan pengendaliannya oleh pemerintah. Mungkin sejak berdirinya Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang didahului oleh Direktorat Kehewanan di pusat dan daerah upaya penghentian pemotongannya dilakukan dengan berbagai program dari pemberian insentif sampai memakai tindakan represif dengan menempatkan polisi di berbagai rumah pemotongan hewan (RPH) untuk melarang pemotongan betina produktif tersebut.

Namun apa hasilnya? Di RPH yang diawasi polisi tentu saja terjadi penurunan drastis pemotongan betina produktif. Tetapi ibarat balon, jika ditekan di satu sisi maka akan terjadi penggelembungan di sisi lain. Terjadi pemotongan betina produktif di sekitar RPH yang dijaga oleh Polri atau terjadi pemotongan di tempat-tempat pemotongan hewan milik rakyat yang luput pengawasan.

Dari fenomena ini dan melihat upaya pengendalian pemotongan betina produktif yang sudah lebih 1,5 abad, apakah kita tidak perlu berpikir ulang pelarangan ternak betina produktif tersebut? Coba kita lihat bersama bahwa Pemerintah Hindia-Belanda menerapkan kebijaksanaan tersebut demi peningkatan populasi dan produksi ternak sapi dan kerbau. Pada waktu itu populasinya sangat kurang dan tehnologi IB ET dan berbagai rekayasa genetik belum ada dan berkembang seperti sekarang ini.

Memang terjadi kenaikan populasi sapi dan kerbau. Dari yang semula populasi sapi 1,5 juta ekor dan kerbau 2 juta ekor di tahun sebelum 1922, meningkat menjadi 3 juta ekor sapi dan 3 juta ekor kerbau di 1936. Tetapi perlu diketahui pula bahwa Pemerintah Hindia-Belanda pernah pula mendatangkan sapi Onggole dari India secara besar-besaran pada 1917 ke pulau Sumba. Sapi-sapi itu dikawin-silangkan dengan sapi Jawa yang bertubuh kecil sehingga menjadi sapi Peranakan Ongole (PO) seperti yang kita ketahui sekarang.

Kemudian dihubungkan dengan data sensus ternak BPS diadakan sejak 1967 sampai Sensus Pertanian saat ini serta berbagai survei menunjukkan bahwa ratio ternak betina dewasa produktif komposisinya ternyata tetap pada kisaran 44-45%. Artinya komposisi ternak dialam itu sangat mendukung keberlanjutan populasi (sustainibility) sebagaimana dilaporkan oleh survei UGM pada 2011 lalu, karena struktur komposisinya ini menunjukkan nilai NRR-nya lebih dari 1 (satu). Struktur seperti ini mendukung kegiatan pembibitan sapi sekaligus melestarikan populasinya.

Jadi, tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan tentang adanya penurunan populasi ternak karena adanya pemotongan ternak betina produktif. Pelarangan itu hanya dapat dikenakan kepada ternak bibit dan calon bibit, serta ternak yang bunting yang ditentukan oleh dokter hewan dan pengawas mutu bibit. Selebihnya dapat dipotong atau diseleksi untuk disingkirkan sesuai UU PKH No. 41/2014.

Pelarangan pemotongan ternak betina produktif itu telah menimbulkan paranoid tersendiri bagi peternak budi daya dan petugas pemerintah sendiri. Pada masa pandemi COVID-19 ini marilah kita berpikir ulang untuk merajut masa depan. Masih tepatkah adanya aturan pelarangan pemotongan ternak betina yang sudah berumur 184 tahun diteruskan? Disrupsi kebijakan sangat diperlukan mumpung momentumnya tepat agar tidak menghambat usaha peternakan rakyat yang sekaligus dapat menjadi insentif investasi swasta dan masyarakat.

Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB)

Pada saat ini pemerintah sangat gencar dan massif dalam melaksanakan IB. Teknologi ini pernah diintroduksikan oleh Prof Zeit, seorang dokter hewan Belanda tahun 1950-an dan banyak mendidik orang pribumi untuk menjadi dokter hewan. Maka didirikanlah semacam AI Center di Ungaran Semarang. Entah karena terjadi revolusi fisik pada waktu itu program IB terhenti.

Kini setelah lebih dari 80 tahun kegiatan IB dilanjutkan oleh pemerintah melalui berbagai program, yaitu INSAP (Inseminasi Sapi Potong), Gerakan Sejuta IB, Program Swasembada Daging Sapi, Upaya Khusus dan SIKOMANDAN. Program ini berupaya mengintegrasikan IB dengan kegiatan lainnya. 

Kegiatan ini sebenarnya baik dalam artian teknis peningkatan produksi dan populasi. Tetapi satu hal yang dilupakan pemerintah yaitu sebenarnya pelaksanaan IB merupakan sarana untuk peternak agar dapat mandiri dan berswadaya dalam pelaksanaan IB. Ini tidak terjadi tapi yang ada malah tingkat ketergantungan peternak sengaja dibuat tinggi oleh pemerintah dari sejak produksi semen, distribusinya sarana-prasarana, sampai pelaksanaannya oleh para inseminator lapangan.
Pada kesempatan ini mari kita berpikir ulang untuk menjadikan gerakan IB itu perlahan kita serahkan pada dunia swasta. Prinsipnya “tidak ada makan siang yang gratis”. Peternak itu sebenarnya mau membayar asal kualitas pelayanannya baik. Sudah waktunya IB itu diserahkan pada peternak dan swasta dan tidak dimonopoli pemerintah. Harus dibedakanana yang bersifat public good dan private good.

Obat Hewan

Senada dengan itu langkah yang lebih maju telah dilakukan di bidang obat hewan oleh pemerintah. Walaupun pemerintah sendiri memiliki produsen obat hewan Pusvetma, tetapi pemerintah membuka lebar dunia swasta untuk bersama memproduksi obat hewan.

Di sini biarkan saja terjadi “persaingan” yang adil dan sehat antara pemerintah dan dunia swasta dalam hal obat hewan. Walaupun sebenarnya produksi obat hewan itu merupakan ranah private good dan memberikan porsi ini kepada swasta agar lebih efisien.
Coba kita lihat misalnya adanya stok semen beku dan obat hewan di tempat produksi di pemerintahan. Pasti masih ada tumpukan yang menambah beban bagi APBN untuk maintenance-nya. Kalau di swasta karena menerapkan efisiensi tinggi hal itu tak terjadi.

Perbibitan dan Kesehatan Hewan

Kita sudah mengetahui bahwa tugas dan fungsi pemerintah banyak bertumpu terutama pada bidang perbibitan dan kesehatan hewan/masyarakat veteriner sebagaimana diamanatkan dalam UU PKH No. 18/2014. Dalam hal perbibitan tugas pemerintah mengembangkan bibit ternak khususnya ternak besar yang belum sepenuhnya dikuasai dan dilakukan oleh masyarakat, beda dengan ayam ras yang sudah sepenuhnya dilakukan oleh swasta atau asosiasinya. Sehingga timbul pertanyaan sekarang sudah tepatkah policy breeding untuk ternak besar dan kecil, serta operasionalisasinya di lapangan? Untuk itu pemerintah telah mendirikan berbagai UPT Pembibitan Ternak baik untuk menghasilkan benih dan bibit ternak.

Hasilnya setelah Indonesia 75 tahun merdeka, belum dapat melihat bahwasannya berbagai UPT tersebut benar-benar dapat menghasilkan bibit yang sebenarnya sesuai standar ilmiah. UPT kita lebih bersifat mengembangkan budi daya ketimbang menghasilkan bibit yang benar. Apakah hal ini kita teruskan dari generasi ke generasi tanpa akhir? Diperlukan keberanian untuk merevitalisasi fungsi-fungsi UPT tersebut agar tidak berada dalam zona nyaman seperti sekarang ini, karena sistem perbibitan ternak dan berbagai perangkat aturan dan ketesediaan sumber daya manusia pembibitan telah kita miliki serta didukung dana memadai, sehingga sayang sekali hal tersebut belum dimanfaatkan dengan benar.

Refleksi dalam bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakatnya veteriner memang telah menunjukkan adanya perubahan berarti dalam berparadigma. Paradigma lama yang terkenal yaitu maximum security, artinya sama sekali tidak boleh masuk ternak ataukah produk-produk ternak dari negara yang belum bebas dari daftar penyakit list A OIE. Perlakuan ini kemudian berganti menjadi zone base tidak lagi country base. Jadi kemungkinan Indonesia untuk impor atau ekspor ternak dan produknya menjadi terbuka dari berbagai negara. Perubahan kebijakan ini dipandang sebagai langkah cukup berani karena di lain pihak dapat memutus kartel, monopoli perdagangan internasional ternak dan produknya yang selama ini terjadi.

Tetapi, di dalam negeri sendiri kesehatan hewan dihadapkan pada kegiatan program pemberantasan penyakit menular strategis yang tidak pernah tuntas. Contoh program pembebasan penyakit Antraks, Rabies, SE, Jembrana dan belakangan timbul emerging diseases seperti Flu Burung dan African Swine Fever. Pembebasan negara dari suatu penyakit dengan memakai pola seperti sekarang ini rasanya tidak memadai lagi, malahan penyakit tersebut sudah menjadi keseharian para peternak.

Diperlukan pola lain yaitu lebih banyak melibatkan partisipasi masyarakat dalam penanggulangannya dari sejak mitigasi dan pencegahan penyakit sampai ke tingkat pemberantasan dan pengendaliannya, daripada mengatakan bahwa tugas pengendalian dan pemberantasan itu semata tugas pemerintah. Analisis resiko dapat menjadi beban bersama antara pemerintah dan masyarakat.

Hentikanlah pendapat bahwa tugas-tugas kesehatan hewan itu selalu menjadi domain pemerintah, diganti menjadi tugas kolaborasi antara masyarakat peternak dan swasta serta seluruh stakeholder yang ada. Perlu perubahan pola pikir bahwa penanggulangan penyakit itu bukan untuk memuaskan hati pejabat dan pimpinan, tetapi untuk kepentingan client kita yaitu para peternak dan masyarakat. Oleh karena itu, perbanyak program yang melibatkan masyarakat, karena tugas menjadi enteng kalau melibatkan masyarakat.

Muhasabah ini ditujukan tidak saja kepada pemerintah dan para pemangku kepentingan, tetapi juga kepada diri penulis yang pernah ikut mengalami pasang surutnya birokrasi PKH dari dulu hingga sekarang. Remembering the past and Reinventing the Future untuk merajut masa depan peternakan dan kesehatan hewan Indonesia. Selamat Hari Lahir Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia. ***



Ditulis oleh: M. Chairul Arifin
Pegawai Kementan (1979-2006),
Staf Perencanaan (1983-2005),
Tenaga Ahli PSDS (2005-2009)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer