Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini FAO Ectad Indonesia | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

BIOSEKURITI TIGA ZONA, ALTERNATIF AMPUH NAIKKAN PERFORMA


Biosekuriti, aspek yang penting diaplikasikan dalam peternakan namun kurang dimaksimalkan oleh para peternak di Indonesia. Sejak beberapa tahun silam, FAO ECTAD giat mengkampanyekan sistem biosekuriti tiga zona, seperti apakah biosekuriti tiga zona?

Prinsip paling mendasar dari biosekuriti adalah mencegah penyakit agar tidak masuk dan keluar dari suatu peternakan. Penerapannya terserah kepada masing – masing peternak, namun begitu karena alasan budget rerata peternak abai terhadap aspek biosekuriti. Setidaknya minimal ada tujuh aspek yang harus dilakukan dalam menjaga biosekuriti di peternakan menurut Hadi (2010) yakni : (1) kontrol lalu lintas, (2) vaksinasi, (3) recording flok (4) menjaga kebersihan kandang, (5) kontrol kualitas pakan,(6) kontrol air dan (7) kontrol limbah peternakan. Sangat mudah diucapkan, namun sulit untuk diimplementasikan.

Mengganti alas kaki pada tiap zona, wajib hukumnya (Foto : CR)

3 Warna, 3 Zona

Kekhawatiran akan implementasi biosekuriti yang buruk di peternakan unggas Indonesia sudah lama dikhawatirkan oleh FAO ECTAD Indonesia. Terlebih lagi ketika AGP telah dilarang penggunaannya dalam pakan, bayang – bayang anjloknya performa makin menghantui peternak. Untungnya, kerumitan konsep biosekuriti bagi peternak berhasil disederhanakan oleh FAO ECTAD menjadi sistem biosekuriti tiga zona. Alfred Kompudu selaku National Technical Advisor FAO ECTAD memaparkan bahwa selama ini peternak kesulitan dan tidak memahami dengan baik konsep biosekuriti, sehingga abai akan hal tersebut.

“Kami sudah beberapa tahun ini melakukan pendekatan kepada para peternak dengan cara yang lebih santai dan casual, kami tidak ajak mereka seminar atau workshop atau yang lain – lain, kami ajak mereka agar mau menambah keuntungan, akhirnya pelan – pelan mereka mau,” papar Alfred.

Dalam konsep biosekuriti tiga zona. suatu peternakan dibagi menjadi tiga wilayah yakni zona merah, kuning dan hijau. Zona merah berada di area luar peternakan yang menjadi batas antara media kontaminan dan peternakan. Zona kuning adalah zona peralihan yakni perantara zona merah dan hijau. Dalam zona ini orang yang masuk ke peternakan harus didesinfeksi bila perlu mandi dan berganti baju kerja, termasuk alas kaki. Sementara zona hijau adalah lokasi peternakan dan pekerja/individu yang sudah steril.

“Kalau diperhatikan, sederhana ya sebenarnya ini penggabungan aspek kontrol lalu lintas dan hygiene personal saja. Namun hal ini kami rasa cukup efektif, karena beberapa data yang kami kumpulkan, metode ini dapat mengurangi penggunaan antibiotik sebesar 40% dan reduksi penggunaan desinfektan sebesar 30%,” kata Alfred. Selain itu Alfred juga mengklaim bahwa investasi yang dikeluarkan untuk pengaplikasian sistem ini dapat menghasilkan keuntungan hingga 1:10.” Ada peternak yang mengeluarkan modal Rp. 10 juta dalam membangun sarana biosekuriti 3 zona, dan dia untung sebesar Rp. 100 – Rp. 120 juta,” kata Alfred.

Fakta di Lapangan

Infovet berkesempatan mengunjungi Subadio, peternak layer asal Kecamatan Purbolinggo, Lampung yang sudah menerapkan biosekuriti tiga zona di peternakannya. Dirinya mengaku tertarik mengaplikasikan biosekuriti tiga zona karena dinilai menguntungkan. “Di Lampung ada pendampingan dan penyuluhan bagi peternak yang ingin mengaplikasikan sistem ini, kami dibimbing langsung oleh Dinas Peternakan setempat, FAO ECTAD, UNILA, Technical Service produsen pakan dan PPN (Pinsar Petelur Nasional) Lampung,” tutur Subadio.

Tanpa pikir panjang Subadio membangun fasilitas seperti yang disarankan oleh para mentornya. Walhasil, kandang layernya yang baru setahun enam bulan berdiri mengalami banyak kemajuan. “Kandang saya sebelumnya bukan yang di sini mas, ini kandang baru tetapi produksi, performa dan nilai rupiah yang di dapat sangat menjanjikan,” tukas Subadio kepada Infovet. Pernyataan Subadio tadi didukung oleh data yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya saja kini disaat ayam di kandangnya menginjak usia sekitar 29 minggu produksinya stabil di angka 90% lebih. Selain itu dalam data juga disebutkan bahwa tingkat kematian ayam di peternakannya sangat rendah, hanya 1% dari 30.000 ekor populasi. “Di farm sini per hari enggak melulu ada yang mati mas, enggak kaya di farm saya yang satunya yang belum saya bangun biosekuriti tiga zona,” pungkas Subadio.

Ketika ditanya mengenai penyakit dan wabah AI, Subadio juga mengatakan bahwa belum pernah kandang tersebut terjangkit wabah mematikan semisal AI. “Paling penyakit cuma nyekrek – nyekrek (CRD) saja mas, kalau AI mah engak pernah kan lihat sendiri tadi recording saya, kalau bisa jangan sampai kena AI deh,” tukas Subadio. Ia juga mengaku bahwa ketika terjadi penyakit, petugas kesehatan di farm-nya hanya memberikan terapi suportif berupa pemberian vitamin beserta suplemen pemacu sistem imun. “Kasus yang agak parah kemarin sih ada beberapa ekor yang kena fowl pox, sudah dibakar yang mati, terus sisanya kita pisahkan, isolasi dan kita vaksin ulang sambil diberikan terapi suportif mas,” kata Subadio.

Perihal dana yang dikeluarkan, Subadio enggan menyebut nominal angka yang ia gelontorkan untuk membangun sistem tersebut. “Yang jelas enggak sampai seratus juta mas untuk sistemnya saja, kurang dari itu deh. Tapi hasil yang saya dapatkan Alhamdulillah sudah bailk modal itu biaya pembuatan sistemnya dalam dua bulanan,” papar Subadio.

Hal yang berbeda nampak pada kandang milik peternak layer lainnya, H. Tumino yang berasal dari daerah yang sama. H. Tumino yang telah menjadi peternak sejak tahun 1988 tidak mengaplikasikan sistem biosekuriti tiga zona di kandang miliknya. Hasilnya tentu bisa ditebak, performa dari layer miliknya tidak sebaik milik Subadio. 

Biaya menjadi alasan utama bagi H. Tumino yang tidak meng-upgrade kandangnya dengan sistem biosekuriti tiga zona. “Anak saya ada tujuh mas, masih sekolah tiga, kalau saya keluarkan uang buat kandang nanti mereka bisa terhambat sekolahnya,” tutur H. Tumino. Walaupun begitu, H. Tumino mengakui bahwa dirinya juga mendapatkan pendampingan dan penyuluhan dari pihak yang sama terkait penerapan biosekuriti tiga zona, hanya saja H. Tumino belum bisa mengaplikasikan hal tersebut. “Mungkin nanti ketika anak saya sudah pada selesai sekolahnya, baru saya rehab ini kandang, sebenarnya saya tertarik mas, tapi memang masih mentok kalau dalam hitungan saya,” tukas H. Tumino.
           
Penyuluhan Berkelanjutan

Terlepas dari memiliki niat atau tidaknya peternak di Lampung dalam mengaplikasikan sistem biosekuriti tiga zona, hal yang dilakukan para stakeholder peternakan unggas di Lampung patut diapresiasi. Pemerintah Daerah di Lampung mencanangkan provinsi Lampung sebagai zona bebas flu burung pada tahun 2021. Salah satu upaya dalam mengendalikannya yakni dengan penerapan biosekuriti tiga zona pada peternakan ayam yang ada di Lampung. Selain itu dalam menjamin food safety & security bagi konsumen, peternak layer di Lampung diwajibkan memiliki NKV.

Drh Madi Hartono sebagai pendamping dari UNILA lebih jauh menjelaskan program yang ada di Lampung. “Nantinya farm yang sudah punya sistem biosekuriti tiga zona ini akan diwajibkan memiliki NKV. Syaratnya NKV kan salah satunya punya sistem biosekuriti yang bagus kan?. Dengan adanya NKV kan peternak nyaman, konsumen aman mas,” tukas pria alumni FKH UGM tersebut.

Madi menyebutkan bahwa dalam mendapatkan NKV, peternak akan dibimbing dan didampingi oleh PPN Lampung, Dinas Peternakan, Produsen Obat Hewan dan Sapronak, FAO dan UNILA dari awal sampai NKV tersebut terbit. “Pertama kita survey dulu kandangnya, kita bantu buatkan denah, sistem, dan cek kelayakan lainnya. Beberapa waktu kita pantau, dan kalau sudah layak kita minta Dinas Provinsi untuk datang dan mengaudit, ketika ada koreksi dan penyesuaian dari Dinas tetap kita damping sampai NKV-nya terbit,” tutur Madi.

Dalam pengurusan NKV, peternak tidak dipungut biaya sepeser pun oleh Dinas. Hal ini dikemukakakn oleh Drh Anwar Fuadi Kepala Bidang Keswan dan Kesmavet Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Lampung. “Kita enggak pungut biaya sama sekali, karena kita sadar bahwa dengan begitu kita juga membantu peternak. Kalau peternak lebih semangat, punya NKV, produksinya meningkat, kualitasnya bagus, kan kita juga bangga, kalau bisa semua peternak di sini punya NKV,” pungkas Anwar.

Data dari PPN Lampung menyebutkan bahwa jumlah populasi layer di Lampung sekitar 4 juta ekor, dengan produksi telur 200 ton perhari, dengan jumlah peternak mencapai kurang lebih 1.000 peternak yang tersebar di 8 Kabupaten dan populasi terbanyak di Lampung Selatan dan Lampung Timur. Sebanyak 20 persen dari produksi tersebut telah dipasarkan ke Jakarta.

Sertifikasi NKV merupakan upaya pemerintah dalam memberikan jaminan persyaratan kelayakan dasar dalam sistem jaminan keamanan pangan dalam aspek hygiene & sanitasi, dengan adanya sertifikat NKV, suatu unit usaha dinilai layak dari aspek keamanan pangan sebagai produsen pangan asal hewan.

Selain itu NKV juga menjadi bukti bahwa produk milik peternak memiliki daya saing dalam perdagangan baik nasional maupun internasional. Anwar berharap kedepannya peternak di Lampung semakin peduli dan concern dalam mendapatkan sertifikat NKV, karena nilai jual produk akan semakin bertambah. “Untuk mendapatkan NKV, biosekuriti harus baik, minimal mengadopsi sistem biosekuriti tiga zona, makanya saya berterimakasih atas apa yang dilakukan oleh teman – teman di lapangan dalam membantu dan membimbing peternak – peternak kita di Lampung ini,” tutup Anwar. (CR)

APRESIASI FAO UNTUK DITJEN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN




Dr Stephen Rudgard selaku FAO Representative (kanan) bersama Dr James McGrane, Team Leader FAO Ectad Indonesia (kiri) menyerahkan hadiah untuk Dirjen PKH I Ketut Diarmita. (Foto: Humas Kementan)

Keberhasilan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) dalam penanggulangan penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) diapresiasi Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO).

“FAO telah mendukung program Pemerintah dalam pengendalian dan penanggulangan flu burung sejak tahun 2006. Sepanjang kerjasama selama 13 tahun ini, kami mengapresiasi angka kasus penyakit flu burung yang terus menurun,” kata Stephen Rudgard, FAO Representative untuk Indonesia dan Timor Leste di kantor Kementan, Jakarta, Rabu (28/5).

Kementerian Pertanian mencatat, angka tahunan kasus flu burung turun dari 2751 pada tahun 2007 ke 476 pada tahun 2018. Penyakit ini disebabkan oleh virus influenza yang menyerang semua jenis unggas domestik termasuk ayam, bebek, dan burung puyuh, serta diketahui dapat menyebabkan tingkat kematian yang tinggi.

Flu burung adalah penyakit yang dapat ditularkan ke manusia (Zoonosis). Indonesia tertular virus flu burung sejak tahun 2003 yang menyebar ke beberapa wilayah dalam beberapa tahun saja. Dalam rangka melindungi kesehatan manusia dan produksi ternak unggas di Indonesia, pemerintah gencar melakukan program pengandalian dan penanggulangan flu burung.

Dalam kesempatan tersebut, Ketut menyampaikan apresiasi kepada FAO atas kontribusinya dalam program pengendalian penyakit flu burung di Indonesia. Banyak keberhasilan yang telah diperoleh dalam kerangka kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan FAO disertai dukungan USAID.

“Saat ini pengendalian dititikberatkan pada peningkatan biosekuriti pada peternakan dan sertifikasi kompartemen bebas AI. Selain itu, program ini juga memantau dinamika virus yang beredar di lapangan untuk tujuan produksi dan penggunaan vaksin yang efektif dalam melindungi peternakan,” terang Ketut, dalam keterangan resmi yang diterima Infovet, Kamis (29/5).

Implementasi strategi pemerintah berhasil menekan kasus flu burung di peternakan rakyat dan memberikan sertifikasi kompartemen bebas AI bagi peternakan komersial. Keberhasilan sertifikasi tersebut membuat produk unggas Indonesia dapat diekspor ke beberapa negara. “Negara seperti Jepang yang persyaratan kesehatan hewannya sangat tinggi, mau menerima produk unggas Indonesia sebagai bentuk pengakuan penjaminan keamanan dan kesehatan hewan Indonesia,” tambahnya.

James McGrane, Team Leader Unit Khusus FAO di Bidang Kesehatan Hewan (FAO ECTAD Indonesia), pada kesempatan yang sama juga menyampaikan bahwa kerjasama yang baik antara Pemerintah Indonesia dan FAO perlu diteruskan agar dapat memastikan dampak yang berkelanjutan.

“Keberlanjutan kerjasama internasional ini akan memperkuat kapasitas Indonesia dalam melindungi masyarakat dan mata pencahariannya dari bahaya penyakit hewan yang dapat menular kepada manusia,” kata McGrane.

Ketut menyambut baik tawaran kerjasama lanjutan ini dan berharap akan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi pembangunan peternakan dan kesehatan hewan di Indonesia. (NDV)

Kongres One Health : FAO dan Kementan Bawa Poster Penggunaan Antibiotik


Drh Ni Made Ria Ria Isriyanthi PhD berpose di papan poster hasil riset penggunaan antibiotik (Foto: Istimewa)

Kongres One Health yang berlangsung di Saskatoon, Kanada pada 22 - 25 Juni 2018, Food and Agricultural Organization (FAO) Emergency Centre for Transboundary Animal Disease (ECTAD) serta Direktorat Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian membawa isu resistensi antimikroba dan One Health dalam bentuk poster.

Kepala Sub Direktorat Pengawasan Obat Hewan Kementan RI, Drh Ni Made Ria Isriyanthi PhD yang mewakili Indonesia dalam kongres ini mengatakan poster yang dibawa dalam kongres ini berupa hasil riset penggunaan antibiotik di peternakan broiler skala kecil dan menengah di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan sebagai pusat produksi peternakan ayam broiler di Indonesia.

Ni Made Ria Isriyanthi (kanan) bercengkrama dengan peserta kongres
Implementasi rencana aksi nasional pengendalian resistensi antimikroba 2017- 2019 kerja sama dengan FAO melibatkan lintas kementerian yakni Kementerian Perikanan dan Kelautan, Kemenristekdikti, Kementerian Pertahanan, BPOM, WHO, dan FAO.

Dalam rencana aksi ini meliputi peningkatan kesadaran dan pemahaman resistensi antimikroba, meningkatkan pengetahuan melalui surveilance dan penelitian, mengoptimalkan penggunakan antimikroba secara bijak pada manusia dan hewan, serta meningkatkan investasi temuan obat alat diagnostik dan vaksin baru untuk menurunkan penggunaan antimikroba.

Pemerintah Indonesia, kata Ni Made, telah melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan berlaku efektif mulai 1 Januari 2018. Kementerian Pertanian memperketat pengawasan terhadap peternak dan menyiapkan sanksi bagi yang melanggar.

Larangan penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan terdapat dalam Pasal 16 Permentan Nomor 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Pasal 17 menjelaskan percampuran obat hewan dalam pakan untuk terapi sesuai dengan petunjuk dan di bawah pengawasan dokter hewan. Larangan tersebut mengacu pada UU No 41/2014 Jo. UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan.

Resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit mengalami perubahan sehingga obat-obatan yang digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang ditimbulkan mikroorganisme ini menjadi tidak efektif. Satu di antara contoh dari resistensi antimikroba adalah dalam penggunaan antibiotika.

Bahaya lain resistensi antimikroba juga mengancam kemampuan tubuh dalam mengobati penyakit sehingga menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Jika tubuh kebal terhadap antimikroba, maka prosedur medis seperti transplantasi organ, kemoterapi, pengobatan diabetes, dan operasi besar menjadi sangat berisiko.

Dokter Hewan Pebi Purwo Suseno dari Direktorat Kesehatan Hewan mengatakan, poster untuk One Health dalam kongres ini menyampaikan berbagai program yang telah dilakukan Indonesia. Menurutnya, Indonesia merupakan satu di antara negara terbaik dalam implementasi pendekatan ini. Untuk skala Asia Tenggara, Pebi berani menyatakan Indonesia adalah yang terbaik.

“Karena implementasi One Health kita hingga tingkat lapangan sudah baik. Negara lain masih sekadar konsep, kita sudah mengimplementasikannya,” katanya.

Isu Global

Isu resistensi antimikroba atau antimicrobial agents and resistance (AMR), menurut Chief Technical Advisor FAO ECTAD, Luuk Schoonman menjadi persoalan global yang dibahas dalam Kongres One Health tahun ini. AMR dibahas dalam sesi khusus di Kanada yang melibatkan para akademisi kampus.

The 5th International One Health Congress
Sesi khusus tersebut di antaranya membicarakan tentang penggunaan agen antimikroba, penggunaan antibiotik pada manusia dan hewan, makanan dan pertanian, serta hubungan antara AMR dan dampak lingkungan. Satu di antaranya adalah Jaap Wagenaar dari Universitas Utrecth Belanda. Jaap Wagenaar mengenal baik Indonesia karena pernah menjadi konsultan tentang vaksinasi dan AMR.

Semua anggota PBB, termasuk Indonesia, punya komitmen mengurangi bakteri antimikroba. AMR menjadi penting karena berhubungan dengan pemenuhan produksi daging oleh binatang dan konsumsi manusia. “Menjadi persoalan di Indonesia adalah penggunaan antibiotik yang berlebih,” terang Luuk.

FAO menekankan semua negara menggunakan perannya untuk mengatasi resistesi antimikroba, misalnya mendorong peternak menerapkan biosekuriti untuk melawan berbagai serangan penyakit pada hewan dan vaksinasi.

Ketika terjadi AMR, maka produksi pangan terganggu dan membahayakan manusia. Penggunaan antibiotik berlebihan pada ternak seperti ayam broiler dan petelur membahayakan tubuh manusia. One Health  menggunakan pendekatan kesehatan hewan, kesehatan manusia, dan lingkungan.

FAO dan WHO sebagai bagian dari PBB berkolaborasi melalui One Health untuk mengatasi AMR. Fokus FAO adalah memastikan ketersediaan pangan dan kesehatan hewan ternak. Pada kesehatan hewan ternak, misalnya, mengantisipasi penyakit. “Keamanan produksi pangan dan konsumsi yang sehat harus dijamin sepenuhnya,” tegas Luuk. (Tempo/NDV)


AMR MENGANCAM, KESADARAN ANTIBIOTIK MUTLAK DIBUTUHKAN

Dari ki-ka: Dirkeswan, Syamsul Maarif, Dirjen PKH I Ketut Diarmita
dan Team Leader FAO ECTAD James Mc Grane.
Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat mengenai ancaman resistensi antimikroba, terus diupayakan oleh Pemerintah lewat Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), dengan mengadakan “Pekan Kesadaran Antibiotik”, yang akan diselenggarakan pada 13-19 November 2017.
“Kegiatan ini merupakan kampanye global peduli penggunaan antibiotik sebagai salah satu wadah untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat mengenai ancaman resistensi antimikroba/AMR,” ujar Dirjen PKH, I Ketut Diarmita saat acara Media Briefing, Rabu, (8/11), di Kantor Kementan.
Menurutnya, antimikroba merupakan salah satu temuan penting bagi dunia, mengingat manfaatnya, terutama untuk melindungi kesehatan manusia, hewan dan kesejahteraan hewan. Kendati begitu, kata dia, antibiotik juga menjadi “pisau bermata dua”, jika digunakan secara tidak bijak dan tidak rasional, justru menjadi pemicu kemunculan bakteri yang kebal terhadap antibiotik (AMR).
Saat ini AMR sendiri telah menjadi ancaman yang tak mengenal batas geografis dan memberikan dampak yang merugikan. “Untuk itu, harus kita sadari bahwa ancaman resistensi antimikroba merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan ketahanan pangan, khususnya bagi pembangunan di sektor peternakan dan kesehatan hewan,” katanya.
Berdasarkan laporan di berbagai negara mencatat adanya peningkatan laju resistensi dalam beberapa dekade terakhir, namun di sisi lain penemuan dan pengembangan jenis antibiotik berjalan lambat. “Para ahli di dunia memprediksi bahwa jika masyarakat tidak melakukan sesuatu dalam mengendalikan laju resistensi, maka AMR diprediksi akan menjadi pembunuh nomor satu didunia pada tahun 2050 mendatang, dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa per tahun, dan kematian tertinggi terjadi di kawasan Asia,” ucapnya.
Ia berpendapat, bahaya resistensi antimikroba erat kaitannya dengan perilaku pencegahan dan pengobatan, serta sistem keamanan produksi pangan dan lingkungan. Karena itu, diperlukan pendekatan “One Health” yang melibatkan berbagai sektor. Pihaknya pun telah bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Pertahanan, dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional penanggulangan AMR. “Ini bagian dari upaya pemerintah untuk mengatasi kompleksitas dalam mengendalikan masalah resistensi antimikroba dengan pendekatan One Health,” terang dia.
Guna meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya AMR, pihaknya juga bekerjasama dengan FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (FAO ECTAD), ReAct, Yayasan Orang Tua Peduli (YOP), Center for Indonesian Veterinary Analytical Study (CIVAS), Pinsar Petelur Nasional (PPN) dan universitas.
Dalam kesempatan yang sama, Sujith Chandy, Ketua ReAct Asia Pasifik, menyatakan, pentingnya meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai resistensi antimikroba melalui upaya komunikasi, edukasi dan pelatihan.
Sementara pendiri YOP, dr Purnamawati Sujud, menghimbau kepada semua pihak untuk meningkatkan komunikasi dan kolaborasi dalam mengendalikan penggunaan antibiotik di semua sektor, agar dunia tidak kembali ke era sebelum ditemukannya antibiotik, yaitu era ketika infeksi bakteri dan penyakit ringan tidak lagi bisa ditangani.
Team Leader FAO ECTAD, James Mc Grane, beranggapan, saat mikroba menjadi kebal terhadap antimikroba, infeksi yang dihasilkan akan sulit untuk disembuhkan, bahkan dapat menyebabkan kematian. Mikroba yang kebal ini dapat menyebar ke lingkungan sekitar, rantai makanan, bahkan manusia. “Jika tidak diperlukan penggunaan antimikroba pada ternak sebaiknya tidak perlu digunakan,” tegasnya.
Menurutnya, salah satu pengendalian penggunaan antimikroba yang dapat dilakukan yakni melalui implementasi biosekuriti tiga zona. Melalui upaya tersebut, kata James, tidak hanya menghasilkan produk peternakan yang sehat, namun praktik-praktik manajemen yang baik juga terbukti dapat meningkatkan keuntungan bagi peternak, karena akan mengurangi resiko kematian. (RBS)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer